KONTROVERSI PUASA SUNNAH HARI SABTU :
Haram, Makruh ataukah Mubah ??
Penyusun :
Abu Salma al-Atsary
Muharam
telah tiba, bulan yang Allah Tabaroka wa Ta’ala mengaitkan nama-Nya yang
tinggi pada bulan ini, bulan yang di dalamnya nabi yang mulia ‘alaihi
Sholaatu wa Salaam mengatakan sebagai bulan paling afdhol untuk berpuasa
setelah ramadhan. Dari Abu Hurairoh, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
Sallam : ”Seutama-utama puasa setelah ramadhan adalah bulan Allah Muharam,
dan seutama-utama sholat setelah sholat fardhu adalah sholat malam.” (Hadits
Shahih : Shahih Abu Dawud : 2122; Shahih Muslim : (II/821/1163); Sunan Abu
Dawud (V/82/2412) – Aunul Ma’bud; Sunan Nasa’i (III/206) dan Sunan Turmudzi
(I/274/436). Lihat Takhrijnya di dalam al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah hal.
200).
Namun dalam al-Wajiz
hal. 203, di dalam sub bab yang berjudul al-Ayyamu al-Munha ’an
Shiyaamiha (hari-hari yang terlarang berpuasa), no.4, Syaikh Abdul Azhim
Badawi hafizhahullahu memasukkan hari Sabtu secara bersendirian termasuk
hari yang terlarang berpuasa di dalamnya. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin
Busr as-Sulami dari saudarinya yang bernama ash-Shamma’, bahwasanya Nabi Shallallahu
’alaihi wa Sallam bersabda : ”Janganlah berpuasa pada hari Sabtu kecuali
puasa yang diwajibkan kepada kalian, jika kalian tidak mendapatkan apapun
kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah”. (Hadits
Shahih : Shahih : 2116; Sunan Abu Dawud (VII/66/4303); Sunan Turmudzi
(II/123/741) dan Sunan Ibnu Majah (I/550/1726), lihat takhrijnya di dalam
al-Wajiz hal. 203)
Tanggal 10
Muharam 1426 ini jatuh bertepatan pada hari Sabtu. Hal ini tidak jauh berbeda
dengan kejadian hari Arofah pada tahun 1408 yang jatuh juga pada hari Sabtu.
Lantas bagaimanakah hukum berpuasa sunnah (Muharam) pada hari Sabtu?? Apakah
kita lebih mendahulukan larangan tentang berpuasa hari Sabtu ataukah kita
mendahulukan hadits yang menganjurkan puasa sunnah pada hari itu?? Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat secara tajam.
Syaikh
al-Albany Rahimahullahu berpendapat bahwa berpuasa pada hari Sabtu
hukumnya haram secara mutlak (al-Irwa’ : IV/122) dan pendapat beliau dikuatkan
oleh Syaikh Ali Hasan al-Halaby dalm Zahru ar-Raudli fi Hukmi Shiyaami Yawmi
Sabti fi Ghoyril Fardli. Syaikh Abdul Azhim Badawi dalam al-Wajiz fi
Fiqhis Sunnah memasukkan hari Sabtu sebagai hari-hari terlarang dan haram
jika dilaksanakan bersendirian, sedangkan jumhur ulama menyatakan hukumnya
adalah makruh sebagaimana pendapat Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi dalam Silsilah
Fatawa Syar’iyah, sebagian lagi memperbolehkan secara mutlak seperti Syaikh
Abu Abdillah Mustofa al-‘Adawi, Syaikh Usamah Abdul Aziz (dalam Shiyaamu
Tathawu’ Fadha’il wal Ahkam – terjemahan : Puasa Sunnah, penerbit : Darul
Haq), Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini (dalam tanya jawab di
http://www.alheweni.com) dan selainnya.
Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217)
: “Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang
masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri dan
Adlha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah
hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu,
pertengahan akhir bulan Sya’ban dan puasa Dahri…” beliau melanjutkan
ucapannya, “Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena
perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya
beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa
yang telah diwajibkan kepada kalian”…”.
Imam ath-Thahawi berkata di dalam Syarh Ma’ani
al-Atsaar (II/80) setelah meriwayatkan hadits larangan berpuasa pada hari
Sabtu : “Para ulama berpendapat dengan hadits ini, dan mereka membenci berpuasa
tathawu’ (sunnah) pada hari Sabtu.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata
dalam Iqtidla’ ash-Shirathal Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya
hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu : “Para ulama telah berselisih
pendapat tentangnya.”
Beberapa ulama berargumen di dalam menolak hadits
larangan berpuasa hari pada hari Sabtu ini dengan menyatakan bahwa hadits ini
adalah syaadz. Agar permasalahan ini menjadi jelas, maka ada baiknya
jika kita melihat perincian jalan-jalan hadits larangan berpuasa pada hari
Sabtu ini, sehingga madzhab yang kita ambil adalah madzhab Ahlul Hadits bukan
madzhab Fulani atau Fulan.
TAFSHIL (PERINCIAN) JALUR-JALUR PERIWAYATAN HADITS
LARANGAN BERPUASA HARI SABTU DAN PENETAPAN KESHAHIHANNYA
Fadhilatus
Syaikh Ali Hasan al-Halaby al-Atsary berkata di dalam Zahru ar-Roudli fi
Hukmi Shiyaami Yaum as-Sabti fi ghoiri al-Fardli :
Hadits ini warid (datang)
dari empat orang sahabat. Tiga diantaranya merupakan ahlul bait yang satu,
yakni :
1. Abdullah bin Busr
2. Saudarinya, Shamma’ binti Busr
3. Bapak keduanya, Busr bin Abi Busr
al-Maaziniy
Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dalam ‘al-Isti’ab’ (12/228-229)
dengan sanad yang sampai kepada Duhaim, ia berkata : “Sahabat nabi yang satu
ahlul bait (keluarga) ada empat orang, yaitu Busr dan kedua puteranya, Abdullah
dan Athiyah, serta saudari keduanya, Shamma’” (Lihat : ar-Rabbaniy fil
Hadist (hal. 26) karya Abdul Ghani bin Said al-Azdi dengan tahqiqku (Syaikh
Ali Hasan), cet. Dar Ammar)
4. Abu Umamah, yang nama asli beliau adalah
Shuday bin ‘Ajlan.
Berikut ini adalah perincian riwayat-riwayat mereka, jalur-jalurnya
beserta takhrijnya (Yang dinukul dari risalah Zahru ar-Roudli :
PERTAMA : ABDULLAH BIN BUSR
Memiliki banyak jalur :
Pertama :
Diriwayatkan
Ibnu Majah (1726), ‘Abd bin Humaid dalam Musnad-nya no 507, Nasa`iy
dalam al-Kubra (55/m/1), Ibnu Syahin dalam Nasikh wa Mansukh (no.
398, cet. Al-Manar) dan Abu Nu`aim dalam al-Hilyah (V/218). Seluruhnya
dari jalur Isa bin Yunus, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid, dari Abdullah, ia
berkata :
“Janganlah
kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian, jika
kalian tak mendapatkan apa-apa kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting
pohon, maka kunyahlah”
Diriwayatkan pula oleh Tamam
ar-Razi dalam Fawaid-nya no 654 dari jalan Utbah bin Sakkan, dari Tsaur
yang serupa…
Aku (Syaikh
Ali) berkata : “Isa bin Yunus adalah Ibnu Abi Ishaq as-Sabi’iy, seorang yang tsiqot
ma’mun. Adapun Utbah bin Sakkan, Daruquthni berkata tentangnya, “Dia
matruk”. Berkata Baihaqi tentangnya, “Lemah tertuduh memalsu hadits”.
Biografinya terdapat dalam al-Lisan (IV/128). Adapun rijal sanad lainnya
tsiqoh dan sanadnya shahih. Keberadaan Utbah tidak menganggu kesahihannya
karena riwayat Utbah hanyalah mutaabi’ (penyerta).”
Kedua :
Diriwayatkan
Ahmad (IV/189) dan al-Khathib dalam Tarikh-nya (VI/24), dari jalur
Ibrahim bin Ishaq ath-Thalqooniy, ia berkata : Mengabarkan kepada kami Walid
bin Muslim, dari Yahya bin Hassan, ia berkata, aku mendengar Abdullah bin Busr
al-Maaziniy berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda : (sama seperti redaksi sebelumnya)
Rijal-rijalnya
seluruhnya tsiqot, namun Walid bin Muslim telah melakukan Tadlis Taswiyah, ia tidak
menyatakannya dengan tahdits (perkataan haddatsana) dari gurunya,
namun beliau menegaskannya pada (tabaqat/tingkatan) gurunya guru beliau.
Syaikh kami Albany telah
mengisyaratkan hal ini dalam al-Irwa’ (IV/122) perkataan adl-Dliya’
al-Maqdisy dalam al-Ahadits al-Mukhtarah (191/1) yang berkata, “Sanad
hadits ini shahih.” Barangkali pada riwayatnya, Walid menegaskan riwayatnya
dengan tahdits. Wallahu a’lam.
Ketiga :
Diriwayatkan
Ahmad (IV/189), Nasa`iy dalam al-Kubra sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah
(IV/293), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (V/250-ihsan), ad-Daulabi
dalam al-Kuna (II/118), ath-Thabrani –dari jalur al-Mizzi- dalam Tahdzibul
Kamal (VI/43-Basyar), Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya (9/no. 8), Abu
Zur’ah ad-Dimasyqy dalam Tarikh-nya (no. 611) secara ringkas.
Keseluruhannya dari dua jalan, dari Hassan bin Nuh, ia berkata, aku mendengar
Abdullah bin Busr berkata, apakah kau lihat kedua tanganku ini? Aku telah
membaiat Rasulullah dengan kedua tanganku ini, dan aku mendengar beliau
bersabda… (sama seperti redaksi sebelumnya)
Aku (Syaikh
Ali) berkata, “Sanadnya hasan insya Allah. Dan Hassan, banyak perawi tsiqot
meriwayatkan darinya. Al-Ijli, Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar mentsiqotkannya.
Adz-Dzahabi berkata, Shaduq.”
Aku (Syaikh
Ali) katakan : Hadits dari jalur Abdullah dishahihkan al-Hakim, ia berkata,
“Shahih menurut syarat Bukhari.” Ibnu Sakkan
menshahihkannya sebagaimana tercantum dalam at-Talkhishu Hubair (II/216)
karya Ibnu Hajar.
KEDUA : ASH-SHAMMA’ BINTI BUSR
As-Shamma’ ini diperselisihkan
tentangnya.
Ibnu Hajar
Berkata dalam at-Tahdzib (12/431) : “Beliau adalah saudari Abdullah bin
Busr, adapula yang mengatakan beliau adalah ‘amati (bibi yang memiliki
hubungan darah dengan ayah atau saudarinya ayah)-nya dan ada pula yang
mengatakan beliau adalah kholati (bibi yang memiliki hubungan darah
dengan ibu atau saudarinya ibu)-nya.”
Beliau
berkata pula dalam al-Ishabah (12/160) : “Nasa`iy mengeluarkan
haditsnya, dan dia meneliti tentang argumentasi perselisihan perawi di dalam
sanadnya. Beliau pada mayoritas riwayatnya disebut namanya, ash-Shama’, namun
pada jalan lain disebut ‘amati-nya (Abdullah), di jalan lain disebutkan kholati-nya
(Abdullah), dan di jalan lain tidak disebut namanya.”
Aku (Syaikh
Ali) berkata, “Persahabatannya (Ash-Shama’) dengan Rasulullah adalah tsabit
(benar), namun bagaimana hubungan kekerabatannya dengan Abdullah bin Busr
adalah perkara ikhtilaf yang masih suram. Tapi, ikhtilaf ini tidak mempengaruhi
hadits ini sebagaimana zhahirnya” (bahwa ash-Shama’ adalah shahabiyah dan
seluruh shahabiyah adalah ‘adil, peny.).
Telah warid seluruh
riwayat-riwayat darinya. Berikut ini penjelasannya :
Pertama :
Dari Abdullah bin Busr dari Saudarinya ash-Shamma’
Daruquthni
meriwayatkan secara mu’allaq dalam al-Mu’talif wal Mukhtalif
(I/247), dan warid (datang) maushul (penguhubung sanad)-nya dari
jalan Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dst…
Diriwayatkan oleh jama’ah, yakni :
1. Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(2421), Ibnu Majah (1726), Nasa`iy dalam al-Kubra (65/a/3) sebagaimana
tercantum dalam at-Tuhfah (II/344), Ibnu Asakir dalam Asadul Ghobah
(VI/155) dari jalur Sufyan bin Hubaib dan Walid bin Muslim.
2. Diriwayatkan oleh Turmudzi (744),
Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1806), Thabrani (24/330) dari jalur Sufyan
bin Hubaib.
3. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/368),
Darimi (II/19), Ibnu Khuzaimah (2164), Thahawi (II/80), Baihaqi (IV/302),
Thabrani dalam al-Kabir (24/325) dari jalan Abu ‘Ashim.
4. Diriwayatkan oleh Hakim (I/436),
Thabrani (24/327), Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wal Matsaaniy (3411)
dari jalan al-Walid.
5. Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam al-Kubra
(55/a/2), Thabrani dalam al-Kabir (24/330) dari jalan Asbagh bin Zaid.
6.
Diriwayatkan oleh Tammam dalam Fawa`id-nya (652)
dari jalan Auza`iy.
7.
Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/4)
dari jalan Abdul Malik bin Shobah.
8.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir (24/330)
dari jalan Qurrah bin Abdurrahman.
9.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir (24/330)
dari jalan al-Fadhl bin Musa.
10. Diriwayatkan
oleh adl-Dliya’ al-Maqdisy dalam al-Muntaqa min Masmu’atihi bimarruw (no.
34/1), sebagaimana tercantum dalam al-Irwa’ (IV/118) dari jalan
Yahya bin Nashr. Syaikh
Ali Hasan berkata : “sanadnya shahih menurut syarat Bukhari.”
Keseluruhan sepuluh riwayat di
atas, seluruh perawinya termasuk perawi tsiqoh, yang meriwayatkan dari Tsaur
dan menetapkan bahwa Shamma’ adalah saudari Abdullah bin Busr. Akan datang
sebentar lagi riwayat Baqiyyah dari Tsaur yang menetapkan Shamma’ bukan saudari
Abdullah, akan tetapi haditsnya munkar, demikian pula riwayat Abu Bakr
al-Muqri’, haditsnya syadz.
Barangkali,
dari sinilah para ulama menyatakan bahwa ash-Shamma’ adalah saudari Abdullah
bin Busr. Pendapat lainnya warid dari riwayat lainnya yang akan datang
dari jalur Tsaur memiliki mutaabi’ (penyerta).
Diriwayatkan
oleh Ahmad (VI/368) dan Thabrani dalam Musnad asy-Syaamiyyin (1591) dari
jalan Isma`il bin Ayyasy dari Muhammad bin Walid az-Zubaidi, dari Luqman bin
‘Amir, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Busr, dari saudarinya,
ash-Shamma’… dst…
Sanadnya hasan karena adanya
Luqman, dan riwayat Isma`il dari penduduk Syam adalah shahih. Namun :
Diriwayatkan
oleh Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/6) dan Thabrani dalam Musnad
asy-Syaamiyyin (1850), sebagaimana komentar asy-Syaikh Hamdi Abdul Majid
as-Salafy terhadap Mu’jamul Kubra (II/328), beliau menyebutkan adanya
dua jalan, dan diriwayatkan al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (641) dari
jalur Baqiyah bin Walid, dari az-Zubaidi, dari Luqman bin Amir, dari Amir bin
Jasyib, dari Khalid, dari Abdullah bin Busr secara Marfu’.
Yaitu,
dengan tambahan rawi Amir bin Jasyib diantara Luqman dan Khalid dan dia adalah
orang yang tsiqoh, dan riwayatnya menghilangkan Shamma’ saudari Abdullah.
Hal ini tidak menyebabkan ‘illat
(cacat) bagi hadits, karena Luqman bin Amir meriwayatkan dari Abu Darda’, Abu
Hurairoh, Abu Umamah, dll. Dan riwayatnya dari Khalid lebih utama, demikian
pula riwayatnya dari Amir juga Tsabit.
Kemudian Aku
(Syaikh Ali) melihat pada jalur Tsaur memiliki mutaba’ah lainnya, namun
dengan tambahan rawi ‘Aisyah setelahnya.
Nasa`iy
meriwayatkan dalam al-Kubra (55/a/11) sebagaimana tercantum dalam Tuhfatul
Asyraf (II/401) dari Muhammad bin Wahb, dari Muhammad bin Salamah
(dalam at-Tahdzib (9/506) disebut bin Maslamah), dari Abu Abdurrahman
(namanya adalah Khalid bin Abi Yazid bin Sammal –dalam at-Tahdzib (8/217-dengan
tahqiq Basyar Awwad) disebut bin Sammak-, lihat al-Ikmal (IV/353) karya
Ibnu Makuula), dari al-Allaa’, dari Dawud bin Ubaidillah, dari Khalid bin
Ma’dan, dari Abdullah bin Busr, dari saudarinya ash-Shamma’, dari ‘Aisyah….
Al-Mizzi
berkata, “Demikianlah teksnya, ia berkata, dari saudarinya ash-Shamma’, dari
‘Aisyah. Sekumpulan ulama telah meriwayatkan dari Abdullah bin Busr, dari ‘amati-nya,
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Pendapat lain mengatakan, dari kholati-nya,
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ada pendapat lain lagi
mengatakan, dari Abdullah, dari ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam..”
Aku (Syaikh
Ali Hasan) berkata, “akan datang seluruh takhrijnya nanti. Dan sanad yang telah
kupaparkan tadi dengan adanya rawi ‘Aisyah adalah dha’if, dikarenakan majhulnya
Dawud bin Ubaidillah. Tidak ada
yang menerima riwayat darinya melainkan hanya al-Alla’. Tidak pula diketahui jarh
wa ta’dil terhadapnya. Al-Mizzi menuliskan biografinya dalam Tahdzibul
Kamal (VIII/916), dan Ibnu Hajar menerangkan kemajhulannya dalam at-Taqrib
(no. 1999), demikian pula oleh Dzahabi dalam al-Mizan (II/107). Maka
pendapat yang menyelisihi hal ini adalah tidak diterima.”
Kedua : Dari
Abdullah bin Busr dari Ibunya
Tammam
al-Hafizh meriwayatkannya dalam Fawa`id-nya (no. 653), ia berkata,
“Mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman bin Ayyub bin Hadzlam, menceritakan
kepada kami Yazid bin Muhammad bin Abdush-Shamad, menceritakan kepada kami Abu
Bakr Abdullah bin Yazid bin Muqri’, ia berkata : Aku mendengar Tsaur bin Yazid
berkata, telah menceritakanku Khalid bin Ma’dan…”
Ibnu Abi
Ashim juga meriwayatkannya di dalam al-Ahad wal Matsaaniy (3413) dari
Isma`il bin Abdillah, dari Abdullah bin Yazid.
Syaikh kami,
al-‘Allamah al-Albany berkata di dalam al-Irwa` (IV/119) : “Abdullah bin
Yazid al-Muqri’ bersendirian di dalam hadits ini, namun dia orang yang tsiqoh.
Tapi tersamar atasku karena kutemukan kunyahnya dalam tulisan tanganku dengan
kunyah Abu Bakr, sedangkan Abdullah bin Yazid berkunyah dengan Abu Abdurrahman. Dan ia
termasuk gurunya Imam Ahmad.”
Syaikh Jasim
bin Fuhaid telah menghimpun mutaabi’-nya dalam ar-Raudhul Bassam (II/198).
Aku (Syaikh
Ali) berkomentar : “Rijal-rijal lainnya tsiqoh dan sanadnya hasan. Tetapi
al-Muqri’ bersendirian menyebut ash-Shamma’. Adapun jalur Abdullah menyelisihi
perawi tsiqot terdahulu yang menyebutkan mereka dan menghukumi riwayatnya syadz.”
Ketiga :
Abdullah bin Busr dari ‘amati-nya
Diriwayatkan
oleh Ibnu Khuzaimah (2164), Baihaqi (IV/302), Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/2)
sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah (II/345), Thabrani dalam al-Kabir
(24/324-325), Ibnu Mandah –sebagaimana tercantum dalam al-Ishabah
(VIII/130), Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wal Matsaaniy (3412), dari dua
jalur dari Mu’awiyah bin Shalih, dari Ibnu Abdillah bin Busr, dari ayahnya,
dari ‘amati-nya ash-Shamma’ saudari Busr…
Ibnu
Khuzaimah berkata : “Tsaur bin Yazid menyelisihi Mu’awiyah bin Sholih dalam
sanad ini. Tsaur berkata : ‘dari saudarinya’ dan yang dimaksudkan olehnya
adalah saudari Abdullah bin Busr, tapi Mu’awiyah berkata : ‘dari ‘amati-nya
ash-Shomma’ saudari Busr’, yaitu ‘amati ayahnya Abdullah bin Busr, bukan
saudari ayahnya Abdullah bin Busr.”
Aku (Syaikh
Ali) berkata, “Riwayat Tsaur disertai oleh Luqman bin ‘Amir sebagaimana yang
telah lewat.”
Syaikh kami
Albany berkata dalam al-Irwa` (IV/121) : “Telah terbetik sekilas dalam
fikiranku tentang perkataan terhadap Abdullah bin Busr, dari ‘amati-nya
yaitu ‘amati-nya Abdullah bukan ‘amati-nya ayahnya (Busr, peny.).
Jika mengandung arti yang berlawanan (sebaliknya), maka sebagaimana yang
terbetik dalam diriku dan riwayat ini sebagai syaahid maka tidaklah
mengapa. Namun jika bermakna lain maka tidaklah mempengaruhi kedhaifannya.”
Aku (Syaikh
Ali) berkata, “Namun sanad dalam riwayat ini adalah ‘amati-nya Abdullah
dan saudarinya Busr, sebagaimana telah warid penjelasan (tashrih)
pada jalur Thabrani, Nasa`iy dan selainnya.”
Syaikh kami
(Albani) berkata sebelum perkataannya di atas, “Akan tetapi aku tidak mengenal
Ibnu Abdullah bin Busr ini!”, dan beliau mengomentari kembali ucapannya dalam
footnotenya, “kemudian aku melihat ucapan Ibnu Khuzaimah terhadap hal ini tanpa
lafazh ‘ibnu’, barangkali dia benar.”
Aku (Syaikh Ali)
berkomentar : “Yang benar adalah tsabat-nya sebagaimana telah tetap di
dalam sumber-sumber (referensi) tarikh yang telah disebutkan, dan perihal yang
terdapat dalan Shahih Ibnu Khuzaimah adalah suatu kesalahan, entah
kesalahan cetak ataupun naskah. Adapun Ibnu Abdullah bin Busr ini, maka
al-Mizzi telah memaparkannya dalam Tahdzibul Kamal (III/q.1664) dalam
bab ‘man nusiba ila abiihi’ (Orang-orang yang dinisbatkan kepada
ayahnya) tanpa ada penilainan sedikitpun! Serupa pula dengan apa yang dilakukan
oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzibut Tahdzib (302/12), kemudian beliau
menambahkan, “Di dalamnya mudhtarib (goncang) sekali!” Namun beliau
menegaskannya dalam at-Taqrib (no. 8470) tingkatannya, perkataannya :
“Tidak dikenal tidak pula disebut namanya”! Maka sanadnya dha’if.”
Aku (Syaikh Ali) berkata :
Nasa`iy (55/a/5) meriwayatkan dari Sa’id bin ‘Amru al-Himshi, dalam (sanad)-nya
juga ada Baqiyah, dari Tsaur, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Busr,
dari ‘amati-nya ash-Shama’… Aku (Syaikh Ali) berkata :
Riwayat ini munkar!!! Baqiyyah tidak menegaskan dengan tahdits dan
dia adalah seorang mudallis. Juga riwayatnya menyelisihi riwayat yang
lebih tsiqot yang perawinya meriwayatkan dari Tsaur dan selainnya dengan
menyebutkan nama ash-Shamma’ saudarinya Abdullah. Adapun riwayatnya saja yang
menyebutkan ash-Shomma’ sebagai ‘amati-nya Abdullah. Maka tidaklah
dianggap riwayat syaahid ini dalam penyebutan ‘amati.
Keempat :
Abdullah bin Busr dari kholati-nya ash-Shomma’
Diriwayatkan
Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/5) sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah
(11/345), Thabrani dalam al-Kabir (24/330), Ibnu Mandah –sebagaimana
dalam al-Ishabah (VIII/130), dari jalur Muhammad bin Harb, dari
az-Zubaidi, dari Fudhail (teks dalam at-Tuhfah disebut Mufadhl dan dalam
al-Ishabah disebut Fadhl) bin Fudholah, dari Abdullah bin Busr, dari kholati-nya…
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Isnadnya hasan namun haditsnya syaadz
karena penyebutan ash-Shamma’ sebagai kholati-nya Abdullah, bertentangan
dengan perawi yang lebih tsiqot yang menyatakan bahwa ash-Shamma’ adalah
saudarinya Abdullah, akan datang penilaian terhadap Fudhail sebentar lagi insya
Allah.”
KETIGA : BUSR BIN ABI BUSR AL-MAAZINIY
Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam al-Kubra
sebagaimana tercantum dalam Tuhfatul Asyraf (2/96) dan Abu Nu’aim
al-Ashbahani dalam Ma’rifatu ash-Shahabah (no. 1199) dari jalan ‘Imran
bin Bukkar, dari Abu Taqiy –beliau adalah Abdul Hamid bin Ibrahim, dari
Abdullah bin Salim, dari az-Zubaidi, dari al-Fudhail bin Fadholah, dari Khalid
bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari ayahnya…
Nasa`iy berkata, “Abu Taqiy ini
orangnya dha’if laysa bi syai’in (lemah tidak ada apa-apanya),
diperselisihkan riwayatnya terhadap Abdullah bin Busr.”
Syaikh Ali Hasan berkata, “dalam tambahan di Tuhfatul Asyraaf
: Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq menyertai riwayatnya dari ‘Amru bin al-Harits
dari Abdullah bin Salim.”
Aku telah
mengetahui riwayat penyerta ini –segala pujian milik Allah-, yaitu :
Dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Kabir
(1191) dan di dalam Musnad asy-Syaamiyyin (1875), ia berkata :
menceritakan kepada kami ‘Amru bin Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq al-Himshi,
menceritakan kepadaku ayahku dan menceritakan kepada kami Yahya bin Utsman bin
Shalih, menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq al-Himshi,
ia berkata : menceritakan kepada kami ‘Amru bin al-Harits dari Abdullah bin
Salim, dari az-Zubaidi, menceritakan kepada kami al-Fudhail bin Fadhalah
bahwasanya Khalid bin Ma’dan mengisahkan bahwa Abdullah bin Busr menceritakan
bahwa dirinya mendengar ayahnya –Busr- berkata : Sesungguhnya Rasulullah
melarang berpuasa pada hari Sabtu, beliau bersabda : “Jika kalian tidak
menemukan sesuatupun kecuali hanya mengunyah ranting pohon maka janganlah
kalian berpuasa pada hari itu.”
Abdullah bin Busr berkata : jika
kalian meragukannya maka temuilah saudariku, ia berkata, maka Kholid bin Ma’dan
berjalan menuju saudarinya dan bertanya kepadanya tentang perihat yang
disebutkan Abdullah, maka ia menyebutkan (menjawab) hal yang sama.
Aku (Syaikh Ali) berkata : Isnad
ini memperkuat riwayat, namun kedua riwayat ini memiliki kelemahan, adapun
Fudhail bin Fadholah, ia ditsiqotkan oleh Ibnu Hibban (5/295) dan berkata :
“Ahlu Syam meriwayatkan darinya”.
Al-Hafizh menyebutkan di dalam at-Tahdzib (8/298) riwayat
sekumpulan ulama (jama’ah) darinya. Maka orang sepertinya hasan
haditsnya.
Syaikh Ali kembali berkata :
“Dalam riwayat ini terdapat faidah yang besar, yaitu adanya penegasan (tashrih)
bahwa Abdullah, ash-Shamma’ dan ayahnya Busr, semuanya telah meriwayatkan
hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagai penguatnya
adalah telah lalu penjelasannya dan perinciannya. Demikianlah, haditsnya adalah
shahih dan segala puji hanya milik Allah. Sebagaimana dikatakan oleh syaikh
kami di dalam al-Irwa’ (4/121), “diperhitungkan seluruhnya dari seluruh
aspek riwayat yang beraneka ragam dan keseluruhannya adalah shahih”.
KEEMPAT : HADITS ABU UMAMAH
Padanya ada dua jalur :
Pertama : Thabrani meriwayatkan di dalam al-Mu’jamul Kabir (5722) ia
berkata, bercerita kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, bercerita
kepadaku al-Hukmu bin Musa, menceritakan kami Ismail bin Ayyasy dari Abdullah
bin Dinar dari Abu Umamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa
wajib, jika kalian tak mendapatkan apapun kecuali ranting pohon maka berbukalah
dengannya”.
Haitsami berkata di dalam Majma’uz
Zawa`id (3/198) setelah menyandarkannya kepada Thabrani : “… Dari
jalan Isma`il bin ‘Ayyasy dari penduduk Hijaz, dan dia termasuk lemah di
kalangan mereka.”
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Haitsami –rahimahullahu Ta’ala-
telah menduga bahwa Ibnu Dinar tersebut adalah al-‘Adawi al-Madini, padahal
bukan dia! Yang benar dia adalah Abdullah bin Dinar al-Burhaani al-Himshi,
termasuk penduduk Syam, dan riwayat Isma`il darinya adalah shahih, namun
dirinya –yaitu al-Burhani- masih diperbincangkan tentangnya, Ibnu Hibban dan
Abu Ali al-Hafizh mentsiqohkannya. Berkata al-Juzjani tentangnya : yata`anna
fiihi. Namun Daruquthni, Ibnu Ma’in dan Abu Zur’ah al-Azdi mendhaifkannya.”
Aku mengatakan : Dalam sanadnya
juga terdapat illat yang kedua, yaitu : terputusnya antara Ibnu Dinar
dengan Abu Umamah.
Kedua : Ar-Ruyani berkata di dalam Musnad ash-Shahabah (juz 30/no.
225/a – manuskrip Zhahiriyah) : “Bercerita pada kami Salamah, bercerita pada
kami Abu al-Mughiroh, bercerita pada kami Hassan bin Nuh, ia berkata : aku
mendengar Abu Umamah berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : …
(sebagaimana redaksi sebelumnya)
Aku katakan
: “Sanadnya hasan musalsal (bersambung) dengan tahdits (bercerita)
dan sima’ (mendengar). Segala puji hanya milik Allah atas taufiq-Nya.”
Syaikh Ali
menutup ucapannya : Inilah akhir dari riwayat yang aku teliti dari jalur-jalur
hadits yang melarang berpuasa pada hari Sabtu. Orang yang meneliti dan
memahaminya akan mengetahui pasti ketetapan (tsabat) hadits ini dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari riwayat empat orang sahabat.
Maka jika anda telah mengetahuinya, maka batallah apa yang didakwakan oleh
Yahya bin Ied dalam kitabnya al-Qoulu ats-Tsabt (hal. 18) yang berkata :
“Abdullah bin Busr dan Abu Umamah bersendirian dalam riwayat pelarangan ini”.
Ucapan ini sungguh aneh, karena tidaklah dua orang yang meriwayatkan hadits
dikatakan ‘bersendirian’!!! (Selesai di sini penukilan dari zahru ar-Roudli
tentang tafshil thuruqil hadits).
Penyusun
menambahkan :
Berbeda
dengan Syaikh Usamah Abdul Aziz, beliau hanya menguatkan jalur dari Tsaur bin
Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudarinya ash-Shamma’
dan melemahkan jalur selainnya. Beliau berkata : “Inilah pendapat yang
dikuatkan oleh Daruquthni, dimana dalam al-Ilal (Juz V/II/86B) setelah
membawakan semua jalur periwayatan hadits ini, ia mengatakan, ‘riwayat yang
shahih adalah riwayat yang bersumber dari Ibnu Busr dari saudarinya
(ash-Shamma’)’. Hadits ini sanadnya shahih dan semua perawinya tsiqot. Akan
tetapi banyak ulama yang menilai hadits ini mengandung ‘illat meskipun dhahirnya
shahih. Inilah pendapat mereka :
1.
Imam Malik. Abu Dawud mengatakan dalam as-Sunan
(II/436), bahwa Malik berkata : “hadits ini dusta”.
2.
Imam az-Zuhri. Abu Dawud (2423) dan al-Hakim
(I/436) meriwayatkan melalui jalur Ibnu Wahab, bahwa ia berkata : “Aku
mendengar bahwa al-Laits meriwayatkan dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa jika
disebutkan di sisinya hadits larangan berpuasa hari Sabtu, ia berkata : “Ini
hadits orang Himsha”.” Ath-Thahawi berkata : “Az-Zuhri tidak menganggap hadits
ini hadits yang bisa diriwayatkan dan dia menilai haditsnya lemah.”
3.
Imam al-Auza’iy. Abu Dawud
(2424) mengeluarkan, yang jalurnya dikeluarkan pula oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan
al-Kubra (IV/302-303) melalui jalan al-Walid bin Muslim dari al-Auza’iy
bahwa ia berkata : “saya masih melihat haditsnya tersembunyi hingga akhirnya
saya melihatnya tersiar, yakni hadits Abdullah bin Busr tentang berpuasa hari
Sabtu.”
4.
Yahya bin Sa`id al-Qaththan. Ibnul Qoyyim
berkata dalam Mukhtashar as-Sunan (III/298), Abu Abdullah (Imam Ahmad)
mengatakan, Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan ia tidak mau
menceritakannya kepadaku. Ia mendengar hadits ini dari Tsaur yang mengatakan,
“Saya mendengarnya dari Abu ‘Ashim”. Ibnul Qoyyim mengatakan, “Ungkapan ini
sepertinya menganggap lemahnya hadits ini.”
5. Imam
Ahmad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Iqtidha’
(II/574) bahwa al-Atsram mengatakan, “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam
Ahmad) pernah ditanya tentang berpuasa secara khusus hari Sabtu, lalu ia
menjawab, “Adapun mengenai berpuasa secara khusus pada hari Sabtu terdapat
dalam hadits ash-Shamma’, yakni yang diriwayatkan oleh Tsaur bin Yazid dari
Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudarinya ash-Shamma’ dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Janganlah berpuasa pada hari Sabtu
kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.”. Abu Abdillah mengatakan, “Yahya
bin Sa`id menjauhi hadits ini dan enggan menceritakannya kepadaku. Ia
mendengarnya dari Tsaur yang mengatakan, aku mendengarnya dari Abu ‘Ashim.”
Al-Atsram berkata, “Dasar yang dipegang oleh Abu Abdillah dalam membolehkan
berpuasa hari Sabtu adalah karena hadits-hadits yang ada, semuanya berbeda
dengan hadits Abdullah bin Busr.” (Beliau menyebutkan hadits tentang berpuasa
sepanjang masa, berpuasa pada bulan Sya’ban dan hari Jum’at setelahnya,
hadits-hadits tentang mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan
Syawwal dan hadits tentang berpuasa pada hari-hari putih.). Selanjutnya Ibnu
Taimiyah berkata, “Al-Atsram memahami dari ucapan Imam Ahmad bahwa ia ragu
untuk menerima hadits Ibnu Busr dan Ahmad membolehkan berpuasa pada hari Sabtu
tersebut, dimana ia menyebutkan hadits yang dijadikan dasar untuk memakruhkannya.
Kemudian al-Atsram menuturkan bahwa Imam Ahmad mengatakan dalam Ilal
al-Hadits, Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan ia enggan menceritakan
padaku.’. Ini semua
adalah bentuk penilaian terhadap kelemahan sebuah hadits.”
6. Abu Dawud. Setelah meriwayatkan hadits Ibnu
Busr ia mengatakan, “Hadits ini mansukh” (Selanjutnya ia menyebutkan
pendapat para ulama yang menilai hadits ini mengandung ‘illat)
7.
An-Nasa`iy. Ibnu Hajar mengatakan dalam
at-Talkhish (II/216) bahwa hadits ini mudhtarib.”
8.
Al-Atsram. Pendapatnya telah dikemukakan
sebelumnya.
9. Ath-Thahawi. Setelah menyebutkan
hadits-hadits yang berbeda dengan hadits Ibnu Busr, beliau berkata dalam Syarh
Ma’ani al-Atsar (II/80), “Riwayat-riwayat ini semuanya memperbolehkan puasa
sunnah pada hari Sabtu dan hadits-hadits tersebut lebih masyhur dan lebih jelas
dari hadits yang syadz ini (larangan puasa hari Sabtu).”
10. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalam al-Iqtidha’
(II/275) beliau berkata, “Hadits ini mungkin syadz, tidak shahih dan
mungkin juga hukumnya dibatalkan.”
11. Ibnul Qoyyim. Dalam al-Mukhtashar as-Sunan (III/298)
berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini tidak shahih dan syaadz.”
(Selesai di sini ucapan Syaikh Usamah Abdul Aziz)
12. Berkata
Imam Hakim dalam Mustadrak (I/345) : “Hadits ini memiliki
kontradiktif dengan hadits lain yang bersanad shahih.” (Poin nomor 12 ini tidak
disebutkan oleh Syaikh Usamah, namun disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan dalam bab
ar-Raddu ‘ala adillati mu`allif wa tarjiihu al-Qowl al-Mukhtar, peny.)
SANGGAHAN
TERHADAP SYUBUHAT DI ATAS
Syaikh Ali
Hasan memberikan jawaban ilmiah terhadap perkataan ulama di atas dalam kitab
beliau Zahru ar-Raudlu fi Hukmi Shiyaami Yawmi Sabti fi Ghoiril Fardli
bab ar-Radd ‘ala adillati al-Mukhaalif wa Tarjiih al-Qowl al-Mukhtar hal.
47-72. Beliau berkata : “Setelah studi yang cukup dalam dan penelitian yang
cukup melelahkan, aku melihat bahwa orang-orang yang menyelisihi dalam masalah
ini mengambil dalil dan ucapan yang menyelisihi apa yang telah kami terangkan,
telah kusebutkan tentangnya pemahamanku terhadap hadits ini, maka aku jawab
dalil-dalil mereka :
1.
Adapun yang diriwayatkan Abu Dawud dari Malik, bahwa ia
berkata : “hadits ini kidzbun (dusta)”, maka jawabannya dari beberapa
segi :
a. Bahwasanya
Abu Dawud menyampaikan dari Malik secara mu’allaq tanpa menyebutkan
sanadnya. Maka
ucapab ini tidak dapat dipastikan (kebenarannya) dari Malik.
b. Bahwasanya penukilan ini hanya
terdapat pada sebagian naskah Sunan Abu Dawud tidak pada seluruh
naskahnya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh kami di dalam al-Irwa’ (IV/124)
dan al-Ghumari dalam al-Hidayah bitakhrijil Bidayah (V/234).
c.
An-Nawawi berkomentar di dalam al-Majmu’
(VI/440) : “Ucapan ini tidak diterima karena para imam telah menshahihkannya.”
d.
Ibnu Mulaqqin menukilkan di dalam al-Badru al-Munir
(IV/q.351/a) -sebagaimana pentahqiq kitab Tuhfatul Muhtaj (II/115)
menukilnya- argumentasi Abdul Haqq al-Isybili terhadap ucapan Malik dengan
perkataannya : “Barangkali Malik menganggap hadits ini dusta dikarenakan
riwayat Tsaur bin Yazid al-Kalaa’iy, karena sesungguhnya ia tertuduh sebagai qodariyah,
namun ia orang yang tsiqoh terhadap apa yang ia riwayatkan. Berkata Yahya dan
selainnya bahwa sejumlah (imam) meriwayatkan darinya seperti Yahya bin
Sa`id al-Qaththan, Ibnul Mubarak, ats-Tsauri dan selain mereka.”
e.
Ibnu Abdil Hadi mengomentari ucapan Imam Malik dalam al-Muharrar
(hal. 114) dengan ucapannya : “Ucapan Imam Malik perlu diperiksa kembali.”
f.
Sesungguhnya
Imam Malik –jika kalimat ini memang tsabat darinya- maka ia berkata
menurut jalan periwayatan yang diketahuinya, dan sebagai penjelasan tambahan,
bahwasanya manhaj ini telah dikenal oleh ahli ilmu, diantaranya ucapan Imam
Sakhowi dalam al-Maqoshidu al-Hasanah (no. 626) seputar hadits lainnya,
sebagai contoh berkata Ibnu Ma’in : “Sesungguhnya hadits ini bathil”, Sakhowi
menjelaskan, “ia menddhaifkannya dikarenakan jalan hadits yang diketahuinya.” Inilah
contoh hal ini, dan Allah-lah maha pemberi taufiq.
g.
Terakhir, sesungguhnya riwayat Abu Dawud terhadap hadits
ini, dan diamnya dia terhadapnya (diamnya Abu Dawud adalah dalil shahihnya
suatu hadits sebagaimana ia terangkan dalam Risalah Ahli Makkah (hal.
28)), namun dakwaan mansukhnya merupakan dalil tidak diterimanya ucapan Imam
Malik walaupun shahih. Karena hadits dusta lebih utama dibantah ketimbang
dakwaan mansukhnya hadits.
2.
Adapun ucapan Ibnu Syihab, ‘ini adalah hadits orang
Himsha’ adalah disebabkan jalan riwayat yang sampai kepadanya, dan jalur-jalur
hadits yang telah kupaparkan dan kutakhrij telah mencukupi dan menolak
keraguannya, dan menjadikan peyakin akan keshahihan dan ketetapan hadits ini.
Secara khusus, penghalang Ibnu Syihab adalah penghalang riwayat, maka apa yang
ia simpulkan tidak disimpulkan oleh selainnya dan apa yang disimpulkan orang
selain dirinya tidaklah ia menyimpulkannya, demikianlah…
3. Ucapan
al-Auza`iy : “saya masih melihat haditsnya tersembunyi hingga akhirnya saya
melihatnya tersiar, yakni hadits Abdullah bin Busr tentang berpuasa hari
Sabtu”. Komentar saya : “tersiarnya hadits ini sebagai dalil tentang banyaknya
jalan (thuruq), riwayat dan jumlahnya, maka hal ini merupakan dalil yang
kuat terhadap orang-orang yang mendha’ifkan atau mengingkarinya adalah
disebabkan riwayat yang sampai padanya, tidak dikarenakan disebabkan
jalan-jalan hadits ini. Maka perhatikanlah!!!
4.
Ucapan Yahya bin Qoththan ini maka jawabannya sebagaimana
penjelasan nomor 2. peny.
5.
Jawaban terhadap hal ini juga sebagaimana penjelasan
nomor 2. (peny.). Insya Allah akan datang penjelasan lebih mendetail
(pada poin ke-8 dengan kaidah fiqhiyah) bantahan Syaikh Ali tentang
hadits-hadits yang dianggap menyelisihi hadits larangan berpuasa pada hari
Sabtu ini.
6.
Ucapan Abu Dawud dalam Sunan-nya (2421) yang
mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits mansukh. Maka jawabannya
adalah : tidak diterima dakwaan mansukh kecuali ada dalilnya, dan tidak
ada dalilnya penasikhnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhishu
al-Hubair (II/216) sebagai bantahan dakwaan Abu Dawud : “Ia tidak
menerangkan sisi nasikh-nya hadits ini”. Syaikh Mahmud Khaththab
as-Subki berkata dalam ad-Diinul Khalish (VIII/393) setelah menukil
ucapan Abu Dawud : “Ucapannya tidak diterima, mana dalil atas nasikhnya??”
Yang benar dalam hal ini adalah ucapan Imam Syafi’iy dalam Miftahul Jannah karya
as-Suyuthi : “Tidaklah dijadikan dalil dalam Nasikh dan Mansukh
melainkan dengan khobar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
atau dengan (melihat) waktu dari keduanya yang paling akhir, dan diketahui
bahwa hadits yang terakhir sebagai Nasikh-nya, atau dengan ucapan orang
yang mendengar hadits ataupun ijma’” (lihatlah risalahku (Syaikh Ali) yang
berjudul al-Inshaf fi Hukmil I’tikaaf hal. 38).
Yahya Ied dalam al-Qoul
ats-Tsabt hal. 10-11, menyebutkan dalilnya –menurut dugaannya- dengan
hadits Ibnu Abbas yang berbunyi : “Dahulu Rasulullah menyenangi untuk
mencocoki Ahlul Kitab terhadap apa-apa yang tidak diperintahkan kepadanya terhadap
segala sesuatu.”, dan bahwasanya hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh (akan
disebutkan nanti redaksinya, peny.), keduanya merupakan nasikh
(penghapus) hadits keluarga Busr!!, ia (Yahya bin Ied) berkata : “Larangan
berpuasa sunnah pada hari Sabtu mencocoki ahlul kitab di dalam mengagungkan
hari ini, dan berita tentang bolehnya berpuasa sunnah pada hari Sabtu
menyelisihi ahlul kitab, dan hadits ini yang paling akhir di dalam sejarah!!”
Aku (Syaikh Ali) berkomentar :
“Hadits mana yang anda maksudkan sebagai larangan berpuasa yang bukan wajib
pada hari Sabtu itu mencocoki ahlul kitab? Jika ia menjawab ‘hadits Ibnu Abbas’
maka kami jawab : ‘haditsnya lemah tidak tsabat sebagai hujjah’. Jika
ia mengatakan: ‘hadits selainnya’, maka jawaban kami : ‘mana hadits selainnya?,
karena tidak ada hadits lain kecuali hanya jalan ini’. Maka berterbanganlah hujjahnya
dari landasannya.”
7. Adapun yang dinukil dari Imam
Nasa`iy –perkataan serupa juga dikemukan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish
al-Hubair (II/216) dan Bulughul Maram (hal. 121). Abdullah bin
Abdurrahman Ramzi juga memilihnya dalam at-Tahqiqu ats-Tsabt (hal. 13)-
tentang idhtirab (goncang)-nya hadits, maka telah kujelaskan bahwa tidak
ada kegoncangan di dalam hadits ini, dan sanadnya shahih yang tetap dari tiga
orang keluarga Busr, yaitu Abdullah dan saudarinya serta ayahnya. Demikian pula
dari Abu Umamah.
Dugaan mudhtarib-nya
hadits ini juga dari sisi lain, yaitu : apakah ash-Shamma’ itu saudarinya
Abdullah? Ibunya? ‘amati-nya ataukah kholati-nya? Aku jawab :
telah warid riwayat-riwayat tentang hal ini seluruhnya, namun yang
shahih dari riwayat tersebut dan yang tetap hanyalah riwayat dari saudarinya. Sekumpulan
besar para perawi telah menetapkan bahwasanya ash-Shamma’ adalah saudarinya,
yang mana hal ini menjadikan hati tenang untuk bersandar kepada riwayat ini.
Dari segala
sisi, sesungguhnya hal ini tidaklah mengganggu hadits ini sedikitpun, karena
persahabatannya dengan Nabi telah tetap tanpa ada keraguan lagi. Maka
beranekaragamnya hubungan kekerabatan tidaklah mengganggu riwayat hadits ini,
sebagaimana hal ini tidak tersembunyi atas kita. Yang dekat dengan hal ini
adalah tentang mudhtarib-nya dan bermacam-macamnya pendapat mengenai
nama Abu Hurairah, yang pendapat mereka mencapai 19 pendapat! Lantas apakah hal
ini mempengaruhi ketetapan akan status persahabatannya Abu Hurairah dengan
Nabi???
Taruhlah
kita menerima tentang idhtirab-nya hadits keluarga Busr ini –padahal
dakwaan ini tertolak-, maka sesungguhnya hadits Abu Umamah selamat dari idhtirab
secara keseluruhan, segala puji hanya milik Allah.
Penyusun
menambahkan : Syaikh Usamah Abdul Aziz sendiri mengomentari hal ini
sebagai berikut : “Penilaian bahwa hadits ini mudhtarib tidak dapat
diterima, karena jalur-jalur periwayatannya beraneka ragam dan telah
dikemukakan sebelumnya riwayat yang kuat.
8.
Jawaban terhadap pendapat al-Atsram ini adalah
sebagaimana penjelasan nomor 2, peny.
9.
(termasuk juga nomor 10 dan 11) yaitu tentang ucapan
sejumlah ahli ilmu yang menyatakan hadits ini syaadz (ganjil), termasuk
juga Samahatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Syarh Manzhumah
al-Baiquniyah mengisyaratkan akan syadznya hadits ini. Syaikh Ali
menjawab : “Adapun dakwaan syaadz, maka bisa jadi yang dimaksudkan syadz
sanadnya ataupun matannya. Adapun dari sisi sanad, maka haditsnya shahih
tanpa ragu lagi, adapun dari sisi matan, maka tidaklah datang dakwaan
mereka ini melainkan setelah kesulitan mereka mengumpulkan dan menyesuaikan
(matannya), dan tidaklah boleh menyandarkan kepada dakwaan syadz hanya
karena kesulitan dalam menjama’ belaka, dan tidaklah pula definisi
ilmiah syadz secara terminologi diterapkan kepada jenis dugaan
kontradiktif ini, sebagaimana tidak tersembunyi, segala puji hanya milik Allah
atas taufiq-Nya.
10. Jawaban sebagaimana nomor 9, peny.
11. Jawaban sebagaimana nomor 9, peny.
12. Adapun
yang diisyaratkan oleh al-Hakim yang kontradiktif dengan hadits keluarga Busr
ada dua hadits, yaitu :
Pertama
adalah Hadits Juwairiyah tentang puasa hari jum’at, sehari sebelumnya dan
setelahnya. Dan hadits kedua adalah hadits Ummu Salamah yang menceritakan
tentang banyaknya puasa yang dilakukan nabi adalah pada hari Sabtu dan Ahad.
Hadits ini dha’if tidak shahih –Lihat tadh’if dan perinciannya di risalah
beliau az-Zahru- dan penjelasannya telah mencukupi kita bahwa tidak ada
kontradiktif yang diduga terdapat pada kedua hadits ini. Adapun hadits pertama,
maka jawabannya adalah –untuk membantah kontradiktifnya- dengan gambaran yang
bermacam-macam, sebagian gambaran ini mengandung masalah dari pokoknya, yaitu :
Pertama
: Bahwasanya hadits Juwairiyah –dan juga hadits Abu
Hurairoh- keduanya tidak kuat untuk digunakan sebagai pengkontradiksi hadist
larangan, karena tujuan yang diperoleh dari kedua hadits tersebut adalah kebolehan
berpuasa hari Sabtu jika disertai puasa hari Jum’at, dan kebolehan ini adalah
sebagai penyerta, tidak berdiri sendiri. Orang yang berpuasa di hari Jum’at
boleh memilih diantara hari Sabtu atau Kamis (sebagai penyertanya). Suatu
kebolehan jika kontradiktif dengan larangan, maka yang didahulukan adalah
larangan bukan kebolehan jika telah jelas larangannya lebih kuat dan lebih tsabat
hujjahnya, sebagai contoh adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
: “Jika aku perintahkan kalian terhadap sesuatu maka laksanakanlah semampu
kalian dan jika aku melarang kalian terhadap sesuatu maka jauhilah” (HR.
Bukhari (77/9) dan Muslim (1337) dari Abu Hurairoh). Tidaklah samar lagi –dalam
menimbang hadits ini- bahwa suatu larangan tidak ada pilihan padanya, adapun
perintah, maka dikerjakan sesuai dengan kemampuannya. Kami tidaklah menolak
pembahasannya dan membantah kontradiktifnya, dan tidak pula meremehkannya,
namun sesungguhnya ghoyah (tujuan)-nya–sebagaimana telah kusebutkan-
adalah kebolehan. Maka apakah kontradiktif antara larangan yang sharih
(terang) dengan hanya kebolehan mukhoyyar (yang dapat dipilih)??
Larangan
menurut ulama ushul adalah : “Suatu susunan ucapan yang menunjukkan tuntutan
menahan diri dari suatu perbuatan.” (Irsyadul Fuhul hal. 109 karya asy-Syaukani).
Mendahulukan suatu larangan dari perintah ketika mengkompromikannya diketahui
dari Salafus Shalih. Ath-Thayalisi meriwayatkan dalam Musnad-nya (no.
1922) dari jalan Yunus bin ‘Ubaid dari Ziyaad bin Hubair, ia berkata : “Ibnu
‘Umar ditanya tentang seseorang yang bernadzar pada hari Jum’at, lantas beliau
menjawab : kami diperintahkan untuk memenuhi nadzar namun kami dilarang untuk
berpuasa pada hari itu”. Sanadnya hasan (lihat Tuhfatul Asyraf (IX/346)
dan komentar Ibnu Hajar terhadap atsar ini). Hal ini menunjukkan
dalamnya pemahaman Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu, dan (hal ini
menunjukkan) bagaimana beliau mendahulukan larangan ketimbang perintah di saat
mengkompromikannya (menjama’nya), karena suatu larangan tidak ada pilihan
padanya. Sebagaimana telah kusebutkan –dan kuulangi lagi- bahwa (hadits)
kontradiktif di sini menunjukkan suatu ‘kebolehan’ bukan selainnya!!
Bahwasanya
permasalahan ini turut dipengaruhi oleh kejadian hari Arofah pada tahun 1408 H.
dimana hari itu bertepatan dengan hari Arofah, dan pendapat mengenainya
beraneka ragam. Sesungguhnya yang utama dan yang warid tentang berpuasa
hari ‘Arofah adalah memiliki keutamaan yang besar dan agung, puasa arofah dapat
menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun berikutnya (sebagaimana diriwayatkan
oleh Muslim (1162) dari Abu Qotadah, dan bab ini juga dari sejumlah sahabat).
Lantas, apakah berpuasa pada hari ini kontradiktif dengan larangan yang datang
dari (hadits) larangan berpuasa hari sabtu?? Ataukah kita berhenti dari puasa
dan meninggalkan ganjaran yang agung ini??
Aku menjawab
: Tidak ragu lagi menurut ahli ilmi agar mendahulukan larangan di atas
kebolehan jika keduanya berkumpul pada satu jalan –sebagaimana telah berlalu
penjelasannya-, dan sebagai penerang serta memperkuat hal ini adalah hadits
yang tsabat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya
beliau melarang berpuasa hari arofah di tanah arofah.
Lantas
apakah perbedaan di antara kedua larangan ini?? Larangan berpuasa pada hari
Sabtu walaupun berketepatan dengan hari Arofah! Larangan berpuasa pada hari
Arofah bagi orang-orang yang berada di tanah Arofah! Kedua gambaran ini
berhimpun di dalam ketetapan ganjaran bagi orang yang berpuasa pada hari
‘Arofah, dan ganjarannya adalah penghapus dosa dua tahun. Keduanya juga berhimpun
di dalam larangan, pertama : dikarenakan hari itu bertepatan dengan hari Sabtu,
dan yang kedua : dikarenakan berada di ‘Arofah. Dan kedua larangan ini adalah
bersifat khusus dan terperinci. Oleh karena itulah, adz-Dzahabi berkata dalam Siyar
A’lamin Nubalaa’ (684/10): “Barang siapa yang berpuasa pada hari
Arofah di tanah Arofah, sedangkan ia mengetahui larangannya, dan mengetahui
bahwasanya Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa di
tanah ‘Arofah, demikian pula tidak ada seorang sahabatpun melaksanakannya, maka
dari apa yang kami ketahui, dia tidak diberi ganjaran, wallahu a’lam”
Ibnu Hazm
telah menguatkan kebolehan berpuasa Arofah di hari ‘Arofah dalam al-Muhalla
(VII/17-19), dan dia mendha’ifkan hadits yang datang tentang larangannya
–padahal haditsnya shahih dan tetap sebagaimana akan datang penjelasannya
nanti-, dan dia menukil dari Sayyidah ‘Aisyah bahwasnya ‘Aisyah berpuasa pada
hari haji!! Aku berkata : tidaklah tetap hadits ini darinya sebagaimana ucapan
al-Haitsami di dalam al-Majma’ (III/189) karena sanadnya terputus lagi
lemah, dan ia menyebutkan pula dari jalan yang lain, namun aku tidak mendapati
sanadnya diketahui tsabat pula dari ‘A`isyah.
Dia menukil
pula dari al-Hasan bahwasanya ‘Utsman berpuasa pada hari yang panas dan ia
berlindung darinya!! Padahal Hasan tidaklah mendengar dari ‘Utsman sebagaimana
ucapan al-Alla’i dalam Jami’ at-Tahshil hal. 162. Yahya bin Ied juga
ikut terpedaya dengan atsar Sayyidah ‘Aisyah dalam al-Qoul ats-Tsabt
hal. 6 dengan turut berdalil dengannya. Ketahuilah, sesungguhnya ia
mengkontradiksikan dirinya ketika menetapkan di dalam substansi perkataannya
tentang ketetapan larangan berpuasa pada hari ‘Arofah di tanah Arofah, kemudian
dirinya menukil pendapat Ibnu Hazm yang telah lalu!!
Dan serupa
juga dengan perkataan adz-Dzahabi di atas ialah barang siapa yang berpuasa pada
hari sabtu sedangkan ia mengetahui larangannya ketika berketepatan dengan puasa
hari-hari yang utama seperti hari ‘Asyuura’ atau ‘Arofah ataupun selainnya.
Segala puji hanya milik Allah. Para imam telah menunjukkan bahwa larangan
tidaklah tegak melainkan setelah kebolehan sebagaimana dikatakan oleh al-Hazimi
dalam al-I’tibaar (hal. 126) dan Imam ath-Thahawi sebagaimana dinukil
darinya oleh az-Zaila’iy dalam Nashbu ar-Rooyah (II/234) dan beliau
menetapkannya.
Kedua
: Bahwasanya nash hadits tentang larangan berpuasa pada
hari Sabtu menetapkan secara pasti penafian qoth’iy, yaitu : “…kecuali
puasa yang diwajibkan atas kalian”. Pengecualian ini termasuk wilayah
pelarangan jenis-jenis puasa sunnah seluruhnya, baik puasa sunnah maupun tathowwu’,
kecuali puasa wajib maka boleh berpuasa di hari itu –tidak bagi selain puasa
wajib-.
Dikatakan di
sini : Apakah puasa hari Sabtu adalah –sebagai sesuatu yang dapat dipilih-
setelah berpuasa pada hari Jum’at bagi orang yang melaksanakannya adalah wajib
ataukah sunnah? Mayoritas menjawab : sunnah! Yang menunjukkan hal ini adalah
dikeluarkannya hari Sabtu bagi orang yang berpuasa di hari Jum’at ketika tidak
ada pilihan dalam menyelesaikannya adalah kita dilarang darinya.
Ketiga
: Termasuk yang dirajihkan oleh para ulama adalah
menjadikan salah satu hadits sebagai nash dan ucapan, dan yang satunya
disandarkan padanya istidlal dan ijtihad, maka yang pertama
adalah lebih rajih. Al-Hazimi berkata di dalam al-I’tibar (hal.
11), dan az-Zaila’iy menukil darinya dan menetapkannya di dalam Nashbu
ar-Royah (III/289), dan demikian pula pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar di
dalam al-Fath (I/590). Realitanya kami tidak menentang penetapan hadits
ini, berikut ini penjelasan sempurnanya :
Larangan
berpuasa selain puasa wajib pada hari Sabtu adalah sharih (terang)
nashnya dan petunjuknya jelas. –diantara sisi tarjih adalah
“mendahulukan perkara yang terang hukumnya ketimbang yang tidak terang” (Irsyadul
Fuhul hal. 279), sedangkan hadits yang membolehkan dijadikan dalil dengan nash
yang diistinbathkan darinya kebolehan sebagai penyerta (puasa Jum’at
saja).
Keempat
: Serupa dengan yang telah lewat adalah apa yang disebutkan
oleh para ulama dari segi manthuq (pemahaman teks) dan mafhum (pemahaman
konteks)-nya. Ketika seorang yang berdalil tentang kebolehan berpuasa pada hari
Sabtu dengan hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh, sesungguhnya ia berdalil
dengan mafhum yang mengisyaratkan sebagai peyerta akan kebolehannya, sedangkan
hadits keluarga Busr sharih (terang) larangannya dari sisi manthuq-nya.
“Beristidlal dengan mafhum tidak dapat menjadi hujjah kecuali jika
selamat dari kontradiksi.” Sebagaimana diutarakan oleh adz-Dzahabi dalam Muktashar
Sunan al-Baihaqi yang menukil arinya az-Zaila`iy di dalam Nashbu
ar-Royah (I/57).
Kelima : Sebagai
penguat penjelasan sebelumnya, dan sebagai penjelas bagi ilmu serta tambahan
faidah, kami berkata : Hadits Juwairiyah di dalamnya terdapat hukum berpuasa
pada hari Jum’at yang mengandung dua gambaran : yaitu bisa jadi beserta hari
Kamis atau bisa jadi hari Sabtu. Sedangkan hadits keluarga Busr datang dengan
keterangan ketidakbolehan berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang
diwajibkan. Kami telah menetapkan –sebelumnya- bahwa hadits Juwairiyah
sesungguhnya berdalil dari mafhum-nya bukan dari manthuq-nya,
sebaliknya hadits keluarga Busr.
Keenam : Imam
Syaukani membahas secara panjang lebar dalam Irsyadul Fuhul hal.
146-147) sebagai penetap bahwa pengecualian termasuk shighat terkuat
dalam mengkhususkan yang ‘am. Al-Khusush adalah “mengeluarkan
sebagian dari yang masuk ke dalam al-‘Umum” (hal. 142). Dan hadits
keluarga Busr adalah termasuk pengkhusus yang kuat karena nash-nya
terang, jelas lagi sharih dengan menyebutkan pelarangan berpuasa pada
hari Sabtu, kecuali puasa yang wajib. Adapun hadits-hadits lain yang
menyebutkan puasa hari Jum’at bergandengan dengan puasa hari Kamis ataupun
Sabtu, atau hadits-hadits lainnya yang menyebutkan berpuasa sehari dan berbuka
sehari (puasa Dawud, peny.), ataupun hadits yang menjelaskan
berpuasa tiga hari setiap bulan (puasa hari putih, peny.), kesemua
hadits ini adalah dalil yang umum dibandingkan hadits keluarga Busr. Karena
hadits keluarga Busr di dalamnya terdapat larangan dari segala jenis puasa
seluruhnya kecuali yang telah diwajibkan. Tanpa ragu lagi, bahwa hadits-hadits
tersebut yang telah ditunjukkan seluruhnya datang bukan sebagai puasa yang
wajib.
Syubuhat
lainnya : Jika dikatakan : ‘Adalah mungkin membawa nash
(teks) yang menunjukkan kepada puasanya dengan puasanya yang lain, dan hadits
yang melarang puasanya adalah hanya satu hari itu saja, oleh karena itu nash-nya
menjadi bersesuaian!!” –demikianlah yang dikatakan oleh al-Atsram terhadap apa
yang dinukilnya dari Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dari Tahdzibus Sunan (III/298)-ataupun
syubuhat dengan ungkapan lainnya : ‘Jika hari Sabtu bergandengan dengan hari
lainnya, maka boleh berpuasa di dalamnya karena yang dilarang adalah berpuasa
pada hari Sabtu secara bersendirian.’ Jawaban terhadap problem ini –yang kami
sering sekali mendengarnya- adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul
Qoyyim rahimahullahu –perlu diketahui bahwasanya beliau tidak memilih
pendapat yang melarang puasa pada hari Sabtu, sesungguhnya beliau mengucapkan
ucapan yang terbebas dari khilaf dan sebagai penjelasan dalil, dimana hadits
ini menurutnya syaadz (ganjil). Dan kami telah menetapkannya dengan
tidak meninggalkan tempat bagi keraguan menyelinap akan keshahihan hadits ini,
kemasyhurannya dan ketetapannya.-
Dalam Tahdzibus
Sunan (III/298), beliau rahimahullahu berkata : “Ini adalah jalan
yang Jayyid (baik) andaikan tidak karena sabda Nabi di dalam hadits : “Janganlah
kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”
yang merupakan dalil tentang dilarangnya berpuasa di hari itu selain puasa
wajib baik bersendirian maupun bersambung (dengan hari lain), dikarenakan
pengecualian merupakan dalil pemberi yang menuntut larangan puasa hari Sabtu
mencakup setiap bentuk puasa, kecuali puasa wajib, jika seandainya hanya
mencakup bentuk tunggal (bersendirian) maka niscaya (haditsnya) berbunyi : “Janganlah
kalian berpuasa pada hari sabtu kecuali kalian berpuasa sehari sebelum atau
sesudahnya” sebagaimana teks hadits tentang puasa Jum’at, namun
pengkhususan bentuk yang diperbolehkan hanyalah puasa yang wajib, maka hal ini
membuahkan larangan secara mutlak terhadap puasa sunnah lainnya.”
Asal ucapan
ini adalah dari gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang berkata di dalam Iqtidha’
ash-Shirath al-Mustaqim (II/572) : “Tidaklah dikatakan, larangan dibawa
karena bersendiriannya, dikarenakan lafazhnya adalah, “Janganlah kalian
berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”, dan
pengecualian merupakan dalil at-Tanaawul (pemberi) –dalam cetakannya
berubah menjadi at-Tanazul), hal ini menuntut bahwa hadits ini puasanya
umum dari segala aspek, kecuali sekiranya dikehendaki bersendiriannya,
seluruhnya masuk kepada puasa wajib sebagai pengecualinya karena tidak ada
kesendirian di dalam haditsnya, maka pengecualian merupakan dalil atas masuknya
selainnya yang berbeda dengan hari Jum’at, karena sesungguhnya hadits ini
menjelaskan larangan akan kesendiriannya”.
Inilah
jawaban ilmiah yang kokoh yang tidak ada keleluasaan bagi pencari kebenaran
menolaknya atau membantahnya. Syaikh kami Albani –rahimahullahu- berkata di
dalam Tamam al-Minnah hal. 406 : “dan juga, seandainya bentuknya
disertaikan dengan hari yang tidak dilarang, maka niscaya penafiannya di dalam
hadits lebih utama daripada pengecualian kewajiban, dikarenakan syubhat
kesempurnaan hadits lebih jauh daripada kesempurnaan bentuk iqtiran (gandengan)-nya,
maka jika dikecualikan yang wajib saja, hal ini menunjukkan ketiadaan
pengecualian pada selainnya, sebagaimana tidak tersembunyi”. Ucapan ini
benar-benar sangat mantap.
Tinjauan dari aspek fiqh
Ditinjau dari aspek Fikih :
dari aspek tarjih : “Didahulukan al-Maqrun (yang disertai) yang taukid
(kuat) daripada yang tidak disertai” (Irsyadul Fuhul hal. 279),
demikian pula : “Didahulukan larangan daripada perintah”, juga : “didahulukan
larangan ketimbang kebolehan”, dan “didahulukan ihtimal (kemungkinan)
yang sedikit daripada kemungkinan yang banyak”. Hal ini seluruhnya (terdapat
pada sumber yang sama, yaitu Irsyadul Fuhul hal 279) sebagai penguat tarjih
hadits keluarga Busr dibandingkan hadits lainnya yang menentangnya. Inilah
faidah yang telah kufahami setelah menulis penjelasan sebelumnya. Asy-Syaukani
berkata di dalam Irsyadul Fuhul hal. 278 : “Adapun pentarjih dari
segi matan ada beberapa macam, yaitu :
Macam pertama :
“Didahulukannya yang khash daripada yang ‘aam”, demikianlah yang
dikatakannya! Maka tidaklah tersembunyi atasmu bahwa mendahulukan yang khash
dari yang ‘aam berarti mengamalkannya terhadap perkara yang diberikannya
(at-Tanawul), dan mengamalkan yang ‘aam dari yang tersisa
bukanlah termasuk bab tarjih namun termasuk dari bab jam’u
(kompromi), sedangkan jam’u lebih didahulukan daripada tarjih.
Oleh karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam al-Fath (III/94) :
“Kompromi lebih didahulukan daripada tarjih dengan kesepakatan ahli
ushul”. Kami di sini menyandarkan kepada jalan kompromi hal ini yang Syaukani
telah menunjukkannya. Jika si penentang belum puas, maka bentuk-bentuk tarjih
sangat banyak yang tidak menyisakan tempat bagi keraguan.
Macam kedua :
Adapun berdalil dengan hadits Abdullah bin ‘Amr yang muttafaq ‘alaihi
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Berpuasalah
sehari dan berbukalah sehari, karena sesungguhnya ini adalah puasa yang paling
afdhal (utama), yaitu puasanya Dawud.” Maka jawaban terhadap hal ini
telah berlalu. Sebagai tambahan jawaban di sini, kami katakan : Hadits ini
muncul dari keadaan yang ijmal (global), yang menunjukkan hal ini
-larangan berpuasa pada hari Sabtu- sesungguuhnya adalah termasuk syariat Nabi
kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tidak dari syariat Dawud ‘alaihi
Sallam, dan iqrar (penetapan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bagi
puasa Dawud adalah penetapan yang global dan muthlaq, yang ditafshil
dan diqoyyid (diterangkan) oleh hadits yang datang dari sanad-sanad yang
shahih tentang larangan berpuasa pada hari Sabtu. Barangsiapa yang berpuasa
sehari dan berbuka sehari maka puasanya termasuk sunnah yang disukai yang
dikecualikan darinya puasa pada hari Sabtu, yang diamalkan dengan dua nash
tanpa membatalkan salah satu dari keduanya, khususnya –sebagaimana yang telah
kusebutkan dan kuulangi- bahwasanya puasa pada hari Sabtu tidak dilaksanakan
kecuali yang diwajibkan, dengan nash Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam.
Macam ketiga : Sekiranya
ada yang berpuasa sehari dan berbuka sehari, atau berpuasa tiga hari setiap
bulan, bertepatan dengan hari ied, atau hari-hari tasyriq, maka apakah
yang dia lakukan?? Apakah dia akan mendahulukan puasa yang sunnah terhadap
larangan sharih? Hal ini takkan diucapkan orang yang mengetahui ilmu dan
dalil-dalilnya beserta hujjah-hujjahnya! Kalau begitu, tidak ada keraguan lagi
bahwa pasti dia akan berbuka sebagai bentuk ittiba’ terhadap larangan al-Muhammadi
yang sharih (terang) yang berlawanan dengan puasa Dawud yang disukai
Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada kita, maka
larangan lebih kuat!!! Maka apakah perbedaan kedua gambaran ini : Bagi siapa
yang bertepatan puasanya dengan hari-hari terlarang seperti hari ied atau hari
tasyriq?? Atau jika bertepatan puasa sunnahnya dengan hari Sabtu, padahal
larangannya sharih?! (jawabnya) tidak ada perbedaan bagi orang-orang
yang adil diantara dua bentuk gambaran ini. Kedua-duanya terhimpun padanya
sunnah dan larangan, padahal larangan didahulukan daripada sunnah, sesuai
dengan tafshil yang telah lewat secara berulang-ulang.
Macam keempat : Bahwasanya,
nash-nash syar’iyyah tidak datang seluruhnya dalam konteks yang satu dan
masa yang satu. Maka seyogyanyalah mengkompromikan nash yang diduga
saling kontradiktif –padahal tidak ada kontradiksi pada realitanya sedikitpun-
tanpa menjatuhkan sebagian dengan sebagiannya yang lain, seperti masalah kita
ini yang mana ada orang yang mengkontradiksikan hadits larangan berpuasa pada
hari Sabtu kecuali yang diwajibkan dengan konteks riwayat puasa nafilah atau
sunnah. Hal ini merupakan penentangan yang jelas terhadap metodologi kompromi
dan hal ini juga sangat jauh sekali. Aku katakan : seluruh segi yang telah lalu
pemaparannya, adalah sebagai pembantah dugaan adanya kontradiksi antara hadits
larangan berpuasa pada hari sabtu dengan hadits-hadits lainnya yang telah
disebutkan di muka. Hal ini seluruhnya juga merupakan jawaban secara
pasti terhadap dalil-dalil orang yang menyelisihi dari aspek fiqh dan ushul.
(selesai di sini ucapan Syaikh Ali)
Khatimah
Demikianlah jawaban Syaikh
al-Muhadits Ali Hasan al-Halaby al-Atsary terhadap syubuhat dan
argumentasi-argumentasi orang-orang yang menyelisihi ketetapan larangan
berpuasa sunnah hari Sabtu. Metode yang beliau gunakan adalah metode ilmiah
yang kuat yang bersumber dari takhrijul hadits dan tashihnya, beserta didukung
dengan kaidah-kaidah ushul fiqh. Bagi siapapun yang mencermati dan
memperhatikan secara obyektif akan bisa melihat pendapat yang kuat dan madzhab
yang terpilih tentang hal ini
Wallahu a’lam bish Showab.