Home | Artikel

Dari Daerah Perbatasan

Awal perkembangan penyebaran Injil di Indonesia, dan di Jawa khususnya, tidak lepas dari kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda, penguasa pada waktu itu. Pada mulanya, para pendeta Belanda lebih memperhatikan pelayanan untuk jemaat Belanda dan kurang serius melakukan pemberitaan Injil kepada masayarakat bumi putera. Meskipun demikian telah ada usaha untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu (oleh Ds. M. Leydecker, terbit 1733). Adapun penerjemahan ke dalam bahasa Jawa dikerjakan oleh Bruckner, selesai tahun 1823, namun tidak sempat beredar di Jawa karena kemudian pecah Perang Diponegoro. Perang ini, dan juga Perang Padri yang meletus di Sumatera Barat pada waktu hampir bersamaan, sedikit banyak diwarnai penolakan terhadap Kekristenan yang pada saat itu diidentikkan dengan "agama penjajah."

Seusai Perang Diponegoro, pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan yang melarang pemberitaan Injil di kalangan masyarakat yang telah menganut ajaran Islam. Pemberitaan Injil di wilayah tertentu dapat dilakukan hanya bila ada izin dari Gubernur Jenderal. Dalam situasi ini, Yogakarta termasuk daerah terakhir yang dirambah Injil.

Jogja mulai disentuh Injil pada waktu Pendeta Jakob Wilhelm bertugas di wilayah Karesidenan Bagelen, Tegal dan Pekalongan. Jemaat mula-mula bertumbuh di Prangkokan yang berada di perbukitan Menoreh, di daerah perbatasan dengan Bagelen. Mereka menerima kabar baik ini dari kesaksian orang-orang Kristen di Jelok dan Bulu yang termasuk wilayah Bagelen, Purworejo. Orang-orang Prangkokan ini bila pergi ke Jogja tak lupa bersaksi tentang Juruselamat. Dari sini, tumbuhlah jemaat baru di desa Kebonagung.

Wilayah barat daya Jogja juga mulai diterobos berita Injil. Tahun 1885, mulai berkembang kumpulan orang-orang yang percaya pada Tuhan Yesus di desa Selong dan Temon. Dari sini, kabar keselamatan pun menembus ke kota Jogja, dan bahkan pada tahun 1886 ada salah seorang kerabat Paku Alam yang mengaku percaya pada Yesus Kristus, namanya R.M. Ario Nototaroeno. Ia menerima kesaksian tentang Kristus dari salah seorang abdinya, Elijah, orang Kisten dari Selong.

Pekabaran Injil di Jogja tak ayal menjumpai berbagai hambatan karena memang belum ada izin resmi dari Gubernur Jenderal. Pendeta Wilhelm sempat mengajukan permohonan izin untuk melayani di Jogja, namun ditolak. Ketika orang-orang yang telah percaya pada Yesus itu menghendaki dibaptis, mereka terpaksa untuk sementara waktu pindah ke wilayah Bagelen, dan kemudian dilayani di sana oleh Pendeta Wilhelm.

Ada kalanya mereka harus berurusan langsung dengan pamong praja setempat. Tanggal 11 Juni 1885, di sebuah bukit di tepi Sungai Bogowonto berkibarlah dua helai bendera. Pamong praja menganggapnya sebagai isyarat akan adanya orang yang hendak memberontak. Orang-orang Kristen di Selong pun ditangkap dan kemudian dipenjarakan sekalipun tidak ditemukan bukti-bukti pelanggaran mereka.

Pendeta Wilhelm mendengar kabar itu ketika ia baru saja pulang dari mengunjungi jemaat. Ia pun memutuskan untuk segera ke Jogja melihat keadaan mereka, namun ia tidak dapat menaiki kudanya yang masih letih sehabis dipakai berkeliling. Waktu itu kereta api juga belum ada. Dengan berjalan kaki, perjalanan Purworejo-Jogja memakan waktu selama 48 jam. Ia memberi tahu residen Jogja waktu itu, J. van Baak, yang selanjutnya meminta, agar perkara orang-orang Kristen dari Selong itu diperiksa. Orang-orang itu kemudian dibebaskan, kecuali empat orang laki-laki yang harus mendekam di penjara selama 72 hari.

Namun, orang-orang Kristen ini masing-masing dipermasalahkan oleh pemerintah. Kebaktian Minggu mereka tidak jarang didatangi polisi dan dibubarkan. Atau, mereka dipaksa untuk bekerja bakti pada hari Minggu. Meskipun demikian di wilayah Jogja jumlah orang Kristen terus meningkat.

Pada bulan Juni 1886, Pendeta Wilhelm kembali mengajukan surat permohonan izin untuk mengabarkan Injil di Yogyakarta. Kali ini dengan alasan, jemaat di Yogyakarta menghendakinya untuk menjadi pengajar dan gembala mereka. Undang-undang waktu itu memang telah menjamin kemerdekaan warga untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing. Namun, permintaannya ini tidak diluluskan oleh Gubernur Jenderal O. van Rees.

Akhirnya, jemaat sendiri yang mengajukan permohonan, agar Pendeta Wilhelm diizinkan mengajar dan melayani mereka. Permohonan ini juga ditolak. Namun, Pendeta Wilhelm kemudian diizinkan mengunjungi mereka secara berkala. Pada tanggal 21 Agustus 1889, terdorong oleh belas kasihan, ia membaptis 61 orang Jawa di rumah R.M. Nototaroeno. Mereka inilah orang Jawa yang pertama kali dibaptis di wilayah Yogyakarta.

Peristiwa ini akhirnya sampai ke telinga residen, sehingga Pendeta Wilhelm dipanggil dan diminta mempertanggungjawabkannya. Ia mengaku telah bersalah melanggar perundang-undangan dan bersedia menanggung hukumannya. Namun residen baru ini, pengganti van Baak, namanya Mullemeister, memeriksa lebih lanjut perkembangan Injil di Jogja dan memastikan, tidak ada onar yang diakibatkannya. Akhirnya, ia mengajukan usul kepada Gubernur Jenderal waktu itu, C. Pijnacker Hordijk, agar Pendeta Wilhelm diberi izin untuk memberitakan Injil di wilayah Yogyakarta juga. Gubernur Jenderal ternyata mneyetujui, dan pada tanggal 21 Januari 1891 ia memberikan izin tersebut, meskipun pada mulanya baru berupa masa pencobaan selama setahun. Demikianlah Yogakarta akhirnya terbuka bagi pemberitaan Injil Yesus Kristus. *** (01/1996)

(Sumber: Babad Zending ing Tanah Djawi oleh J.D. Wolterbeek)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1