Bukan
Masalah Ada atau Tidak Ada
Anda ingat Contact? Novel laris Carl Sagan yang
kemudian diangkat ke layar perak ini merupakan salah satu upaya serius
dan menonjol untuk menjelaskan kemungkinan adanya peradaban lain di luar
bumi. Pakar astronomi yang pernah meraih Pulitzer itu melukiskan betapa
besar skala pekerjaan mencari apa yang diyakini sebagai ET (Extra-Terrestrial).
Sebuah pekerjaan yang bukan saja memerlukan keahlian, namun juga biaya
raksasa. Dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan memang telah berusaha
mengumpulkan data dari penjelajahan ke ruang angkasa. Tahun 1997
Pathfinder berhasil mendarat di Mars dan memancarkan citra-citra
permukaan planet merah itu ke bumi. Pesawat ruang angkasa Galileo juga
terus beredar mengamati planet Yupiter dan bulan-bulannya. Betapapun,
sejauh ini tanda-tanda kehidupan belum terdeteksi. Di kalangan yang lebih luas, kehausan orang dapat terlihat
pada maraknya perhatian terhadap UFO dan alien. Buku-buku, film,
acara teve, situs internet dan pernik-pernik yang berkaitan dengan UFO
dan makhluk luar angkasa terus bermunculan. Belakangan, di Indonesia pun
telah terbit majalah yang khusus mengulas soal UFO. *** Tingginya minat masyarakat ini menunjukkan kehausan kita
untuk mengetahui, apakah manusia bumi hidup sendiri di jagat raya ini.
Bila dicermati, pertanyaan tentang ada tidaknya makhluk luar angkasa
serta bagaimana dampaknya bagi penghuni bumi bukanlah sekadar sebuah
kemelitan ilmiah. Ilmu pengetahuan mungkin bisa membantu memberikan
jawabannya, namun pertanyaan itu sendiri telah merambah ke dalam ranah
filsafat ketuhanan. Mengambil contoh kasus novel Contact tadi, yang
disodorkan oleh ilmuwan humanis tersebut lebih dari sekadar fiksi ilmiah.
Ann Druyan, janda Carl Sagan (Carl meninggal tahun 1996), menjelaskan
latar belakang penulisan novel tersebut. “Saya dan Carl memimpikan
menulis fiksi yang dapat menggambarkan bagaimana kiranya perjumpaan
dengan makhluk cerdas dari luar angkasa itu, sesuatu yang akan
menyingkapkan sebagian dari kemegahan alam yang sebenarnya. Namun, karya
itu juga akan mengungkapkan ketegangan antara agama dan ilmu pengetahuan,
sesuai dengan minat kami terhadap filsafat dan intelektualitas.” Penyelidikan ET, dengan demikian, adalah sebuah pergumulan
filsafat dan intelektual. Dalam ranah ini, pertanyaan yang lebih
esensial bukan sekadar ada tidaknya makhluk itu, melainkan bagaimana
presuposisi kita terhadap umat manusia dan alam semesta ini. Lebih
lanjut, bagaimana pula dampak cara pandang tersebut bagi kehidupan kita. *** Dalam Cosmos, buku nonfiksinya yang tak kalah laris,
Sagan antara lain menguraikan penolakannya terhadap gagasan penciptaan
alam semesta. Ia menggarisbawahi pendapat seorang filsuf India tentang
kemustahilan penciptaan. “Beberapa orang bodoh menyatakan, bahwa Sang
Pencipta menjadikan dunia ini. Ajaran, bahwa dunia ini diciptakan,
adalah kekeliruan yang seharusnya disangkal. Kalau Tuhan menciptakan
dunia, di manakah Ia sebelum dunia dijadikan?... Bagaimana mungkin Tuhan
menciptakan dunia ini tanpa bahan mentah apapun? Kalau Anda mengatakan,
Ia membuat ‘anu’ dulu sebelum menciptakan dunia, Anda akan terus
mundur tanpa ujung pangkal.... Ketahuilah, bahwa dunia ini tidak
diciptakan, sebagaimana halnya waktu, tanpa awal dan tanpa akhir.” Namun, di bagian lain, ia mengakui, “ukuran dan usia
Kosmos jauh melampaui pemahaman manusia biasa.” Bagaimana mungkin
manusia yang tidak berarti di atas planet yang tidak berarti dalam
galaksi yang tidak berarti, membuat sebuah kredo tentang ketiadaan Tuhan? Kesimpulan Sagan menggarisbawahi skeptisme yang digulirkan
oleh humanisme sekuler. Dalam beberapa dekade belakangan ini, kaum
skeptis kembali mengarahkan mata dan telinganya ke angkasa -- bukan
untuk mencari Tuhan, melainkan mengharapkan suatu pesan dari luar
angkasa, dari suatu bentuk kehidupan yang lebih tinggi, untuk
mendapatkan semacam ‘penjelasan’ mengenai cara kerja alam semesta
ini. Mereka berharap, ada sesuatu di luar sana yang dapat memberikan
makna bagi keberadaan kita. Makhluk yang diperkirakan berperadaban lebih
maju ini akan memperkenalkan kecakapan medis, teknis dan arsitektur yang
jauh lebih canggih, sehingga umat manusia mengalami lompatan luar biasa
dalam perkembangan evolusi. Potret pencarian manusia modern itu antara lain terwakili
dalam sosok Ellie Arroway, tokoh utama Contact. Dibesarkan
sebagai anak yang penuh rasa ingin tahu, ia
dihardik gurunya sebagai murid bodoh ketika menanyakan
ketakterukuran bilangan phi. Kepahitan
itu – ditambah kehidupan keluarganya yang tidak harmonis –
mendorongnya kian suntuk menekuni ilmu pengetahuan: satu-satunya hal
yang dianggapnya sanggup memberikan penjelasan
mutlak bagi pertanyaan
yang menggelayutinya selama ini.
Begitu terobsesi dengan ilmu pengetahuan,
hubungan seksual pun dipandangnya sebagai sekadar eksperimen.
Pada sisi lain, kenangan masa kecil
terus menghantuinya dalam berhubungan
dengan rekan-rekannya. Inikah yang mendorongnya menekuni
SETI? Gagal di bumi, ia pun berusaha menengadah ke langit. *** Sekarang, bagaimana bila kita mengakui adanya Sang
Pencipta? Dalam sudut pandang Kristen, keberadaan kita bermakna karena
kita diciptakan menurut rupa dan gambar-Nya. Makna keberadaan kita tidak
ditentukan oleh ada tidaknya makhluk di luar bumi sana. Kitab Kejadian
menunjukkan, manusia adalah crown of the creation, puncak segala
ciptaan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, Tuhan tidak memilih
menciptakan peradaban lain untuk menolong kehidupan di bumi. Namun, Ia
memutuskan untuk memulihkan umat manusia dengan karya penebusan melalui
Anak-Nya. Karenanya, kehidupan dan peradaban kita hanya akan mengalami
‘lompatan yang luar biasa’ sewaktu kita mengalami ‘perjumpaan
ilahi’ dengan Pencipta kita. Seperti diungkapkan oleh Santo Agustinus,
"Engkau telah menjadikan kami bagi diri-Mu sendiri, dan hati kami
gelisah sebelum mendapatkan perhentian di dalam diri-Mu." Betapapun, fenomena ET yang kian memasyarakat bisa jadi
akan mengusik kita, bagaimana seandainya makhluk-makhluk itu ada?
Berdasarkan ajaran ortodoks yang dianut sepanjang sejarah gereja,
Alkitab tidak berbicara tentang fenomena tersebut. Dalam teologi
sistematis, memang ada bahasan tentang malaikat (angelology) dan
roh jahat (demonology), namun mereka tampaknya bukan jenis
makhluk yang dinantikan para penyelidik ET. Sebuah ‘skenario
kemungkinan’ yang menarik justru disodorkan, lagi-lagi, melalui novel
fiksi ilmiah. Jauh sebelum Contact, tahun 1938 C.S. Lewis,
sarjana sastra Inggris dan penulis apologetika Kristen, menerbitkan Out
of the Silent Planet, bagian pertama dari trilogi luar angkasa.
Tokoh utamanya, Ransom, ditangkap oleh Devine dan Weston, lalu
diterbangkan ke planet Mars. Mereka bermaksud menyerahkannya kepada
penghuni planet itu untuk dipersembahkan kepada dewa mereka. Ternyata,
penduduk Mars adalah makhluk-makhluk berbudi luhur. Mereka juga
menyembah Tuhan sama seperti Ransom. Bedanya, Adam dan Hawa jatuh ke
dalam dosa karena ketidaktaatan dan diusir dari firdaus, sedangkan
penduduk Mars tidak mengenal dosa. Ransom berhasil meloloskan diri dan mengembara di sana
sampai akhirnya diminta datang ke ruang pengadilan Oyarsa, penghulu
malaikat planet itu. Devine dan Weston sedang disidang karena membunuh
seorang makhluk Mars. Oyarsa menyatakan, para makhluk Mars tidak sanggup
membedakan antara benar dan salah. Karenanya, kedua pembunuh itu
dipulangkan ke bumi. Ransom sendiri diberi kesempatan untuk tinggal di
planet yang penuh keharmonisan itu, namun ia memilih untuk menyusul
kedua rekannya, kembali ke bumi, planet yang sunyi senyap. Planet yang sunyi senyap mengacu pada bumi yang
dikarantinakan. Bumi diisolasi sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan
planet-planet lain, agar kerusakan akibat dosa tidak menjalar ke seluruh
alam semesta. Sebuah skenario yang patut direnungkan: Seandainya terjadi
perjumpaan makhluk antargalaksi, kita akan ‘mengimpor’ peradaban
yang lebih maju, atau sebaliknya, justru ‘mengeskpor’ aneka krisis
dan korupsi moral yang kian merajalela? Cerita dengan cara pandang serupa itu sempat muncul secara kocak dalam salah satu episode komik Walt Disney. Dikisahkan, Lang Ling Lung diculik makhluk luar angkasa dan diadili dalam piring terbang mereka. Pasalnya? Mereka ketakutan kalau-kalau profesor itu menciptakan alat untuk membantu makhluk bumi menginvasi mereka. Nah, lo! *** Artikel ini dikutip dari Gagal Menjadi Garam (Yogyakarta:
Yayasan ANDI, 2002). © 2003 Denmas Marto |