Home | Artikel

Orang Tua sebagai Pahlawan

Pahlawan? Pada era Pak Harto dulu, kata ini nyaris identik dengan sesosok pria kekar bertelanjang dada, mengacungkan bambu runcing, mengenakan ikat kepala merah-putih. Pahlawan lain yang kerap didengung-dengungkan adalah para guru, pahlawan tanpa tanda jasa.

Saat ini, rasanya makin repot saja menemukan pahlawan. Kelakar Goenawan Mohamad - bahwa di Indonesia ini pahlawan sejati tinggal satu biji: Hero Supermarket - tampaknya masih relevan. Yang bertaburan di ruang publik dan media massa kita adalah para selebritas dan super model, bukannya pahlawan atau role model. Prestasi juga cenderung lebih ditonjolkan daripada karakter moral seseorang.

Apa sih pahlawan itu? David Aikman dalam buku The Great Souls menarik garis pembeda yang tegas antara pahlawan atau "orang besar" dan "selebritas". Selebritas, mengutip sejarahwan Daniel Boorstin, adalah "seseorang yang dikenal karena keterkenalannya". Adapun pahlawan adalah orang dengan pencapaian yang unggul yang ditandai oleh satu atau lebih kualitas watak yang besar, orang yang bisa bangkit di tengah-tengah kesukaran atau penderitaan, bisa mempertahankan kemurnian moral pada saat menghadapi cobaan yang sangat besar.

Tidak semua orang memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk menjadi selebritas. Namun, tantangan untuk menjadi pahlawan justru terbuka lebar bagi setiap orang yang bersedia menggembleng dan mendisiplinkan dirinya. Dan tantangan itu pertama kali digelar tidak lain di medan kehidupan keluarga kita masing-masing. Betul, bapak-bapak dan ibu-ibu, Anda berkesempatan untuk menjadi pahlawan!

Anak-anak memerlukan model atau teladan. Pertanyaannya, dari mana ia mendapatkannya? Apakah kita akan membiarkannya terpapar begitu saja pada gemerlap dunia selebritas? Ataukah kita akan menanamkan dan meneladankan nilai-nilai kepahlawanan di dalam hidup mereka sejak dini?

Tantangan semacam ini tak jarang membikin bulu kuduk merinding: menggairahkan, namun sekaligus mencemaskan. Salah satu penyebabnya, seperti disinggung tadi, adalah kesulitan untuk menemukan role model. Kita gagap dalam mencari pedoman dan petunjuk praktis untuk melakukannya. Bagaimana saya bisa menjadi seorang pahlawan?

Ya, seperti sebagian dari Anda, saya sendiri masih belajar untuk menjadi pahlawan - setidaknya di depan mata mungil kedua anak kami. Saya berupaya mencari berbagai masukan untuk saya terapkan di rumah. Baru-baru ini saya menemukan sebuah artikel menarik dari Bill Denton di Heartlight Magazine. Meskipun ditulis menurut perspektif seorang ayah, rasanya patut dilirik pula oleh para ibu. Berikut ini beberapa resepnya.

Kehadiran. Saya pernah mendapat pesan singkat begini: "Bagi seorang anak, cinta dieja W-A-K-T-U. Mereka lebih memerlukan waktu kita daripada apa pun. Dan dalam hal ini, kuantitas tidak bisa digantikan oleh kualitas." Kehadiran kita sangat vital. Berbagai aktivitas berusaha merampasnya. Perspektif masa depan akan sangat menolong dalam hal ini: Dalam dua puluh tahun lagi, mana yang lebih penting, aktivitas itu atau hubungan kita dengan anak-anak?

Dorongan semangat. Jangan "mencekik" anak-anak dengan berbagai larangan. Larangan tentu saja diperlukan, namun, kenapa tidak mengimbanginya dengan pujian dan dorongan untuk melakukan hal-hal yang baik?

Lemah lembut. Pahlawan bukanlah sosok "berotot kawat bertulang besi". Kita perlu belajar mengekspresikan emosi secara leluasa - tertawa lepas, atau menangis haru, bila perlu. Juga, jangan ragu-ragu mendekap anak-anak kita dan membisikkan, "Aku mencintaimu!"

Menyayangi isteri. Tidak ada yang lebih mengguncangkan rasa aman seorang anak daripada pertikaian orang tuanya. Tidak ada pula perlindungan yang lebih kuat bagi seorang anak daripada ayah dan ibu yang saling mencintai. Nah, jangan ragu menunjukkan kasih-sayang Anda satu sama lain di depan anak-anak!

Menghormati otoritas. Setiap orang tua tentu mengharapkan otoritasnya dihargai. Cara terbaik adalah dengan meneladankan penghormatan Anda terhadap otoritas: Tuhan, gereja, pemerintah, atasan Anda. Demikian pula terhadap orang tua Anda, baik mereka masih hidup maupun sudah tiada. Teladan Anda akan berbicara lebih kuat daripada perkataan Anda.

Menjadi orang Kristen. Tentu saja pembaca renungan ini orang Kristen! Tapi, yang dimaksudkan adalah kepemimpinan dan konsistensi kita dalam hal-hal rohani. Apakah kita memperlakukan Tuhan, gereja dan ibadah secara serius?

Itu baru sebagian resep. Kalau Anda memiliki resep lain yang bagus-bagus, sungguh senang kalau saya diberi tahu. Saya tunggu! ***

-- Dimuat Blessings, November 2005.

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1