Home | Artikel

Tidak Ada Natal Keluarga

Saya dibesarkan di tengah keluarga bhinneka tunggal ika. Orang tua kami penganut kejawen, dan kami anak-anak mereka menganut agama masing-masing.

Karenanya, saya belum pernah merasakan Natal bersama sebagai satu keluarga besar. Tak ada kebiasaan mengenakan baju baru atau menyiapkan hidangan Natal. Setiap kali Natal tiba, saya tinggal menghitung berapa kebaktian Natal yang akan saya hadiri: Natal sekolah Minggu, Natal remaja, Natal umum, Natal sekolah, Natal di gereja lain. Sudah bisa ditebak, susunan acaranya tidak terlalu bervariasi.

Salah satu kenangan yang lumayan mengesankan: dalam beberapa kesempatan, ibu saya meluangkan waktu untuk memenuhi undangan menghadiri Natal di gereja. Senang rasanya ikut menyanyi dalam paduan suara atau bermain drama Natal dengan ditonton oleh ibu.

Setelah berkeluarga, saya belum membuat tradisi untuk merayakan Natal bersama keluarga. Kami lebih sering melewatkannya bersama-sama dengan komunitas jemaat lokal. Betapapun, atmosfir kehangatan dan persekutuan di seputar Natal tetap membangkitkan kerinduan tersendiri.

Beberapa tahun lalu, saya sempat menikmati sebuah acara Natal sederhana, namun unik. Tuan rumahnya sepasang misionaris dari Austria yang tengah melayani di kota kami. Saat mengundang, mereka mengingatkan agar setiap tamu membawa kado, namun bukan berupa barang.

Sore itu, kami berkumpul saling berbagi kado. Apa saja kadonya? Ada yang membacakan kisah Natal, ada yang menari solo, ada yang bersaksi tentang kebaikan Tuhan. Saya sendiri menyanyikan O, Holy Night. Setelah menikmati kue-kue khas Austria, kami menghabiskan waktu dengan bermain game. Asyik! ***

-- Dimuat Blessings, Desember 2005.

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1