From [email protected]
Date : 13 Nov 2003 23:03:11 +0000 (GMT)
Kronologis Aksi
Solidaritas Aceh Papua (SPA)
Sabtu, 8 November 2003
Di Jakarta
Aksi solidaritas
Aceh Papua (SAP) berangkat dari sebuah realitas penderitaan masyarakat Aceh dan
Papua. Darurat militer dan pemekaran propinsi Papua serta berbagai politik adu
domba lainnya telah membuat masyarakat kedua daerah itu tidak pernah merasa
hidup dalam kedamaian. Pembunuhan, penculikan, penangkapan sewenang-wenang serta
penangkapan di luar prosedur hukum telah membuktikan matinya demokrasi di
Indonesia. Terutama di wilayah yang sedang mengalami berbagai tekanan oleh
militer Indonesia.
Berangkat dari
realitas yang demikian, maka pada 8 November 2003 ribuan masyarakat Aceh dan
Papua di pulau Jawa turun ke jalan guna mendesak pemerintah Mega-Hamzah untuk
segera menghentikan darurat militer di Aceh dan pemekaran propinsi Papua serta
kembali melanjutkan dialog dalam menyelesaikan konflik Aceh dan Papua tersebut.
Tepatnya pada
pukul 14.00 massa yang tergabung dalam Solidaritas Aceh Papua (SAP) berkumpul di
depan tugu bundaran Hotel Indonesia (HI). Ribuan massa yang berdatangan dari
berbagai wilayah di pulau Jawa di antaranya, Semarang, Jagyakarta, Bandung dan
wilayah Jabotabek.
Sebelum
melakukan Long Much, massa melakukan berbagai orasi yang meminta militer harus
bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban di Aceh dan Papua. Disamping
melakukan orasi, massa juga meneriakkan yel-yel tentang ketidakdemokratisan
pemilu di Aceh dan Papua dalam kondisi di bawah todongan senjata militer
Indonesia.
Bahkan ribuan
poster ikut memeriahkan aksi tersebut. Poster yang berisikan, “segera lanjutkan
dialog di Aceh dan Papua, hentikan darurat militer di Aceh, Hentikan politik
devide it impera di Papua, Baikot pemilu di Aceh dan Papua kerena tidak
demokratis.” Bukan hanya poster tertapi juga beberapa lembar spanduk berukuran
besar.
Pakaian adat Aceh
yang dikenakan beberapa perempuan dan laki-laki juga ikut menyedot perhatian
puluhan fotografer dan wartawan yang hadir pada aksi solidaritars tersebut.
Beberapa perempuan yang mengenakan pakaian adat dengan memegang poster yang
bertuliskan hentikan darurat militer di Aceh dan lanjutkan dialog sempat
meramaikan wartawan Foto dengan berbagai fose.
Kemudian pada
pukul 15.10 massa mulai long much menuju gedung PBB. Dalam aksi long much itupun
rubuan massa bukan hanya sekadar ikut membagi-bagikan selebaran kepada setiap
penggunan jalan, namun kerap terdengar teriakan Referendum, merdeka bangsa Aceh
dan bangsa Papua. Serta teriakan-teriakan pembebasan dan anti penindasan lainnya.
Tepat pada pukul
15.30, massa sudah berada di depan gedung PBB di jalan Sudirman. Massa berhenti
untuk kembali berorasi. Raihana Diani, dari Organisasi Perempuan Aceh demokratik
(ORPAD), ikut meneriakkan ketidakberdayaan PBB dalam menyelesaikan konflik Aceh
dan Papua serta meminta organisasi dunia itu harus secepatnya mengambil
langkah-langkah mengambil kebijakan tentang Aceh dan Papua.
“Bersatu melawan
militerisme, dialog jalan terbaik menyelesaiakn konflik Aceh dan Papua, kita
harus bersatu demi satu tujuan mewujutkan demokrasi dan pembebasan di Aceh dan
juga di Papua,” teriak Said salah seorang peserta aksi dari Bandung, disela-sela
orasinya di depan gedung PBB yang disambut massa dengan teriakan yel-yel
pembebasan lainnya.
Orasi dan
berbagai teriakan hanya berlangsung sekitar sepuluh menit. Kemudian massa
melanjutkan perjalanan menuju gedung Menko Polkam. Dalam perjalanan, massa masih
masih melakukan hal yang sama dan ditambah dengan dengan nyanyian lagu-lagu
perjuangan dari kedua daerah tersebut.
Pukul
13.50, massa berada di depan gedung Menko Polkam. Teriakan massa pun semakin
histeris, sebab menurut Kafrawi salah seorang massa dari Bekasi, “gedung Menko
Polkam menjadi sumber kebijakan militer untuk membuat penderitaan rakyat Aceh
dan Papua.” Teriakan ribuan massa massa meminta Menko Polkan untuk segera
menghentikan kebrutalan serdadunya di Aceh dan Papua. Teriakan itu sempat
membuta merah telinga pengawal gedung Menko Polkam.
Massa kemudian
melanjutkan perjalannan dari gedung Menko Polkam menuju Istana Presiden. Dalam
perjalanan, massa juga menyanyikan lagu-lagu perjuangan rakyat Aceh dan Papua.
Sarjev yang merupakan salah seorang seniman Aceh, juga ikut ambil peduli dengan
turut menyumbang tembang yang bernuansa kedamaian dan semangat perlawanan.
Pukul
16.00, tepatnya ribuan massa sudah berada di depan Istana Presiden. Tampak
ratusan pengawan istana ikut memantau jalannya aksi. Bahkan puluhan lainnya
siap-siaga. Massa yang telah berada di depan Istana kerap menunjukkan tangannya
ke arah Istana dengan berbagai teriakan. Banta Syahrizal, salah seorang massa
aksi mengatakan, “di situlah pusat pemerintahan Mega-Hamzam yang otoriter dan
telah membuat jutaan rakyat di Indonesia khususnya di Aceh dan Papua terpaksa
hidup dalam ketertindasan,” ungkapnya sambil tangannya menunjuk ke arah istana.
Di depan
istana beberapa orang turut berorasi, diantaranya Hans mewakili rakyat Papua
yang meminta masyarakat Aceh dan Papua bersatu melawan setiap penjajahan dan
penindasan oleh negara. Yusuf Lakaseng, yang mewakili Solidaritas Rakyat untuk
Aceh (SEGERA) dari gabungan gerakan-gerakan pro demokrati di Jakarta juga ikut
menyampaikan beberapa tuntutan, di antaranya turunkan pemerintahan Mega-Hamzam
karena tidak bisa menyelesaikan konflik Aceh dan Papua secara demoktratis.
Thamrin
Ananda, dari Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA) hadir dalam orasi
tersebut. Thamrin meminta semua pihak tidak ikut terpengaruh dengan provokasi
pemerintah mengenai isi yang bernuansa SARA. “Kita tidak pernah bermusuhan
dengan berbagai suku yang ada di Indonesia, semua suku yang ada di Indonesia
juga sebagai saudara kita, musuh kita adalah penindasan dan penjajahan,” teriak
Thamrim dalam orasinya di depan Istana.
Dalam
kesempatan itu, Cut Farah yang sebagai ketua Perempuan Merdeka juga menyertai
orasi tersebut. Ia meminta rakyat Aceh dan Papua serta masyarakat lainnya di
Indonesia anti dengan pemerintahan Indonesia yang otoriter dan menjajah serta
meminta kepada semua masyarakat Aceh dan Papua selalu bersatu demi mewajutkan
cita-cita kemerdekaan ke dua bangsa tersebut.
Sedangkan
Nasir yang mewakili Pergerakan Demokratik Rakyat Miskin (PDRM), mengulas tentang
berbagai bentuk kekejaman serdadu Indonesia di Aceh dan Papua. Pembunuhan,
penculikan, penangkapan dan lain sebagainya terjadi di Aceh dan Papua setiap
hari. Massa sambil duduk mendengarkan orasi per orasi secara seksama, bahkan di
sela-sela orasi sedang berlangsung tak jarang massa berteriak Merderka,
referendum, demokrasi, pembebasan, hidup rakyat, hapuskan penjajahan, selamatkan
rakyat dan berbagai teriakan semangat lainnya.
Hingga jam
menunjukkan pukul 17.00 tepat, kemudian massa meninggalkan istana presiden
menuju mesjid Istiqlal guna mengakhiri aksi Solidaritas Aceh Papua (SAP) dengan
berbuka puasa bersama. Dan akhinya massa membubarkan diri pada pukul 18.00
From [email protected]
Date : 13 Nov 2003 23:03:11 +0000 (GMT)