Home | Buku

Tafsiran yang Setia

Tak banyak pengarang yang beruntung karyanya diadaptasi jadi film sampai dua kali. Roald Dahl salah satunya. Kisah fantasi anaknya, Charlie and the Chocolate Factory, dilirik oleh dua sutradara. Mel Stuart membesutnya menjadi Willy Wonka and the Chocolate Factory (1971), dan tahun 2005 Tim Burton menggarapnya ulang menjadi film berjudul sama dengan novelnya.

Puaskah Dahl? Untuk film pertama, dia konon kesal atas tafsir Gene Wilder atas sosok Willy Wonka. Di buku, Wonka itu orang cebol hiperaktif yang "seperti bajing tua cerdik gesit dari taman". Wilder menafsirkannya terlalu lunak dan kebapakan. Kalau tafsiran Johnny Depp? Syukurlah, Dahl sudah wafat, dia tak harus terguncang melihat Wonka malih jadi hibrida antara Michael Jackson dan Carol Burnett.

Itu masalah penafsiran tokoh. Dari segi cerita, lain lagi soalnya. Di buku, Charlie meraih hadiah karena apa yang tidak dilakukannya. Stuart merasa perlu menyuntikkan motivasi yang lebih meyakinkan: Charlie menolak ajakan membocorkan resep rahasia pabrik coklat. Charlie juga dibuat melakukan kesalahan. Anehnya, dia diberi kesempatan kedua, sedangkan keempat anak lain langsung ditimpa hukuman.

Burton membubuhkan tambahan di ceruk lain: latar masa kecil Wonka. Hasilnya, selain perkara ketamakan, kini ujung cerita meliuk ke topik baru: pentingnya keluarga. Jadi?

Jadi, kita sedang meributkan perkara klasik: kesetiaan adaptasi. Novel dan film adalah medium yang berbeda. Novel menawarkan imaji linguistik pada halaman-halaman tercetak, film menyampaikan imaji visual melalui rangkaian gambar yang "bergerak secara kontinyu" (Marselli, 1996). Perbedaan inilah, antara lain, yang menghadirkan tantangan dalam adaptasi.

Seberapa jauh sebuah adaptasi novel dikatakan setia? Kalau kita mengekor Krevolin (2003), patokan pertamanya: "Anda tidak berutang apa pun pada teks asli!" Adaptasi membuka ruang seluas-luasnya baik untuk penambahan maupun untuk pengeratan terhadap bagian-bagian novel asli. Aturan mainnya, adaptasi justru dituntut lebih seksi daripada novel aslinya.

Hal ini sejalan dengan pandangan sejumlah kritikus film. Roger Ebert, misalnya, mengharapkan film adaptasi mampu berdiri sendiri, nyaman untuk dinikmati tanpa penonton mesti memahami novel sumbernya.

Karena sekadar memindahkan kata-kata menjadi gambar adalah mustahil, kesetiaan yang dituntut adalah kecerdasan menangkap esensi, ruh dan jiwa novel asli. Penambahan dan atau pengurangan dilakukan untuk menonjolkan dan menggarisbawahi karakter dan atmosfir novel bersangkutan. Kalau novel aslinya sudah seksi, lantas film adaptasinya malah bopeng, pengadaptasi bisa jadi bermaksud membuat parodi. Paling tidak, lebih tepat sebutannya "terinspirasi oleh", bukan "diadaptasi dari".

Kecemasan terhadap adaptasi biasanya dilontarkan oleh novelis. Virginia Woolf menista film adaptasi sebagai parasit yang nemplok pada novel dengan nafsu besar untuk menggarong. C.S. Lewis mengeluh, "Tidak ada yang lebih merusak daripada pandangan bahwa sinema dapat dan patut menggantikan fiksi tertulis yang populer. Justru unsur-unsur yang tidak termuat dalam filmlah yang memberikan pada pikiran yang belum terlatih satu-satunya akses ke dunia imajinatif. Ada kematian (imajinasi) di dalam kamera."

Seserius itukah? Tampaknya novel dan film adaptasinya memang mesti dibiarkan berdiri sendiri-sendiri. Adaptasi yang bagus akan memperkaya pengalaman baca kita, dan siapa tahu memancing orang yang belum menyentuh novelnya untuk ikut membacanya. Kalau adaptasinya buruk, terus kenapa? Toh kita masih bisa meringkuk menikmati keelokan novel aslinya.

Tentu saja, ada novel biasa-biasa saja yang menjadi film bagus, dan ada novel bagus yang menjadi film jelek. Il Postino, misalnya, sedap dinikmati baik novel maupun filmnya. Namun, setelah nonton Jurassic Park, siapa yang masih mau repot-repot menjenguk novelnya?

Kembali ke contoh kasus novel Dahl tadi. Mana adaptasi yang lebih setia? Versi Stuart terasa lamban dan bersahaja, dengan lagu yang diulang-ulang. Versi Burton menawan visualisasi dan tata musiknya, namun kehadiran Depp lumayan membikin tengkuk berjengit. Jadi? *** ((04012006 | Dimuat di Matabaca, Februari 2006)

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1