Memetakan Transformasi Kota
"Tidak ada
seorang pun... pernah... mengambil alih sebuah kota untuk Kristus,"
perlahan-lahan, namun dengan nada bengis Travis Jordan menguliahi
seorang pendeta muda. "Paulus tidak, Petrus pun tidak. Tidak
seorang pun. Kristus sendiri pun belum pernah mengambil alih sebuah kota
untuk Kristus." Wacana
transformasi kota mengingatkan saya pada semburan kekesalan tokoh utama The
Visitation, novel Frank Peretti tentang Mesias palsu. Travis,
seorang pendeta Pentakosta, sudah muak terhadap berbagai fenomena
kharismatik dan tengah berusaha mengubur masa lalunya yang penuh dengan
kepahitan. Tidak jarang
kita seperti Travis. Terjebak dalam pengalaman dan luka masa lalu, kita
menilai dunia sekeliling berdasarkan paradigma dan pandangan teologis
picik kita. Sikap semacam ini jelas tidak benar. Karena itu, saya
akan mencoba menerapkan pendekatan John Wesley. Pelopor aliran Metodis
ini menegaskan, Kitab Suci adalah otoritas terutama dan tertinggi dalam
menentukan sikap terhadap suatu masalah. Namun, ia juga mengakui sumber
lain yang patut dipertimbangkan dan dapat diandalkan, meskipun sifatnya
hanya sekunder. Sumber otoritas itu adalah sejarah gereja, penalaran dan
pengalaman. Bagaimana keempat hal tersebut berbicara tentang
transformasi kota? Mengacaukan
Seluruh Dunia Alkitab mencatat
pertumbuhan gereja mula-mula. Dimulai dengan 120 orang, pada hari
Pentakosta mereka "meledak" dengan tambahan 3.000 orang, lalu
menjadi 5.000 orang, dan terus berlipat ganda. Dalam 25 tahun, menurut
para sejarawan, gereja itu bertumbuh hingga mencapai 100.000 anggota.
Jumlah yang sangat mengesankan karena saat itu hanya ada 200.000 orang
di Yerusalem! Paulus melakukan
"pemetaan rohani" di Atena; ia berkonfrontasi dengan Diana,
"roh teritorial" kota Efesus; di Tesalonika mereka disebut
"orang-orang yang mengacaukan seluruh dunia." Tuhan sendiri
berkehendak kemuliaan-Nya memenuhi seluruh bumi (Bil. 14:21). Hal ini
ditegaskan dengan Amanat Agung yang berjangkauan global. Jadi, bukan
sekadar mentransformasi kota, Allah, melalui gereja-Nya, berniat
mentransformasi seluruh dunia! Berbagai
Corak Transformasi Kalau Alkitab
menyodorkan prinsip-prinsip transformasi, sejarah gereja memotret
berbagai metode, pola kerja dan corak transformasi kota yang pernah
berlangsung. Tahukah Anda
kalau pembangunan katedral mentransformasi – bahkan sebenarnya memulai
– sebuah kota? Wilayah sekitar situs katedral tak ayal akan menjadi
kota. Katedral besar pengerjaannya bisa memakan waktu 100 tahun.
Perniagaan bertumbuh seiring dengan itu. Para pekerja dan pedagang
menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah katedral. Selain
menjadi tempat ibadah, katedral pun menjadi pusat perdagangan, olah raga
dan keramaian. John Calvin
mengubah wajah Jenewa. William Wilberforce dengan gigih memperjuangkan
penghapusan perbudakan. Sejarawan sekuler mengakui, pelayanan John
Wesley dan George Whitefield telah menyelamatkan Inggris dari banjir
darah, terhindar dari imbas Revolusi Perancis. Kebangunan
rohani Wales bukan hanya mempersatukan gereja, namun berdampak sosial
nyata. Banyak kota di wilayah itu yang sudah hampir tergelincir ke
jurang anarki, selama berlangsungnya kebangunan rohani benar-benar
bersih dari kejahatan dan perekonomiannya dipulihkan. Di era modern,
kita mencatat pelayanan Bunda Theresa di antara kaum miskin Calcutta.
Tommy Barnett menyentuh Los Angeles dengan Dream Centernya. Dampak
transformasi di Amerika Latin menarik perhatian media sekuler. FORBES,
majalah ekonomi terkenal, menulis, "Suatu atmosfir sosial baru,
yang cocok dengan kapitalisme dan demokrasi, tengah muncul." Gereja, dengan
satu dan lain cara, terus mentransformasi kota. Pembaruan
Pikiran Transformasi
kota yang marak akhir-akhir ini merupakan lanjutan dari wacana pemetaan
rohani, istilah yang dicetuskan George Otis, Jr. pada 1991. Pemetaan
rohani, kata presiden badan riset Sentinel Group ini, dapat dijadikan
sarana doa yang cerdas dan berhikmat guna mencelikkan mata rohani yang
buta terhadap Injil. Pemetaan ini, dengan demikian, adalah tahap
persiapan menuju transformasi kota. Otis menyarankan
agar pemetaan lebih menekankan peperangan rohani terhadap
benteng-benteng pikiran, bukannya terhadap roh-roh penguasa lokasi
geografis tertentu. "Orang yang memulai pemetaan rohani dengan
fokus untuk mengidentifikasi dan menyebutkan nama-nama roh-roh
teritorial setempat bisa jadi justru akan tersimpangkan," katanya. Aspek peperangan
terhadap benteng pikiran ini tampaknya kerap terlewatkan. Orang lebih
terpukau dengan aspek "roh"-nya. Suatu saat saya pernah
melihat gambar hasil "pemetaan" rohani. Indonesia dibelit ular
naga; Sumatera konon mirip sesosok buaya; peta bumi yang cantik jadi
tampak begitu buruk dan dikangkangi habis-habisan oleh Iblis dan
antek-anteknya! Saya malah bertanya-tanya, efektifkah pendekatan "surealistik"
semacam ini? Peperangan atau
pembaruan pikiran tidak dapat dilakukan dengan menengking Iblis. Alkitab
dengan jelas memerintahkan, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan
dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu" (Roma 12:2).
Artinya, selain perubahan rohani yang kita alami ketika menerima Kristus,
kita juga harus mengembangkan karakter Kristiani, seperti penguasaan
diri, penghargaan terhadap orang lain, integritas, kebiasaan kerja yang
baik dan kesadaran akan tujuan hidup. Dengan demikian, kondisi sosial
dan ekonomi kita pun akan membaik. Melalui transformasi pribadi inilah
kita akan dapat menjadi agen transformasi yang lebih luas. Kepemimpinan
dan Doa Kesatuan Berbagai kisah
tranfsormasi kota yang diamati oleh Sentinel Group telah
didokumentasikan dalam video Tranfsormasi dan Transformasi II.
Selain itu, Otis juga menuangkan hasil riset tujuh tahunnya dalam buku The
Twilight Labyrinth: Why Does Spiritual Darkness Linger Where It Does?
(1998). Dari 15 "komunitas
yang telah mengalami tranformasi" yang diselidikinya, dia menemukan
dua faktor pendukung yang selalu muncul, yaitu "kepemimpinan yang
gigih" dan "doa yang dilandasi kesatuan." Kalau kita
menengok sejarah gereja, kita juga akan menemukan tantangan serupa. George
Whitefield dan John Wesley mendedikasikan diri mereka bagi pekerjaan
Tuhan dalam kelompok kecil yang sama (Holy Club) di Universitas Oxford.
Keduanya menyaksikan ribuan orang bertobat melalui pelayanan mereka.
Namun, John Wesley meninggalkan sekitar 100.000 anggota jemaat,
sedangkan George Whitefield hanya dapat menunjukkan sedikit buah yang
bertahan menjelang akhir pelayanannya. Apa yang membedakannya? Wesley
mendedikasikan dirinya untuk melatih dan memuridkan, sedangkan
Whitefield menyibukkan dirinya dengan khotbah dan pekerjaan pelayanan. Api kebangunan
rohani di Wales mulai meredup karena sekian banyak petobat baru tidak
tertangani dengan baik akibat keterbatasan kepemimpinan gereja saat itu. Jadi, yang kita
perlukan bukanlah kepemimpinan one-man show. Kita perlu
kepemimpinan yang memperlengkapi dan memberdayakan. Setiap orang
Kristen, bukan hanya mereka yang berstatus pemimpin, mesti memupuk
mentalitas seorang pemimpin (self-government). Dalam hal doa
kesatuan, yang sering kita tekankan adalah ritual doanya. Kita
mengadakan reli doa, mengundang gereja-gereja sekota, lalu kita
mengklaim telah terjadi doa kesatuan. Berkumpulnya massa diindentikkan
dengan kesatuan. Untuk mengalami
transformasi kota yang langgeng, tampaknya inilah salah satu PR kita:
bagaimana belajar untuk bersatu dan melihat perbedaan-perbedaan non-esensial
di antara kita adalah kekayaan, bukannya ancaman. Berbagai gerakan
pemulihan sepanjang sejarah gereja seharusnya bermanfaat bagi seluruh
gereja, bukan untuk mengotak-ngotakkan kita. Sayangnya, justru itulah
yang terjadi. Kita menjadi Lutheran, Calvinis, Metodis, Pentakosta,
kharismatik, dan saling "menerkam" satu sama lain. Kesatuan mesti
dilandasi oleh hubungan. Untuk membangun hubungan, untuk dapat saling
mendengarkan dan menghargai, diperlukan karakter. Untuk mengalami
perubahan karakter, diperlukan transformasi pribadi dan pengurbanan yang
mahal. Ini jelas lebih berat daripada mengorganisasi acara doa sekota! Penutup Novel Peretti
tadi menampilkan contoh transformasi kota melalui kesatuan. Penyingkapan
kedok Mesias palsu di Antrioch, Washington, terjadi berkat kegigihan dan
kerja sama antara Travis Jordan, Kyle Sherman (pendeta muda tadi,
Pentakosta juga, tapi berapi-api) dan Morgan Elliot (pendeta wanita
Metodis yang bukan liberal, namun juga bukan fundamentalis). The
Visitation ditutup dengan
manis. "(K)ita ini menunjukkan siapa sebenarnya Yesus. Kita
pernah terpencar-pencar ke tengah berbagai gereja, aliran dan hal-hal
kecil yang kita anggap sakral, namun sekarang tidak satu pun di antara
hal-hal itu yang penting. Yesuslah yang penting. Kita juga
penting" (italik dari Peretti). Mereka bersama-sama,
dengan cara yang sama sekali tak mereka duga, telah mentransformasi kota
mereka. Paling tidak, mereka masing-masing telah mengalami transformasi
pribadi. *** Dimuat:
Bahana, Februari 2003 © 2003 Denmas Marto |