Nyanyian, Musik dan IbadahCatatan Pribadi dan Kontroversi dari Abad ke Abad"Hanya satu hal yang saya tidak tahan. Tepuk tangan. Menyanyi sambil bertepuk tangan selalu membuat saya teringat pada Pramuka," papar seorang bapak yang berjemaat di GKI, mengakui kesulitannya mengasosiasikan tepuk tangan dan kemeriahan dengan penyembahan kepada Tuhan. Namun, ia mendukung putri tunggalnya yang berjemaat -- dan bahkan menjadi pemain keyboard -- di sebuah gereja bercorak kharismatik. Bapak dan putri tunggalnya tadi barangkali mewakili dua generasi Kekristenan yang ada saat ini, khususnya dalam hal bentuk dan corak tata ibadah. "Koeksistensi damai" di antara mereka menggambarkan fenomena yang menarik dalam perkembangan musik gereja di Indonesia. Sepuluh tahun yang lalu suasana semacam itu belum terbayangkan. Secara pribadi saya sendiri mengalami masa-masa peralihan. Saya dibesarkan di tengah lingkungan GKJ, dan menyimpan kecurigaan terhadap orang-orang Pentakosta yang "suka menangis dan berteriak-teriak" di tengah ibadah mereka. Lagu-lagu "resmi" yang kami nyanyikan dalam ibadah Minggu sudah tercantum dalam buku nyanyian yang dipasok dari pusat. Lagu-lagu ekstra kami dapatkan antara lain dari artis Kristen yang kebetulan merekam lagu rohani, seperti Julius Sitanggang dan Lex's Trio. Lagu-lagu semacam itu "boleh" dinyanyikan -- dengan iringan gitar atau malah musik kulintang -- dalam sesi hiburan saat perayaan Natal atau Paskah. Pada tahun kedua kuliah saya di Yogya, akhir 1980-an, saya menjadi bagian dari sebuah jemaat "perjanjian baru". Di sinilah saya mulai terpapar pada lagu-lagu yang digolongkan sebagai praise & worship. Buku nyanyian yang dipakai bukan lagi terbitan Yamuger (Yayasan Musik Gereja), namun "Pujian dan Penyembahan" susunan Gerrit Hansen dan buku ketikan jemaat setempat yang difotokopi. Sebagian lagu yang belum diterjemahkan, kami nyanyikan langsung dalam bahasa Inggris. Iringannya mulai dari gitar tunggal hingga band lengkap. Terus terang, saya enjoy. Gelombang KharismatikDi luar pengalaman pribadi tersebut, baru kemudian saya tahu bahwa saat-saat itu memang tengah terjadi semacam pergeseran dalam dunia Kekristenan pada umumnya, dan musik gereja pada khususnya. Praise center, persekutuan doa dan jemaat-jemaat bercorak kharismatik atau "perjanjian baru" mulai merebak. Mengenai gelombang lagu-lagu baru, Bahana No. 1/Th. II mencatat, "Lagu-lagu baru menyerbu persekutuan bahkan kebaktian-kebaktian pemuda. Buku nyanyian yang lama dipensiunkan diganti dengan buku lagu baru yang bentuknya mulai dari cetakan, stensil bahkan fotokopi. Tidak ada not balok atau angka. Cuma syairnya saja. Hingga tidak jarang, sebuah lagu mempunyai berbagai versi. Tergantung ingatan orang yang mengajarkannya." Bahana lalu meminta pendapat sejumlah narasumber, antara lain Danny Tumiwa. "Sejarah lagu gereja mengalami gelombang-gelombang," jelas Danny. "Diawali gelombang Mazmur, lalu Lutheran. Lantas Bala Keselamatan muncul dengan drum band-nya. Selanjutnya Pantekosata [sic!]. Terakhir, sekarang ini masuk gelombang Kharismatik." Ketika dilakukan survei sederhana ke toko-toko kaset, lagu-lagu Ir. Niko Nyotorahardjo dan Mission Singers dilaporkan menempati "urutan teratas". Yang kemudian menjadi bahan pro dan kontra adalah masalah kualitas, penggunaan bahasa dan daya tahan lagu-lagu baru tersebut. Yang kemudian menjadi bahan pro dan kontra adalah masalah kualitas, penggunaan bahasa dan daya tahan lagu-lagu baru tersebut. Sebagian kalangan menyatakan skeptis dan menganggap kecenderungan ini sebagai mode yang akan segera surut dengan sendirinya. Sampai ke PelosokSekarang, satu dekade lebih telah lewat. Nah, bagaimana kabar musik pujian-penyembahan saat ini? Ketika hal itu ditanyakan kepada Franky Sihombing, ia menyampaikan pandangan bernada optimis. "Saya lihat sekarang ini mulai ada banyak keterbukaan di dalam gereja tentang batasan-batasan yang dulunya masih menjadi hal-hal yang dianggap tidak boleh namun sekarang batasannya semakin menipis. Jadi musik di dalam gereja menurut pengamatan saya, bisa berkembang lebih baik." Perkembangan musik praise & worship di Indonesia tak ayal mendapatkan pengaruh dari Barat. Adapun pengaruh ini mengalami pergeseran tersendiri. Kalau dulu yang menjadi 'kiblat' adalah Hosanna! Music dengan pemimpin pujian seperti Don Moen dan Ron Kenoly, belakangan ini 'kiblat' itu tampak bergeser ke Hillsongs dari Australia dengan pemimpin pujian Darlene Zschech. Sydney Mohede, creative manager True Worshippers Production, mengakui kuatnya pengaruh tersebut. "Setelah saya keliling-keliling Indonesia, di tempat yang pelosok pun, lagu-lagu dari Don Moen, Hillsongs ada di sana," paparnya. Di Indonesia sendiri, pergeseran juga terjadi. Setelah era Ir. Niko, kemudian muncul nama-nama seperti Roni Daud Simeon dan Welyar Kauntu sebagai pemimpin pujian. Kelompok musik seperti VOG, GMB dan True Worshippers lagu-lagunya banyak yang dipakai dalam pujian-penyembahan di gereja. Analasis komprehensif tentang perkembangan ini patut kita serahkan ke pakar musik gereja yang lebih kompeten. Namun, cukuplah dikatakan bahwa setelah satu dekade lebih, yang surut adalah kontroversi yang semula terjadi. Musik pujian-penyembahan akhirnya diterima oleh kalangan yang kian luas, seperti antara lain terwakili oleh bapak dan putrinya tadi. Selalu KontroversialBila hendak disimpulkan, tampaknya kita hanya mengulang sejarah. Inovasi dan kontroversi serupa telah berlangsung sepanjang perjalanan gereja. Seperti dikemukakan oleh Elmer Towns dan Warren Bird, "Kebanyakan inovasi dalam penyembahan yang saat ini diterima secara luas di gereja-gereja sebenarnya sangat kontroversial pada saat pertama kali diperkenalkan." Karena itu, cukup menarik kalau kita menyusuri lorong sejarah. Mereka telah menyusun suatu daftar, dengan diimbuhi suatu dialog fiktif sebagai penjelas, tentang berbagai silang-pendapat di seputar musik dan ibadah dari abad ke abad. Bangun, Sayang, sudah hampir tengah malam. Kita harus ke gereja.
Jauhkan seruling itu dan buang itu terompet. Memangnya kita ini orang kafir?
Himne berirama dan bisa untuk berbaris? Bisa-bisa jadi duniawi kita!
Jemaat terlalu banyak menyanyi. Tak lama lagi pemimpin biduan bisa kena PHK, nih!
Penampilan solo oleh orang awam? Aku ini datang untuk menyembah Tuhan, bukan manusia.
Bosan, kau bilang? Suatu hari nanti seluruh dunia akan mendengarkan para biarawan ini menyanyi.
Betapa sombongnya musisi yang menganggap lagu-lagu baru mereka lebih baik daripada lagu yang sudah kita nyanyikan selama sekian generasi.
Himne bersajak? Lagu penyembahan harusnya berbeda dari nyanyian anak-anak sekolah.
Kekacauan amburadul ini akan menghancurkan gereja.
Jangan coba-coba memainkan himne itu -- biarkan musisi profesional yang melakukannya.
Keras banget suaranya, dan musiknya menenggelamkan liriknya.
Mereka mau kita menyanyi dalam bahasa masa kini. Bukankah perkataan Allah seharusnya lebih spesifik dari itu?
Sekarang mereka memasukkan kata-kata rohani ke dalam lagu yang populer di teater.
Oke, pria menyanyikan bait 2, wanita bait 3, dan organ bait 4.
Anak-anak kita akan bingung dan tidak lagi menghormati Alkitab sebagai buku yang diilhamkan.
Ini sudah tidak seperti musik gereja lagi.
Gelombang udara itu wilayahnya Iblis.
-- Dimuat di Bahana. © 2004 Denmas Marto |