Home | Artikel

Dilema Istri Bekerja

Waktu kecil aku sempat heran membaca isi kolom pekerjaan dalam biodata ibuku di kantor kelurahan. Di situ tercantum "Ibu RT." Wah, sejak kapan ibuku jadi Ketua Rukun Tetangga, pikirku. Saat itu, isian yang biasa kutemukan pada kolom tersebut adalah "ikut suami." Baru kemudian aku tahu, "RT" di situ maksudnya "Rumah Tangga." Rupanya "ibu rumah tangga" dihitung sebagai pekerjaan tersendiri.

Kenyataannya, ibuku bukanlah melulu ibu rumah tangga. Saat ayah pensiun, kami membuka warung kecil di rumah, dan ibulah "manajer"-nya. Jadi, bisa dibilang, aku ini dibesarkan di tengah keluarga dengan suami dan istri yang sama-sama bekerja.

Fenomena suami-istri bekerja sebenarnya memang bukan barang baru di tengah masyarakat kita. Namun, belakangan ini muncul sorotan khusus terhadapnya. Aspek yang kerap dipersoalkan adalah, perlukah (atau bolehkah) istri bekerja? Kalau istri bekerja di luar, bagaimana perannya sebagai ibu rumah tangga? Bagaimana pula dampaknya terhadap pengasuhan anak?

Sejumlah narasumber yang berhasil ditemui BAHANA mengakui kejamakan fenomena ini. Mereka tidak terlalu mempersoalkan masalah boleh atau tidak boleh, melainkan bagaimana menyiasatinya bagi kerhamonisan keluarga.

Masalah boleh atau tidak boleh, menurut Pendeta Yahya Wijaya, muncul karena orang Kristen membaca Alkitab secara biasa jender dan mengesampingkan prinsip yang prinsipiil.

"Ketika Paulus berbicara hal-hal yang prinsipiil, dia mengatakan dalam Galatia 3, di dalam Yesus tidak ada laki-laki, tidak ada perempuan, tidak ada Yahudi, tidak ada Yunani. Jadi, pada prinsipnya, diskriminasi jender tidak ada," jelasnya.

Ia memberi contoh, "Pada praktik pelayanan kita mengenal dalam gereja Perjanjian Baru ada nabi-nabi perempuan. Lalu, salah satu tokoh yang menjadi rekan penginjilan Paulus adalah Lidia, seorang pedagang kain. Tentu saja dia melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan oleh penginjil yang laki-laki."

Handoyo Gunawan mengingatkan, idealnya memang suami berperan sebagai provider (penyedia), protector (pelindung) dan loving leader (pemimpin yang penuh kasih); adapun istri menjalankan fungsi nursery (pengasuhan anak).

"Cuma, dengan keadaan saat ini, kita ngga bisa menutup mata bahwa kadang-kadang ada yang tidak cukup kalau cuma laki-laki yang bekerja. Maka, saya bisa setuju. Artinya, wanita juga bisa bekerja," katanya.

Betapapun, aspek pengasuhan anak harus benar-benar dipertimbangkan. Dulu, saat kebersamaan keluarga masih kental, kalau ayah-ibu bekerja, kerabat dekat bisa membantu mengawasi anak. Sekarang, dengan maraknya keluarga inti, anak cukup diserahkan pada pembantu.

"Pembantu memang bukan orang yang tepat untuk melakukan tugas itu. Jadi, orang tua harus tetap mengatur waktu sedemikian rupa, supaya anak jangan jadi korban," kata Pendeta Yahya.

Dalam hal ini, Hanny Layantara menyarankan, istri baru bekerja bila anak-anak sudah bisa ditinggal. Kalau tidak, mencari pekerjaan paruh waktu atau pekerjaan yang bisa disambi di rumah.

"Kalau anak-anaknya masih terlalu kecil, kasihan masa pertumbuhannya. Dari umur 1 bulan sampai 5 tahun itu 'kan masa yang sangat kritis bagi pembentukan karakter seorang anak," jelasnya. "Bayangkan kalau anak ini diasuh oleh seorang pembantu atau oleh seorang suster yang karakternya bukan karakter Kristus."

Yang kerap mencemaskan memang gejala "ayah-ibu sibuk bekerja, anak kurang diperhatikan." Kondisi ini ditengarai sebagai pemicu utama maraknya kenakalan anak-anak dan remaja.

Menurut Hanny, yang diperlukan adalah keseimbangan. "Keseimbangan itu penting untuk rumah tangga. Waktu untuk keluarga, waktu untuk Tuhan, waktu untuk pelayanan, waktu untuk olahraga, waktu untuk bekerja, tidur, kita pikirkan semua." *** (Wawancara oleh wartawan Bahana/batal dimuat)

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1