Home | Film | Pernik-pernik

Film, VCD, dan Internet

Saya suka nonton film sejak ada bioskop di kota kecamatan saya, Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah. Namun, baru belakangan mencoba-coba menulis tentang film. Semula saya hanya menyinggung atau menggunakan film sebagai bumbu penyedap tulisan-tulisan saya. Selebihnya, film adalah selingan dan hiburan menyegarkan di tengah rutinitas harian.

Kemudian, iseng-iseng saya mencantumkan daftar film favorit di situs pribadi gratisan di Geocities, yang saat itu baru memuat biodata saya. Hanya judul dan nama sutradaranya yang saya cantumkan. Tak dinyana, ada teman yang menanggapi daftar iseng itu karena dari situ ia merasa menemukan acuan untuk mencari film "bermutu".

Merasa tersanjung, saya memutuskan merombak dan melengkapi situs pribadi itu, dan menjadikan film sebagai salah satu segmen yang menonjol. Selain judul dan sutradara, sekarang saya cantumkan komentar-komentar singkat, menyoroti aspek tertentu yang saya anggap menarik. Bisa kutipan dialog yang bernas, adegan tak terlupakan, atau kesan pribadi terhadap film bersangkutan. Lama-kelamaan, tangan ini gatal juga untuk mencoba menulis ulasan yang agak panjang. Sok menjadi kritikus, begitulah. Berlanjut sampai sekarang, dengan tingkat sukses: saya menjadi "kritikus kondang kelas milis" -- lumayan, 'kan?

Paling tidak ada dua hal yang mendukung kegemaran menonton dan mengulas film ini.

Pertama, maraknya peredaran VCD/DVD. Bagi penggemar film sejati, nonton di bioskop tentu jauh lebih nendang ketimbang memelototi secuil layar kaca atau monitor komputer. Namun, dalam kasus saya, yang kini berdomisili di Yogyakarta dengan kondisi perbioskopan yang ketinggalan kereta, bisa nonton VCD/DVD saja sudah patut disyukuri. Dan kalau dihitung-hitung, tidak kurang banyak nilai plusnya. Apalagi bagi penggemar film yang rada snob seperti saya ini. Lagaknya suka mencari film-film klasik, dan bersorak-sorai kalau bisa menemukan film bisu atau film hitam-putih. Gayanya bisa menikmati film-film seni (ada yang menyebutnya: film-film festival), yang selama ini cuma bisa saya baca ulasannya di koran atau majalah. Pura-puranya pengin meluaskan wawasan, dengan menontoni bukan hanya produk Hollywood, melainkan kalau bisa mencicipi film-film dari Brasil, dari Jerman, dll. Sejumlah persewaan VCD/DVD ternyata tanggap dengan kecenderungan ini. Jadilah, dengan kesabaran menanti dan keuletan mencari, saya berhasil menemukan berbagai film "antik".

Kedua, perkembangan internet. Dengan informasi yang melimpah-ruah, internet dapat meladeni kemelitan saya akan referensi seputar film. Di situ saya bertemu dengan, antara lain, Roger Ebert (Chicago Sun-Times), Tim Dirks (Greatests Film), Jeffrey Overstreet (Looking Closer), Steven D. Greydanus (Decent Films), David Bruce (Hollywood Jesus), James Berardinelli (ReelViews), dan Pauline Kael (New Yorker). Di situ saya bisa mengintip Sight & Sound atau Senses of Cinema, atau mengubek-ubek IMDb.com. Dari berkelana menjelajahi cyberspace ini, setidaknya dua manfaat yang saya kantungi. Pertama, saya mendapatkan bahan pertimbangan, film mana saja yang kiranya layak ditonton. Kedua, di situlah saya bisa "bersekolah" untuk lebih mengerti seluk-beluk dunia film dan belajar menulis ulasan. Jadinya bisa sok jago kalau mengulas suatu film.

Nah, film itu sendiri, menurut saya, terutama adalah sebuah cerita, bukan khotbah atau pidato yang instruktif. Film, dengan demikian, membuka ruang untuk tafsir majemuk dan keleluasaan untuk berdialog. Ia, seperti halnya karya seni lain, layak digeluti secara intens. Paling tidak, ia asyik banget untuk dijadikan bahan obrolan.

Melalui internet pula, saya menemukan tempat berbagi, ruang ngobrol yang sungguh nyaman dan demokratis: milis dan message board. Begitulah, selain memajang ulasan di situs pribadi dan berbincang via japri, saya pun bergabung dengan sejumlah milis, ikut nimbrung arus pembicaraan di dalamnya. Anda yang biasa berkelana di dunia maya bisa menjumpai saya antara lain di CineFriends, cinemagsforum, indomovie, radioliner dan musyawarah-burung -- semuanya di yahoogroups. Selain itu, LayarPerak.com juga meloloskan sejumlah ulasan saya. Beberapa bulan lalu, ketika Majalah Bahana membuka rubrik "Film", saya lumayan rutin diminta mengisinya. Semuanya itu saya anggap sebagai arena pembelajaran untuk mengasah kecakapan dan memperdalam wawasan.

Sepanjang pengamatan saya, film-film yang bagus bukan hanya menyajikan cerita yang menarik dengan teknik yang menawan, namun juga mengandung butir-butir kebenaran yang kerap tak terduga. Film-film itu tidak menyodorkan jawaban yang gampangan dan praktis, namun malah menantang dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong kita untuk memahami dunia, sesama, dan boleh jadi bahkan Sang Pencipta, secara lebih dalam lagi.

Karenanya, sebagai penikmat film, saya mencoba merefleksikan lebih jauh kisah yang terpapar pada layar. Jadi, meskipun di sana-sini saya berlagak menyoroti sisi teknis sebuah film, tulisan yang saya kumpulkan ini cenderung reflektif. Bukannya mau sok filosofis, namun saya rasa dalam aspek inilah setiap orang bebas buka suara. Tanpa perlu menjadi pakar perfilman, setiap orang tentu memiliki kesan pribadi terhadap film yang ditontonnya, dan leluasa untuk mengobrolkannya dengan sesama penggemar. Seorang teman berkomentar, "Kalau gue sih lebih suka baca review orang awam. Abis lebih gampang dimengerti dan mungkin lebih jujur.. soalnya gak pake teori-teori sih!"

Semangat itulah yang coba saya tawarkan melalui buku ini: sebuah obrolan. Syukur-syukur kalau obrolan ini bisa menyumbangkan cara pandang lain atas film bersangkutan, yang kiranya bisa memancing dialog dan refleksi lebih lanjut.

Pendekatan ini, tentu, ada plus-minusnya. Karena bersifat reflektif, pembicaraan kadang-kadang tak terelakkan memuat bocoran. Kalau Anda terganggu dalam hal ini, ya sebaiknya menonton dulu filmnya sebelum membaca ulasannya. Namun, mungkin justru ada pembaca yang sekadar ingin tahu nilai-nilai inspiratif sebuah film -- nah, kiranya tulisan-tulisan ini bisa menjawabnya. *** (27/07/2005)

Artikel ini adalah draft "Prakata" untuk Obrolan Tukang Nonton: Dari Charlie Chaplin Sampai Mengejar Matahari, naskah saya yang tengah menunggu penerbit.

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1