‘Jihad’ Mencegah Banjir Darah
Jihad,
jika dimaknai secara longgar dan positif sebagai “memperjuangkan
perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni” (1 Tim.
1:18; lihat juga 2 Kor. 10:3-6), barangkali bisa diterjemahkan seperti
dua contoh berikut ini. Alih-alih menumpahkan darah, perjuangan ini
justru mencegah terjadinya banjir darah dan memajukan sebuah bangsa.
Sekaligus, keduanya dapat kita jadikan cermin di tengah upaya mewujudkan
Indonesia baru. *** Sekitar tahun
1760-an, Revolusi Industri mulai marak di Inggris. Sayangnya,
infrastruktur yang ada belum memadai sehingga menimbulkan sejumlah
masalah sosial. Kawasan kumuh bermunculan di London dan kota-kota
industri lainnya. Selain itu, terjadi pula eksploitasi atas wanita dan
anak-anak, serta kesenjangan mencolok antara golongan kaya raya dan
sekian banyak rakyat jelata yang sengsara. Jam kerja para buruh mencapai
dua belas hingga enam belas jam per hari. Seiring dengan
itu, semangat demokrasi bertiup kian kencang. Perubahan populasi akibat
arus urbanisasi antara lain mendorong dilakukannya reformasi dalam
sistem perwakilan parlemen. Negara tetangga
mereka, Perancis, juga tengah bergolak oleh revolusi yang memperjuangkan
kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan. Bertujuan mulia, namun
dilandasi oleh humanisme sekuler, revolusi ini berujung pada Reign of
Terror dan pembunuhan massal dengan guillotine. Mengingat
kondisi saat itu, banyak orang mengira, revolusi berdarah ini akan
menyebar ke Inggris. Nyatanya tidak. Inggris justru menuai kebangunan
rohani melalui pelayanan George Whitefield dan John Wesley. Kedua hamba
Tuhan ini menantang orang-orang untuk bertobat, dan ribuan orang
diselamatkan. Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya reformasi
politik, pendidikan dan ekonomi. Pakar sejarah
dari Cambridge, J.H. Plumb, menunjukkan bahwa pengaruh kebangunan rohani
di kalangan akar rumput telah menyelamatkan Inggris dari banjir darah. John Wesley
melayani para pekerja tambang Kingswood. Ia menyentuh golongan yang
menjadi korban paling parah dalam industrialisasi. Dan, apa yang
dilakukannya sangatlah fenomenal. Wesley bekerja
tanpa kenal lelah untuk kesejahteraan rohani dan kesejahteraan materiil
mereka. Ia antara lain membuka klinik gratis, mendirikan semacam
koperasi simpan-pinjam serta membangun sekolah dan panti asuhan.
Pelayanannya meluas hingga menjangkau para pekerja tambang timbal,
pelebur besi, perajin kuningan dan tembaga, pekerja galangan kapal,
buruh tani, tahanan dan wanita buruh pabrik. Bagi orang-orang
ini Wesley menawarkan kabar baik Yesus Kristus. Namun, lebih dari itu,
Wesley juga membina mereka melalui suatu persekutuan yang erat. Di situ,
mereka digembalakan dan diberi pelatihan kepemimpinan. Ia juga
menyampaikan pandangannya melalui tulisan-tulisan yang tajam dan
tersebar luas. Menurutnya, “Secara terbuka berdiri menentang segala
kefasikan dan ketidakadilan yang melanda negeri kita seperti banjir
adalah salah satu cara yang paling mulia untuk mengakui Kristus di
hadapan musuh-musuh-Nya." Tokoh Metodis
ini menegaskan, kehidupan Kristen harus dijalani dengan iman yang
sungguh-sungguh dan mendalam. Hal ini akan terekspresi dalam kehidupan
yang kudus dan pada gilirannya akan membawa perbaikan sosial yang
mendasar. *** Seabad yang lalu,
Robert J. Thomas, seorang Wales yang bekerja di Lembaga Alkitab
Skotlandia, rindu untuk membawa Alkitab ke Korea. Pengetahuan bahasanya
mengajarkan bahwa bahasa Korea berdasarkan bahasa Cina, dan bahwa orang
Korea yang terpelajar dapat membaca bahasa Cina. Ia pun naik
sebuah kapal Amerika. Namun, pasukan pengawal pantai Korea menyerang
kapal itu dan menghancurkannya. Thomas berjuang
untuk keluar dari laut sambil membawa Alkitab. Ia berhasil mendarat ke
pantai, namun akhirnya tewas dipukuli orang Korea. Darahnya ternyata
menjadi benih pertumbuhan gereja di negeri ginseng. Saat itu, orang
Kristen di Korea baru beberapa gelintir. Bangsa itu
menjadi korban perang antara Rusia, Jepang dan Cina. Selama 40
tahun, Korea diduduki Jepang. Lalu dari 1950-1953, Perang Korea
menghancurluluhkan negeri itu. Namun, di tengah
reruntuhan tersebut, Injil Yesus Kristus diberitakan. Orang-orang pun
mulai mencari Kerajaan Allah. Saat ini, sekitar 40% penduduk Korea
Selatan adalah orang Kristen. Dan, 10 dari 20 gereja terbesar di dunia
ada di ibukota Korea Selatan, Seoul. Korea Selatan
bertumbuh dari negara yang tidak ada apa-apanya menjadi salah satu
kekuatan ekonomi penting di dunia. Sempat terimbas krisis ekonomi,
negeri ini mengalami pemulihan lumayan cepat. Dan publik internasional,
pecandu sepakbola khususnya, tentu belum lupa kesuksesan Korea Selatan
dalam Piala Dunia 2002. *** Nah,
bila perjuangan semacam itu yang digulirkan, rasanya orang-orang Kristen
patut pagi-pagi mendaftarkan diri ke posko Laskar Jihad – di gereja
masing-masing.... *** Dimuat: Bahana, Agustus 2002 © 2003 Denmas Marto |