Home | Artikel

Pelayanan Gereja di Tengah Bencana

Musibah tsunami yang melanda Banda Aceh dan Sumatera Utara serta sejumlah negara di Asia dan Afrika, tepat satu hari setelah Natal 2004, mengubah suasana perayaan menyongsong tahun baru menjadi masa perkabungan nasional, dan bahkan internasional. Menurut perkiraan Sekjen PBB Kofi Annan, rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah korban akan membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun. Gereja dan orang-orang Kristen pun, bergandeng tangan dengan berbagai komponen bangsa lainnya, ikut terlibat dalam proyek kemanusiaan ini.

Pelayanan sosial memang bukan barang baru bagi tubuh Kristus. Kita akan menengok potret pelayanan gereja pada abad-abad awal.

Di tengah dunia yang masih kekurangan pelayanan sosial saat itu, orang-orang Kristen dikenal sebagai para penjaga saudara. Pada akhir abad kedua, Tertullian menulis bahwa sementara kuil-kuil kafir menggunakan derma "untuk perayaan dan bermabuk-mabukan", orang Kristen menggunakan dana mereka untuk "menyokong dan memakamkan orang miskin, memenuhi kebutuhan anak-anak yang kekurangan atau yatim-piatu, serta merawat orang-orang lanjut usia."

Dalam sepucuk surat kepada uskup Antiokhia pada tahun 251, uskup Roma menyebutkan bahwa "lebih dari 1.500 janda dan orang-orang yang stres" dirawat oleh jemaatnya.

Pengakuan akan kedermawanan orang Kristen ini juga disampaikan oleh orang non-Kristen. "Orang-orang Galilea yang tidak beriman itu bukan hanya menyantuni orang-orang miskin mereka sendiri," keluh kaisar Julian yang tidak percaya kepada Tuhan [menurut orang Romawi, orang Kristenlah yang tidak bertuhan!], "namun juga orang-orang miskin kita."

Kesediaan orang-orang Kristen untuk mempedulikan orang lain terlihat secara dramatis sewaktu dua wabah hebat melanda Kekaisaran Roma. Wabah pertama berawal pada tahun 165 dan yang kedua pada tahun 251. Tingkat kematian melonjak lebih dari 30 persen. Orang-orang kafir berusaha tidak bersentuhan dengan orang-orang yang terkena penyakit itu. Tidak jarang mereka melemparkan orang yang masih hidup ke dalam selokan. Orang-orang Kristen, sebaliknya, merawat orang-orang sakit itu. Sebagian sampai meninggal akibat tertular penyakit.

Buah dari upaya ini sungguh dramatis. Saat ini kita tahu bahwa perawatan dasar -- cukup hanya memberikan makanan dan minuman pada korban tanpa disertai obat-obatan -- akan dapat menurunkan angka kematian saat wabah sampai dua pertiganya.

Situasi bencana nasional saat ini merupakan kesempatan khusus bagi gereja untuk melanjutkan tradisi tersebut. Mungkin pelayanan yang kita lakukan tampak tidak berarti bila dibandingkan dengan masifnya bencana. Namun, kita bisa belajar dari pelayanan Tuhan Yesus.

Tuhan Yesus tergerak menyaksikan orang banyak yang telantar seperti kawanan domba tanpa gembala. Namun, Ia menjamah dan menyembuhkan orang satu per satu. Sikap seperti itu pula tampaknya yang Tuhan kehendaki dari kita. Pelayanan sekecil apa pun yang dapat kita lakukan, yang kita lakukan sebaik-baiknya dan dengan setulus-tulusnya, toh akan mendatangkan perubahan juga. ***

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1