Hukum Meriwayatkan Hadits Maudlu'/Palsu
Abdul Hakim bin Amir Abdat
"Man haddatsaa 'Annii (wafii riwaayatin : Man rawaa
'Annii) Bihadiitsiy-yura (wafii lafdzin : yara) Annahu Kadzibbin, Fahuwa
Ahadul-Kadzibiina (wafii lafdzin :Al-Kadzibayini)"
"Barangsiapa yang menceritakan dariku (dalam riwayat
yang lain : meriwayatkan dariku) satu hadist yang ia sangka (dalam satu lafadz :
yang ia telah mengetahui) sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu, maka ia
termasuk salah seorang dari para pendusta (dalam satu lafadz : dua
pendusta)"
TAKHRIJUL HADITS :
Hadits ini derajadnya SHAHIH dan MASYHUR sebagaimana
diterangkan oleh Imam Muslim di muqaddimah shahihnya (1/7).
Dan telah diriwayatkan oleh beberapa shahabat :
- Samuroh bin Jundud
Dikeluarkan oleh Imam-imam :
Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 39) Ahmad (5/20), Ath-Tahayalis di musnadnya
(Hal : 121 No. 895), Ath-Thahawi di kitabnya : Al-Musykilul Atsar" (1/75),
Ibnu Abi Syaibah di mushannafnya (8/595), Ath-Thabrani di kitabnya "Al-Mu'jam
Kabir" (7/215 No. 6757), Ibnu Hiban (No. 29) dan di kitabnya "Adl-Dlu'afaa"
(1/7) dan Al-Khatib Baghdadi di kitabnya "Tarikh Baghdad" 4/161).
- Mughirah bin Syu'bah
Dikeluarkan oleh Imam-imam :
Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 41), Tirmidzi (4/143-144 di kitabul ilmi), Ahmad
94/252,255), Ath-Thayalis (Hal : 95 No. 690), Ath-Thahawi di "Musykil"
(1/175-176), Ibnu Hibban di kitabnya "Adl-Dlua'afaa" (1/7).
- Ali bin Abi Thalib
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Ibnu
Majah (No. 38 & 40), Ibnu Abi Syaibah (8/595), Ahmad (1/113) dan
Ath-Thahawi (1/175) di kitabnya "Musykilul Atsar".
Lafadz hadits dari riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dan
riwayat yang kedua (man rawa 'anni) dari mereka selain Muslim. Berkata Tirmidzi
: Hadist Hasan Shahih.
LUGHOTUL HADITS :
Lafadz (yara) ada dua riwayat yang shahih.
- Dengan lafadz "yura" didlomma huruf "ya" nya, maknanya
"Zhan" atinya : Ia sangka.
"Yakni : Hadits tersebut baru ia "sangka-sangka" saja
sebagai hadits palsu/maudlu, kemudian ia meriwayatkannya juga, maka ia
termasuk ke dalam ancaman Nabi SAW di atas".
- Dengan lafadz "yara" di fat-ha "ya" nya, yang maknanya
"yu'lamu", artinya : Ia telah mengetahui.
"Yakni : Hadits tersebut telah ia ketahui kepalsuannya,
baik ia mengetahuinya sendiri sebagai ahli hadits atau diberitahu oleh Ulama
ahli Hadits, kemudian ia meriwayatkan/membawakannya tanpa memberikan
bayan/penjelasan akan kepalsuannya, maka ia termasuk ke dalam kelompok
pendusta hadits Nabi SAW".
Demikian juga lafadz "Alkadzibiina" terdapat dua riwayat
yang shahih :
- Dengan lafadz "alkadzibiina" hurup "ba" nya di kasro
yakni dengan bentuk jamak.
Artinya : Para pendusta.
- Dengan lafadz "alkadzibayina" hurup "ba" nya di fat-ha
yakni dengan bentuk mutsanna (dua orang). Artinya : Dua pendusta.
(Syarah
Muslim : 1/64-65 Imam Nawawi).
SYARAH HADITS
Sabda Nabi SAW : (Barangsiapa yang
menceritakan/meriwayatkan dariku satu/sesuatu hadits saja), yakni baik berupa
perkataan, perbuatan taqrir,atau apa saja yang disandarkan orang kepada Nabi
SAW, apakah menyangkut masalah-masalah ahkam (hukum-hukum), aqidah, tafsir
Qur'an, targhib dan tarhib atau keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a'mal),
tarikh/kisah-kisah dan lain-lain. (Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru
"zhan" tidak meyakini (atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli hadits
atau diterangkan oleh ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu),
kemudian ia meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan akan
kepalsuannya, (maka ia termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang dari
dua pendusta) yakni yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang
menyebarkannya.
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam syarahnya atas hadits ini di
kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7-8) : "Di dalam kabar (hadits) ini ada dalil tentang
sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa orang yang menceritakan hadits
apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah dari Nabi SAW, apa saja yang
diadakan orang atas (nama) beliau SAW, sedangkan ia mengetahuinya, niscaya ia
termasuk salah seorang dari pendusta".
Bahkan zhahirnya kabar (hadits) lebih keras lagi, yang
demikian karena beliau telah bersabda: "Barangsiapa yang meriwayatkan dariku
satu hadits padahal ia telah menyangka (zhan) bahwa hadits tersebut dusta".
Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta (yakni baru
semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang ia
marfu'kan (sandarkan kepada Nabi SAW), shahih atau tidak shahih, masuk ke dalam
pembicaraan zhahirnya kabar (hadits) ini". (baca kembali keterangan Nawawi di
Masalah ke 2).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Hadits ini
mengandung beberapa hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
- Berdasarkan hadits shahih di atas dan hadist-hadits yang
telah lalu dalam Masalah ke-2, maka Ulama-Ulama kita telah IJMA' tentang
haramnya -termasuk dosa besar- meriwayatkan hadits-hadits maudlu' apabila ia
mengetahuinya tanpa disertai dengan bayan/penjelasan tentang kepalsuannya.
Ijma Ulama di atas menjadi hujjah atas kesesatan siapa saja yang menyalahinya.
(Syarah Nukhbatul Fikr (hal : 84-85). Al-Qaulul Badi' fish-shalati 'Alal
Habibisy Syafi'(hal : 259 di akhir kitab oleh Imam As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu
Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal : 78 & 81) Qawaa'idut
Tahdist (hal : 150 oleh Imam Al-Qaasimiy).
- Demikian juga orang yang meriwayatkan hadits yang ia
sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia ragu-ragu tentang kepalsuannya
atau shahih dan tidaknya, maka menurut zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu
Hibban (dan Ulama-ulama lain) orang tersebut salah satu dari pendusta. Menurut
Imam Ath-Thahawiy diantara syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya
"Musykilul Atsar" (1/176) : Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari
Rasulullah SAW dengan dasar ZHAN (sangkaan), berarti ia telah menceritakan
(hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits)
dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta
yang masuk ke dalam sabda Nabi SAW :"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
(nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka". (baca kembali
hadits-hadit tersebut di Masalah ke 2).
- Bahwa orang yang menceritakan kabar dusta, termasuk
salah satu dari pendusta, meskipun bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut
(Nabi SAW telah menjadikan orang tersebut bersekutu dalam kebohongan karena ia
meriwayatkan dan menyebarkannya).
- Menunjukkan bahwa tidak ada hujjah kecuali dari
hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau hasan) dari Rasulullah SAW.
- Wajib menjelaskan hadits-hadist maudlu'/palsu dan
membuka aurat (kelemahan) rawi-rawi pendusta dan dlo'if dalam membela dan
membersihkan nama Rasulullah SAW. Tentu saja pekerjaan yang berat ini wajib
dipikul oleh ulama-ulama ahli hadits sebagai Thaaifah Mansurah.
- Demikian juga ada kewajiban bagi mereka (ahli hadits)
mengadakan penelitian dan pemeriksaan riwayat-riwayat dan mendudukkan
derajad-derajad hadits mana yang sah dan tidak.
- Menunjukkan juga bahwa tidak boleh menceritakan hadits
dari Rasulullah SAW kecuali orang yang tsiqah dan ahli dalam urusan hadits.
- Menunjukkan juga bahwa meriwayatkan hadits atau
menyandarkan sesuatu kepada Nabi SAW, bukanlah perkara yang "ringan", tetapi
sesuatu yang "sangat berat" sebagaimana telah dikatakan oleh seorang sahabat
besar yaitu Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami berkata
kepada Zaid bin Arqam : " Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari
Rasulullah SAW !. Beliau menjawab : Kami telah tua dan (banyak) lupa,
sedangkan menceritakan hadits dari Rasulullah SAW sangatlah berat ". (shahih
riwayat Ibnu Majah No. 25 dll)]. Oleh karena itu wajiblah bagi setiap muslim
merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta atas nama
Rasulullah SAW. Dan hendaklah mereka berhati-hati dalam urusan meriwayatkan
hadits dan tidak membawakannya kecuali yang telah tsabit dari Rasulullah SAW
menurut pemeriksaan ahli hadits.
- Dalam hadits ini (dan hadits yang lain banyak sekali)
ada dalil bahwa lafadz "hadits" dan maknanya telah ada ketetapan langsung dari
Rasulullah SAW. Sabda beliau :"Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan
dariku satu HADITS....yakni : Segala sesuatu yang disandarkan kepadaku, baik
berupa perkataan, perbuatan atau taqrir dan lain-lain, maka inilah yang
dinamakan hadits atau sunnah Nabi SAW".
- Menunjukan juga bahwa hadits apabila telah tsabit dari
Rasulullah SAW, baik hadits mutawatir atau hadits-hadits ahad, menjadi hujjah
dalam aqidah dan ahkam (hukum-hukum) dan lain-lain. Demikian aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama'ah, dan tidak ada yang membedakan dan menyalahi kecuali ahlul
bid'ah yang dahulu dan sekarang. Adapun ahlul bid'ah yang dahulu mengatakan
(menurut persangkaan mereka yang batil) : Tidak ada hujjah dalam aqidah dan
ahkam kecuali dengan hadits-hadits mutawatir !?.
Demikian paham yang sesat
dari sekelompok kecil Mu'tazilah dan Khawarij. Sedangkan ahlul bid'ah zaman
sekarang mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Untuk ahkam
dengan hadits-hadits ahad, sedangkan untuk aqidah tidak diambil dan diyakini
kecuali dari hadits-hadits mutawatir.
Kalau ditaqdirkan pada zaman kita sekarang ini tidak ada
lagi orang yang memalsukan hadits (walaupun kita tidak menutup
kemungkinannya), tetapi tidak sedikit bahkan banyak sekali saudara-saudara
kita yang membawakan hadits-hadits yang batil dan palsu. Tersebarlah hadits
palsu itu melalui mimbar para khotib, majelis-majelis dan tulisan di
kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak sedikit membawa kerusakan bagi kaum
muslimin. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'un !
Mudah-mudahan hadits di atas dapat memberikan peringatan
dan pelajaran bagi kita supaya berhati-hati dalam menyandarkan sesuatu kepada
Rasulullah SAW. Aamiin ..!