Home | Artikel

Pukulan yang Menguatkan

Pernahkah Anda merasa Tuhan itu jauh? Hadirat-Nya seolah terangkat tak tergapai, dan doa-doa yang Anda panjatkan seperti memantul di dinding bisu?

Kalau kita beranggapan bahwa iman yang sejati itu dibuktikan hanya dengan kuat-Nya hadirat Tuhan, melimpahnya berkat, dan hidup yang jauh dari penderitaan, tak ayal kita akan kecele saat masa padang gurun nan tandus dan kelam itu melanda kita.

Lebih Kelam dari Penjara

Charles Colson bergumul dengan perkara tersebut. Kita mengenal Colson sebagai mantan penasihat Presiden Richard Nixon. Ia mengalami pertobatan di tengah kegemparan skandal Watergate yang membuatnya dipenjara. Sekeluarnya dari balik terali, ia mendirikan Prison Fellowship, badan pelayanan yang ditujukan terutama bagi para narapidana.

Ia mengaku dimuridkan di tengah kelompok doa yang kuat, dan diajar oleh teolog-teolog ternama. Ia menyadari kekuatan aliran Injili dalam mendorong orang untuk mengalami keintiman dengan Yesus. Namun, tahun 2005, seusai menyelesaikan buku The Good Life, ia mengalami pukulan iman secara beruntun.

Putranya, Wendell, didiagnosis mengidap kanker tulang. Pembedahan memakan waktu 10 jam, dan sesudah itu Wendell masih harus menjalani kemoterapi. Belum sempat ia rehat, putrinya, Emily, didiagnosis menderita melanoma. Kembali ia harus berkutat di rumah sakit. Tidak lama kemudian, giliran istrinya, Patty, harus menjalani bedah lutut. "Di mana kehidupan baik saya?" tanyanya.

Musuh memang licik: ia menyerang dari belakang dan menghantam pada saat kita dalam keadaan paling lemah. Dan, lebih parah lagi, Tuhan seakan berdiam diri. Ia merasa berada dalam kegelapan yang lebih kelam daripada saat ia meringkuk dalam penjara.

Dua Jawaban

Pada bulan September, ia menemukan jawaban. Ia sedang berdiri sorangan di pelataran rumah temannya di North Carolina, memandang Pegunungan Smoky menjulang megah menembus kabut. Ia tergetar oleh kemuliaan ciptaan Allah tersebut. Ia menyadari, mustahil kita tidak mengenali Allah sebagai Sang Khalik. Tanpa kehadiran-Nya, tidak ada penjelasan yang masuk akal atas realitas alam semesta yang megah ini.

"Saya tersadar bahwa saya tidak mesti harus memahami penderitaan yang saya tanggung ini atau mendengarkan suatu jawaban yang gamblang," katanya. "Allah bukanlah produk dari emosi atau indra saya. Allah itu Allah, Dia yang menciptakan saya dan bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak saya dan kehidupan saya. Saya hanya dapat berpegang pada realitas bahwa Dia ada dan Dia telah berbicara."

Ia juga mendapatkan penghiburan dengan menggali tradisi teologi Kristen purba yang terbukti sangat kaya. Ia menemukan tulisan sekian banyak orang kudus yang telah melewati kesengsaraan hebat, baik secara fisik maupun secara rohani.

Teresa dari Avila, misalnya, menanggung penyakit yang melumpuhkannya. Mistikus Spanyol abad ke-16 ini menulis, "Yang Mahamulia memberikan anugerah terbesar kepada kita dengan memberi kita kehidupan yang meneladani kehidupan Anak-Nya yang terkasih. Karena itu, saya yakin bahwa kemurahan [penderitaan] ini justru diberikan kepada kita guna memperkuat kelemahan-kelemahan kita."

Penulis lain seperti Santo Yohanes dari Salib, Charles Spurgeon, dan Michael Novak, meneguhkan kebenaran serupa. "Iman mencapai puncak kekuatannya ketika kita tidak ditawari penghiburan dan harus melangkah di dalam kegelapan dengan penuh keyakinan," simpulnya. "Iman yang sejati percaya sekalipun realitas lahiriah sama sekali tidak menyodorkan alasan untuk percaya."

Rentetan pukulan iman itu pada gilirannya justru memperkokoh imannya. *** (Sumber: Christianity Today)

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1