TENTANG TA’AWUN (KERJASAMA)
YANG SYAR’IY DAN PERINGATAN DARI HIZBIYYAH (SEKTARIANISME)
Penyusun :
Bagi Pendidikan Manhaj dan Pembahasan Ilmiyah
Fax : 00986-6-505453
Alloh
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk saling berta’awun
(bekerja sama) di dalam kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari saling berta’awun
di dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Alloh Jalla wa ‘Ala berfirman :
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah : 2)
Pertama, Ta’awun yang syar’iy di dalam kebajikan dan
ketakwaan merupakan kalimat yang luas cakupannya, yang mencakup kebajikan
seluruhnya, yang akan membawa akibat kepada kebaikan masyarakat muslim dan
keselamatan dari keburukan serta sadarnya individu akan peran tanggung jawab
yang diemban di atas bahunya. Karena ta’awun di dalam kehidupan umat
merupakan manifestasi dari kepribadiannya dan merupakan pondasi di dalam
membina perabadan umat.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu
berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan ayat tadi
(Al-Ma’idah : 2, pent) :
“Alloh Ta’ala memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan
yang mana hal ini merupakan al-Birr
(kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini
merupakan at-Taqwa. Alloh melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam
kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”
Termasuk dalam pengertian ini adalah apa
yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits Tamim
ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa
Salam bersabda :
“Agama itu nasehat”,
beliau ditanya : “bagi siapa wahai
Rasulullah?”, Rasulullah menjawab :
“Bagi Alloh, Kitab-Nya,
Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.”
An-Nushhu (nasehat)
ditinjau menurut asal bahasa, artinya adalah mengikhlaskan diri terhadap
sesuatu tanpa disertai tipuan dan khianat. Hal ini merupakan kewajiban ulama
dan para penuntut ilmu yang pertama kali sebelum lainnya. Karena mereka (para
ulama, pent) adalah pewaris para nabi, khalifah (pengganti)
Rasul di dalam menerangkan kebenaran, berdakwah kepada Alloh, bersabar atas
segala rintangan dan mengemban segala kesukaran. Alloh Ta’ala berfirman
:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS Fushshilat : 33)
Kedua, Ta’awun
yang syar’iy merupakan
konsekuensi harusnya memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum muslimin.
Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar”
(QS At-Taubah
: 71).
Barangsiapa yang meninggalkan nasehat kepada
saudaranya dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah seorang penipu
dan bukan pembela mereka. Karena merupakan konsekuensi dari loyalitas adalah
menasehati dan menolong mereka di dalam kebajikan dan ketakwaan.
Ketiga, Ta’awun (saling tolong menolong) diantara kaum
muslimin merupakan kekuatan dan pelindung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
telah menyerupakan ta’awun kaum muslimin, persatuan dan
berpegangteguhnya mereka (pada agama Alloh) dengan bangunan yang dibangun
dengan batu bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya.
Demikianlah kaum muslimin, semakin bertambah kokoh dengan saling tolong
menolong di antara mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam :
“Seorang mukmin dengan
mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian
lainnya.”
Tidaklah umat Islam ini menjadi lemah dan
musuh-musuhnya menguasainya, melainkan dikarenakan berpecah belah dan
berselisihnya mereka, walaupun kuantitas dan jumlah mereka banyak. Alloh Ta’ala
berfirman :
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar” (QS Al-Anfal : 46)
Perkara ini adalah suatu hal yang telah dikenal oleh fitrah
yang lurus dan diketahui oleh akal yang sehat, sebagaimana dikatakan oleh
seorang penyair yang bijaksana :
Namun apabila berpisah maka
akan hancur satu persatu
Semua ini, tidak akan bisa ditegakkan
melainkan di atas kalimat tauhid, karena kalimat tauhid merupakan pondasinya
persatuan kalimat.
Keempat, Ta’awun
dan ittihad
(persatuan).
Sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama
kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah
kepada-Ku.” (QS Al-Mu’minun : 52)
dan firman-Nya Subhanahu :
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama
kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya’ : 92).
Ta’awun dan persatuan selayaknya ditegakkan di atas kebajikan dan
ketakwaan, jika tidak, akan menghantarkan pada kelemahan yang parah,
berkuasanya para musuh Islam, terampasnya tanah air, terinjak-injaknya
kehormatan dan terenggutnya tanah muqoddas (Palestina). Sebagai pembenar
apa yang diberitakan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Kalian nyaris diperebutkan
oleh umat-umat selain kalian sebagaimana makanan di sebuah tempayan yang
diperebutkan manusia.” Para sahabat bertanya : “apa jumlah kita pada saat
itu sedikit wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab : “bahkan jumlah
kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih banjir, dan Alloh
akan mengangkat rasa takut kepada kalian dari dada musuh-musuh kalian, dan
Alloh akan menancapkan al-Wahn ke dalam hati-hati kalian.”
Para sahabat bertanya : “apakah al-Wahn itu wahai Rasulullah?”,
Rasulullah menjawab : “cinta dunia dan takut mati.”
Hadits ini mengisyaratkan tentang kesudahan
umat ini yang berada di dalam kelemahan walaupun banyak jumlahnya, namun mereka
berserakan, berjalan tanpa arah dan bergerak tanpa tujuan, maka Alloh timpakan
atas mereka kehinaan yang akan menetap di bujur dan lintang (bumi ini). Sebagaimana
sabda Nabi SAW :
“Jika kalian
telah sibuk dengan jual beli inah (sistem jual beli yang terdapat unsur riba, pent.),
kalian terbuai dengan peternakan dan bercocok tanam, dan kalian tinggalkan
jihad, maka akan Alloh timpakan di atas kalian kehinaan yang tidak akan
terangkat sampai kalian kembali ke agama kalian.”
Seorang muslim, haruslah memiliki
solidaritas dengan saudaranya, turut merasakan kesusahannya, tolong menolong di
dalam kebajikan dan ketakwaan, agar umat Islam dapat menjadi satu tubuh yang
hidup, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
“Perumpamaan kaum mukminin
di dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan bagaikan tubuh yang satu, apabila
salah satu anggota tubuh mengeluh maka akan memanggil seluruh anggota tubuh
lainnya dengan terjaga dan demam.” (Muttafaq ‘alaihi)
Kelima, Tawaashi (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan
kesabaran merupakan sebab kesuksesan dari kerugian. Saling berwasiat di dalam
kebenaran dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun syar’iy
di dalam kebajikan dan ketakwaan. Dengan kedua hal ini, akan terpelihara agama
ini, dan keduanya termasuk amar ma’ruf nahi munkar serta keduanya
merupakan sebab terperolehnya kebaikan bagi negeri dan penduduknya. Alloh Ta’ala
berfirman :
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran. (QS Al-Ashr)
Kesempurnaan dan totalitas perkara ini
adalah dengan saling berwasiat di dalam kasih sayang, kecintaan, loyalitas,
kelembutan dan perhatian…
Para sahabat Rasulullah SAW tidak pernah
berselisih kecuali (jika berselisih) mereka membaca surat Al-Ashr.
Keenam,
Diantara bentuk manifestasi
ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan adalah : menghilangkan
kesusahan kaum muslimin, menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka,
menolong mereka dari orang yang berbuat aniaya, mengajari orang yang bodoh dari
mereka, mengingatkan orang yang lalai diantara mereka, mengarahkan orang yang
tersesat di kalangan mereka, menghibur atas duka cita mereka, membantu atas
musibah yang yang menimpa mereka, menyokong jihad dan dakwah mereka, menyertai
mereka di dalam sholat jum’at, sholat jama’ah dan ied (perayaan) mereka,
mengunjungi orang yang sakit, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah,
mendo’akan orang yang bersin dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.
Ketujuh,
Alloh sungguh telah mencela
tafarruq (perpecahan), karena perpecahan menghilangkan ta’awun (kerja
sama), pertautan (hati), kecintaan, dan menghantarkan kepada perselisihan,
kesedihan dan kebencian. Alloh Ta’ala berfirman :
“dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,
yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (QS Ar-Rum : 31-32).
Perpecahan merupakan syi`ar (semboyan)
kaum musyrikin, bukan syi`arnya
kaum muwahidin (orang yang bertauhid) lagi mukmin. Oleh karena
itu kaum salaf membenci tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq
(bergolong-golongan). Bahkan mereka memerangi dan mengharamkannya.
Kedelapan,
Kita telah merasakan dan
melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh hizbiyah (partisan) yang
membinasakan, dari keburukan-keburukan dan bencana. Mereka mengintroduksikan
rasa permusuhan dan kebencian di antara manusia, dikarenakan mereka
berinteraksi dengan selain mereka dengan asas hizbi (kepartaian).
Loyalitas mereka hanyalah untuk hizbi dan tanzhim (organisasi),
tidak untuk Islam dan agama. Mereka lebih mendahulukan ukhuwah hizbiyah
(persaudaraan kepartaian) ketimbang ukhuwah imaniyah (persaudaraan keimanan).
Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah berafiliasi dulu dengan
partai mereka. Adapun muslim non partisan (ghoyru hizbi), sekalipun ia
teman lama dan sahabat akrabnya, syi`ar mereka terhadapnya adalah “ini termasuk
kelompoknya dan ini termasuk musuhnya”.
Termasuk keburukan dan penyimpangan mereka
lainnya adalah mereka lebih mengedepankan orang-orang bodoh, menjadikan
gerakannya sebagai ‘gerakan bawah tanah’, melemparkan benih-benih keraguan di
tengah-tengah kaum muslimin, mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil,
menjadikan luapan semangat dan perasaan sebagai asas, menomorakhirkan ilmu dan
membuat keragu-raguan terhadap para ulama…
Inilah intisari ringkas keadaan
kelompok-kelompok dan partai-partai yang mengikat dengan belenggu hizbiyah,
yang menyembunyikan ‘desahan nafas’nya dengan ikatan rahasia. Apabila seorang
muslim dari luar barisan mereka maju, maka mereka akan menuduhnya sebagai : mutsabbithun
(pengendor semangat), musyawwisyun (penyulut kebingungan) dan murjifun
(penggoncang barisan) yang menghendaki porak-porandanya barisan Islam dan
terbukanya rahasia kepada musuh-musuh Islam.
Apabila datang seorang pemberi nasehat yang
jujur dari barisan mereka, niscaya mereka akan menuduhnya sebagai : orang yang
menyeleweng dari manhaj, orang yang menghendaki perpecahan dan menelantarkan
teman seperjuangan.
Imam Robbani, Syaikhul Islam kedua, Ibnu
Qoyyim al-Jauziyah Rahimahulahu berkata di dalam Madarijus Salikin
(III/200) :
“Apabila seorang mukmin
menghendaki supaya Alloh menganugerahinya bashiroh (ilmu yang mendalam) di
dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan
aku memandang dirinya bukanlah orang yang padanya terdapat hawa nafsu, bid’ah,
kesesatan dan jauh dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh
jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk mencemooh orang bodoh dan
ahlul bid’ah, mencela dan menghinakan mereka, membuat manusia lari dari mereka
dan mentahdzir mereka. Sebagaimana pendahulu mereka dari orang-orang yang besar
(sahabat, pent) melakukannya bersama panutan dan imam mereka
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Adapun apabila ia menyeru kepada
hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka akan berdiri
sekelompok dari mereka, mereka berharap kejelekan padanya, melemparkan padanya
jerat-jerat jebakan dan membawa padanya pembesar-pembesar mereka yang sombong
dan mengadilinya. Maka dirinya menjadi orang yang :
Asing di dalam agamanya dikarenakan
rusaknya agama mereka
Asing di dalam berpegangteguhnya
ia kepada sunnah dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan
Asing di dalam aqidahnya
dikarenakan rusaknya aqidah mereka
Asing di dalam sholatnya
dikarenakan rusaknya sholat mereka
Asing di dalam penisbatannya
dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya
Asing di dalam pergaulannya
terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak
disenangi hawa nafsu mereka
Kesimpulannya: ia adalah orang
yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang
mau menolong dan membantunya.
Karena dirinya adalah :
Penganut sunnah di tengah-tengah
pelaku bid’ah
Penyeru kepada Alloh dan
Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah
Penyeru kepada yang ma’ruf dan
pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang
ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”
Pertanyaan
: Apa hukum berbilangnya jama’ah dan kelompok di dalam Islam, dan apa hukum
berafiliasi padanya?
1.
Lajnah
Da`imah lil Ifta’ (Komite
Tetap Urusan Fatwa) yang diketuai oleh
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu yang beranggotakan :
Syaikh Abdur Razaq Afifi Rahimahullahu, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
dan Syaikh Abdullah bin Hasan bin Qu’ud menjawab tentang haramnya hal ini di
dalam fatwa no 1674 (tanggal 7/10/1397) sebagai berikut :
“Tidak boleh memecah belah agama kaum
muslimin dengan bergolong-golongan dan berpartai-partai… karena sesungguhnya
perpecahan ini termasuk yang dilarang oleh Alloh dan Alloh mencela pencetus dan
pengikut-pengikutnya, serta Alloh janjikan pelakunya dengan siksa yang pedih.
Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS Ali Imran : 103)
dan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang
yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS Ali Imran 105)
serta firman-Nya :
“Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak
ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS Al-An’am : 159).
Adapun para penguasa kaum muslimin,
merekalah yang mengurus dan mengelola aktivitas agama dan duniawi di
tengah-tengah mereka. Maka yang demikian ini disyariatkan.”
2.
Di dalam Majmu’
Fatawa Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu (Juz V/202-204), beliau menjawab dengan
terperinci pertanyaan ini. Beliau Rahimahullahu berkata :
“Sesungguhnya Nabi kita Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa Salam menjelaskan kepada kita jalan yang satu, yang wajib bagi
kaum muslimin menempuh jalan tersebut, yaitu jalan Alloh yang lurus dan manhaj
agama yang lurus. Alloh Ta’ala berfirman :
“dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia,
dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalanNya.” (QS Al-An’am : 153)…
Maka wajib bagi seluruh ulama kaum muslimin
untuk menerangkan hakikat ini, berdiskusi dengan tiap jama’ah dan menasehati
seluruhnya supaya mereka mau meniti jalan yang telah digariskan Alloh kepada
hamba-Nya dan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyeru padanya.
Barang siapa menyeleweng dari jalan ini dan terus menerus menentangnya, maka
wajib bagi orang yang mengetahui hakikatnya untuk menyebarkan kesalahannya, mentahdzir
darinya, sampai manusia menjauh dari manhajnya dan sampai tidak turut masuk
bersama mereka orang-orang yang tidak mengetahui hakikat keadaan mereka
sehingga mereka tersesat dan berpaling dari jalan yang lurus. Jalan yang mana
Alloh memerintahkan kita untuk mengikutinya… tidak ragu lagi, bahwasanya
kebanyakan kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah di negeri-negeri Islam
termasuk perkara yang disenangi oleh syaithan, ini yang pertama, dan yang
kedua, perkara ini disenangi oleh musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.”
3.
Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullahu memiliki fatwa yang serupa
di dalam fatwa beliau (hal. 196 – cetakan Mesir), beliau Rahimahullahu
berkata : “Tidak tersembunyi bagi setiap muslim yang mengetahui Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan yang
dipegang oleh Salafuna ash-Sholih Radhiyallahu ‘anhum bahwasanya tahazzub
(berpartai-partai) dan membentuk jama’ah-jama’ah yang beraneka ragam manhaj
dan cara-caranya, bukanlah bagian dari Islam sedikitpun. Bahkan hal ini
termasuk perkara yang dilarang oleh Rabb kita Azza wa Jalla di dalam
banyak ayat di dalam al-Qur’an al-Karim.”
4.
Syaikh
Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin Rahimahullahu memiliki fatwa yang
serupa yang tersebar di dalam kitab Ash-Shohwah Islamiyyah Dlowabith wa
Taujihaat (hal. 154), beliau Rahimahullahu berkata : “Tidak ada di
dalam Kitabullah dan as-Sunnah yang memperbolehkan berbilangnya jama’ah dan
kelompok. Namun sesungguhnya yang terdapat di dalam al-Kitab dan as-Sunnah adalah
yang mencela hal ini. Alloh Ta’ala berfirman :
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS Al-Mu’minun : 53).
Tidak ragu lagi, bahwasanya
kelompok-kelompok ini meniadakan apa yang diperintahkan Alloh, bahkan apa yang
dianjurkan oleh-Nya di dalam firman-Nya Ta’ala :
“Sesungguhnya
(agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah Aku
“ (QS Al-Anbiya’ : 92).”
5.
Syaikh DR.
Sholih al-Fauzan (anggota Ha`iah Kibaril Ulama / Lembaga Ulama Senior)
memiliki fatwa yang serupa, yaitu ucapan beliau : “Tafarruq
(bergolong-golongan) bukanlah bagian dari agama, karena agama memerintahkan
kita untuk bersatu, dan hendaknya kita menjadi jama’ah yang satu dan umat yang
satu di atas aqidah tauhid dan penauladanan terhadap Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam. Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS Ali Imran : 103).”
(Sebagaimana termuat di dalam kitab Muhadzdzab
Hukmil Intima’)
Ya
Alloh anugerahkanlah kepada jiwa kami ketakwaan dan sucikan jiwa kami karena
Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikannya. Engkau adalah Walinya dan Maulanya…
Demikian
akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara alam semesta.
(Dialihbahasakan oleh Abu Salma al-Atsari
dari Mansyuraat (selebaran) Markaz al-Imam al-Albani no 3,
Robi’ul Awwal, 1422 H. yang berjudul Nubdzatu ‘Ilmiyyah fit Ta’aawun
asy-Syar’iy wat Tahdzir minal Hizbiyyah).