Home | Artikel

Mewujudkan Impian Tanpa Mengkompromikan Iman

"Aku berdoa biasa-biasa saja. Kata-katanya juga tidak luar biasa. Saya hanya bilang, kalau Tuhan kasih saya sesuatu di AFI, ya saya bersyukur. Tapi kalau tidak, saya akan lanjutkan kuliah. Gitu aja," kenang Ve (22) tentang suksesnya masuk lima besar di ajang AFI pertama.

Sifera Dewi Nazarina, begitu nama lengkapnya, memang tidak menancapkan target muluk-muluk saat mengikuti kontes ini. Ia hanya ingin menambah pengalaman di bidang tarik suara, juga mengenali seni peran dan koreografi.

Sebelumnya, boleh dikata ia belajar menyanyi secara otodidak, dibantu oleh guru Sekolah Minggu. Kegiatan menyanyinya pun hanya berkisar pada acara gereja. Keinginan untuk lebih maju dan mengembangkan bakatlah yang mendorong putri pendeta ini menjajal keberuntungannya.

Keikutsertaannya didukung penuh oleh kedua orang tua. "Mereka hanya menanamkan, agar saya percaya diri, jaga diri dan hati-hati. Pesan orang tua juga adalah supaya banyak berdoa," ungkapnya.

"Kamu punya Tuhan Yesus yang memberi kamu harapan yang luar biasa. Dan kamu sudah dikasih berkat, maka kamu harus bersyukur," tambahnya. Selama dalam "karantina," ia, Icha dan Kia yang seiman saling mengingatkan untuk berdoa dan bersaat teduh.

Apa harapannya setelah ini? "Ya, dapat memberikan yang terbaik untuk Tuhan dan menjadi seorang entertainer yang baik," jawabnya singkat.

***

Pengembangan diri dan aktualisasi diri, itulah tampaknya motivasi Ve -- dan mungkin juga kebanyakan peserta AFI atau program talent search serupa. Hanya saja, ajang ini lebih menitikberatkan pada bidang tarik suara. Bagaimana dengan ajang yang mencakup bidang prestasi yang lebih luas? Kita akan mengambil contoh dari kontes Miss America.

Setiap tahun, kontes Miss America menarik sejumlah besar gadis Kristen untuk ikut bersaing. Kalau kita memeriksa biografi para pemenang di www.missamerica.org dan membuka link ke halaman pribadi masing-masing pemenang, sepertiga pemenang dari tiga dekade terakhir menyampaikan pesan Kekristenan, kesaksian atau undangan untuk menerima Kristus.

Kenapa mereka ini berusaha meraih kemashyuran melalui organisasi sekuler di mana mereka harus berparade di atas panggung dengan mengenakan pakaian renang? Banyak yang terdorong oleh peluang untuk memenangkan uang yang lumayan banyak guna membiayai pendidikan. Ada juga yang melihatnya sebagai kesempatan untuk meraih karier yang sulit untuk ditembus melalui jalur lain.

"Kontes Miss America adalah salah satu dari sedikit panggung yang tersedia bagi remaja Kristen untuk memenangkan beasiswa lumayan, sekaligus kesempatan luar biasa untuk mewujudkan impian mereka tanpa mengkompromikan keyakinan mereka," kata Terry Meeuwsen, Miss America 1973.

Tara Dawn Holland Christensen, Miss America 1997, mengatakan, pemenang kontes ini diamati bukan hanya selama setahun, namun sepanjang hidupnya. "Tidak ada acara lain yang pengaruhnya begitu besar bagi seorang wanita," kata Christensen. "Ketika mengikuti kontes dulu, saya sama sekali tak berpikir tentang gelar, uang atau glamour-nya. Saya sadar ini kesempatan untuk memberikan pengaruh dalam bidang apa saja, mulai dari pemberantasan buta huruf sampai berpantang seksual. Gelar itu membuat orang mendengarkan apa yang hendak Anda sampaikan."

Pengalaman Erika Harold, Miss America 2003, malah terhitung kontroversial. Erika, seorang Kristen yang saleh, menyatakan setelah meraih gelar tersebut bahwa ia akan menggunakan satu tahun masa tugasnya untuk mempromosikan perlunya berpantang seksual bagi remaja. Namun, penyelenggara Miss America ternyata tidak menyetujuinya. Kemudian, setelah sempat muncul kontroversi, mereka mengubah keputusan itu, namun meminta Erika berjanji untuk membungkus pesannya dalam tema yang secara politis lebih patut (politically correct), yaitu "kekerasan remaja."

Saat kuliah di Universitas Illinois tahun 2001, Erika Harold mengalami krisis iman. Ia bukan hanya dua kali gagal meraih gelar Miss Illinois, namun ia juga merasa pesan yang dipilihnya itu membuatnya gagal memperoleh beasiswa dari kompetisi tersebut. Harold ingin melanjutkan ke sekolah hukum setelah lulus, namun kekurangan dana membuatnya pesimis.

"Saya merasa seakan-akan setiap kali saya berdiri bagi iman saya, saya bukan hanya tidak dihargai, namun saya juga kehilangan berbagai hal," katanya. "Saya tidak merasakan hadirat Allah dalam hidup saya seperti yang saya bayangkan."

Harold berpaling pada ayahnya, yang menolongnya membahas serentetan pertanyaan yang dimilikinya tentang Alkitab. Pendetanya di Urbana First Assembly of God juga memberinya buku-buku karangan Charles Colson dan C.S. Lewis untuk membantu menjawab kegelisahan imannya. Akhirnya, Allah meneguhkan keberadaan-Nya kepada Harold ketika ia dengan tekun mencari Tuhan melalui doa. Ia juga menyadari bahwa iman menuntutnya untuk aman dalam kedaulatan Allah, sekalipun keadaan sekeliling seperti memusuhinya, membingungkan dan meragukan. "Allah mengatakan pada Ayub bahwa Ia tidak akan memberinya seluruh jawaban dan ia tidak berhak untuk menuntutnya," kata Harold.

Ia kemudian menjadi Miss America 2003 pada umur 22 tahun. Ini membuatnya menyadari penentuan waktu Allah. Ia mengatakan, kalau ia memenangkan gelar tersebut pada umur 19 tahun ketika pertama kali mengikuti kontes itu, imannya yang goyah tidak akan mampu menopangnya dalam menghadapi sorotan publik. Namun, melalui ketabahannya melewati berbagai keadaan sulit, termasuk pelecehan seksual dan rasial saat masih remaja, Harold (ayahnya kulit putih dan ibunya keturunan orang kulit hitam dan Indian Amerika) tidak lagi gampang diguncangkan.

Nyatanya, dunia glamour memang membentangkan tantangan tersendiri bagi orang beriman untuk menjadi terang dan garam di dalamnya. *** (Sumber: Laporan Eman, Jakarta dan Christianity Today)

Dimuat di Bahana, Mei 2004

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1