Home | Artikel

Mereka Memerlukan Dukungan Kita

Sekian tahun lalu, kita lebih sering menjumpai dua jenis orang tua tunggal: akibat perceraian, atau karena salah satu pasangan meninggal dunia terlebih dahulu. Belakangan ini, muncul jenis yang lain lagi: orang tua tunggal (biasanya perempuan) tanpa pernikahan. Skenario detilnya bisa bervariasi, namun begitulah: mereka adalah perempuan lajang yang sudah harus mengurus anak kandung mereka.

Di gereja kami ada beberapa perempuan muda yang mengalami hal tersebut. Semula kami melibatkan mereka dalam kelompok sel keluarga. Nyatanya, tidak jarang mereka jadi seperti disisihkan, bukannya dirangkul, khususnya saat kami membahas topik-topik seputar hubungan suami isteri. Akhirnya, kami mendorong mereka yang sudah bekerja untuk bergabung dengan kelompok sel pekerja, dan mereka yang masih kuliah untuk bergabung dengan kelompok sel mahasiswa. Tentu saja, keluarga-keluarga yang lain akan siap menolong kalau ibu-ibu muda ini memerlukan bantuan dalam hal pengasuhan anak.

Ya, bagaimana semestinya gereja menyikapi fenomena ini? Bagaimana kita bisa mengulurkan tangan dan meringankan beban mereka? Bagi para orang tua tunggal sendiri, bagaimana kiat untuk hidup dan membesarkan anak tanpa pendamping? Adakah menikah (lagi) merupakan pilihan terbaik? Tulisan ini akan membahas pertanyaan-pertanyaan ini, terutama dari sudut pandang orang tua tunggal tanpa pernikahan dan akibat perceraian, dengan anak-anak yang masih kecil.

Menghadapi Kesendirian

Hagar, budak perempuan itu, diusir dari rumah Abraham dan Sarah. Ia mengembara seorang diri di padang gurun bersama Ismael (lihat Kejadian 16). Allah mengutus malaikat untuk melayaninya. Anda dapat membaca, dalam keputusasaannya Hagar berseru kepada Allah, "Engkau, Allah yang melihatku" (ay. 13). Ya, Allah melihatnya. Allah mendampingi dan melayaninya. Ia memperlihatkan bahwa para ibu yang menjadi orang tua tunggal mendapatkan tempat yang istimewa di hati Allah.

Setiap orang tua tunggal, seperti halnya Hagar, memerlukan iman yang kuat di dalam Tuhan. Iman inilah yang akan menopangnya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan spesifik dalam kesendiriannya.

Pertama dan terutama, ia perlu mengandalkan Allah untuk memulihkan luka hatinya. Pengkhianatan pasangan atau konflik yang memicu perceraian tentulah meninggalkan luka-luka emosional yang parah. Ia mesti berhadapan dengan kebencian, amarah, rasa dikhianati, ditolak, ditinggalkan. Untuk itu, ia perlu menerima pengampunan Allah, mengampuni diri sendiri, dan mengampuni pasangannya.

Kesembuhan ini bukan hanya perlu bagi dirinya sendiri, namun juga vital bagi anaknya, khususnya dalam hubungan anak itu dengan orang tua yang pergi. Kalau anak itu bertanya, ia akan bisa menjelaskan senetral mungkin, tanpa menjelek-jelekkan pasangannya di mata anak.

Dengan kesembuhan, ia juga akan mampu menerima kesendirian secara sehat. Ia menyadari keterbatasannya, dan dengan demikian ia tidak digayuti oleh rasa bersalah yang tidak perlu dan tidak pula dibebani oleh tuntutan yang tidak semestinya. Orang tua tunggal, misalnya, tidak jarang dikejar-kejar oleh tuntutan untuk berperan ganda. Ini beban yang tidak perlu. Ia harus menyadari bahwa ia memang tidak bisa menjadi ayah dan sekaligus ibu bagi anaknya.

Jaringan Pendukung

"Bagaimana saya bisa membesarkan anak saya seorang diri?" Itulah kegundahan ibu muda yang mestinya masih menikmati masa remaja bersama-sama dengan kawan sebayanya. Kini, hari-harinya disibukkan oleh putri mungil berumur setahun.

Keluarga besar semestinya menjadi jaringan pendukung pertama bagi orang tua tunggal. Di situlah semestinya mereka bisa menemukan pertolongan praktis dan dorongan moril. Di gereja kami, ada ibu muda yang masih tinggal bersama keluarganya; ada pula yang anaknya diasuh oleh kakek-neneknya, dan ia sendiri melanjutkan kuliahnya.

Namun, perceraian dan kehamilan di luar nikah lebih kerap dipandang sebagai aib yang mesti disingkirkan, seperti dialami ibu muda tadi. Dalam hal ini gereja bisa berperan lebih besar. Di gereja kami, beberapa ibu tunggal ikut kos di rumah yang dikontrak bersama oleh beberapa anggota jemaat.

Ya, gereja seyogyanya merangkul para orang tua tunggal, bukannya menutup pintu bagi mereka. Pada perempuan yang memilih mempertahankan kehamilannya meski ditinggalkan oleh pasangannya, misalnya, kita bisa menghargai keputusannya. Ia memilih untuk tidak menumpuk dosa percabulannya dengan dosa pembunuhan. Meskipun susah, ia memilih jalan yang benar.

Anggota jemaat dapat mengulurkan pertolongan praktis seperti membantu menjagakan anak. Komunitas jemaat juga bisa menyediakan sosok panutan bagi anak yang kehilangan salah satu orang tuanya tersebut. Sebaliknya pula, para orang tua tunggal perlu dilibatkan dalam aktivitas dan pelayanan jemaat.

Dan yang terutama, orang tua tunggal memerlukan dukungan moril. Dukungan ini bisa bersifat formal, seperti konseling. Namun, yang informal pun tak kalah pentingnya, yaitu adanya lingkaran sahabat yang dapat dijadikan tempat curhat. Ketika seorang ibu tunggal hendak diwawancarai, penulis mendorongnya, "Semoga kesaksianmu bisa memberkati orang lain."

Orang tua tunggal bisa terperangkap dalam emotional incest dengan anaknya. Ia cenderung mencurahkan segenap perhatiannya pada si anak, namun secara tidak sadar juga menuntut si anak menjadi sumber kebahagiaannya, menjadi "pengganti" pasangannya. Hubungan yang tidak sehat ini bisa dielakkan bila ia memiliki jaringan pendukung yang memadai.

Menikah (Lagi)?

Bagi orang tua tunggal, pernikahan (lagi) merupakan alternatif yang kompleks. Ia harus mempertimbangkan kesiapan pribadinya, apakah sudah sembuh dari luka oleh kegagalan hubungan sebelumnya dan siap membina sebuah hubungan baru. Dengan demikian, pernikahan itu bukan sekadar tempat pelarian.

Selain itu, ia juga harus mempertimbangkan kesiapan anaknya. Menurut Barbara Schiller, direktur eksekutif Single Parent Family Resources, anak-anak yang masih kecil cenderung lebih mudah lengket dengan orang baru, sedangkan anak-anak yang lebih besar bisa membenci orang yang "merebut" waktu dan perhatian Anda darinya.

Menikah (lagi) atau tidak, sungguh menghibur menyadari bahwa Allah mempedulikan orang tua tunggal. Beberapa kisah menonjol dalam Alkitab berkaitan dengan orang tua tunggal. Janda dari Sarfat, pengasuhan Timotius, dan kepedulian Yakobus terhadap anak-anak yatim menggambarkan bahwa dengan penyertaan Allah, tidak mustahil kita membesarkan anak seorang diri.

Penutup

Keluarga dengan dua orang tua memang ideal. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa dampak negatif keretakan rumah tangga akhirnya akan menghancurkan pula sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Paparan di atas lebih mengacu pada berbagai tindakan kuratif, yang bagaimanapun merupakan "pilihan terbaik kedua." Adapun pilihan terbaiknya, gereja perlu gencar dalam menempuh langkah-langkah preventif. Gereja perlu menjadi suara profetis untuk memperkokoh nilai-nilai kehidupan keluarga dan kekudusan hidup di tengah gerusan zaman yang kian permisif ini. ***

Dimuat di Bahana, April 2004

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1