Home | Resensi Film

Aviator (2004)

Embrio Budaya Selebritas

"Cara masa depan." Itulah frasa yang berulang-ulang digumamkan Howard Hughes pada ujung film The Aviator. Frasa itu terasa sebagai sebuah ramalan akan masa depan budaya Barat, budaya yang kini kian mengglobal itu.

Martin Scorsese memotret kehidupan Howard Hughes dari tahun 1928 sampai akhir 1940-an, dengan sebuah kilas balik singkat namun penting ke masa kecilnya. Hughes (diperankan secara mantap oleh Leonardo DiCaprio) tampil sebagai sosok yang flamboyan, jenius, visioner, keras kepala, dan playboy. Namun, dia juga sekaligus penyendiri (dia phobia terhadap orang dan bakteri), dan nantinya digerogoti penyakit mental dan fisik. Dalam dirinya, kita melihat batas tipis antara kejeniusan dan kegilaan.

Impiannya akan pesawat yang mampu terbang di atas awan dan mengangkut banyak penumpang sekaligus merupakan sebuah terobosan jauh ke depan. Di sini kita salut akan kegigihannya mewujudkan visi, berapa pun harga yang harus dibayarnya.

Di sisi lain, menyimak gaya hidupnya yang serba gemerlap, namun sekaligus dihantui gangguan mental, kita serasa menyaksikan embrio budaya pemujaan selebritas, obsesi seksual dan cengkeraman materialisme yang kini kian merebak. Sebuah gaya hidup yang menggilas akal sehat. Sayang, film ini tidak memotret akhir tragis tokoh ini (selama 20 tahun terakhir sampai meninggal tahun 1976, Hughes hidup menyendiri di lantai atas Desert Inn Hotel, Las Vegas).

Kalau dalam film terdahulu, Raging Bull, Scorsese memaparkan perjalanan menuju puncak dan sekaligus kemerosotan karir petinju Jake La Motta, The Aviator berhenti saat Hughes berada di tubir ketidakwarasan. Raging Bull ditutup dengan kutipan Yohanes 9:24-25; The Aviator sebenarnya cocok sekali bila diakhiri dengan kutipan Matius 16:26. *** (06/09/2005)

-- Dimuat di Bahana.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1