Home | Artikel

Dari Ideologi ke Bunuh Diri

Suatu ketika, pemakaian narkoba sempat menjadi sebuah ideologi.

Adalah Aldous Huxley yang mengusulkan narkoba sebagai solusi. Kita seharusnya, begitu menurutnya, memberikan narkoba kepada orang sehat dan dengan demikian mereka dapat menemukan kebenaran dalam diri mereka sendiri.

Ketika kebenaran obyektif ditolak, bergulirlah relativisme dan materialisme. Manusia humanistis, sadar atau tidak, menjalani sebentuk eksistensialisme. Manusia, kata mereka, dapat mandiri dari dirinya sendiri dan membangun semestanya sendiri. Dari situ mereka menggerapai, mencoba mengais makna hidup, atau apa yang mereka sebut final experience.

Dengan narkoba, konon, mereka dapat mengalami final experience kapan pun mereka menginginkankannya.

Usulan ini, seperti dicatat oleh Francis A. Schaeffer, mendapatkan wadahnya di tengah gerakan hippie tahun 1960-an. Gerakan ini merupakan reaksi perlawanan atas nilai-nilai masyarakat Barat yang pada gilirannya justru menggerogoti makna hidup: personal peace – yang lebih tepat untuk dimaknai sebagai keegoisan – dan affluence – yang mesti diartikan sebagai kerakusan. Kehidupan ini adalah untuk diriku sendiri, di sini dan saat ini.

Para hippie muak dengan kondisi demikian. Hidup ini lebih dari sekadar mengejar kebahagiaan pribadi, lebih dari sekadar menumpuk materi. Mereka gerah oleh hidup yang kehilangan makna dan tujuan.

Mereka membidik persoalan dengan telak, namun gagal menemukan solusi yang memadai. Mereka pun menjemba narkoba.

Ketika itulah pemakaian narkoba menjadi ideologi, bahkan, bagi beberapa orang, suatu agama. Psikolog Timothy Leary, misalnya, mengatakan bahwa narkoba adalah sakramen untuk agama baru. “Mati terhadap pikiran, itulah tujuan yang harus kaumiliki,” katanya. Kaum utopis memimpikan, masalah-masalah peradaban modern akan terselesaikan kalau saja cukup banyak orang yang memakai narkoba.

Budaya narkoba mencapai puncaknya di Woodstock, sebuah festival musik rock di timur laut AS pada musim panas 1969. Penyelenggaranya menyatakan, “Ini permulaan sebuah era baru.” Namun budaya ini sebenarnya tengah sekarat, mencapai ujung optimismenya. Lihatlah pada Jimi Hendrix. Berkulit hitam, bertalenta hebat, dieksploitasi secara tidak manusiawi, ia overdosis pada September 1970 dan berkubang dalam muntahannya sendiri. Alih-alih meretas permulaan baru, kematian menjadikannya simbol sebuah akhir.

Sayangnya, itu bukan berarti semakin sedikit orang yang memakai narkoba. Justru semakin banyak, dan pada usia yang semakin dini. Namun, narkoba bukan lagi sebuah ideologi. Narkoba hanyalah sebuah pelarian – kembali seperti era sebelumnya. Bill Gothard menyebutnya bunuh diri mental.

Bagaimanapun, angka-angka itu memang kian meningkat.

Di Indonesia, menurut data Badan Koordinasi Narkotika Nasional, tahun 1997 jumlah kasus penyalahgunaan narkoba hanya 622 perkara, tahun 1998 sebanyak 958 perkara, dan sampai Juni 200 menjadi 1.637 perkara. Pelaku yang ditangkap pada 1997 mencapai 939 orang, pada 1998 berjumlah 1.303 orang, dan sampai Juni 2000 menjadi 2.254. Yang perlu dicatat, hampir 85 persen korban pengguna narkoba adalah generasi muda produktif. Belum lagi, angka-angka yang berhasil terkumpul itu baru merupakan pucuk gunung es.

Adakah kita giris oleh statistik? Ataukah kita baru tersentak waktu, misalnya, seorang Temmy Kusuma, atlet loncat indah berumur 25 tahun, meninggal akibat pengaruh narkoba? Lalu, sebentar kemudian tenggelam lagi dalam aneka kebisingan hidup yang tak kunjung habis – seolah penyalahgunaan narkoba hanyalah dengungan lalat yang perlu ditepiskan? ***

Dimuat: Bahana, Februari 2002

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1