MAKTABAH ABU SALMA

 

 

KEISTIMEWAAN AQIDAH ISLAM

(AQIDAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH)[1]

Bagian III

 

Oleh : Fadhilatus Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd

 

 

      24.           Membuat Hati Penuh Dengan Tawakkal kepada Allah

 

Aqidah Islam memerintahkan kepada setiap manusia agar hatinya selalu diliputi cahaya tawakkal kepada Allah.

 

Tawakkal, menurut istilah syara’ berarti menghadapkan hati kepada Allah sewaktu bekerja seraya memohon bantuan kepada-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya. Itulah esensi dan hakikat tawakkal.

 

Tawakkal terwujud dengan melaksanakan sebab-sebab (usaha) yang diperintahkan. Barangsiapa mengabaikannya, maka tawakkalnya tidak sah. Jadi, tawakkal tidak mengajak kepada pengangguran atau mengurangi pekerjaan.

 

Bahkan, tawakkal memiliki pengaruh yang besar dalam memacu semangat orang-orang besar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang semula mereka kira kemampuan mereka dan sarana-sarana pendukung yang ada tidak mampu menggapainya. Karena tawakkal merupakan suatu sarana yang paling kuat dalam menggapai apa yang diinginkan dan menolak apa yang tidak diinginkan. Bahkan, secara mutlak, tawakkal adalah sarana yang paling efektif untuk tujuan itu. Karena, bersandarnya hati kepada kekuasaan, kemurahan, dan kelembutan Allah akan mengikis habis kuman-kuman frustasi dan bibit-bibit kemalasan, lalu mengencangkan punggung harapan dengan bisa menjadi bekal bagi setiap orang untuk menerobos ombak samudera yang dalam dan menantang binatang buas yang ganas di dalam habitatnya.

 

Tawakkal yang paling agung adalah tawakkal kepada Allah dalam mencari hidayah (petunjuk), memurnikan tauhid, mengikuti Rasulullah r, memerangi Ahli kebatilan, dan menggapai apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, seperti iman, yakin, ilmu, dan dakwah. Ini adalah tawakkal para Rasul dan, para pengikutnya yang utama.

 

Tekad yang kuat dan benar yang dibarengi dengan tawakkal kepada Allah Penguasa segala sesuatu pastilah akan berakhir dengan kebenaran dan keberuntungan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

 

Kaum manapun yang bisa menggabungkan antara mengambil sebab-sebab (ikhtiar) dengan tawakkal yang kuat kepada Allah pasti memiliki bekal yang cukup untuk hidup mulia dan bahagia.[2]

 

      25.           Mengantarkan kepada Kejayaan dan Kemuliaan

 

Aqidah yang benar akan mengantarkan penganutnya kepada kejayaan dan kemuliaan, serta keberanian secara lisan maupun perbuatan. Jika seseorang merasa yakin bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Memberi Manfaat, Maha Mendatangkan bahaya, Maha Memberi dan Maha Menahan, bahwa orang yang merasa mulia dengan-Nya adalah orang yang mulia, sedangkan orang yang berlindung kepada selain Dia adalah orang yang hina, dan bahwa semua makhluk butuh kepada Allah, sedangkan mereka tidak bisa memberi manfaat ataupun mendatangkan bahaya, maka hal itu akan memberinya kekuatan dengan izin Allah. Membuatnya senantiasa berlindung kepada-Nya, tidak takut kepada selain-Nya, dan tidak berharap melainkan dari kemurahan-Nya.

 

Apabila seseorang menyadari bahwa apa yang ditakdirkan mengenainya tidaklah akan meleset darinya, dan apa yang meleset ditakdirkan darinya tidaklah akan mengenainya, maka jiwanya akan tenang. Hatinya akan tenteram dan berserah diri kepada Allah dalam segala hal.

 

Jika seseorang berserah diri kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keamanan, dan rasa takut kepada makhluk akan hilang dari hatinya. Karena ia telah meletakkan jiwanya di dalam brankas yang kuat dan menyembunyikannya di dalam sudut yang kokoh, sehingga tidak bisa dijamah oleh tangan-tangan musuh yang jahil dan usil.

 

Dengan demikian, ia terbebas dari perbudakan sesama makhluk. Ia tidak menggantungkan hatinya kepada makhluk manapun dalam upaya mendatangkan keuntungan dan menolak bahaya, melainkan hanya Allah sajalah yang menjadi pelindung dan penolong baginya. Ia meminta pertolongan dan bantuan kepada-Nya, sehingga ia mendapatkan kecukupan dari Tuhan dan kemudahan dalam segala urusan yang tidak didapatkan oleh orang yang tidak memiliki aqidah ini. Ia juga mendapatkan kekuatan hati yang tidak bisa digapai oleh orang yang tidak mencapai derajatnya.[3]

 

      26.           Tidak Bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan yang Benar

 

Aqidah Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang benar. Melainkan mendukung, menganjurkan, dan menyerukannya kepada manusia. Karena ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah -adalah semua ilmu pengetahuan yang menngantarkan kepada tujuan-tujuan luhur dan membuahkan buah-buah yang bermanfaat, baik dalam konteks dunia maupun Akhirat. Jadi segala sesuatu yang bisa menyucikan perbuatan, meningkatkan akhlak (moralitas), dan menunjukkan kepada jalan yang benar- adalah ilmu yang bermanfaat.

 

Syariat Islam yang sempurna dan universal telah memerintahkan untuk mempelajari semua ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Tauhid dan Ushuluddin, Ilmu Fiqih dan Hukum, Ilmu-Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Ilmu Perang, Ilmu Perindustrian, Ilmu Kedokteran[4], dan ilmu-ilmu lainnya yang berguna bagi individu maupun masyarakat.

 

Jadi, ilmu apa saja yang bermanfaat –baik dalam bidang agama maupun dunia- diperintahkan, dianjurkan, dan didorong oleh syariat (Islam) untuk dipelajari. Sehingga di dalamnya tergabung ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Bahkan syariat (Islam) menjadikan ilmu dunia yang bermanfaat sebagai bagian dari ilmu agama.

 

Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi kontradiksi antara fakta-fakta ilmiah yang benar dengan teks-teks syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang benar dan terang.

 

Apabila realitas menunjukkan sesuatu yang secara lahiriah terjadi kontradiksi, maka boleh jadi realitas itu hanyalah klaim yang tidak memiliki fakta, atau nash yang dimaksud tidak secara eksplisit menunjukkan kontradiksi. Karena, nash yang eksplisit (sharih) dan fakta ilmiah adalah dua hal yang sama-sama qath’iy (pasti), sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua hal yang sama-sama qath’iy.

 

Begitulah adanya. Dalam hal ini sebagian orang dari kalangan Ahli ghuluw (orang-orang ekstrem) dan Ahli materi (kaum materialis) telah keliru. Orang-orang ekstrem membatasi diri dengan sebagian ilmu agama hingga sedemikian rupa.

 

Sedangkan kaum materialis membatasi diri dengan sebagian ilmu alam dan menolak ilmu-ilmu lainnya. Akibatnya, mereka menjadi atheis dan kafir. Akal mereka kacau-balau. Akhlak mereka rusak. Hasil ilmu pengetahuan mereka menjadi produk yang kering, tidak bisa memberikan nutrisi kepada akhlak, dan tidak bisa menyucikan akal maupun ruh. Walhasil, bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, dan keburukannya lebih banyak ketimbang kebaikannya. Karena ia tidak dibangun di atas pondasi agama yang benar dan tidak memiliki keterkaitan dengannya.[5]

 

      27.           Mengakomodasi Kepentingan Ruh, Hati, dan Tubuh

 

Tidak ada aspek yang lebih diunggulkan atas aspek lainnya, dan tidak ada kepentingan merampas kepentingan lainnya. Segala sesuatunya berjalan dengan sangat cermat, harmonis, dan seimbang. Kendati Islam memberikan perhatian yang besar kepada aspek penyucian jiwa dan peningkatannya ke derajat keberuntungan, namun ia tidak mengabaikan hak-hak indera (tubuh). Islam memberikan perhiasan dan kenikmatan kepada tubuh secara adil.

 

Salah satu buktinya adalah Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah memerintahkan kepada mereka untuk menyembah-Nya, mengerjakan amal shalih yang diridhai-Nya, mengkonsumsi makanan yang baik, dan mengeksplorasi apa-apa yang disediakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya di dalam kehidupan ini. Kemudian Allah mendorong orang-orang yang melaksanakan agama yang benar dan aqidah yang sahih menuju keluhuran, ketinggian, dan kemajuan yang benar.

 

Barangsiapa mengetahui sebagian dari karakter agama yang agung ini, maka ia akan mengetahui betapa besar karunia Allah kepada seluruh makhluk. Dan barangsiapa membuang hal itu ke balik punggungnya, maka ia akan terjerumus ke dalam kebatilan, kesesatan, kekecewaan, kerugian, dan belenggu. Karena, aqidah-aqidah lain yang bertentangan dengan aqidah Islam –mulai dari kalangan Ahli khurafat dan kaum paganis hingga kepada kalangan atheis dan materialis- semuanya menjadikan para penganutnya seperti layaknya binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Manakala agama yang benar meninggalkan hati, maka akhlak yang indah akan turut meninggalkannya, dan tempatnya akan diisi oleh akhlak yang nista. Akibatnya, mereka terjerembab ke dalam jurang yang paling rendah, dan konsentrasi terbesar mereka adalah menikmati kebahagiaan hidup yang sesaat.[6]

 

      28.           Mengakui Peran Akal dan Membatasi Bidang Garapnya

 

Aqidah Islam menghormati akal yang sehat, menghargai perannya, mengangkat kedudukannya, tidak mengekangnya, dan tidak mengingkari aktifitasnya.

 

Islam tidak merestui bilamana seorang muslim memadamkan cahaya akalnya dan memilih taqlid buta dalam masalah aqidah (dan lainnya)[7]

 

Islam justru meminta agar setiap muslim mengamati kerajaan langit dan bumi, merenungkan dirinya sendiri dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di sekitarnya. Tujuannya, supaya ia mengetahui rahasia-rahasia alam semesta dan fakta-fakta kehidupan. Melalui media itu pula ia bisa sampai pada banyak masalah aqidah yang berada di dalam batas-batas kemampuannya.

 

Bahkan Islam menyampaikan kabar buruk kepada orang-orang yang telah menggunakan akal mereka dan memilih mengikuti apa yang dilakukan oleh leluhur mereka tanpa pemikiran, perenungan, dan pengetahuan.

 

Kendati Islam memiliki pandangan seperti ini terhadap akal, akan tetapi Islam juga membatasi bidang garap akal. Hal itu dilakukan dalam rangka menjaga potensi akal agar tidak tercerai-berai atau berantakan di balik perkara-perkara ghaib yang tidak mungkin diketahui dan ditemukan hakikatnya oleh akal. Seperti masalah dzat Tuhan, ruh, Surga, Neraka dan sebagainya. Karena akal memiliki bidang garap sendiri yang memungkinkannya bekerja di sana. Jika ia mencoba melangkah keluar dari bidang ini, maka ia akan tersesat dan bergentayangan di dalam kebingungan yang tidak bisa dikendalikannya. Ruang lingkup akal adalah segala sesuatu yang tampak dan konkrit. Sedangkan perkara-perkara ghaib yang abstrak bukanlah bidang yang bisa dimasuki oleh akal. Akal juga tidak boleh keluar dari apa yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’i.[8]

 

      29.           Mengakui Perasaan Manusiawi dan Mengarahkannya ke Arah yang Benar

 

Perasaan adalah sesuatu yang bersifat naluri (insting), dan setiap manusia normal pasti memilikinya. Sedangkan aqidah Islam bukanlah aqidah yang dingin dan beku, melainkan aqidah yang hidup. Ia mengakui perasaan manusiawi dan menghargainya dengan sebaik-baiknya. Tetapi, pada saat yang sama, ia tidak melepaskan kendali penuh kepadanya, melainkan meluruskannya, mengangkat derajatnya, dan mengarahkannya ke arah yang benar. Sehingga menjadikannya sebagai sarana kebaikan dan pembangunan, bukan menjadi gancu penghancuran dan perusakan.

 

Aqidah ini mengendalikan perasaan cinta, benci, dan perasaan-perasaan lainnya, kemudian membuat pemilik perasaan-perasaan itu penuh pertimbangan di dalam tindakan-tindakannya, bersikap bijaksana di dalam perilaku dan interaksi sosialnya. Ia melakukan itu semua dengan bertitik tolak pada kaidah bahwa Allah melihatnya, mengamatinya, dan akan memperhitungkan apa yang pernah dilakukannya. Sehingga, ia tidak mau mencintai kecuali karena Allah, tidak mau membenci kecuali karena Allah, tidak mau memberi kecuali karena Allah, dan tidak mau menahan kecuali karena Allah. Walhasil, ia tidak akan terdorong oleh luapan rasa cinta atau letupan amarah untuk melakukan perbuatan yang tercela, perilaku yang tidak bisa diterima, atau tindakan yang melampaui batas-batas ketentuan Allah.

 

Tanpa aqidah ini, masyarakat akan berubah menjadi masyarakat Jahiliyah yang marak dengan kekacauan, diliputi ketakutan dan kecemasan di berbagai penjuru, dan para penghuni berubah menjadi liar dan buas. Yang ada di benak mereka hanyalah membunuh, merampas, merusak, dan menghacurkan.

 

Semua itu pernah menjadi simbol yang sangat menonjol dan menjadi ciri khas masyarakat Jahiliyah sebelum aqidah Islam menetap di dalam hati pemelukya.[9]

 

      30.           Secara Umum Aqidah Islam Mampu Mengatasi Semua Problematika

 

Problematika perpecahan dan pertikaian, problematika politik dan ekonomi, problematika kebodohan, kesehatan, kemiskinan maupun yang lainnya.

 

Dengan aqidah ini Allah telah mempersatukan hati yang bercerai-berai dan kecenderungan yang bermacam-macam. Dengan aqidah ini pula Allah membuat umat Islam menjadi kaya sesudah mengalami kemelaratan. Dan dengan aqidah ini Allah mengajari mereka ilmu pengetahuan sesudah terbelenggu kebodohan, membuka mata mereka sesudah mengalami kebutaan. Kemudian Allah memberi mereka makan untuk menghindarkan mereka dari kelaparan dan menjamin keamanan mereka dari ketakutan.[10]

 

 

 

 

Dialihbahasakan dari Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah : Mafhumuha  Khashaishuha wa Khashaishu Ahliha karya Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd dan ditaqdim oleh al-Allamah Ibnu Bazz rahimahullahu

 

 

HOME >>>



[1] Lihat Dakwah At-Tauhid karya Al-Harras, hal. 252-257; Rasa’il fi Al-Aqidah karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, hal. 43-44; Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah, hal. 29-34; dan Wujub Luzum Al-Jama’ah wa Tarki At-Tafarruq, DR. Jamal bin Ahmad bin Basyir Badi, hal. 286-287

[2] Lihat Al-Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 129-130; Al-Hurriyah fi Al-Islam, hal. 33; dan Rosa’il Al-Ishlah, Muhammad Al-Khodlir Husain, 1/58,59,70

[3] Lihat Ar-Riyadl An-Nadlirah, Ibnu Sa’di, hal. 8

[4] Tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz

[5] Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami’al Masyakil, Syaikh As-Sa’di, hal. 20; Ad-Dala’il Al-Qur’aniyah fi Anna Al-Ulum An-Nafi’ah Dakhilah di Ad-Diin Al-Islami, Ibnu Sa’di, hal. 6; dan Majmu’ Fatawa wa Rosa’il, Syaikh Muhammad bin Utsaimin, 3/77

[6] Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami’al Masyakil, Syaikh As-Sa’di, hal. 16; Ad-Durroh Al-Mukhtasharah fi Mahasin Ad-Diin Al-Islami, hal. 37-38; dan Al-Hurriyah fi Al-Islam, Syaikh Muhammad Al-Khodlir Husain, hal. 41

[7] Tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

[8] Lihat Al-Aqidah Al-Islamiyah Baina Al-Aqli wa Al-‘Athifah, DR. Ahmad Syarif, hal. 4, 74-79

[9] Lihat Al-Aqidah Al-Islamiyah Baina Al-Aqli wa Al-‘Athifah, DR. Ahmad Syarif, hal. 4, 104-105

[10] Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami’al Masyakil, Syaikh As-Sa’di

Hosted by www.Geocities.ws

1