SCIENTIA SACRA : PENGETAHUAN UNTUK PEMBEBASAN
Titik
berat pandangan Nashr tentang pengetahuan terletak
pada pembelaannya yang mendalam
terhadap naturweisheit (hikmah Alamiah)
yang menurutnya ada dalam setiap tradisi. Istilah
tradisi di sini sebenarnya
adalah suatu formulasi titik pandang tradisional yang
merupakan respon kesucian
dalam jantung setiap agama. Menurutnya, semua tradisi secara duniawi adalah
manifestasi pola dasar surgawi yang pada akhirnya
berhubungan dengan pola dasar abadi tradisi
primordial yakni pewahyuan yang merupakan permulaan
logos universal. Yang mana tradisi primordial
tersebut senantiasa ada dan bergerak dari tangan ke tangan, karena ia adalah kebenaran tunggal yang sekaligus pusat dan awal setiap kebenaran. Hikmah inilah yang dalam tradisi Barat disebut dengan Sophia perennis,
Sanata dharma dalam Hindu, Hikmahal
al Khallidah dalam Islam. Nashr sendiri lebih cenderung menyebutnya Scientia Sacra
(pengetahuan yang suci).
Menurut Nashr, profanisasi sains (pengosongan substansi sains dari kwalitas sucinya)
dimulai sejak fase perkembangan filsafat Barat
Modern. Yaitu ketika model pengkajian alam semesta yang dikembangkan Barat berikut aplikasi
praktisnya di wilayah teknologi sejak abad ke-17 menimbulkan pengaruh epistemologis, yang
kemudian membentuk kristalisasi ideologis Barat pada abad ke-19. Pada perkembangan selanjutnya, lahirlah abad analisis ilmiah pada abad ke-20. Dan inilah abad ketika segenap kekuatan tradisi-tradisi kesucian itu ditaklukkan.
Tragedi
historical itulah yang menyebabkan terjadinya desakralisasi
pengetahuan, terutama sekali ketika terjadinya badai
paradigma Cartesian diseluruh belahan dunia. Desakralisasi pengetahuan bagi Nashr tampil dalam dua bentuk yakni
sekularisasi kosmos dan sekularisasi nalar. Sekularisasi kosmos terjadi ketika
perspektif kosmologis Barat membatasi wilayah ontologisnya pada tingkatan alam
material semata-mata. Sedangkan nalar dibatasi hanya pada tingkat pemikiran
diskursif. Yang mana pada tahap ini terjadi reduksi antara subyek yang
mengetahui dengan cogito Cartesian. Pembatasan epistemologis dan kosmologis
tersebut merupakan bentuk terstruktur pemiskinan realitas yang selanjutnya
menjadi sebab bagi terjadinya eksploitasi hukum-hukum alam. Karena dalam
pembatasan-pembatasan itu, hukum alam diyakini memiliki keseragaman sebagaimana
teori uniformitarianisme.
Meskipun
secara filosofis Nashr melakukan serangan intelektual yang begitu hebat
terhadap Barat, namun ia sendiri tidaklah secara total menolak sains modern
dalam arti mengabaikan aspek-aspek positifnya. Tetapi menurutnya, tetap ada dan
harus ada sains alam lain yang memiliki karakter teofanik kosmos dan
menghubungkan pengetahuan wilayah sensible dengan tingkatan-tingkatan realitas
yang lebih tinggi dan akhirnya pada Realitas itu sendiri. Dan sains semacam itu
sepenuhnya ada dalam peradaban tradisional. Jadi alternative pengetahuan
bukanlah sesuatu yang baru tetapi suatu ikhtiar penemuan kembali tradisi. Nashr
secara tegas menunjukkan adanya suatu arus balik di Barat ke arah penemuan
kembali tradisi ini dengan munculnya kajian-kajian ekstensif tentang
aspek-aspek sapential. Hal ini terutama juga dipengaruhi oleh perkembangan
sains-sains timur di kota-kota Eropa seperti kehadiran para praktisi akupuntur
dan Hatha Yoga.
Prinsip
mendasar dari Scientia Sacra sesungguhnya berangkat dari struktur hierarkis jagat
raya yang dikenal dengan lima kehadiran ilahiah (al hadarat al Ilahiyyat
al-Khams). Dalam perspektif tersebut, masing-masing tatanan realitas
memungkinkan kehadiran (hadrah Ilahi) dan Kesadaran (syuhud).
Kesadaran-kesadaran tersebut dibagi dalam Devine ipseity itself (hahut),
Nama-nama dan sifat Ilahi (lahut) dunia kemalaikatan (jabarut), dunia halus dan
psike (malakut) dan dunia fisik (mulk). Masing-masing dunia yang
lebih tinggi mengandung prinsip-prinsip dunia yang berada di bawahnya. Kosmologi tradisional
tersebut berkenaan dengan pemberian manusia dengan peta
yang akan m engorientasikan
di dalam kosmos dan akhirnya memungkinkannya
meninggalkan kosmos melalui aksi
pembebasan yang misterius.
Di sini kosmos nampak
sebagai sebuah labirin, melalui mana manusia harus menempuh suatu perjalanan penuh bahaya dalam suatu pengalaman
yang aktual.
Nashr menjelaskan tentang proses pembebasan
itu melalui perjalanan melampaui kosmos
yang kemudian mengalami kelahiran kedua. Dalam artian penghidupan kembali secara
spritual di sini dan
sekarang yang pada akhirnya memungkinkan mengkontemplasi
kosmos dan bentuk-bentuknya
sebagai teofani. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi, matilah sebelum engkau mati. Karena pada tingkat itulah
Allah bertajalli (mencerminkan
dirinya) dalam cermin kosmos.
Perspektif sapential menggambarkan
peran pengetahuan sebagai jalan pembebasan dan penyelamatan. Karena mengetahui
sesungguhnya adalah diselamatkan. Perjalanan menuju pembebasan itu
adalah sebuah usaha menemukan kembali terhadap apa
yang telah diketahui tetapi dilupakan, bukan apa yang
sedang ditemukan. Karena logos yang memiliki prinsip-prinsip
pengetahuan itu tersembunyi di dalam jiwa manusia. Sesungguhnya apa yang tidak diketahui itu tidaklah di luar sana, tetapi
pada pusat wujud manusia di
sini dan sekarang, di tempat ia berada. Ia adalah matahari yang tidak pernah berhenti bersinar tapi
tak terdeteksi oleh kebutaan kita yang membatu.
Perjalanan menuju pembebasan
itu berlangsung dalam diri setiap manusia, meskipun tidak setiap manusia
sanggup untuk itu. Hanya orang-orang yang memiliki tingkat sensibilitas kecerdasan
(aql) tertentu. Menurut Nashr,
kedudukan kecerdasan bukanlah dikepala melainkan di
hati. Semua Ajaran tradisional menggunakan istilah hati (heart), hrdaya dalam Sansakerta, Herz (Jerman), Kordia (Yunani), Cor (Latin), memiliki akar kata hrd
atau krd yang mengimplikasikan
pusat mikrokosmik manusia. Dalam al-Quran, baik keyakinan (iman) maupun kecerdasan (aql) secara eksplisit diidentikkan dengan hati (al Qalb).
Karena dalam hati, pengetahuan selalu bersesuaian dengan cinta, hanya ketika tereksternalisasikan pengetahuan berhubungan dengan pikiran
dan aktualisasi otak. Jadi secara epistemik scientia sacra dihasilkan melalui kecerdasan total melalui
hati. Sesungguhnya Nashr juga mengakui
bahwa apa yang dilawan tradisi bukanlah aktifitas pikiran yang diceraikan
dari hati, tetapi kedudukan kecerdasan dan lokasi mata pengetahuan yang diistilahkan para sufi sebagai ayn al qalb atau mata ketiga
dalam tradisi Hindu.
Defenisi tentang aql mencakup
baik intelectus atau nous
maupun ratio atau pikiran. Aql yang tak tergelapkan oleh nafsu menunjukkan bahwa ia
dalah Intelek (al aql-I kulli). Tetapi jika aql diperkabur oleh nafsu maka ia akan menjadi tirai yang
menutupi manusia dari Tuhan yang selanjutnya akan terdampar
menjadi sekedar pikiran diskursif (al aql-i juz-i). Sementara
nalar yang terputus dari
cahaya intelek itulah yang menyebabkan desakralisasi pengetahuan.
Usaha pikiran rasional untuk
menemukan intelek dilihat sebagai usaha yang sia-sia. Sebab obyek yang
kemampuan rasional mencoba menerima secara actual
adalah subyek yang membuat setiap langkah persepsi
dengan kemungkinan rasional. Pikiran yang terputus dari cahaya kecerdasan hati dan kemudian mencoba
untuk menemukan Tuhan, sadar bahwa cahaya yang ia coba
menemukan Tuhan itu berasal dari cahaya Tuhan itu sendiri. Persis
seperti pengembara ditengah padang
pasir dalam benderangnya siang hari dengan lampu ditangannya mencoba mencari matahari.
Jadi dalam perspektif scientia
sacra, proses pencerahan terjadi ketika pikiran diskursif berhasil memantulkan
cahaya pengetahuan dari intelek persis
seperti bulan yang memancarkan cahaya dari matahari. Dan itu
hanya bisa dilakukan dengan melepaskan kungkungan nafs dalam intelek. Tanpa
proses pencerahan itu mustahil
pengetahuan bisa dijadikan sebagai sarana pembebasan
Kini kita menantikan lahirnya
pemikir-pemikir radikal secara
epistemic tetapi moderat secara sosiologis
sebagaimana almukarram Nashr!