Home | Artikel

Membiarkan Luka Itu Mengering

Konflik memang tak terelakkan dalam setiap hubungan, apalagi dalam hubungan-hubungan yang sangat intensif, seperti hubungan suami-istri dan hubungan orangtua-anak. Namun, tak jarang kita berpikir picik: "Asal kita sudah menyelesaikannya, bereslah." Tidak sesederhana itu.

Setiap konflik tak ayal menimbulkan luka. Penyelesaian sebuah konflik tidak dengan sendirinya menyembuhkan luka yang telanjur terjadi. Kalau tidak dipulihkan dengan semestinya, tak ayal luka itu akan menjadi ganjalan bagi kelanjutan hubungan tersebut.

Karena itu, penting kita mempertimbangkan, bagaimana kita memulihkan diri setelah terluka oleh sebuah konflik? Bagaimana kita membangun kembali hubungan dengan orang lain yang terlibat dalam konflik tersebut?

Pertama, luka akibat konflik itu perlu dibiarkan mengering dan sembuh betul. Ini perlu waktu. Penyelesaian konflik barulah awal proses penyembuhan. Lamanya proses itu sendiri bergantung pada sejumlah faktor, seperti taraf intensitas konflik dan tingkat kedewasaan orang yang terlibat. Konflik yang berat cenderung memerlukan waktu pemulihan yang lebih lama. Orang yang dewasa akan lebih cepat bangkit kembali setelah terpukul oleh masalah. Kita perlu memberi ruang dan waktu untuk pemulihan ini.

Waktu pemulihan ini sangat bagus dipakai untuk berintrospeksi. Kita merunut kembali peran kita dalam konflik itu, kesalahan-kesalahan yang kita lakukan, yang berperan dalam menyulut konflik tersebut. Dalam berintrospeksi ini kita juga belajar untuk membedakan antara orang dan perbuatannya. Kita belajar untuk membenci dosa, tanpa membenci orangnya.

Saat berintrospeksi, tak jarang justru kemarahan kembali meletup-letup dan muncul keinginan untuk membalas dendam. Namun, kalau kita menurutinya, luka kita justru akan kian berdarah-darah. Jadi, saat introspeksi adalah saat untuk belajar melepaskan keinginan untuk marah dan untuk membalas.

Setelah melewati suatu konflik, tak jarang kita merasa canggung untuk bertegur sapa kembali dengan orang bersangkutan. Kita cenderung memilih menunggu, takut kalau menegur dulu dianggap kita mengakui sebagai pihak yang bersalah. Bagaimanapun, harus ada pihak yang bersedia merendahkan diri untuk membuka mulut terlebih dulu. Cobalah mulai dari topik yang ringan-ringan. Jangan langsung mengusung isu yang berat-berat, yang bisa-bisa memancing percekcokan lagi.

Akhirnya, yang terpenting, jangan mengungkit-ungkit kembali konflik yang telah diselesaikan. Di sinilah pentingnya melupakan perkara yang pernah terjadi. Otak kita memang tidak seperti komputer, yang dapat menghapus file yang pernah disimpan di dalamnya. Kenangan akan konflik itu akan tetap tersimpan dalam memori kita. Namun, kita bisa memilih untuk mengubah perspektif kita atas kejadian tersebut. Melupakan berarti membiarkan ingatan akan rasa sakit itu diganti atau dipulihkan sehingga tidak lagi menguasai pikiran Anda saat teringat pada orang yang berkonflik dengan Anda itu.

Meskipun tampaknya amat berat, proses pemulihan ini akan terasa lebih ringan bila kita mengingat betapa bermaknanya keharmonisan hubungan dalam kehidupan kita. ***

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1