(AQIDAH
AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH)[1]
Oleh : Fadhilatus Syaikh Muhammad Ibrahim
al-Hamd
24.
Membuat
Hati Penuh Dengan Tawakkal kepada Allah
Aqidah Islam
memerintahkan kepada setiap manusia agar hatinya selalu diliputi cahaya
tawakkal kepada Allah.
Tawakkal,
menurut istilah syara’ berarti menghadapkan hati kepada Allah sewaktu
bekerja seraya memohon bantuan kepada-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya.
Itulah esensi dan hakikat tawakkal.
Tawakkal
terwujud dengan melaksanakan sebab-sebab (usaha) yang diperintahkan.
Barangsiapa mengabaikannya, maka tawakkalnya tidak sah. Jadi, tawakkal tidak
mengajak kepada pengangguran atau mengurangi pekerjaan.
Bahkan,
tawakkal memiliki pengaruh yang besar dalam memacu semangat orang-orang besar
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang semula mereka kira kemampuan
mereka dan sarana-sarana pendukung yang ada tidak mampu menggapainya. Karena
tawakkal merupakan suatu sarana yang paling kuat dalam menggapai apa yang
diinginkan dan menolak apa yang tidak diinginkan. Bahkan, secara mutlak,
tawakkal adalah sarana yang paling efektif untuk tujuan itu. Karena,
bersandarnya hati kepada kekuasaan, kemurahan, dan kelembutan Allah akan
mengikis habis kuman-kuman frustasi dan bibit-bibit kemalasan, lalu
mengencangkan punggung harapan dengan bisa menjadi bekal bagi setiap orang
untuk menerobos ombak samudera yang dalam dan menantang binatang buas yang
ganas di dalam habitatnya.
Tawakkal
yang paling agung adalah tawakkal kepada Allah dalam mencari hidayah
(petunjuk), memurnikan tauhid, mengikuti Rasulullah r, memerangi Ahli kebatilan, dan menggapai
apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, seperti iman, yakin, ilmu, dan
dakwah. Ini adalah tawakkal para Rasul dan, para pengikutnya yang utama.
Tekad
yang kuat dan benar yang dibarengi dengan tawakkal kepada Allah Penguasa segala
sesuatu pastilah akan berakhir dengan kebenaran dan keberuntungan. Allah Ta’ala
berfirman,
“Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)
Kaum
manapun yang bisa menggabungkan antara mengambil sebab-sebab (ikhtiar) dengan
tawakkal yang kuat kepada Allah pasti memiliki bekal yang cukup untuk hidup
mulia dan bahagia.[2]
25.
Mengantarkan
kepada Kejayaan dan Kemuliaan
Aqidah
yang benar akan mengantarkan penganutnya kepada kejayaan dan kemuliaan, serta
keberanian secara lisan maupun perbuatan. Jika seseorang merasa yakin bahwa
Allah adalah Tuhan Yang Maha Memberi Manfaat, Maha Mendatangkan bahaya, Maha
Memberi dan Maha Menahan, bahwa orang yang merasa mulia dengan-Nya adalah orang
yang mulia, sedangkan orang yang berlindung kepada selain Dia adalah orang yang
hina, dan bahwa semua makhluk butuh kepada Allah, sedangkan mereka tidak bisa
memberi manfaat ataupun mendatangkan bahaya, maka hal itu akan memberinya
kekuatan dengan izin Allah. Membuatnya senantiasa berlindung kepada-Nya, tidak
takut kepada selain-Nya, dan tidak berharap melainkan dari kemurahan-Nya.
Apabila
seseorang menyadari bahwa apa yang ditakdirkan mengenainya tidaklah akan
meleset darinya, dan apa yang meleset ditakdirkan darinya tidaklah akan
mengenainya, maka jiwanya akan tenang. Hatinya akan tenteram dan berserah diri
kepada Allah dalam segala hal.
Jika
seseorang berserah diri kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keamanan, dan
rasa takut kepada makhluk akan hilang dari hatinya. Karena ia telah meletakkan
jiwanya di dalam brankas yang kuat dan menyembunyikannya di dalam sudut yang
kokoh, sehingga tidak bisa dijamah oleh tangan-tangan musuh yang jahil dan
usil.
Dengan
demikian, ia terbebas dari perbudakan sesama makhluk. Ia tidak menggantungkan
hatinya kepada makhluk manapun dalam upaya mendatangkan keuntungan dan menolak
bahaya, melainkan hanya Allah sajalah yang menjadi pelindung dan penolong
baginya. Ia meminta pertolongan dan bantuan kepada-Nya, sehingga ia mendapatkan
kecukupan dari Tuhan dan kemudahan dalam segala urusan yang tidak didapatkan
oleh orang yang tidak memiliki aqidah ini. Ia juga mendapatkan kekuatan hati yang
tidak bisa digapai oleh orang yang tidak mencapai derajatnya.[3]
26.
Tidak
Bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan yang Benar
Aqidah
Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang benar. Melainkan
mendukung, menganjurkan, dan menyerukannya kepada manusia. Karena ilmu
pengetahuan yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
-adalah semua ilmu pengetahuan yang menngantarkan kepada tujuan-tujuan luhur dan
membuahkan buah-buah yang bermanfaat, baik dalam konteks dunia maupun Akhirat.
Jadi segala sesuatu yang bisa menyucikan perbuatan, meningkatkan akhlak
(moralitas), dan menunjukkan kepada jalan yang benar- adalah ilmu yang
bermanfaat.
Syariat
Islam yang sempurna dan universal telah memerintahkan untuk mempelajari semua
ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Tauhid dan Ushuluddin, Ilmu
Fiqih dan Hukum, Ilmu-Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Ilmu
Perang, Ilmu Perindustrian, Ilmu Kedokteran[4],
dan ilmu-ilmu lainnya yang berguna bagi individu maupun masyarakat.
Jadi,
ilmu apa saja yang bermanfaat –baik dalam bidang agama maupun dunia-
diperintahkan, dianjurkan, dan didorong oleh syariat (Islam) untuk dipelajari.
Sehingga di dalamnya tergabung ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu dunia. Bahkan syariat (Islam) menjadikan ilmu dunia yang
bermanfaat sebagai bagian dari ilmu agama.
Oleh
karena itu, tidak mungkin terjadi kontradiksi antara fakta-fakta ilmiah yang
benar dengan teks-teks syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang benar dan terang.
Apabila
realitas menunjukkan sesuatu yang secara lahiriah terjadi kontradiksi, maka
boleh jadi realitas itu hanyalah klaim yang tidak memiliki fakta, atau nash
yang dimaksud tidak secara eksplisit menunjukkan kontradiksi. Karena, nash yang
eksplisit (sharih) dan fakta ilmiah adalah dua hal yang sama-sama qath’iy
(pasti), sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua hal yang
sama-sama qath’iy.
Begitulah
adanya. Dalam hal ini sebagian orang dari kalangan Ahli ghuluw (orang-orang
ekstrem) dan Ahli materi (kaum materialis) telah keliru. Orang-orang ekstrem
membatasi diri dengan sebagian ilmu agama hingga sedemikian rupa.
Sedangkan
kaum materialis membatasi diri dengan sebagian ilmu alam dan menolak ilmu-ilmu
lainnya. Akibatnya, mereka menjadi atheis dan kafir. Akal mereka kacau-balau.
Akhlak mereka rusak. Hasil ilmu pengetahuan mereka menjadi produk yang kering,
tidak bisa memberikan nutrisi kepada akhlak, dan tidak bisa menyucikan akal
maupun ruh. Walhasil, bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, dan keburukannya
lebih banyak ketimbang kebaikannya. Karena ia tidak dibangun di atas pondasi
agama yang benar dan tidak memiliki keterkaitan dengannya.[5]
27.
Mengakomodasi
Kepentingan Ruh, Hati, dan Tubuh
Tidak
ada aspek yang lebih diunggulkan atas aspek lainnya, dan tidak ada kepentingan
merampas kepentingan lainnya. Segala sesuatunya berjalan dengan sangat cermat,
harmonis, dan seimbang. Kendati Islam memberikan perhatian yang besar kepada
aspek penyucian jiwa dan peningkatannya ke derajat keberuntungan, namun ia tidak
mengabaikan hak-hak indera (tubuh). Islam memberikan perhiasan dan kenikmatan
kepada tubuh secara adil.
Salah
satu buktinya adalah Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang
beriman untuk mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah
memerintahkan kepada mereka untuk menyembah-Nya, mengerjakan amal shalih yang
diridhai-Nya, mengkonsumsi makanan yang baik, dan mengeksplorasi apa-apa yang
disediakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya di dalam kehidupan ini. Kemudian
Allah mendorong orang-orang yang melaksanakan agama yang benar dan aqidah yang
sahih menuju keluhuran, ketinggian, dan kemajuan yang benar.
Barangsiapa
mengetahui sebagian dari karakter agama yang agung ini, maka ia akan mengetahui
betapa besar karunia Allah kepada seluruh makhluk. Dan barangsiapa membuang hal
itu ke balik punggungnya, maka ia akan terjerumus ke dalam kebatilan,
kesesatan, kekecewaan, kerugian, dan belenggu. Karena, aqidah-aqidah lain yang
bertentangan dengan aqidah Islam –mulai dari kalangan Ahli khurafat dan kaum
paganis hingga kepada kalangan atheis dan materialis- semuanya menjadikan para
penganutnya seperti layaknya binatang, bahkan lebih sesat dari binatang.
Manakala agama yang benar meninggalkan hati, maka akhlak yang indah akan turut
meninggalkannya, dan tempatnya akan diisi oleh akhlak yang nista. Akibatnya,
mereka terjerembab ke dalam jurang yang paling rendah, dan konsentrasi terbesar
mereka adalah menikmati kebahagiaan hidup yang sesaat.[6]
28.
Mengakui
Peran Akal dan Membatasi Bidang Garapnya
Aqidah
Islam menghormati akal yang sehat, menghargai perannya, mengangkat
kedudukannya, tidak mengekangnya, dan tidak mengingkari aktifitasnya.
Islam
tidak merestui bilamana seorang muslim memadamkan cahaya akalnya dan memilih
taqlid buta dalam masalah aqidah (dan lainnya)[7]
Islam
justru meminta agar setiap muslim mengamati kerajaan langit dan bumi,
merenungkan dirinya sendiri dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di
sekitarnya. Tujuannya, supaya ia mengetahui rahasia-rahasia alam semesta dan
fakta-fakta kehidupan. Melalui media itu pula ia bisa sampai pada banyak
masalah aqidah yang berada di dalam batas-batas kemampuannya.
Bahkan
Islam menyampaikan kabar buruk kepada orang-orang yang telah menggunakan akal
mereka dan memilih mengikuti apa yang dilakukan oleh leluhur mereka tanpa
pemikiran, perenungan, dan pengetahuan.
Kendati
Islam memiliki pandangan seperti ini terhadap akal, akan tetapi Islam juga
membatasi bidang garap akal. Hal itu dilakukan dalam rangka menjaga potensi
akal agar tidak tercerai-berai atau berantakan di balik perkara-perkara ghaib
yang tidak mungkin diketahui dan ditemukan hakikatnya oleh akal. Seperti
masalah dzat Tuhan, ruh, Surga, Neraka dan sebagainya. Karena akal memiliki
bidang garap sendiri yang memungkinkannya bekerja di
29.
Mengakui
Perasaan Manusiawi dan Mengarahkannya ke Arah yang Benar
Perasaan
adalah sesuatu yang bersifat naluri (insting), dan setiap manusia normal pasti
memilikinya. Sedangkan aqidah Islam bukanlah aqidah yang dingin dan beku,
melainkan aqidah yang hidup. Ia mengakui perasaan manusiawi dan menghargainya
dengan sebaik-baiknya. Tetapi, pada saat yang sama, ia tidak melepaskan kendali
penuh kepadanya, melainkan meluruskannya, mengangkat derajatnya, dan
mengarahkannya ke arah yang benar. Sehingga menjadikannya sebagai sarana
kebaikan dan pembangunan, bukan menjadi gancu penghancuran dan perusakan.
Aqidah
ini mengendalikan perasaan cinta, benci, dan perasaan-perasaan lainnya,
kemudian membuat pemilik perasaan-perasaan itu penuh pertimbangan di dalam
tindakan-tindakannya, bersikap bijaksana di dalam perilaku dan interaksi
sosialnya. Ia melakukan itu semua dengan bertitik tolak pada kaidah bahwa Allah
melihatnya, mengamatinya, dan akan memperhitungkan apa yang pernah
dilakukannya. Sehingga, ia tidak mau mencintai kecuali karena Allah, tidak mau
membenci kecuali karena Allah, tidak mau memberi kecuali karena Allah, dan
tidak mau menahan kecuali karena Allah. Walhasil, ia tidak akan terdorong oleh
luapan rasa cinta atau letupan amarah untuk melakukan perbuatan yang tercela,
perilaku yang tidak bisa diterima, atau tindakan yang melampaui batas-batas
ketentuan Allah.
Tanpa
aqidah ini, masyarakat akan berubah menjadi masyarakat Jahiliyah yang marak
dengan kekacauan, diliputi ketakutan dan kecemasan di berbagai penjuru, dan
para penghuni berubah menjadi liar dan buas. Yang ada di benak mereka hanyalah
membunuh, merampas, merusak, dan menghacurkan.
Semua
itu pernah menjadi simbol yang sangat menonjol dan menjadi ciri khas
masyarakat Jahiliyah sebelum aqidah Islam menetap di dalam hati pemelukya.[9]
30.
Secara
Umum Aqidah Islam Mampu Mengatasi Semua Problematika
Problematika
perpecahan dan pertikaian, problematika politik dan ekonomi, problematika
kebodohan, kesehatan, kemiskinan maupun yang lainnya.
Dengan
aqidah ini Allah telah mempersatukan hati yang bercerai-berai dan kecenderungan
yang bermacam-macam. Dengan aqidah ini pula Allah membuat umat Islam menjadi
kaya sesudah mengalami kemelaratan. Dan dengan aqidah ini Allah mengajari
mereka ilmu pengetahuan sesudah terbelenggu kebodohan, membuka mata mereka
sesudah mengalami kebutaan. Kemudian Allah memberi mereka makan untuk
menghindarkan mereka dari kelaparan dan menjamin keamanan mereka dari
ketakutan.[10]
Dialihbahasakan dari Aqidah Ahli Sunnah wal
Jama’ah : Mafhumuha Khashaishuha wa
Khashaishu Ahliha karya Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd dan ditaqdim
oleh al-Allamah Ibnu Bazz rahimahullahu
[1] Lihat Dakwah At-Tauhid karya Al-Harras, hal.
252-257; Rasa’il fi Al-Aqidah karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, hal.
43-44; Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah, hal. 29-34; dan Wujub Luzum
Al-Jama’ah wa Tarki At-Tafarruq, DR. Jamal bin Ahmad bin Basyir Badi, hal.
286-287
[2] Lihat Al-Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 129-130; Al-Hurriyah
fi Al-Islam, hal. 33; dan Rosa’il Al-Ishlah, Muhammad Al-Khodlir
Husain, 1/58,59,70
[3] Lihat Ar-Riyadl An-Nadlirah, Ibnu Sa’di, hal.
8
[4] Tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz
[5] Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami’al
Masyakil, Syaikh As-Sa’di, hal. 20; Ad-Dala’il Al-Qur’aniyah fi Anna
Al-Ulum An-Nafi’ah Dakhilah di Ad-Diin Al-Islami, Ibnu Sa’di, hal. 6; dan Majmu’
Fatawa wa Rosa’il, Syaikh Muhammad bin Utsaimin, 3/77
[6] Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami’al
Masyakil, Syaikh As-Sa’di, hal. 16; Ad-Durroh Al-Mukhtasharah fi Mahasin
Ad-Diin Al-Islami, hal. 37-38; dan Al-Hurriyah fi Al-Islam, Syaikh
Muhammad Al-Khodlir Husain, hal. 41
[7] Tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
[8] Lihat Al-Aqidah Al-Islamiyah Baina Al-Aqli wa
Al-‘Athifah, DR. Ahmad Syarif, hal. 4, 74-79
[9] Lihat Al-Aqidah Al-Islamiyah Baina Al-Aqli wa
Al-‘Athifah, DR. Ahmad Syarif, hal. 4, 104-105
[10] Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami’al
Masyakil, Syaikh As-Sa’di