Menyakiti Selebritis
"Sst, Dik Arie, aku punya kaset
kesaksian pertobatan Bapak M, lho. Mau dengar? Ke rumah, yuk!"
ajakan itu disampaikan dengan kegairahan yang tertahan. Dan sekitar satu jam kemudian, saya
pun menyimak dengan penuh perhatian kesaksian dari seseorang yang konon
sebelumnya adalah aktivis radikal non-Kristen. Selama berminggu-minggu
kemudian, kesaksian itu masih menjadi bahan perbincangan hangat di 'kalangan
sendiri', dalam keberadaan kami sebagai minoritas di desa itu. Sekarang, setelah dua dasa warsa lebih,
saya sudah tidak ingat siapa tokoh yang menyampaikan kesaksian itu. Saya
juga tak ingat lagi rincian kisah pertobatannya. Namun, paling tidak
saya masih bisa mengingat-ingat rasa senang (saya tidak yakin apakah 'senang'
adalah deskripsi yang tepat) yang ditimbulkannya. Rasanya seperti kalau
tim Indonesia menggondol Piala Thomas lagi..... *** Barangkali di dalam diri kita
masing-masing, sadar atau tidak, ada sejumput tribalisme. Merasa tak
cukup dengan diri sendiri, kadang-kadang kita mencari perteduhan di
bawah naungan suatu komunitas. Mengidentifikasikan diri dengan komunitas
tertentu. Bilamana terjadi sesuatu yang membuat komunitas bersangkutan 'tampak
hebat', kita pun merasa ikut terangkat. Sebaliknya, kalau komunitas
bersangkutan tercoreng, kita pun merasa ikut terpukul. Secara pribadi, cukup lama saya
mengasosiasikan 'kesaksian' sebagai pengalaman hebat para tokoh terkenal
(saat itu istilah 'selebritis' belum naik daun). Kaset, buku atau
artikel tentang pertobatan mereka diedarkan 'di kalangan sendiri' nyaris
secara klandestin (saat itu media Kristen belum marak seperti sekarang).
Kisah-kisah itu menjadi semacam tonikum bagi orang-orang semacam saya
yang cuma bisa mengelus dada saat memeriksa susunan kabinet dan hanya
menemukan sedikit atau malah tidak ada menteri 'Kristen'. Untunglah (atau sayangnya?), saya
tidak sendirian. Menurut pakar sejarah Daniel Boorstin, sindrom semacam
itu khas abad kedua puluh (dan tampaknya masih berlanjut hingga abad ini).
Boorstin inilah yang mencetuskan istilah 'selebritis', dengan arti
"seseorang yang dikenal karena keterkenalannya." Zaman dulu, nama seseorang tidak akan
bisa dikenal luas kecuali kalau dia memberikan contoh kebesaran dirinya
dalam satu atau lain hal. Namun, sepanjang abad kedua puluh, semakin
lama semakin rancu pengertian antara pemujaan terhadap
selebritis dan pemujaan terhadap
pahlawan. “Kita semua sudah rela disesatkan, sehingga percaya,”
kata Boorstin, “bahwa kemasyhuran – keterkenalan – masih menjadi
tanda kebesaran.” Kultur ini, sedihnya, berkembang pula
di kalangan gereja. Ketika terbetik kabar bahwa seorang selebritis atau
tokoh publik bertobat, tidak lama kemudian ia akan diarak berkeliling,
diminta memberi kesaksian dari gereja ke gereja. Bahwa ada orang
non-Kristen bertobat, itu seperti satu gol ke gawang lawan. Apalagi
kalau orang itu selebritis atau tokoh publik.... *** Dalam
buku Paul Brand, yang ditulisnya bersama Philip Yancey, Diciptakan
dengan Dahsyat dan Ajaib, sebuah analogi memikat antara tubuh
manusia dan Tubuh Kristus, terdapat teguran halus terhadap mentalitas
semacam ini. Ketika membaca uraian dokter bedah ternama ini tentang
fungsi kulit, saya mengendus bahaya yang terkait dengan pemujaan
terhadap selebritis. Kulit
mewakili fungsi penjaga garis depan tubuh Kristus terhadap gesekan dari
dunia. Setiap orang Kristen tak ayal akan berhadapan dengan dunia dan
berperan sebagai kulit, menyentuh dan mengasihi orang-orang di
sekitarnya. Namun, tentu saja tidak setiap orang akan dipanggil ke garis
depan pelayanan. "Kulit bukan tempat bagi pemula.
Itu adalah organ dewasa, diperlengkapi dengan kekebalan tubuh dan sistem
untuk memerangi penyakit," papar Paul Brand. "Orang-orang
Kristen, yang menggebu-gebu ingin membuat Kekristenan 'tampak hebat' di
hadapan dunia yang mengamati, dengan penuh semangat mendorong
orang-orang yang baru bertobat untuk menjadi organ yang terlihat. Banyak
yang belum cukup bijak atau cukup matang untuk menghadapi guncangan itu.
Saya dapat menyebutkan daftar panjang pahlawan-pahlawan olahraga AS yang
pada mulanya sering dijadikan pembicara tamu dalam kalangan atlet
Kristen, dan kemudian mundur, dan saat ini tidak lagi memiliki minat
pada soal-soal Kekristenan." Hm. Dari sudut pandang ini, walaupun
tampaknya ganjil, kita sebenarnya justru sedang menyakiti para
selebritis itu, ya? *** Kesaksian pribadi menempati posisi
yang khas dalam iman Kristen. Robert G. Witty, dalam buku Alkitab:
Fakta Atau Fiksi?, menunjukkan dua kekuatannya.
Pertama, pengalaman itu menjadi penghiburan bagi orang
percaya, dan kedua, pengalaman itu dapat menular kepada orang yang belum
percaya. Alkitab
secara tegas mendorong setiap orang percaya untuk siap sedia
mempertanggungjawabkan pengharapan imannya. Dalam Wahyu 12:11
dikatakan bahwa salah satu senjata untuk mengalahkan Iblis adalah "perkataan
kesaksian mereka". Masalahnya, frasa ini cenderung kita baca secara
subyektif sebagai "perkataan kesaksian mereka,"
bukannya secara obyektif: "perkataan kesaksian mereka." Subyektif
berarti yang ditekankan adalah siapa yang memberikan kesaksian, pengalaman
pribadi orang itu. Dari sinilah merebaknya pemujaan terhadap
selebritis. Kita mengasosiasikan kesaksian dengan pengalaman yang
hebat-hebat, dari orang-orang yang hebat-hebat. Mentalitas ini telah
merampas kehormatan banyak orang percaya untuk bersaksi tentang imannya.
Orang-orang Kristen kebanyakan, yang merasa hidupnya biasa-biasa saja,
dihinggapi inferiority complex, dan enggan untuk bersaksi. Pembacaan
secara obyektif menawarkan perspektif yang lain. Perkataan kesaksian,
dalam bahasa aslinya marturia, mengacu pada berita dan kuasa
Injil, yang berpusat pada dan menunjukkan orang kepada Kristus. Dengan
demikian, ayat ini menggarisbawahi tanggung jawab setiap orang percaya
untuk memberitakan pesan yang telah dipercayakan Tuhan kepadanya. Efektivitas
pelayananan kita ditentukan oleh seberapa baik kita memberitakan Kabar
Baik tersebut. Adapun kualitas pemberitaan kita ditentukan oleh seberapa
baik kita memahami berita itu secara pribadi, dan seberapa baik kita
menghayatinya dalam kehidupan ini. Setiap orang percaya seharusnya
memahami berita itu sejelas-jelasnya dan menjalani gaya hidup yang
sepadan dengan berita tersebut. Dalam
tataran ini, baik selebritis Kristen maupun orang Kristen pada umumnya,
mengalami pergumulan serupa. Mungkin
kita berkilah, "Lho, mereka 'kan sudah biasa disoroti lampu
panggung dan beraksi di depan kamera. Mereka juga sudah tahan banting
diterpa gosip. Jadi, ya wajar dong kalau mereka diminta bersaksi
dan melayani ke mana-mana." Kekeliruan kita adalah menyamakan
panggung hiburan dengan mimbar pelayanan. Mimbar pelayanan memiliki
dimensi tantangan yang jauh lebih berat. Bukan hanya kecakapan dan
kesiapan mental, ada pula syarat-syarat kehidupan moral bagi seorang
hamba Tuhan. Kalau tidak hati-hati, kita akan tergelincir mengulangi
kesalahan Daud, yang mengangkut tabut Allah dengan kereta lembu,
meniru-niru cara orang Farisi. Metode yang berhasil dilakukan oleh
orang-orang dunia, belum tentu efektif – dan tidak jarang justru
berbahaya – bagi Kerajaan Allah. Jadi, bagaimana sebaiknya? Saya ingin mengamini nasihat Dr. Paul
Brand. Ia mengingatkan, "Orang-orang yang baru percaya, yang sangat
rentan terhadap bahaya lingkungan asing mereka, memerlukan perlindungan
untuk mempelajari cara kerja tubuh. Jika rasul Paulus saja, saat pertama
dipanggil, memerlukan waktu panjang untuk merenung, bukankah sudah
seharusnya kita meminta hal yang sama bagi orang-orang Kristen baru saat
ini?" Respon pertama kita bila ada
selebritis atau tokoh publik yang bertobat sepatutnya adalah bersyafaat
bagi mereka. Justru karena mereka selebritis, mereka menghadapi
tantangan tersendiri dari dunia dan lingkungan kerja mereka. Bila tidak
mendapatkan bantuan yang semestinya, mereka akan mengalami kesulitan
untuk bertahan secara rohani. Dimuat:
Bahana,
Agustus 2003 © 2003 Denmas Marto |