Dr.
Tedjo Oedono
Semua Pekerjaan Harus Dilandasi Kasih
Tahun
1998 ia meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dari
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, atas penelitiannya terhadap trauma
kebisingan. Ia menemukan bahwa para pekerja pabrik atau orang-orang yang
sering terpapar oleh kebisingan dalam kesehariannya pada masa tuanya
akan mengalami ketulian. Risiko ini semakin tinggi pada orang-orang
dengan kondisi tekanan kadar gula, kadar lemak dalam darahnya tidak
normal. Ia menganjurkan dilakukan pembatasan jumlah kendaraan dan
larangan membuka saringan kenalpot. Pabrik-pabrik juga dianjurkan untuk
men-service mesin-mesinnya secara teratur. Adapun para pekerja
diwajibkan untuk mengenakan sumbat telinga. Konsumsi makanan yang sehat
dan bergizi juga diperlukan untuk menormalkan kondisi darah. Hasil
penelitiannya ini telah diterapkan di pabrik-pabrik di Yogyakarta dan di
Pertamina. Sayangnya, belum dapat diimplementasikan secara penuh karena
akan membengkakkan ongkos produksi. "Untuk sementara, cukup pakai
sumbat telinga saja," katanya. Ketika
menerima Intra di ruang praktik RS THT Dr. Oepomo di Jl.
Suryomentaram, Yogyakarta, ia baru saja selesai mengoperasi seorang
pasien. Saat itu sudah pukul 22.05 WIB. Pria yang peduli pada kondisi
kesehatan para pekerja yang mengalami trauma kebisingan itu adalah
dokter Tedjo Oedono (56), lahir di Yogyakarta, 5 Oktober 1947. Lulus
dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 1973, ia sengaja
memilih spesialisi THT karena ingin melanjutkan pengabdian pelayanan
kesehatan masyarakat di bidang THT yang telah dirintis oleh orangtuanya.
"Ayah sudah merintis dengan bagus, punya rumah sakit sendiri, punya
alat lengkap, sayang kalau anaknya tidak bisa meneruskan," jelasnya. Rumah
sakit THT Dr. Oepomo itu dirintis ayahnya sejak 1957. Ketika ayahnya
meninggal tahun 1985, ia melanjutkan kepemimpinannya. Ia tergugah
melihat dedikasi ayahnya dalam melayani pasien. "Menolong pasien
malam hari. Pasien yang tadinya tidak ada harapan hidup menjadi hidup,"
kenangnya menceritakan awal ketertarikannya pada dunia kedokteran. Saat
ini ia telah menjadi spesialis THT (telinga, hidung, tenggorokan) yang
banyak dicari orang. Pasiennya bukan hanya dari Yogyakarta, namun juga
berdatangan dari kota-kota lain. Setiap hari praktik ia melayani
rata-rata 80 pasien. Di era yang serba komersil sekarang ini tren
pengembangan karir yang berorientasi pada profit dan kemapanan hidup ini
telah demikian kuat mempengaruhi serta melanda semua profesi, termasuk
profesi dokter. Bahkan di kalangan rekan-rekan sejawatnya di daerah
sudah terbersit pemikiran, jika sudah
berusaha sebaik-baiknya sebagai dokter, melayani pasien dengan kualitas
pelayanan yang terbaik, dan belum berhasil juga, itu isyarat untuk
pindah ke kota lain. Di
tengah pemikiran pragmatis dan materialistis itu dr. Tedjo berkeyakinan
bahwa komitmen kuat untuk menolong pasien itulah yang menjadi alasan
utama dalam menjalani profesinya. Namun ia menyadari bahwa berjiwa
sosial saja tidak cukup, harus didukung dengan kompetensi atau skill
yang memadai serta harus pula diikuti oleh semangat belajar
terus-menerus (tidak mudah puas) dan kemampuan membangun hubungan (interpersonal
skill). Tiga hal itu merupakan perpaduan yang menjadi keunikan
sekaligus menjadi kunci kesuksesan dr. Tedjo. Komitmen Kemanusiaan
Dr.
Tedjo menyadari, bahwa semua pekerjaan harus dilandasi oleh kasih kepada
Tuhan dan sesama, sehingga apa yang diberikan pada pasien adalah yang
paling baik. "Walaupun pasien itu tidak mampu, kita harus
memberikan yang paling baik yang bisa didapatkan dalam ketidakmampuan
pasien tersebut. Misalkan dengan memberikan obat-obat, sistem pengobatan,
sistem operasi yang harganya terjangkau meskipun mungkin tidak terlalu
baik, namun dapat menolong untuk memperpanjang hidup pasien." Komitmennya
terhadap pasien antara lain ditunjukkannya melalui pemilihan obat. Ia
bersikap tegas terhadap distributor obat. Kalau obatnya tidak baik, ia
tidak akan memberikannya pada pasien, sekalipun diiming-imingi "uang
promosi". Sikap
peduli kemanusiaan ini juga diterapkan dalam hubungannya dengan staf dan
karyawan rumah sakitnya. Ia memperhatikan benar kesejahteraan mereka.
"Kalau ada yang sakit, atau anaknya perlu biaya sekolah, ya saya
berusaha membantu." Meningkatkan Kompetensi
Orang-orang
yang dekat dengannya mengenal dr. Tedjo sebagai sosok pekerja keras.
Selain berpraktik di rumah sakitnya sendiri, ia melayani pasien di RSUP
Dr. Sardjito dan RS Bethesda di Yogyakarta. Ia juga aktif sebagai dosen
di Fakultas Kedokteran UGM. Ketika mengambil spesialisasi dulu, ia
bertekad untuk menguasai bukan hanya satu jenis operasi, namun
bermacam-macam operasi. "Saya harus bisa menolong pasien yang gawat
menjadi hidup," cetusnya. Kemauan
belajar yang kuat ini membawanya sampai ke Universitas Kebangsaan di
Malaysia serta Universitas Lomalinda, House Ear Institute dan UCLA di
Amerika Serikat. Selama
di Amerika Serikat, ia melihat betapa seriusnya mereka mempersiapkan
para calon dokter. Untuk praktik operasi, misalnya, dimulai dari
mengoperasi binatang, mayat, baru mengoperasi manusia. Untuk berlatih
suatu jenis jahitan, digunakan boneka. "Bisa sampai puluhan kali,
sampai benar-benar mahir, baru beralih ke jenis jahitan lain." Pengembangan
skill semacam ini yang dilihatnya masih kurang dalam kalangan
medis Indonesia. "Untuk kepintaran sebenarnya kita tidak kalah.
Yang kurang pada kita itu skill dan mentalnya," kata dokter
yang telah menghasilkan 60-an karya tulis ini. Sampai saat ini ia juga terus aktif
mengikuti berbagai kongres dan seminar baik di dalam maupun di luar
negeri. Perkembangan pengetahuan dan teknologi alat kedokteran juga tak
luput dari pengamatannya. Secara khusus ia mendalami masalah alergi,
yang banyak dialami oleh pasien-pasiennya. "Walau
sudah tua, kita harus mau berlatih terus," kata bapak berputeri
tiga ini. Bukan
hanya bagi dirinya sendiri, ia juga tak segan-segan merogoh kocek bila
ada staf rumah sakitnya yang mendapatkan kesempatan untuk belajar atau
mengikuti pelatihan. Interpersonal Skill
Keprofesionalannya
dibarengi dengan kemampuannya membangun hubungan yang baik (interpersonal
skill) dengan banyak orang termasuk pasien-pasiennya. Bila
pelayanannya baik, ia yakin, berita itu akan tersebar dari mulut ke
mulut. Pasien yang puas akan memberi rekomendasi pada teman atau kerabat
lain untuk berobat kepadanya. Di luar itu, ia terus memperluas
pergaulannya. Sebagai peminat otomotif, ia memiliki banyak teman di
kalangan ini. Ia juga aktif dalam komunitas kerohanian. Menurutnya
kemampuan membangun hubungan perlu pula didukung kemampun berkomunikasi
yang baik. "Kalau
hanya pandai, baik sama pasien, tapi kurang pandai lobi (berkomunikasi, red.),
ya akan lama berhasilnya," paparnya.*** Dimuat:
Intra,
Agustus-September 2003 Naskah di atas adalah hasil suntingan redaksi. Draft yang saya kirimkan adalah sebagai berikut: Meningkatkan Skill demi Kepedulian terhadap
Pasien
Like father, like son. Tertarik
pada pekerjaan sang ayah, dr. Tedjo pun mengikuti jejaknya. Ia tergugah
melihat dedikasi ayahnya dalam melayani pasien. "Menolong pasien
malam hari. Pasien yang tadinya tidak ada harapan hidup menjadi hidup,"
kenangnya menceritakan awal ketertarikannya pada dunia kedokteran. Saat ini ia telah menjadi spesialis
THT (telinga, hidung, tenggorokan) yang banyak dicari orang. Pasiennya
bukan hanya dari Yogyakarta, namun juga berdatangan dari kota-kota lain.
Setiap hari praktik ia melayani rata-rata 80 pasien. Ketika menerima Intra di ruang
praktik RS THT Dr. Oepomo di Jl. Suryomentaram, Yogyakarta, ia baru saja
selesai mengoperasi seorang pasien. Saat itu sudah pukul 22.05. Dokter Tedjo Oedono lahir di
Yogyakarta, 5 Oktober 1947. Ia lulus sebagai dokter dari Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 1973. Ia sengaja memilih
spesialisasi THT karena ingin melanjutkan apa yang telah dirintis
ayahnya. "Ayah sudah merintis dengan bagus, punya rumah sakit
sendiri, punya alat lengkap, sayang kalau anaknya tidak bisa meneruskan,"
jelasnya. Rumah sakit itu dirintis ayahnya sejak
1957. Ketika ayahnya meninggal tahun 1985, ia melanjutkan
kepemimpinannya. Relational Skill
Mengikuti jejak sang ayah bukan
berarti bisa ikut membonceng kesuksesannya. Berada di kota Yogyakarta,
yang dianggap sulit untuk berkembang, ayah dan rekan-rekan seniornya
saat itu mengingatkan, paling tidak perlu waktu lima tahun untuk
memantapkan karier. Kalau sudah berusaha sebaik-baiknya sebagai dokter,
melayani pasien sebagai raja, dan belum berhasil juga, itu isyarat untuk
pindah ke kota lain. Pada tahap meletakkan landasan inilah
profesionalitasnya dalam menangani pasien diuji. Bila pelayanannya bagus,
ia yakin, berita itu akan tersebar dari mulut ke mulut. Pasien yang puas
akan memberi rekomendasi pada teman atau kerabat lain untuk berobat
kepadanya. Komitmennya terhadap pasien ini antara
lain mencakup pemilihan obat. Ia bersikap tegas terhadap distributor
obat. Kalau obatnya tidak baik, dia tidak akan memberikannya pada pasien,
sekalipun diiming-imingi "uang promosi". Profesionalitas ini perlu dibarengi
dengan relational skill yang baik. Sebagai orang yang religius, ia
menyadari, "Semua pekerjaan harus dilandasi oleh pada kasih akan
Tuhan dan kasih pada manusia, sehingga apa yang kita berikan pada pasien
adalah yang paling bagus. Walaupun pasien itu tidak mampu, kita harus
memberikan yang paling bagus yang bisa dia raih dalam ketidakmampuan dia.
Kita sebagai dokter harus memberikan obat-obat, sistem pengobatan,
sistem operasi yang semurah mungkin, yang mungkin tidak terlalu baik,
namun menolong untuk memperpanjang hidup dia." Sikap memanusiakan ini juga diterapkan
dalam hubungannya dengan staf dan karyawan rumah sakitnya. Ia
memperhatikan benar kesejahteraan mereka. "Kalau ada yang sakit,
atau anaknya perlu biaya sekolah, ya saya berusaha membantu." Di luar itu, ia terus memperluas
pergaulannya. Sebagai peminat otomotif, ia memiliki banyak teman di
kalangan ini. Ia juga aktif dalam komunitas kerohanian. "Kalau hanya pandai, baik sama
pasien, tapi kurang pandai lobi, ya akan lama terkenalnya,"
paparnya. Meningkatkan Nilai Jual
Orang-orang yang dekat dengannya
mengenal dr. Tedjo sebagai sosok pekerja keras. Selain berpraktik di
rumah sakitnya sendiri, ia melayani pasien di RSUP Dr. Sardjito dan RS
Bethesda. Ia juga aktif sebagai dosen di Fakultas Kedokteran UGM. Ketika mengambil spesialisasi dulu, ia
bertekad untuk menguasai bukan hanya satu jenis operasi, namun
bermacam-macam operasi. "Saya harus bisa menolong pasien yang gawat
menjadi hidup," cetusnya. Kemauan belajar yang kuat ini
membawanya sampai ke Malaysia dan Amerika Serikat. Selama di Amerika
Serikat, ia melihat betapa seriusnya mereka mempersiapkan para calon
dokter. Untuk praktik operasi, misalnya, dimulai dari mengoperasi
binatang, mayat, baru mengoperasi manusia. Untuk berlatihan suatu jenis
jahitan, digunakan boneka. "Bisa sampai puluhan kali, sampai
benar-benar mahir, baru beralih ke jenis jahitan lain." Pengembangan skill semacam ini
yang dilihatnya masih kurang dalam dunia medis Indonesia. "Untuk
otak sebenarnya kita tidak kalah. Yang kurang pada kita itu skill dan
mentalnya," kata dokter yang telah menghasilkan 60-an karya tulis
ini. Sampai saat ini ia juga terus aktif
mengikuti berbagai kongres dan seminar baik di dalam maupun di luar
negeri. Perkembangan pengetahuan dan teknologi alat kedokteran juga tak
luput dari pengamatannya. Secara khusus ia mendalami masalah alergi,
yang banyak dialami oleh pasien-pasiennya. "Walau sudah tua, kita harus mau
berlatih kembali," kata bapak berputeri tiga ini. "Itu semua
supaya nilai jual kita tinggi di muka masyarakat." Bukan hanya bagi dirinya sendiri, ia
juga tak segan-segan merogoh kocek bila ada staf rumah sakitnya yang
mendapatkan kesempatan untuk belajar atau mengikuti pelatihan. Trauma Bising
Tahun 1998 ia meraih delar doktor
dengan predikat cumlaude atas penelitiannya terhadap trauma
kebisingan. Ia menemukan bahwa para pekerja pabrik atau orang-orang yang
sering terpapar oleh kebisingan dalam kesehariannya pada masa tua
mengalami ketulian. Risiko ini semakin tinggi pada orang-orang yang
kondisi (tekanan, kadar gula, kadar lemak) darahnya tidak normal. Ia menganjurkan dilakukan pembatasan
jumlah kendaraan dan larangan membuka kenalpot. Pabrik-pabrik juga
dianjurkan untuk men-service mesin-mesinnya secara teratur.
Adapun para pekerja diwajibkan untuk mengenakan sumbat telinga. Konsumsi
makanan yang sehat dan bergizi juga diperlukan untuk menormalkan kondisi
darah. Hasil penelitiannya ini telah
diterapkan di pabrik-pabrik di Yogyakarta dan di Pertamina. Sayangnya,
belum dapat diimplementasikan secara penuh karena akan membengkakkan
ongkos produksi. "Untuk sementara, cukup pakai sumbat telinga saja,"
katanya. Dengan treatment ini, para
pekerja itu tidak tuli pada hari tuanya, sehingga bisa tetap produktif.
"Kan sayang kalau apa yang dihasilkan, yang ditabung, habis hanya
untuk berobat." *** Foto: Matur nuwun buat Kris
Budiharjo. © 2003 Denmas Marto |