Alexander (2004)

Kegagalan yang 'Agung'

Film ini tentang tokoh yang kita kenal sebagai Iskandar Agung. Namun, kalau ada yang bisa disebut agung dalam film ini, itu tidak lain adalah kegagalannya dalam memancarkan kedigdayaan seorang Alexander.

Alexander (saat dewasa dimainkan Colin Farrell) besar di tengah keluarga disfungsional. Ayahnya, Raja Philip (Val Kilmer), pembauk dan nyaris memperkosa isterinya sendiri di depan hidung anaknya. Ibunya, Ratu Olympias (Angelina Jolie), suka berasyik-masyuk dengan ular, mengaku sebagai keturunan Achilles (ingat Troy?) dan bersikukuh bahwa ayah Alexander bukan Philip, namun salah satu dewa. Setelah Philip dibunuh, Alexander menjadi raja Makedonia.

Melalui narasi Ptolemy (Anthony Hopkins), kita diajak mengikuti beberapa perang yang ditempuh Alexander. Seiring itu digambarkan hubungan Alexander dengan sahabat (kekasih gay) sejak masa kecilnya, Hephaistion (Jared Leto). Ada pula istrinya, Roxane (Rosario Dawson), namun hubungan mereka lebih mirip penaklukan ketimbang pernikahan. Adegan demi adegan terasa dipilih secara acak dan kurang terfokus; terlalu banyak yang diceritakan, namun sekaligus terlalu banyak yang tak terjelaskan.

Pendapukan Colin Farrell sebagai Alexander juga tidak pas. Kehadirannya ticak cukup membangkitkan kharisma dan wibawa untuk menaklukkan layar -- apalagi menaklukkan dunia. Bagaimana kita bisa diyakinkan bahwa sosok yang gampang terayun antara kemurungan, kebimbangan dan kekalapan ini sanggup menguasai dunia pada usia 32 tahun?

Bagi Oliver Stone, yang sempat membesut film bagus seperti JFK, Alexander adalah sebuah kemunduran. Bersama dengan Troy, film ini "dinobatkan" oleh Roger Ebert, kritikus-film kawakan dari Chicago Sun-Times, sebagai film terburuk 2004. Bagi saya sendiri, Alexander termasuk tiga jam paling memboyakkan yang saya habiskan untuk memelototi sebuah film. Jadi, kalau boleh memberi saran, pakai saja uang dan waktu Anda untuk hiburan yang lebih asyik. *** (30/06/2005)