Home | Artikel

Penyembuhan Alternatif:
Antara Dicari dan Dicibirkan

Sebenarnya ia hanya ibu rumah tangga biasa. Pada awalnya ia tidak tertarik dengan kegiatan-kegiatan di bidang medis. Ia tidak tahan melihat orang sakit, apalagi melihat darah.

Namun, ketika suaminya menderita sakit parah, jalan hidupnya berubah arah. Saat itu mereka sudah mengupayakan pengobatan ke mana-mana, namun tak kunjung membuahkan hasil. Lalu, mereka meminta adik suaminya yang berada di Surabaya untuk datang. Adiknya ini, konon, memiliki 'karunia' untuk menyembuhkan orang sakit.

Nah, diadakanlah semacam 'pemilihan' untuk melihat siapa di antara anggota keluarga mereka yang dapat menerima atau meneruskan karunia tersebut. Karena pada dasarnya tidak tertarik, ia sengaja datang terlambat ke acara itu. Di luar dugaannya, acara belum selesai. Dan lebih mengagetkan lagi, begitu si adik ipar melihat dia, iparnya itu langsung berkata bahwa dialah yang dikaruniai talenta tersebut.

"Saya kaget dan berusaha menyangkal. Namun malamnya, saya mimpi bisa menyembuhkan banyak orang dengan ramuan obat-obatan yang saya buat sendiri," tuturnya mengenang peristiwa lima belas tahun lalu.

Semula ia tidak mempedulikan dan berusaha melupakan mimpi itu. Namun selama beberapa hari, ia terus memimpikan hal yang persis sama. Ketika mengutarakan hal itu kepada anak-anaknya, mereka melarangnya mempraktikkan mimpinya. "Takut dianggap dukun," katanya.

Ia pun bergumul dalam doa, "Tuhan, apakah ini dari Engkau atau dari kuasa lain? Jika ini memang dari Engkau, tolong berikan tanda-tanda-Mu."

Malamnya, ia mengaku, Tuhan memberikan tanda. Saat tidur - ia biasa tidur dengan lampu dimatikan - tiba-tiba ia melihat sinar sangat terang yang menyilaukan mata. Ia pun membangunkan suaminya. Anehnya, suaminya tidak melihat sinar itu dan menganggap kamar mereka tetap gelap.

Keesokan paginya ada orang datang ke rumahnya, minta disembuhkan. "Saya heran dari mana ia tahu saya akan bisa menyembuhkan orang," katanya. Orang itu mengatakan, beberapa orang memberi tahu dia. Ibu itu menyuruh tamunya pulang dulu, dan ia pun mulai mempersiapkan ramuan seperti yang diperolehnya dalam mimpi.

Sejak itulah Bu Hartono - demikian namanya - menggeluti dunia pengobatan alternatif. "Sampai sekarang saya menyembuhkan orang dengan ramuan itu," ungkapnya.

Ia telah menyembuhkan banyak pasien dengan berbagai macam penyakit. Tak ayal ibu berusia 61 tahun ini lumayan punya nama di Yogyakarta. Beberapa tokoh terkenal seperti Umar Kayam dan Bakdi Soemanto juga pernah merasakan keampuhan pengobatannya.

Dari Kebutuhan

Kalau Bu Hartono ketiban sampur (terpilih) secara tak terduga, Romo Loogman tergerak oleh kebutuhan masyarakat sekitarnya. Ketika melayani umat di Tegal, ia mendapatkan tugas ke luar kota, sehingga banyak berurusan dengan masyarakat di desa-desa. Dari situlah romo, yang masuk seminari karena kesalahpahaman ibunya, itu melihat berbagai masalah yang dihadapi masyarakat desa, terutama masalah kesehatan. "Bermula dari itulah saya merasa prihatin dan saya ingin sekali membantu masyarakat," tuturnya.

Lain lagi dengan Bapak Suradi dari Nusukan, Solo. Secara sadar ia memilih untuk menjadi dukun guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, yang ikut terkena imbas krisis pertengahan tahun 1997 lalu. "Mas, saat itu saya sungguh frustasi dengan utang yang sungguh besar. Utang saya ada di mana-mana," akunya kepada BAHANA.

"Saya dikenal sebagai tukang pijat yang selalu berhasil untuk menyembuhkan dan menolong pasien. Di kampung ini apabila ada orang yang keseleo atau jatuh, mereka pasti mencari saya untuk dipijat atau diurut. Dan, orang yang saya urut atau saya pijat pasti sembuh. Nah, dari sinilah saya mulai berpikir untuk mencari uang dengan cara ini," paparnya lebih lanjut.

Saat ini ia membuka praktik dengan "biaya terjangkau dan pelayanan memuaskan." Ongkosnya? "Mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 1.000.000," jawabnya.

Langsung Tahu

Lalu, bagaimana sebenarnya para 'tabib' ini menangani pasiennya?

Bu Hartono mengandalkan ramuan yang diperolehnya dari mimpi tadi. "Ramuan itu saya buat setiap seminggu sekali, yaitu pada hari Sabtu," jelasnya tentang ramuan yang antara lain terbuat dari minyak kelapa, bawang dan kunyit. Untuk mendiagnosis pasien, ia cukup mengoleskan minyak pada bagian tubuh yang sakit. Ia mengaku bisa langsung tahu penyakit si pasien. Bagaimana mengetahuinya? "Nah, itu yang sulit dimengerti. Saya tidak merasakan sakitnya, tapi saya tahu dia sakit apa. Dengan mengolesi bagian yang sakit dengan minyak, saya bisa melihat apa yang terjadi di organnya itu," urainya.

Romo Loogman, yang berpraktik sejak 1972, menyesuaikan media pengobatannya dengan kondisi orang yang memerlukannya. "Dengan cara sederhana dan saya menggunakan metode logis. Misalnya, mengapa harus menggunakan kunir atau daun sirih? Karena kunir atau daun sirih merupakan antiseptik alami," jelasnya. "Pengobatan yang kita lakukan dari alam, apalagi ditambah didoakan, hasilnya orang bilang manjur. Kita melihat segala penyakit dengan pikiran jernih."

Bapak Suradi, sebaliknya, langsung bersentuhan dengan dunia mistis. Oleh temannya sesama paranormal, ia disarankan untuk meningkatkan ilmu, menambah kesaktian, dengan tidur di kuburan secara rutin.

"Di kuburan tersebut, saya berdoa memohon kekuatan roh-roh untuk memberi kesaktian. Saya akui, hal ini berhasil, terbukti dengan kemampuan saya untuk menolong banyak orang dalam mengatasi berbagai penyakit dan pergumulan mereka. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, saya dapat memberi solusi yang tepat bagi persoalan mereka. Mungkin melebihi pendeta, lho," cetusnya disusul derai tawa.

Ia juga mengandalkan beberapa keris sakti miliknya, yang harus 'diberi makan' setiap hari. "Apabila terjadi sesuatu, atau ada pasien yang datang, keris ini pasti berbunyi seolah-olah hendak mengisyaratkan sesuatu," kata bapak dua anak ini.

Pertanggungjawaban Medis

Pengobatan alternatif, betapapun, merupakan fenomena yang masih kontroversial. Di satu sisi, tidak jarang ia dijadikan pilihan sewaktu pengobatan medis tidak menolong lagi. Namun, di sisi lain, pengobatan jenis ini juga kerap dipertanyakan, dan bahkan dicibirkan.

"Ya, itu memang sering saya alami, bahkan dari saudara seiman," kata Bu Hartono.

Ibu, yang dulunya aktif dalam sejumlah organisasi wanita, ini juga mengaku tidak tahu-menahu tentang masalah medis. "Saya hanya ikut petunjuk dari Tuhan saja," katanya. Namun, ia tidak segan-segan menyuruh pasiennya memeriksakan diri ke dokter untuk menegaskan kesembuhannya.

Sebaliknya, Romo Loogman justru mengklaim bahwa pengobatannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

"Sebelum saya berpraktik, saya memang sudah pernah mengikuti kursus di bidang kedokteran selama empat tahun dan saya terus bekerja sama dengan kedokteran. Di departermen kesehatan saya mendapat pengakuan tersendiri dan terdaftar. Saya mempunyai kurang lebih 21 orang asisten yang saya ambil khusus dari kedokteran.

Maksud semua ini adalah menghilangkan penilaian-penilaian yang negatif dari masyarakat - ini perjuangan selama kurang lebih 25 tahun - dan supaya masyarakat mengetahui bahwa kelompok saya adalah kelompok medis," tandas romo yang berpraktik di Puworejo, Jawa Tengah, ini.

Ia bahkan menyayangkan kelambanan pihak medis dalam menangani bukti dan analisis yang disodorkannya.

Dari Tuhan?

Bagaimana pula pertanggungjawabannya secara teologis?

Bapak Suradi menyebut keterlibatannya dalam dunia pengobatan alternatif sebagai "kejatuhan". Mantan aktifis gereja ini mengaku terus-menerus diliputi rasa bersalah. Selama ini ia tidak pernah lagi ke gereja atau bersekutu dengan Tuhan. Istrinya sendiri, yang masih aktif dan setia melayani Tuhan, berulang-ulang mengingatkannya, namun ia mengabaikan teguran itu.

"Kadang-kadang sih saya ingin kembali ke jalan Tuhan. Tetapi, dengan kondisi ekonomi yang seperti ini, apakah saya kuat tanpa mendapatkan penghasilan tetap?" kilahnya terus terang.

Sikap Bu Hartono sangat berbeda. Ibu yang kurang aktif dalam kegiatan gereja ini menganggap karunia itu sebagai pemberian Tuhan. "Saya ini hanya alat-Nya saja, bagaikan bulpen yang digunakan untuk menulis. Si pengguna itu adalah Tuhan sendiri," katanya.

Ia tidak mau terlalu banyak diekspos. Keinginan beberapa media baik lokal maupun nasional untuk wawancara selalu ditolaknya. Alasannya, tidak diperbolehkan Tuhan, ditandai dengan tidak sreg hatinya. BAHANA termasuk yang beruntung dapat mewawancarainya.

"Saya pun tidak tahu kapan harus berhenti. Selama Tuhan masih menggunakan kemampuan ini, saya ya manut wae," tambahnya.

Adapun bagi Romo Loogman, "Segala sesuatu yang ada pada kita tentulah berasal dari Yang Maha Kuasa."

Romo, yang tidak terlalu percaya akan ulah roh jahat sebagai penyebab penyakit, ini memaparkan suatu pengalaman menarik dari masa kecilnya. Teman-temannya mengatakan ia punya 'kepekaan' khusus. Ketika teman-temannya bermain bola dan bola mereka hilang, misalnya, mereka meminta dia mencarikannya. Padahal, waktu bola itu hilang ia tidak sedang bersama mereka. Namun, ia bisa segera tahu di mana bola itu berada dan menemukannya.

"Dan segala sesuatu, menurut saya, dapat dipelajari," lanjutnya, "termasuk cara pengobatan alternatif ini. Tetapi, tergantung kuat atau tidaknya syaraf seseorang. Sebab, kalau tidak kuat, bisa-bisa mengakibatkan orang yang mempelajari ini menjadi gila."

Bagaimanapun, fenomena pengobatan alternatif masih menyisakan pekerjaan rumah tersendiri bagi gereja. Pertama, menyikapi secara kritis dan menguji setiap roh, apakah fenomena itu memang sejalan dengan kebenaran Firman Tuhan. Selanjutnya, alih-alih mencibirkan praktik kontroversial itu, gereja perlu mawas diri: sudahkah gereja menjalankan pelayanan kesembuhan yang dipercayakan kepadanya sebagaimana mestinya. ***

Tulisan ini merupakan rangkuman dari tiga wawancara: Bu Hartono diwawancarai oleh Sari; Romo Loogman diwawancarai oleh Sari dan Wawan; dan Pak Suradi diwawancarai oleh Manati I. Zega.

Dimuat di Bahana, April 2002

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1