HIZBUT
TAHRIR : DARI MEREKA DAN UNTUK MEREKA
PEMBELAAN TERHADAP IMAM IBNU BAZ DARI TUDUHAN KEJI
DAN MEMBONGKAR SEBAGIAN PENYIMPANGAN DAN KONTRADIKSI ‘MUDZABDZAB’ HIZBUT TAHRIR
YANG JAHIL
(Sisilah Bantahan III
Terhadap Hizbut Tahrir)
Oleh : Abu Salma bin
Burhan at-Tirnatiy
Ba’da tahmid wa shalawat…
Berikut ini adalah lanjutan tanggapan
dan bantahan saya terhadap tulisan seorang simpatisan Hizbut Tahrir yang
fanatik dan jahil yang berkedok di balik nama ‘Mujaddid’ (baca : Mudzabdzab =
orang yang goncang), yang ditulisnya dengan penuh kedengkian dan hasad terhadap
Ahlus Sunnah dan ahlinya, yang disebarkannya melalui forum www.gemapembebasan.**.** (baca : gemapembid’ahan)…
Membaca apa yang ditumpahkan oleh si ‘mudzabdzab’ ini, saya
menjadi yakin akan kebodohannya terhadap agama ini dan kerusakan metodenya yang
penuh dengan kedustaan dan iftiro’ (fitnah). Si ‘mudzabdzab’ ini
sangat gemar sekali berdusta, menfitnah dan berkhianat dalam rangka mencapai
tujuannya. Kaidah al-Ghoyah tubarrirul Wasilah (Tujuan membenarkan
segala cara) telah merasuk ke dalam fikiran dan pemahamannya.
Sungguh apa yang ditulisnya akan
menjadi bumerang bagi dirinya, dan ia akan memercikkan air panas ke wajahnya
sendiri dan menjilat ‘muntah’nya kembali, karena kebodohannya sangat tampak
sekali dan bahkan karakter ini telah menjadi ciri khasnya. Saya akan
menunjukkan tanaaqudl (kontradiktif) si’mudzabdzab’ ini, dan sikapnya
yang lancang terhadap para ulama ahlus sunnah. Saya melihat, bahwa apa yang
dimuntahkan oleh si ‘mudzbdzab’ ini tidak berbobot ilmiah sama sekali, bahkan
argumentasinya dibangun di atas zhon al-Bathil dan konklusi-konklusi
prematur tak berdasar yang berangkat dari akalnya yang pendek.
Diantara Sunnatullah dalam kehidupan
ini adalah adanya ujian bagi orang-orang yang berpegang teguh dengan as-Sunnah
dan al-Atsar di sepanjang masa, yang
datang dari musuh-musuh atau orang-orang yang memendam kebencian (hasad).
Mereka senantiasa menjelek-jelekkan para ulama serta merendahkan martabat
mereka. Akan tetapi –walillahi hamdu- Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap
memelihara dan menjaga mereka, dan Allah akan senantiasa menampakkan kebenaran
dan menentukan akhir yang baik bagi orang-orang yang berakwa.
Ulama-ulama salaf dahulu pernah berkata,
“Diantara ciri ahlul bid’ah adalah
mencaci maki dan mencela Ahli Atsar.”
Al-Mudzabdzab al-Hizbi berkata di dalam
tuduhannya terhadap Imam Ibnu Baz dan Salafiyin :
1- Tentang masalah
mengikuti manhaj salaf dalam masalah Aqidah dan Syari’at perlu dilihat dan kita
kaji terlebih dahulu !? Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat
yang berbeda dengan “pemahaman akal”
seorang Ulama Salafi, maka ia cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan
‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut, seperti pada kasus Ibn Baz :
- Seseorang pernah
menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat
Ibn Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat2 lainnya tentang kebolehan memotong
sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar
: “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah
dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan
sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004;
hal. 40-41)
Kalau demikian
faktanya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman
Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ! Jika anda dan kelompok anda dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman
Ibn Baz, Utsaimin, Albani dll lebih baik dari pendapat dan fatwa para sahabat
yang mulia ini’ !! Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi) lebih
mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang
senatiansa menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir
Rasul SAW !?!
Lalu dengan beraninya,
ia berkilah bahwa ‘hadis itu belum sampai kepada Sahabat tersebut, tapi sudah
sampai pada Albani, Utsaimin, Ibn Baz dll dari kalangan Salafiyun’ !!!? Seakan2
anda menyatakan bahwa para ulama salafi ini mengklaim diri mereka ‘lebih
nyalaf’ dibandingkan para Salaf As-Sholeh itu sendiri !?!
Dan banyak kasus
Ulama Salafi lebih mengunggulkan pendapatnya sendiri, ketika pada saat yang
bersamaan terdapat pendapat dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in yang berbeda
dengan pendapat mereka !! Sebagaimana contoh berikut : “Pada suatu
pelajaran, Abdullah Ibn Baz pernah menyatakan bahwa pernikahan dengan ahlul
kitab dengan persyaratan. Sebagian mahasiswa yang mengikuti pelajaran itu
berkata : “Wahai Syeikh, sebagaian Sahabat melarang hal itu !”. Beliau menoleh
kepada Mahasiswa itu, lalu berkata : “Apakah perkataan Sahabat menentang
Al-Qur’an dan As-Sunnah !!. Tidak berlaku pendapat siapapun setelah firman
Allah SWT dan sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004;
hal. 40-41).
Lalu bagaimana bisa,
anda mengklaim mengambil manhaj Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, sementara
pada saat yang bersamaan anda dan kelompok anda menolak dan mencampakkan
pendapat mereka !?! Seraya melontarkan kata2 keji yang menodai kemulian
para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Hadis, dengan ucapan :
“Hadis shahih ini belum sampai pada mereka’, atau ‘apakah kamu akan memilih
pendapat sahabat atau hadis Rasul SAW’ “!!
Sehingga menurut
orang Salafi ini, seakan2 mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak
pernah mendengar apalagi mendapat hadis dari Rasul SAW !!? Waliyadzubillah.
Tanggapan :
Ketika saya membaca ulasan si
‘mudzabdzab’ di atas, saya hanya bisa tertawa di dalam hati melihat begitu
bodohnya syabab Hizbut Tahrir ini. Di antara syabab HT yang pernah berdiskusi
dengan saya, saya melihat bahwa ‘mudzabdzab’ ini adalah syabab HT yang paling
jahil, paling pendengki dan paling fanatik. Argumentasi yang dikemukakannya di
dalam membantah atau mengkritik salafiyin sangatlah tidak relevan dan terkesan
penuh dengan iftiro’ dan ikhtiro’. Pengagungannya terhadap akal
dan pemahamannya sangat kentara, sehingga metode berfikirnya dipenuhi dengan
kecacatan dan keganjilan yang sangat jelas, sehingga para pembaca budiman akan
melihat bagaimana tanaqudh-nya orang jahil satu ini.
Saya katakan : dalam pernyataannya di
atas, si ‘mudzabdzab’ ini secara tidak malu mempertontonkan dagelannya yang
rusak. Pengambilan konklusi si mudzabdzab ini sangat jauh dari nilai-nilai
ilmiah, bahkan saya katakan, metode pengambilan konklusinya dibangun di atas
‘kegelapan’ dan kebencian, tidak berbobot ilmiah sama sekali. Berikut ini akan
saya jawab dan tanggapi pernyataan dan tuduhan kejinya.
PASAL
1
PEMAHAMAN AKAL
SALAFIYUN VERSUS HIZBUT TAHRIR
Si Mudzabdzab al-Hizbi berkata :
“Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang
sahabat yang berbeda dengan “pemahaman
akal” seorang Ulama Salafi, maka ia cenderung mengambil pendapatnya
sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut”
Maka saya jawab : Ucapan anda tidak
memiliki fakta, karena fakta yang anda ucapkan di atas adalah bukan fakta,
namun imajinasi anda sendiri yang anda bangun dengan penuh kedengkian dan
kebodohan. Saya tidak heran ketika anda menyebutkan kata “pemahaman akal”,
karena kata-kata ini adalah slogan hizb anda yang hizb anda membangun agama
dengannya. Sesungguhnya para masyaikh ahlus sunnah atau salafiyun dan kaum
awwamnya, dididik untuk merendahkan akalnya di bawah syara’ dan tidak pernah
mensuperioritaskan akalnya di atas syariat. Terlebih dalam masalah aqidah,
ahlus sunnah menyatakan bahwa akal
tunduk patuh terhadap syariat, walaupun syariat itu ‘seolah-olah’ menyelisihi
akal manusia yang lemah lagi rendah.
Jika kita menelaah kitab-kitab aqidah
para ulama salaf, dinyatakan dengan gamblang bahwa aqidah adalah tauqifiyah,
tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad
dan berpendapat di dalamnya, dan tidaklah berperan akal seorang manusia di
dalamnya, karena akal tunduk dan patuh terhadap aqidah dan sumber-sumbernya
hanya terbatas di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Sebab tiada seorangpun yang
mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang
harus disucikan dari-Nya melainkan Allah sendiri. Dan tidak ada seorangpun
sesudah Allah yang lebih mengetahui diri-Nya selain Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam. Oleh karena itu manhaj salaf di dalam mengambil aqidah
terbatas hanya pada al-Qur'an dan as-Sunnah serta ijma’ as-salafus sholih.
Sekarang, mari kita bandingkan dengan
‘pemahaman akal’ para pembesar HT. Perhatikanlah baik-baik :
Taqiyudin an-Nabhani rahimahullahu berkata
di dalam Nizhomul Islam :
“Oleh karena itu iman kepada Allah diperoleh dari
jalan akal, dan harus menjadikan perkara keimanan ini melalui jalan akal,
yang dengannya menjadi kokoh bagi kita untuk beriman kepada perkara-perkara
ghoibiyah dan segala hal yang diberitakan Allah.” Hal yang tidak jauh berbeda diutarakan
pula oleh Fathi Muhammad Salim dalam al-Istidlal bizh zhonni fil aqoo`id yang berkata: “Aqidah adalah sesuatu
yang telah menjadi ikatan hati, artinya aqidah itu benar-benar tercakup di
dalamnya secara sempurna dan meyakinkan dengan tidak ada rasa ragu sama sekali.
Ini artinya hati tersebut mengambil ide atau akidah tersebut, menguatkannya
dan menyesuaikannya dengan akal, meskipun terikat penyerahan, sehingga dasar
I’tiqod itu adalah bulatnya ikatan hati untuk menyepakati akal, jadi
asalnya adalah kemantapan hati tetapi harus sesuai dengan akal. Jika dua hal
ini terpenuhi, maka ia disebut aqidah.”
Wahai Mudzabdzab, sungguh saya tidak
heran jika anda menuduh para masyaikh salafiyin dengan menyebutkan kata
‘pemahaman akal’, yang anda katakan jika ada pendapat yang menyelisihi
‘pemahaman akal’ mereka, maka mereka cenderung mengambil pendapatnya sendiri
dan mencampakkan fatwa sahabat. Saya tidak heran, karena tuduhan anda ini :
pertama, berangkat dari kebodohan, dan kedua, biasanya seorang yang menuduhkan
suatu perbuatan kepada orang lain, sesungguhnya penuduh itulah yang biasanya
sering melakukannya sehingga ia merasa dengan pemikirannya yang seperti itu
orang lain melakukan serupa. Oleh karena, hizb anda yang sering ‘mengagungkan’
akal dan melebih-lebihkannya, maka anda tidak segan-segan membuat tuduhan
‘akal-akalan’ yang sesungguhnya lebih layak dialamatkan kepada anda dan hizb
anda.
Ucapan anda : maka ia
cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat
tersebut adalah suatu kedustaan dan iftiro’ yang berangkat
dari konklusi dan pemahaman yang dangkal dan tak berdasar. Insya Allah akan
saya beberkan lebih panjang lagi setelah ini.
PASAL KEDUA
MENJAWAB KLAIM DAN TUDUHAN DUSTA AL-MUDZBADZAB SERTA MENUNJUKKAN
PENCAMPAKKAN SUNNAH OLEH HIZBUT TAHRIR
Al-Mudzabdzab berkata :
seperti pada kasus Ibn Baz : Seseorang pernah menyusun
buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Abu
Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat2 lainnya tentang kebolehan memotong sebagian
janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah
dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan
sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004;
hal. 40-41)
Kalau demikian faktanya, lalu mana slogan memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in
dan Tabi’ut tabi’in) ! Jika anda dan
kelompok anda dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin,
Albani dll lebih baik dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini’ !!
Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi) lebih mengetahui hadis Rasul
SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senatiansa menemani, melihat
dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !?!
Para pembaca budiman akan saya
tunjukkan siapakah yang mencampakkan sunnah nabi dan lebih mengagungkan
pemahaman akalnya di dalam permasalahan yang dicontohkan oleh si jahil ini.
Bahkan pembaca kelak akan mengetahui –insya Allah- bahwa HT adalah kelompok
yang paling gemar mencampakkan sunnah nabi dan meninggalkan pemahaman salaf.
Di dalam menjawab tuduhan di atas, agar
lebih mudah difahami, maka saya membagi pasal ini menjadi tiga sub pasal, yaitu
sub pasal pertama tentang apakah pendapat sebagian sahabat adalah hujjah, sub
pasal kedua tentang masalah jenggot, di dalam sub pasal ini saya sekaligus
menanggapi jawaban TKAHI tentang permasalahan jenggot yang dipublikasikan di
forum tanya jawab www.hayatulislam.net dan mendudukkan perkara yang
sebenarnya, yaitu siapakah yang mencampakkan sunnah dan meninggalkan pemahaman
salaf di dalam masalah ini. Dan yang terakhir, subpasal yang berisi tentang
beberapa contoh sunnah yang dicampakkan oleh HT dan contoh penelantaran HT
terhadap madzhab salaf.
Sub Pasal 1
Apakah Pendapat
Sebagian Sahabat Adalah Hujjah??
Melihat pernyataan Mudzabdzab di atas,
yang mengambil kesimpulan se’enak-’nya sendiri, semakin meyakinkan saya bahwa
orang jahil ini benar-benar manusia yang disusupi oleh kedengkian dan
kebencian, dan meninggalkan norma-norma ilmiah serta amanat kejujuran yang
harus diemban oleh setiap penuntut ilmu. Silsilah bantahan pertama dan kedua
saya telah menunjukkan sebagian sikap pongah dan gegabahnya, yang dirinya tidak
begitu ambil pusing dengan nukilan-nukilan dan pernyataannya yang nantinya akan
saling kontradiksi dan bertentangan dengan pernyataan lainnya atau pernyataan
hizb-nya.
Nukilan anda terhadap ucapan Syaikh
al-Allamah Ibnu Bazz yang berkata : “Walaupun ini
pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah
firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah
Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004; hal. 40-41) adalah perkataan
yang lurus dan tidak mengandung kebathilan sedikitpun dari segala sisi. Bahkan
ucapan beliau adalah ucapan yang haq, benar dan lurus, yang selaras dengan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berbunyi : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS
Al-Hujurat : 1). Sesungguhnya yang rusak dan bengkok adalah pemahaman si
mudzabdzab ini, dan pemahaman mudzabdzab yang dangkal-lah yang membawa makna
lafazh syaikh Ibnu Bazz keluar dari konteksnya, sebagaimana kebiasaan Hizbut
Tahrir.
Al-Imam al-Baihaqi meriwayatkan di
dalam al-Madkhol ila Sunanil Kubro (hal. 35) dengan sanad yang shahih
dari Imam Syafi’i, beliau berkata, “Jika masih ada hujjah dari al-Qur'an atau
as-Sunnah, maka setiap orang yang mendengarnya harus mengikutinya. Bila tidak
ada (di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah) maka kita beralih kepada perkataan para
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam atau salah seorang dari
mereka.
Imam Syafi’i juga berkata : “Apabila
telah datang dari Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
perkataan-perkataan yang berbeda, maka lihatlah kepada yang mencocoki al-Qur'an
dan as-Sunnah kemudian ambillah.”
O… Mudzabdzab!!! Apakah kau tidak
mengatakan bagaimana lancangnya Imam Syafi’i dan anda katakan bahwa beliau
rahimahullahu mencampakkan fatwa sahabat dan lebih mendahulukan al-Qur'an dan
as-Sunnah??? Dimana akalmu
sekarang wahai mudzabdzab?!!
Ketahuilah, pendapat sahabat adalah
hujjah dengan perincian sebagai berikut :
- Pendapat sahabat yang tersebar di kalangan mereka dan tidak ada yang
mengingkarinya, seperti riwayat tentang mengusap khufain.
- Pendapat seorang sahabat, namun tidak berlawanan dengan lainnya.
- Pendapat sahabat, apabila terdapat perbedaan antara pendapat satu
dengan lainnya, memiliki beberapa tingkatan, yaitu :
-
Pendapat tersebut merupakan pendapat
Khulafa’ur Rasyidin yang empat, maka pendapat mereka lebih dikedepankan.
-
Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur
sahabat, maka pendapat mereka adalah hujjah.
-
Pendapat tersebut berlawanan dengan sebagian
besar sahabat lainnya, maka yang dijadikan hujjah adalah pendapat jama’ah.
Seluruh para ulama bersepakat untuk
menerima atsar para sahabat jika tidak ada faktor yang menolaknya dalam masalah
tersebut, dan atsar tersebut diperkuat dengan sumber aslinya. Dan inilah yang
tidak difahami oleh mudzabdzab!!! Atau dia faham namun dia menyembunyikannya
supaya dia dapat mengakali orang-orang bodoh!!!
Sekarang mari kita lihat yang terjadi
pada zaman sahabat, bahwa sebagian para sahabat ada yang belum mendengar sabda
nabi supaya tuduhan si mudzabdzab ini termentahkan. Akan saya turunkan beberapa
contoh kejadian di masa sahabat, dimana para sahabat saling berselisih dan
saling mengingkari dikarenakan ada diantara mereka yang belum mendengar sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Perhatikanlah baik-baik!!!
Pertama :
Dari Muhammad bin ‘Ali, bahwasanya
pernah suatu ketika diceritakan kepada ‘Ali bahwa Ibnu ‘Abbas
memperbolehkan kawin Mut’ah, maka beliau berkata : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam melarang kawin mut’ah dan makan daging keledai waktu
khaibar.”
Demikian pula diriwayatkan oleh ath-Thoyalisi di dalam Musnad-nya (hal.
18) dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah dan Abdul Aziz bin Abi Salamah, keduanya
mendengar dari az-Zuhri yang mendengar dari Hasan dan Abdullah (keduanya)
putera Muhammad bin al-Hanafiyah dari ibunya bahwa Ali berkata kepada Ibnu
Abbas : “Lihatlah apa yang kamu fatwakan? Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam melarang kawin mut’ah.” (Shohih)
Saya katakan, Mudzabdzab tidak tahu tentang hal ini atau pura-pura
tidak tahu, sehingga dia keluar dari koridor ilmiah.
Kedua : Dari
Ubaid bin ‘Umair dia berkata : ‘Aisyah mendengar bahwa Abdullah bin ‘Amr
memerintahkan kaum wanita agar menguraikan rambutnya ketika mandi janabat,
lantas Aisyah berkata : “Sungguh aneh Ibnu ‘Amr ini, memerintahkan kepada kaum
wanita untuk menguraikan rambutnya di saat mandi, kenapa tidak sekalian saja ia
memerintahkan mereka untuk mencukur rambut mereka! Sungguh aku pernah mandi
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam di tempat yang satu dan
aku menyiram rambutku tidak lebih dari beberapa siraman saja.”
Saya berkata : Mudzabdzab jahil tentang riwayat-riwayat ini,
dimana ijtihad para sahabat ada yang salah karena belum sampai kepada mereka
hadits-hadits nabi yang mulia. Namun Mudzabdzab dengan akalnya dan
pemahamannya yang ‘cetek’ tidak mau tahu dengan hal ini. Pokoknya yang penting
–menurutnya- salafiyin dan ulamanya salah karena mencampakkan pemahaman
sahabat, padahal mudzabdzab (Jahlun murokkab) sendirilah yang membangun
kesalahan di atas kesalahan yang bertingkat-tingkat dan semakin menonjolkan
kebodohannya.
Ketiga : Dari Hudzail
bin Syarahbil dia berkata : “Datang seorang lelaki menghadap Abu Musa
al-Asy’ari dan Salman bin Rabi’ah, kemudian orang itu bertanya kepada mereka
tentang (bagian warisan) anak perempuan, anak perempuan dari anak lak-laki dan
saudara perempuan ayah dan ibu? Maka keduanya menjawab : “Untuk anak perempuan
bagiannya setengah, saudara perempuan ayah dan ibu mendapat setengah, dan anak
perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat bagian sedikitpun. Pergilah kamu
kepada Ibnu Mas’ud, dia pasti akan mengikuti (pendapat) kami.” Kemudian lelaki
tersebut menghadap Ibnu Mas’ud, bertanya padanya dan menceritakan jawaban
mereka keduanya, Ibnu Mas’ud menjawab : “Kalau begitu aku akan tersesat dan
bukan termasuk orang yang mendapat petunjuk. Akan tetapi aku akan menghukumi
dengan hukum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, yaitu bagi anak
perempuan setengah, bagi anak perempuan dari anak laki-laki bagian yang
melengkapi dua pertiga, dan sisanya (ashobah) untuk saudara perempuan
ayah dan ibu.”
Saya berkata : Dimana kaidah yang tinggi ini di hadapan Mudzabdzab yang
jahil namun merasa alim ini?!! Tidak syak lagi saya mengatakan bahwa
kedengkiannyalah yang menyebabkan dirinya meninggalkan keadilan dan jatuh
kepada kezhaliman dan celaan-celaan.
Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa (juz I hal 282-284) telah menjelaskan tentang
kaidah “ucapan seorang sahabat bukan sebagai hujjah”. Beliau memberikan
contoh yang banyak sekali mengenai pendapat sahabat yang bertentangan dengan
nash-nash yang jelas. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa “Ucapan seorang
sahabat sebagai hujjah” apabila memenuhi dua kriteria berikut ini :
1.
Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan
tersebut.
2.
Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya.
Saya katakan : Kaidah inilah yang tidak difahami oleh mudzabdzab atau
mungkin dia memahaminya namun dia menyembunyikannya, karena menurutnya ‘tujuan
menghalalkan segala cara’, sehingga menurutnya sah-sah saja menuduh Syaikh Ibnu
Baz mencampakkan fatwa sahabat, karena beliau adalah seorang salafi, dan
mudzabdzab ini sangat benci dengan salafiyin dan ulamanya. Wallahul Musta’an.
Namun, anehnya si ‘mudzabdzab’ ini
menutup mata atau memang benar-benar matanya tertutup karena seringnya memendam
kepalanya ke dalam tanah, sehingga ia dengan bodohnya membangun pemahaman sakitnya
terhadap ucapan Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu dan mem’perkosa’
pemahamannya seenak ‘syahwat’nya sendiri. Bahkan si mudzabdzab ini tanaqudl dan
ta’arudl dengan perkataannya di sela-sela muntahannya yang busuk, ia
berkata :
Bukankah
dalam hadis ini Rasul memerintahkan kpd umat Islam agar mengikuti sunnah
beliau dan sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin, bukan diperintahkan untuk
mengikuti Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali sbg individu sahabat.
Saya katakan :
Benar wahai Mudzabdzab, karena yang patut didahulukan adalah al-Qur'an,
as-Sunnah dan ijma’ shohabat, termasuk di dalamnya sunnah para khalifah yang
empat yang harus lebih dikedepankan dibandingkan pemahaman sahabat lainnya,
dimana para ulama salafiyin lebih mengedepankan atsar mereka dibandingkan sahabat-sahabat
lainnya. Lalu, mengapa dirimu memalingkan maksud perkataan Syaikh Ibnu Baz
keluar dari konteksnya yang mana perkataan beliau baik manthuq (tekstual) maupun mafhumnya (kontekstual) tidak menyelisihi suatu kaidah
pun di dalam agama ini?!!
Adakah mereka -masyaikh robbaniy- yang
kau tuduh itu, mereka mengklaim bahwa pendapat mereka lebih utama dari
Sahabat?? Adakah mereka merasa bahwa mereka lebih ‘alim dari para sahabat??
Adakah kami mengklaim bahwa pemahaman akal masyaikh kami itu lebih mulia dari sahabat???
Haihata… haihata… darimanakah kau
datangkan konklusi prematur tersebut?? Apakah dari dugaanmu belaka yang
terbakar hasad dan dengki?? Ataukah memang ini karaktermu dan karakter
kelompokmu yang tak mampu berdalil melainkan hanya menukil sebagian ucapan yang
haq dan difahami se’enak-udhel’nya sendiri dan dilemparkan ke salafiyin??
Sungguh besar sekali kedustaanmu wahai Mudzabdzab!!!
“Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta” (QS al-Mujadilah (58) : 2).
“Dan sesungguhnya kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS.
Al-Ankabut (29) : 3)
Sub Pasal 2
Pencampakan Hizbut Tahrir Terhadap Sunnah Memelihara Jenggot
Tahukah anda ya mudallis jahil… bahwa apa yang kau nukil itu adalah
perselisihan yang juga terjadi antara Imam Albany dengan Imam Ibnu Bazz
–rahimahumallahu-, bahwa Imam Albany mewajibkan mencukur jenggot yang melebihi
segenggam dengan dalil atsar Ibnu Umar dan Abu Hurairah sedangkan Imam Ibnu
Bazz termasuk diantara yang tidak memperbolehkan mencukurnya secara mutlak… dan
setiap mereka menyertai pendapatnya dengan dalil dan salaf/pendahulu
masing-masing. Lantas bagaimana bisa kau generalisir dalam cercaanmu, termasuk
Imam al-Muhaddits al-Albany yang berdalil dengan atsar Ibnu Umar dan Abu
Huroiroh di dalam contohmu di atas, dan beliau berpendapat bahwa mencukur
jenggot yang melebihi segenggam kepalan tangan adalah wajib dan membiarkannya
adalah suatu bid’ah… Sungguh kebodohanmu benar-benar nampak dalam kepongahanmu
dan kecerobohanmu…!!! Kau aduk air panas dan kau siram sendiri wajahmu
dengannya!!!
Perhatikanlah ucapan Syaikh al-Albani
rahimahullahu berikut ini :
“Kami tidak mengetahui salah seorangpun
di kalangan salafus sholih –terlebih lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam sebagai penghulu mereka- membiarkan jenggotnya tanpa batas, ini yang
pertama. Adapun yang kedua, kami telah mengetahui dari sejumlah besar salafus
sholih melakukan sebaliknya, yaitu mereka biasanya merapikan jenggot (yang
melewati segenggam tangan), diantaranya adalah Abdullah bin Umar bin
Khaththab…”
Namun, Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullahu berpendapat bahwa mencukur jenggot baik yang tumbuh melewati
segenggam tangan maupun yang tidak, adalah haram berdasarkan kemutlakan
dalil-dalil Sunnah Rasulullah dan af’alus shohabah lainnya. Insya Allah
akan saya turunkan dalil-dalilnya sekaligus sebagai bantahan terhadap Hizbut
Tahrir yang memperbolehkan memangkas jenggot hingga licin dan menganggap sunnah
ini hanya sebagai sunnah jibiliyah, permasalah qusyur (kulit) dan
bukan sebagai kewajiban bagi seorang muslim.
Syamsudin Ramadhan berkata di dalam forum tanya jawab www.hayatulslam.net seputar
permasalahan jenggot :
Kami
berpendapat bahwa memangkas sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedangkan
mencukurnya hingga habis hukumnya adalah makruh tidak sampai ke derajat haram.
Adapun hukum memeliharanya adalah sunnah (mandub).
Yang saya herankan adalah Syamsudin ini
sebelumnya menukil riwayat-riwayat yang menunjukkan akan keharaman (atau
minimal makruhnya) mencukur jenggot, namun ia mengambil kesimpulan pendapat
tersendiri yang tidak disokong oleh dalil dan argumentasi yang menyatakan bahwa
memangkas jenggot adalah mubah atau makruh jika memangkasnya hingga licin. Ia
berpendapat bahwa hukum memelihara jenggot adalah sunnah.
Padahal jika dia mau obyektif dan
memilij pendapat yang rajih dan terpilih setelah dilakukan tarjih tentang hukum
memelihara jenggot adalah wajib hukumnya, dengan dalil sebagai berikut :
Allah Ta’ala
berfirman : “Dan aku (syetan) benar-benar akan menyuruh mereka (merubah
ciptaan Allah) lalu mereka benar-benar merubahnya.” (an-Nisa’ : 119).
Syaikh at-Tahanuwi dalam tafsirnya berkata : “Sesungguhnya mencukur jenggot
termasuk merubah ciptaan Allah.”
Dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu 'anhu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Berbedalah kalian
dengan kaum musyrikin, pangkaslah kumismu dan biarkanlah jenggotmu.”
(Muttafaq ‘alaihi)
Dari Abu Huroiroh Radhiallahu 'anhu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Potonglah kumis kalian
dan peliharalah jenggot kalian, selisihilah orang-orang majusi.” (HR.
Muslim, Baihaqi, Ahmad dan selainnya)
Dari Abu Umamah Radhiallahu 'anhu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Pendekkanlah kumis
kalian dan biarkanlah jenggot kalian, selisihilah ahlul kitab.”
Perhatikanlah, bahwa seluruh shighot
dalam lafazh hadits di atas adalah berbentuk fi’il amr, dan di dalam
kaidah ushul fikih dikatakan : al-Ashlu fil Amri Yufiidul Wujuub illa idza
Ja’at Qoriinatu Tashriiful Lafzho ‘an Zhoohirihi yang artinya hukum asal
dari suatu perintah berfaidah kepada hukum wajib kecuali jika datang suatu
indikasi yang dapat memalingkan teks dari makna lahirnya.
Jumhur ulama
berpendapat mengenai haramnya mencukur jenggot, diantaranya :
-
Imam Ibnu Hazm azh-Zhohiri rahimahullahu
berkata : “Para Imam telah bersepakat bahwa mencukur jenggot adalah dilarang
(haram)” (al-Muhalla II/189).
-
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
berkata : “Haram hukumnya mencukur jenggot” (al-Ikthiyarat al-Ilmiyyah
hal. 6)
-
Imam Ibnu ‘Abidin al-Hanafi rahimahullahu
berkata : “Diharamkan bagi seorang laki-laki memotong jenggotnya yaitu
mencukurnya.” (ar-Raddul
Mukhtar : II/418)
-
Imam
al-‘Adawi al-Maliki rahimahullahu berkata : “Dinukil dari Malik tentang
dibencinya mencukur apa-apa yang ada di bawah bibir, sesungguhnya ini adalah perbuatan
orang majusi.” (Hasyiah al-‘Adawi ‘ala Risalah Ibni Abi Zaid : II/411)
-
Imam
Ibnu Abdil Barr al-Maliki rahimahullahu berkata di dalam at-Tamhid :
“haram mencukur jenggot bagi lelaki dan pelakunya tidak lain adalah seorang
yang banci.” (Adillah Tahrim Halqul Lihaa hal. 96).
-
Imam
Ahmad bin Qoshim asy-Syafi’i rahimahullahu berkata : “Ibnu Rif’ah berkata di
dalam Haasyiatu al-Kaafiyah, sesungguhnya Imam Syafi’i telah berkata di
dalam al-‘Umm tentang haramnya mencukur jenggot, demikian pula pendapat
az-Zarkasyi dan al-Hulaimi di dalam Syu`abul Iman.” (Adillah Tahrim
Halqul Lihaa hal. 96).
-
Imam
Safarini al-Hanbali rahimahullahu berkata : “Disandarkan kepada madzhab
hanabilah tentang haramnya mencukur jenggot.” (Ghita’ul Albaab : I/376).
Dan masih banyak lagi para ulama yang berpendapat tentang haramnya
mencukur jenggot, baik ulama salaf terdahulu maupun kholaf kontemporer seperti
Syaikh Abdul Jalil Isa, Syaikh Ali Mahfuzh, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh
Nashirudin al-Albani, Syaikh Muhammad Sulthon al-Mashumi, Syaikh Ahmad bin
Abdurrahman al-Banna, Syaikh Abu Bakar al-Jaza`iri, Syaikh al-Kandahlawi,
Syaikh Abdurrahman al-Qoosim, Syaikh Isma’il al-Anshori dan selain mereka.
Lantas, wahai Mujaddid, kau campakkan
ke mana sabda nabi yang mulia dan ucapan para ulama ummat ini?!! Darimana
kalian membangun hujjah kalian bahwa jenggot itu hanyalah sekedar sunnah?!! Dan
darimana kalian menyatakan bahwa memangkas habis jenggot hanyalah sekedar
mubah?!! Apakah kalian lebih mengagungkan ‘pemahaman akal’ kalian dan mencampakkan
hadits-hadits nabi yang mulia?!! Haihata haihata…!!!
Sub Pasal 3
Sunnah-Sunnah Dan
Syariat Yang Dicampakkan Oleh HT
Para pembaca budiman, sesungguhnya bukan hanya masalah jenggot saja
yang dicampakkan oleh HT, namun mereka juga mencampakkan sunnah-sunnah nabi
yang lainnya yang jumlahnya sangat banyak, yang akan saya sebutkan beberapa
diantaranya. Maka oleh karena itu wahai mudzabdzab, seharusnya jika kau akan
meludah, lihatlah tempat dulu, jangan meludah sembarangan apalagi meludah ke
atas, karena yang akan terkena ludahmu adalah wajahmu sendiri…
Perhatikanlah petikan berikut ini
Lantas kau campakkan kemana wahai Hizbut Tahrir, firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala yang artinya :
“Janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk” (al-Israa’ : 32)
“Katakanlah kepada
orang laki-laki yang beriman supaya mereka menundukkan pandangannya dan supaya
mereka memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka.” (an-Nuur : 30)
Kamu campakkan ke mana wahai Hizbut Tahrir, sabda Nabi yang mulia yang
artinya :
“Sudah ditetapkan bagi anak cucu Adam bagian zina yang pasti akan
menimpanya. Kedua mata, zinanya dengan memandang, zina kedua telinga ialah
mendengar, zina lisan ialah mengucap, zina tangan ialah memegang, zina kaki
ialah melangkah dan zina hati ialah menghendaki sesuatu atau berkhayal,
sedangkan yang membenarkan adalah kemaluannya.” (Shahih,
diriwayatkan Muslim dari Abi Huroiroh)
Wal’iyadzu billah, sungguh celaka dirimu wahai mudzabdzab!!!
Hizbut Tahrir berpendapat bahwa mencium wanita
ajnabiyah (bukan mahram) adalah mubah tidak haram, sebagaimana dalam nusyrah
jawab wa su’al no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970M.
Astagfirullahal Adhim… Wahai mudzabdzab, kau campakkan kemana
nilai-nilai akhlak islami dan iffah bagi seorang wanita?!! Kau campakkan
kemana ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah-sunnah nabi yang mulia yang mengharamkan
persentuhan dengan ajnabiyah, namun anda dan kelompok anda memperbolehkan
ciuman dengan ajnabiyah (walaupun tanpa syahwat). Apakah anda akan mungkir,
dengan menyatakan bahwa HT tidak berpendapat demikian, ini adalah fitnah… maka
saya jawab, berarti anda berdusta atau menyembunyikan kebenaran. Karena Umar
Bakri Muhammad sendiri
menyatakan bahwa fatwa di atas adalah memang pendapat HT, dan Umar Bakri
menolaknya dan membantahnya, bahkan ia keluar dari HT dan membentuk sempalannya
yang bernama al-Muhajirun. Berhijrah dari negeri kaum muslimin ke negeri
kaafir. Namun anehnya, sebagian anggota hizb lainnya masih berpegang dengannya
sebagaimana mereka berpegang terhadap pendapat Abdurrohman al-Baghdadi yang
dikeluarkan secara resmi dari HT.
Jika anda mengatakan, o… itu adalah qoul
qodim HT, qoul jadid HT menyatakan bahwa fatwa di atas mansukh, maka
saya katakan : Berikan bayan dan bukti tentang dimansukh-kannya fatwa HT
di atas.
Jika anda mengatakan, ini bukan
pendapat resmi HT, tiap syabab memiliki pendapat yang berbeda-beda, maka saya
katakan : Jama’ah macam apa kalian ini?!! Membiarkan saudara kalian yang
lainnya berada di dalam kebatilan!!! Diamnya anda dengan tidak mengoreksi
pemahaman ini adalah ridhonya anda dengan pendapat ini…!!!
Wal Iyyadzu billah!!! Kau campakkan kemana hadits Aisyah yang
menyatakan bahwa Rasululah tak pernah sekalipun menyentuh wanita selain
isteri-isterinya??? Hadits Umaimah yang hadir di baiat dan menyatakan ketiadaan
jabat tangan oleh Rasulullah?!! Hadits yang menyatakan tentang lebih baik
ditusuk jarum besi daripada menyentuh wanita?!! Lihatlah bantahan saya terhadap
syubuhat yang dikeluarkan oleh TKAHI dan Syamsudin Ramadhan di dalam artikel
saya yang berjudul : “Jabat Tangan dengan Ajanbiyah Haram Wahai Hizbut Tahrir”
(buka http://abusalma.blogspot.com/ -archives March
2005)
Astagfirullahal Adhim… wahai HT, darimana
lagi anda mendatangkan pemahaman ini?!! Dan dimanakah kalian campakkan
ayat-ayat dan tafsir para mufassirin yang menjelaskan keharaman memandang wajah
ajnabiyah…!! Kau campakkan ke mana pula hadits-hadits nabi yang mengharamkan
memandang wajah ajnabiyah?!! Insya Allah akan saya turunkan khusus tanggapan
terhadap pemahaman ‘nyeleneh’ HT ini…
Astagfirullahal Adhim… Sungguh tak mengherankan pula kau tutup
telingamu dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan kau sibukkan dirimu dengan lagu-lagu
dan musik-musik sehingga hatimu menjadi mati, dan dirimu menjadi orang-orang
yang ‘sakit hati’ karena disusupi oleh setan-setan pencinta musik. Akan saya
turunkan pula insya Allah bantahan khusus mengenai hukum musik dan lagu ini,
sekaligus sebagai bantahan terhadap DR. Yusuf al-Qordhowi wafaqohullahu.
Saya katakan, sesungguhnya orang-orang
yang mencela ketiga masyaikh Robbani (i.e. Samahatus Syaikh Ibnu Bazz,
al-Albany dan Ibnu Utsaimin –raghmun unufihim-) tidaklah keluar dari 3
jenis manusia :
- Orang yang Jahil
Murokab
- Ahlul Bid’ah terutama dari kalangan shufiyun, syi’iy dan semacamnya
- Orang kafir, zindiq dan munafiq.
Padahal mereka semua dikenal baik oleh
kawan dan lawan sebagai alim mujtahid… jika anda pelajari biografi mereka,
bagaimana tokoh-tokoh harokah dan hizbiyah masih menghormati mereka dan
menganggap mereka masyaikh dan ulama mujtahid… lihatlah Ali Belhaj (pimp. FIS
dulu) yang mengemis fatwa kepada Samahatus Syaikh Ibnu Bazz dan Albany sebelum
kasus pembantaian di al-Jazair bergolak yang mana Ali Belhaj sendiri yang
mencampakkan fatwa para masyaikh tersebut…. Lihatlah pula DR. Abdullah Azzam
yang datang meminta fatwa kepada Imam Albany dan Ibnu Bazz tentang permasalahan
jihad di Afghonistan
Bahkan ketika Imam Ibnu Bazz meninggal,
betapa banyak majalah islami dipenuhi oleh artikel-artikel dan khabar yang
berisi bela sungkawa sekaligus sebagai pujian terhadap beliau sebagai ulama
ummat, lihatlah apa yang ditulis pentolan Ikhwanul Muslimin, DR. Yusuf al-Qordhawi
di saat kematian Imam Ibnu Bazz, beliau menulis : ‘allamatul Jaziirah wa Faqiidul Ummah yang dimuat di Majalah
al-Mujtama’ III/2.1420, dan beratus-ratus lagi masyaikh serta thullabatul ilmi
yang turut berduka cita atas wafatnya beliau rahimahullahu…
Perhatikan pula bagaimana ummat ketika
mendengar wafatnya al-Muhaddits al-Faqih Syaikh Nashir –rahimahullahu-, yang
mana beratus-ratus ulama dan beribu-ribu thullabatul ilmi berta’ziyah dan
berbelasungkawa dengan penuhnya majalah-majalah serta koran-koran dengan
biografi beliau… Perhatikan pula Imam Faqihuz Zaman Syaikh Ibnu Utsaimin, yang
tidak jauh berbeda dengan keadaan pendahulu beliau… Lihatlah pula
nukilan-nukilan fatwa mereka di majalah-majalah Ikhwanul Muslimin, majalah
Jama’ah al-Islamiyyah Mesir Majalah Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah, dan
beribu-ribu majalah islam lainnya… makanya ana tidak heran, mengapa anda
menukil dari majalah SAHID dimana mereka sendiri memberikan porsi dalam rangka
memuji dan menganggap mereka sebagai kibarul ulama, sebagai mujtahid al-Alim,
sebagai mufti al-‘alam….
Sekarang mari kita bandingkan mereka
dengan tokoh Hizbut Tahrir… Apakah ada ulama HT yang menulis kitab-kitab syarah
hadits, takhrij dan tahqiq…??? Sebagaimana Imam Albany meneliti dan menyusun
kitab-kitab fenomenal yang sangat luar biasa besarnya, seperti : Silsilah
as-Shahihah, Silsilah adh-Dhaifah, Shahih Abu Dawud dan Dhaifnya, Shaih
Turmudzi dan Dha’ifnya, Shahih Ibnu
Majah dan Dha’ifnya, Shahih Riyadhus Shalihin, Shahih dan Dhaif Adabul Mufrad,
Shahih dan Dhaif Jami’us Shaghir dan kitab-kitab hadits lainnya… belum lagi
tahqiq dan takhrij beliau terhadap kitab-kitab fiqh, seperti Tamamul Minnah
ta’liq terhadap Fiqhus Sunnah karya Syaikh Sayid Sabiq –rahimahullahu-, Takhrij
dan Ta’liq Kitabus Sunnah, dan lain-lain, ada lagi dalam kitab-kitab aqidah
(seperti Ta’liq dan Syarh ath-Thawiyah, Kitabul Iman, dll), sirah (Fiqhus Sirah
al-Ghozali), dan lain-lain… Belum lagi Himpunan Fatawa beliau yang sedang naik
cetak berjumlah tidak kurang dari 40 Jilid, kemudian kaset-kaset muhadharah
beliau yang tidak kurang 7000 judul…
Apakah ada pula tokoh HT yang menulis,
mensyarh, mentahqiq dan menta’liq kitab-kitab Aqidah dan hadits sebagaimana
Imam Ibnu Utsaimin mensyarh Riyadus Shalihin, Arbain Nawawi, Syarh Lum’atul
I’tiqod, Kitabut Tauhid, Syarh Manzhumah al-Baiquniyah, Syarh Aqidah al-Wasithiyah dan masih banyak
lagi hampir berjumlah ratusan… Belum lagi kitab yang beliau tulis seputar
masalah ushul fiqh dan fiqh… serta kumpulan fatawanya yang hampir 30 jilid…???
Adakah pula tokoh HT yang seperti
al-Allamah Imam Ibnu Bazz yang bergelut dengan makhthutath semenjak
remajanya, mengoreksi Fathul Bari` dan kitab-kitab hadits lainnya, menulis
buku-buku Aqidah Salaf dan Fiqh Islami… yang mana beliau memiliki Majmu’
Fatawa dan maqolaat mutanawwi’ah berjumlah belasan jilid… belum lagi
kumpulan-kumpulan fatwa lainnya yang hampir berjumlah 20 jilid… adakah ulama’
HT yang demikian???
Lantas dengan hak apa anda berani
memanggil mereka dan merendahkan mereka sembari menyatakan “si ini dan itu”…
dimana posisi anda dibandingkan mereka… saya yakin, kedudukan anda dengan kedua mata kaki dari masyaikh mulia
ini tak ada apa-apanya… sekiranya ditimbang sejuta orang macam anda maka tetap
saja anda tak ada apa-apanya dibandingkan mereka… inilah bedanya kami dengan
anda!!! Jika anda berbicara dengan maksud merendahkan, maka anta gunakan lisan
anda yang hina untuk merendahkan masyaikh yang mulia, namun jika kami
mengkritik para tokoh hizbiyah dan mubtadi’ah, maka kami nukil ucapan
orang-orang yang sederajat –bahkan lebih- dengan mereka, supaya kedhaliman
tidaklah menyelimuti diri kami, karena tiap-tiap orang ada kadarnya…
Di bawah ini tulisan al-Mudzabdzab yang
ana lemparkan lagi kepadanya :
Lantas bagaimana bisa anta katakan
bahwa hasil pemahaman HT berada di atas nash Al-Qur’an dan As-Sunnah!! Tahukah
anta wahai Mudzabdzab, dari mana para Ulama Salafy ini mengambil pendapat
madzhabnya !!! Mereka mengambil pendapatnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang
shahih, dari Ijma’ Shahabat, dari aqwalus salaf yang selaras dengan Qur’an dan
Sunnah, dari Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dan
selainnya yang selaras dengan al-Haq tanpa fanatik terhadap salah seorang dari
mereka!!! Yang mana kitab Al-Muwaththo’ karya Imam Malik (sebagaimana dinyatakan
sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70
ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan
tabiut tabi’in di Madinah, bahkan Fathur Rabani-nya - Imam Ahmad Ibn Hambal
yang berisi ribuan hadis nabi SAW bahkan ketika beliau ditanya apakah seorang
yg hafal 100 ribu hadis boleh berijtihad sendiri, Imam Ahmad menjawab : ‘Belum
boleh’. Lalu beliau ditanya lagi : ‘apakah seorang yg hafal 200 ribu hadis
boleh berijtihad sendiri’ , Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika beliau
ditanya kembali : ‘apakah seorang yg hafal 400 ribu hadis boleh berijtihad
sendiri’ , lalu Imam Ahmad menjawab : ‘boleh’. Bahkan
Imam Abu Hatim sampai menyatakan bahwa mencintai Imam Ahmad adalah pengikut
Sunnah, Abu Hatim berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencintai Imam Ahmad
ketahuilah ia adalah pengikut Sunnah.” (As-Siyar A’lam An-Nubala’ 11/198).
Saya tambahkan di sini : Anda wahai
mudzabdzab, anda tanaqudl dengan diri anda sendiri… karena anda menukil
ucapan orang-orang yang membenci Imam Ahmad bin Hanbal, bahkan anda menukil
pendapat-pendapat orang-orang yang manhaj dan aqidahnya menyelisihi Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahullahu. Anda menukil dan membangun argumentasi anda dari talbis
antara al-Haq dan al-Bathil, antara sunnah dan bid’ah, antara penyeru tauhid
dengan penyeru kesesatan dan kesyirikan. Siapakah Hasan Ali as-Saqqof yang anda
kemukakan dan anda bangga-banggakan?!! Siapa pula Abu Ghuddah, al-Buthi,
al-Ghumari bahkan al-Kautsari pembesar mereka?!! Kenapa pula anda mencantumkan
kitab-kitab sesat dari kaum shufiyun dan syi’ah di dalam membantah dakwah
wahabiyah?!! Allahumma, sungguh ‘miskin’ sekali dirimu wahai
mudzabdzab!!!
Saya lanjutkan kembali dengan menukil
perkataan anda dan saya bidikkan kembali ke anda : Lalu apakah tidak boleh
seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik (yang menjadi pewaris madzhab
Sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in); lalu Imam Ahmad (yang hafal 400 ribu hadis),
imam syafi’I yg menulis kitab Al-Umm, Ar-Risalah (yg juga berisi ribuan hadis);
dan Imam Abu Hanifah yg menulis kitab Al-Mabsuth dll (yg berisi juga hadis2 dan
fatwa Salaf Ash-Sholeh) dan Ulama Mujtahid lainnya ??!? (Tentu boleh selama
selaras al-Haq). Lalu adakah salah satu tokoh HT yang punya karya melebihi
al-Muwatho Imam Malik, atau yang hafal hadis lebih dari 400 ribu seperti Imam
Ahmad, atau kitab fiqh–sunnah seperti Al-Umm atau Al-Mabsuth !!! Tidak ada,
lalu bagaimana anta dan kelompokmu bisa mengatakan hal seperti itu !!! Sungguh
ucapan spt ini merupakan bentuk ‘kekurangajaran’
kpd para Ulama Mujtahid yg dilontarkan dari ‘partai jahil’ yg sama sekali
tidak mencapai ‘barang secuil dari ilmu para Imam Mujtahid (yg sering ‘sok
tahu’ dg mengklaim paling berpegang dg ushul fiqh dan manhaj tarjih!!!), dan
pada saat bersamaan menuduh para Ulama yang mengambil pendapat dari al-Qur’an,
as-Sunnah dan atsar Shahabat sebagai ‘orang yang kurang ajar’. Padahal
sebenarnya mereka inilah –Syaikh Ibnu Bazz, Ibnu Utsaimin dan al-Albany- yg
paling layak disebut sebagai pewaris madzhab Salaf dlm Aqidah dan fiqh karena
dekatnya ilmu mereka dg pemahaman Sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dan
banyak ahli ilmu!!??!
Saya katakan : Jangan lihat kitab
Syakhsiyah Al-Islamiyah (nb : karya Syeikh An-Nabhani), Jangan pula Nidhomul
Islam ataupun ad-Dusiyah!!!? Yang isinya
penuh dengan penyimpangan-penyimpangan dan kesesatan… lihatlah al-Qur’an dan
as-Sunnah dan kitab-kitab Aqidah para imam salaf… Syarah Ushul I’tiqod Ahlus
Sunnah, Asy-Syari’ah, Syarhus Sunnah, Kitabus Sunnah, Ushulus Sunnah, dll…
PASAL 3
AQIDAH DAN HIZBUT TAHRIR VS
AQIDAH SALAFIYYAH
Al-Mudzabdzab al-Hizbi berkoar-koar
kembali :
Kalau anta menuduh
bahwa pembahasan aqidah Hizb kurang dibanding masalah politik adalah dusta
semata !!! Hizb telah mengeluarkan dan mentabanni sejumlah kitab yg membahas
banyak masalah spt : Nidzam Iqtishod (sistem ekonomi islam), Al-Anwal fi daulah
Al-Khilafah (Sistem keuangan dalam Daulah Al-Khilafah), Nidzam Uqubat (sistem
sangsi islam), Nidzam Al-Hukmi (sistem pemerintahan islam), Nidzam Ijtima’
(sistem pergaulan islam), Daulah Al-Islamiyyah (Kitab Sirah), Syakhsiyah
Al-Islamiyah tdr dari 3 jilid (berisi pembahasan masalah aqidah, hadis, jihad,
muamalat, ushul fiqh dll), Ad-Dussiyah dan Ma’lumat li Asy-Syabab (nb : 2 kitab
ini banyak memabahas masalah aqidah dan kritik atas peyimpangan aqidah umat dr
aqidah yg shohih yg berdasar kitab dan As-Sunnah), ahkam Ash-Sholat (Hukum2
sholat), Min Muqawwimat An-nafsiyah Al-Islamiyyah (Pengutat Nafsiyah
Al-Islamiyah berisi ayat2 dan hadis ttg masalah akhlaq) dan berbagai kitab
lainnya yg membahas berbagai masalah termasuk diantara afkar siyasi dan
Nadzarat siyasi li hizb At-Tahrir (nb : 2 kitab terakhir ini scr spesifik
membahas pemikiran kontemporer dan konstalasi politik internasional) !!!
Ditambah lagi puluhan bahkan ratusan kitab yg telah ditulis oleh para syabab dg
tema Aqidah (seperti kitab Thoriq Al-Iman yg ditulis oleh DR. Sami’ Athif
Az-Zein), hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tafsir, Ekonomi, politik, Sejarah, Ilmu
sosial, Ilmu Psikologi, sirah dll. Sekali lagi, telah terbukti bahwa tuduhan si
Ikhwan ini tdk terbukti dan ini hanya sebuah kedustaan yg pasti Allah akan
meminta pertanggungan jawab atasnya !!!?
Tanggapan :
Koar-koarmu sungguh menggelikan… mana
kitab aqidah yang anda maksudkan dari HT?? Apakah pembahasannya terperinci
sebagaimana kitab Aqidah para salaf?? Ataukah hanya global dan terpaku dengan
akal-akal dan pemahaman diwarnai oleh Aqidah Jahmiyah, Maturidiyah dan
Asy’ariyah??? Berikut ini akan saya tunjukkan aqidah Hizbut Tahrir yang
ditabanni di dalam kitab mutabanat mereka yang akan saya bandingkan dengan
aqidah salafiyah ahlul hadits.
Lihatlah berikut ini wahai Mudzabdzab….
Sub Pasal 1
Al-Qodho’ wal Qodar
Hizbut Tahrir
memiliki pemahaman tentang al-Qodho’ wal Qodar yang aneh dan mengklaim pemahaman
mereka adalah pemahaman yang paling benar dan sehat, mereka menyatakan seluruh
pendapat tentang masalah Qodho’ dan Qodar ini adalah keliru, baik pendapat
Mu’tazilah, Jabariyah bahkan Ahlus Sunnah dan pendapat-pendapat lainnya. Para pembaca akan melihat bagaimana rancu dan
aqlaninya mereka di dalam memahami ini, sehingga mereka lebih menyimpang
daripada mu’tazilah di dalam permasalahan Qodho’ dan Qodar, walaupun mereka
mengklaim bahwa pendapat mereka ini membantah mu’tazilah. Tulisan saya di bawah
ini sekaligus membantah klaim Yahya Abdurrahman di dalam artikelnya yang
berjudul “Hizbut Tahrir menjawab Tuduhan Miring”, Berikut ini saya cuplikkan
perkataan an-Nabhani dari kitab yang dinyatakan oleh mudzabdzab sebagai kitab
aqidah HT :
Inilah pemahaman HT terhadap masalah
al-Qodho’ wal Qodar, yang mana mereka mengklaim bahwa pendapat mereka adalah
pendapat yang paling benar, dan seluruh pendapat –walaupun pendapat ahlus
sunnah- adalah pendapat yang bathil, dan kaum muslimin tentu saja dalam keadaan
menyimpang di dalam masalah ini, hingga akhirnya HT muncul dan mengoreksi
segala pendapat mereka di atas. Subhanallah. Sungguh aneh… kaum kholafi yang
banyak memiliki penyimpangan ini muncul dan mengoreksi kesesatan ummat selama
berabad-abad.
Padahal pernyataan an-Nabhani di atas
adalah pernyataan bathil, dimana ia menyatakan bahwa masalah qodho’ dan qodar
tidak ada hubungannya dan tidak berkaitan dengan irodah, ilmu dan lauh
al-Mahfuzh Allah. Dia menyatakan bahwa perkara-perkara ini bukanlah dasar di
dalam pembahasan al-Qodho’ wal Qodar.
Lantas apa dasarnya wahai HT?? Sungguh, ini adalah kesekian kali
keganjilan pemahaman HT yang kontradiksi, dimana an-Nabhani menyatakan tentang
ilmu Allah yang meliputi semua perbuatan, irodah Allah dan lauhil mahfuzh,
namun beliau menyatakan bahwa masalah qodho’ dan qodar tidak berhubungan dengan
itu semua. Lantas berhubungan dengan apa wahai HT??
Padahal imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah
di dalam Syifaa`ul Aliil (I/91) menerangkan : “Tingkatan qodho’ dan
qodar itu ada empat, yang apabila seseorang belum mengimaninya, maka berarti ia
belum mengimani qodho’ dan qodar, yaitu : Pertama : Ilmu Allah terhadap segala
sesuatu sebelum terjadi. Kedua : Penulisan takdir segala sesuatu sebelum
terjadi. Ketiga : Kehendak Allah atasnya. Keempat : Penciptaan Allah
terhadapnya.”
Dengan yakinnya, HT memunculkan istilah
‘khasiyat’ dalam memahami al-Qodar yang dimiliki setiap benda, dan HT juga di
dalam memahami al-Qodho’ mereka membedakan antara ‘af’al’ dengan ‘tawalludul
af’al’ dimana mereka membaginya di dalam dua hal, yaitu : (1) yang tidak bisa
dipilih oleh manusia (mujbar) dimana manusia berada di dalam lingkaran yang
manusia tidak berperan apa-apa di dalamnya dan (2) yang bisa dipilih oleh
manusia (mukhoyyar) dimana manusia berada di dalam lingkaran yang mereka bisa
melakukan apa saja dan hal yang kedua ini tidak berhubungan dengan al-Qodho’.
HT berbicara tentang dua lingkaran, dan
pembagian ini hanya terfokus pada perbuatan manusia yang ikhtiyarah, dimana di
dalam lingkaran yang mukhoyyar manusia bisa untuk melakukan apa saja dan hal
ini tidak berkaitan dengan Qodho’ dan Qodar. Pendapat ini adalah penjelmaan
dari pendapat mu’tazilah yang menyatakan bahwa amal perbuatan adalah makhluk
(ciptaan) manusia itu sendiri yang tidak ada kuasa dan kehendak Allah di
dalamnya, semuanya murni dari kehendak manusia. HT pun juga tidak jauh berbeda,
namun dengan susunan kata yang berbeda, yang menyatakan : “Lingkaran ini
(mukhoyyar) yang mana setiap manusia atau yang dilakukan oleh orang lain
terhadapnya berasal dari kehendak manusia itu sendiri, dan tidak termasuk
masalah qodho’ dan qodar”. Jadi mereka
memisahkan kehendak Allah dengan kehendak manusia di dalam hal ini, dan ini
sangat serupa dengan aqidah mu’tazilah. Berikut ini akan saya terangkan lagi
lebih jelas :
Ketahuilah, bahwa ahlus sunnah meyakini bahwa manusia benar-benar
melakukan perbuatannya, perbuatan mereka dinisbatkan kepada mereka secara
hakiki bukan majazi. Perbuatan mereka dinisbatkan kepada mereka secara hakiki
bukan majazi. Dan meyakini bahwasanya Allah telah menciptakan mereka dan amal
perbuatan mereka. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Dan Allahlah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat,” (ash-Shoffat :
96), dan firman-Nya :
“Dan dia telah menciptakan segala
sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuran dengan serapi-rapinya.”
(al-Furqon : 2).
Jadi ahlus sunnah menetapkan kehendak
dan ikhtiyar bagi manusia muqoyyad (terikat) dengan kehendak dan masyi’ah
Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Yaitu bagi siapa di antara kamu
yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh
jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah pemelihara alam semesta.”
(at-Takwiir : 28-29).
Oleh karena itu, pembahasan masalah
amal manusia tidak bisa lepas dari irodah dan masyi’ah Allah, tidak
lepas dari ilmu-Nya dan yang tercatat di dalam Lauh al-Mahfuzh. Allah
telah menentukan takdir segenap makhuknya semenjak diciptakan al-Qolam
hingga hari kiamat kelak, Allah telah menentukan rizki, wafat, amal,
kebahagiaan, kesusahan hingga penentuan manusia apakah akan masuk surga ataukah
neraka berdasarkan amal manusia tersebut sebelum manusia yang beramal itu
diciptakan. Oleh karena itu, perbuatan manusia tidak terlepas dari irodah dan
masyiah Allah.
Pemahaman HT terhadap qodho dan qodar
ini, bagaikan sisi mata uang dengan pendapat mu’tazilah qodariyah, yang
memisahkan antara kehendak makhuk dengan kehendak Allah. Mereka tidak mengenal irodah
syar’iyah dan irodah kauniyah Allah. Mereka meyakini bahwa
kekufuran, kemaksiatan, kerusakan dan selainnya adalah murni perbuatan makhluk
tanpa campur tangan kehendak Allah. Padahal Allah menciptakan kekufuran,
kemaksiatan dan kerusakan, lantas bagaimana mungkin kehendak Allah terlepas
dari amalan-amalan tersebut.
Di sinilah letak kesamaan mereka dengan
mu’tazilah dan perbedaan mereka dengan ahlus sunnah. Ketahuilah, bahwa Allah
berkehendak untuk menciptakan kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan, namun
Allah tidak ridho dengan kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan tersebut.
Kehendak Allah menciptakan kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan adalah irodah
kauniyah Allah namun ketidakridhoan Allah dengan amalan tersebut adalah irodah
syar’iyah Allah. Oleh karena itu Allah menerangkan dua jalan bagi
makhluk-Nya yang bisa mereka pilih, namun pilihan makluk-Nya tidak terlepas
dari kehendak-Nya.
Seorang manusia berkehendak untuk
berjalan, dan kehendak manusia ini muqoyyad dengan kehendak Allah. Jika
Allah menghendakinya niscaya akan berlangsung dan jika Allah tidak
menghendakinya niscaya tidak akan berlangsung. Demikian pula, seorang manusia
berkehendak untuk menjadi muslim atau kafir, jika manusia itu kafir maka ia
berkehendak dengan kehendaknya dan kehendaknya adalah muqoyyad dengan
kehendak Allah, maka Allah akan mengadzabnya sesuai dengan amalnya dan Allah
telah mengetahui dan berkehendak sebelumnya bahwa orang itu memang akan diadzab
semenjak al-Qolam diciptakan.
Mungkin, HT akan bertanya sebagaimana
kaum mu’tazilah pernah mempertanyakannya sehingga mereka memiliki keyakinan
yang berbeda dengan ahlus sunnah walau dengan maksud tanzih (mensucikan
Allah), namun pada hakikatnya mereka jatuh ke lubang kebatilan… jika mereka
bertanya : kalau begitu Allah zhalim, karena menghendaki keburukan, padahal
diri-Nya tidak meridhainya?
Maka kami jawab : Allah maha adil, dan
segala sesuatu berjalan menurut kehendak dan hikmah-Nya. Barangsiapa yang
diberinya petunjuk maka tak ada yang mampu menyesatkannya dan barangsiapa yang
ditetapkan kesesatan baginya maka tak ada yang mampu memberinya petunjuk.
Mu’tazilah sesungguhnya melarikan diri dari sesuatu dengan tujuan yang mulia
yaitu tanzih namun pada akhirnya mereka terjerumus kepada sesuatu yang
lebih buruk lagi. Pemahaman dan pendapat mereka itu berkonsekuensi bahwa
kehendak orang yang kafir mengalahkan kehendak Allah. Karena menurut mereka, Allah
mengendaki keimanan sedangkan orang kafir itu menghendaki kekufuran, sehingga
kehendak orang kufur itu mengalahkan kehendak Allah. Ini jelas pendapat yang
paling rusak, binasa dan tak memiliki dalil. Oleh karena itu, ahlus sunnah
berkeyakinan, bahwa Allah menghendaki adanya kekufuran namun Dia tidak ridha
dengan kekufuran tersebut, dan Dia akan mengadzab siapa saja yang
mengkufuri-Nya.
Jika ditanya : Lantas jika Allah tidak
ridha dengan adanya kekufuran mengapa dia menciptakan-Nya? Hal ini jelas tidak
mungkin karena hal ini jelas-jelas menisbatkan suatu keburukan bagi Allah,
menghendaki apa yang tidak Ia ridhai, suatu kontradiksi bagi Allah yang maha
bijaksana. Oleh karena itu keburukan itu dinisbatkan kepada manusia dan murni
dari perbuatan manusia.
Kami Jawab : Pemahaman anda ini adalah
pemahaman yang suram dibangun diatas kesuraman. Karena konsekuensi dari ucapan
anda adalah bahwa Allah tidak menciptakan kekufuran, dan manusia itu sendiri
yang menciptakan kekufuran. Pendapat ini jelas sangat kufur, karena meniadakan
sifat pencipta bagi Allah dan maha berkehendak. Bukankah manusia itu adalah
makhluk?? Lantas apakah kehendak manusia itu bukan makhluk?? Dan apakah
kehendak manusia untuk kufur juga bukan makhluk?? Oleh karena itu pendapat anda
di atas adalah suatu penghinaan bagi Allah dan menafikan rububiyah Allah, suatu
kesesatan yang lebih sesat daripada kaum yang menafikan uluhiyah Allah.
Allah menciptakan adanya kekufuran,
dengan dalil :
“Dan jikalau Rabb-mu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang berada di muka bumi seluruhnya.” (Yunus :
99)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah
menghendaki bahwa tidak seluruh orang yang berada di muka bumi ini beriman.
Namun dirinya tidak meridhai kekufuran, dengan dalil :
“Dia tidak meridhai kekafiran bagi
hamba-Nya.” (az-Zumar : 7)
Oleh karena itu, pernyataan
kontradiktif antara menciptakan keburukan dengan meridhai adalah prasangka
lemah belaka. Karena tidak semua yang Allah tetapkan di dalam takdirnya adalah
Ia ridhai, karena yang harus difahami adalah kita harus membedakan antara
takdir Allah dan sesuatu yang ditakdirkan-Nya. Takdir Allah yaitu perbuatan
yang dilakukan-Nya sedangkan sesuatu yang ditakdirkan-Nya adalah obyek yang terpisah dari diri-Nya.
Takdir itu semuanya baik, adil dan bijaksana sedangkan sesuatu yang
ditakdirkan-Nya maka ada hal yang patut diridhai dan ada yang tidak patut.
Contoh gampangnya adalah misalnya bunuh
diri. Allah telah mentakdirkannya, menetapkan dan menghendakinya mati dalam
keadaan demikian semenjak alam semesta belum diciptakan, adapun mati bunuh diri
adalah suatu hal yang tidak diridhai oleh-Nya namun ia menghendaki bahwa orang
itu akan meninggal dalam keadaan demikian. Maka fahamilah benar-benar
perbedaannya.
Contoh lainnya adalah kekafiran.
Misalnya Allah menetapkan kekafiran bagi Abu Thalib paman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Kekafiran Abu Thalib ini adalah suatu hal yang
telah ditetapkan-Nya semenjak zaman azali, namun Allah tidak meridhai akan
adanya kekafiran. Demikianlah semoga menjadi jelas.
Jika dikatakan : Lantas, mengapa Allah
mengadzab orang kafir jika Allah sendiri yang menghendaki orang tersebut
kafir?!! Berarti apa yang dikatakan oleh an-Nabhani adalah benar, bahwa perkara
ini tidak berhubungan dengan irodah, ilmu dan lauh al-mahfzuh.
Kami jawab : Allah menghendaki adanya
kekafiran bukan artinya Allah meridhai kekafiran. Pernyataan di atas menyimpan
pemahaman jabariyah. Telah berlalu penjelasannya bahwa seorang manusia memiliki
kemampuan untuk memilih dan beramal, dan dia akan diadzab sesuai dengan apa
yang ia pilih dan ia amalkan. Namun amalan dan pilihannya, tidaklah lepas dari
apa yang ditetapkan oleh Allah atasnya. Dan kesemua ini bukanlah suatu hal yang
kontradiksi, bahkan saling menjelaskan dan menetapkan akan kemahasempurnaan
Allah.
Jika ditanyakan : Mengapa Allah
menciptakan sesuatu yang tidak Ia ridhai??
Maka kami jawab : Allah adalah yang
berhak bertanya tidak berhak ditanya. Seorang makhluk hanya berhak menerima
putusan dari Allah tanpa boleh memprotes atau mempertanyakannya. Karena Allah
adalah maha adil. Perlu difahami juga, bahwa tatkala Allah menciptakan sesuatu
yang tidak Ia ridhai, maka sesungguhnya hikmah akan berjalan sempurna. Karena
dengan adanya kekufuran, kesyirikan, kemaksiatan atau kerusakan lainnya, maka
hikmah diturunkannya kitab suci, diutusnya rasul dan diperintahkannya manusia
untuk berdakwah dapat berlangsung. Jika sekiranya tidak ada kekufuran,
kesyirikan, kemaksiatan dan semacamnya, maka apa hikmah diturunkannya kitab
suci? Diutusnya rasul? Diperintahkannya dakwah? Padahal seluruh makhluknya
telah beriman dan taat kepada-Nya.
Oleh karena itu, sungguh indah ucapan
Ibnu Qutaibah rahimahullahu : “Hikmah dan Qudroh takkan sempurna melainkan
dengan menciptakan segala sesuatunya dengan
lawannya agar masing-masing diketahui dari pasangannya, ingatlah sesungguhnya
cahaya diketahui dengan adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya
kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui
dengan adanya kemudharatan dan manis diketahui dengan adanya pahit”
Oleh karena
itu, Umar bin Hutsaim pernah menceritakan : Kami pernah bepergian dengan
perahu. Kami ditemani oleh seorang Majusi dan seorang Qodari. Qodari itu
berkata kepada Majusi : “Masuklah Islam.” Majusi itu menjawab : “Nanti saja,
kalau Allah menghendaki” Qodari berkata : “Sesungguhnya Allah menghendaki
(dirimu Islam) namun setan tidak menghendakinya.” Si Majusi menanggapi : “Allah
berkehendak dan Setan juga berkehendak, namun kehendak setan yang terwujud!
Berarti setan lebih kuat daripada Allah, maka saya ikut kepada yang lebih
kuat!!!”
Ada sebuah cerita juga, ada seorang
Badui yang menghadiri pengajian Amru bin Ubaid, seorang guru besar Mu’tazilah,
orang Badui itu berkata : “Wahai manusia, unta saya dicuri, tolong doakan
supaya unta saya bisa kembali.” Maka Amru bin Ubaid berdoa : “Ya Allah,
sesungguhnya Engkau menghendaki unta itu tidak dicuri, tapi ternyata dicuri
oleh pencuri. Maka kembalikanlah untanya kepada orang itu.” Orang Badui itu
langkas menanggapi, “Saya tidak lagi butuh doamu!!”, dia menjawab, “Loh
kenapa?”, orang Badui itu menjawab, “Saya takut. Kalau Allah menghendaki untuk
tidak dicuri masih saja dicuri, bagaimana nanti kalo Dia menghendaki untuk
kembali pasti juga tidak kembali!!!”
Bagi yang ingin memperluas pemahaman
tentang ini silakan merujuk kepada kitab-kitab ulama ahlus sunnah, dan
bandingkan dengan pemahaman HT yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan ahlus
sunnah.
Saya katakan : O… aqidah apakah yang
kau bawa wahai Mudzabdzab al-Hizbi??? Dengan menuduh Ahlus Sunnah sebagai
Jabariyah… sungguh telah kau tunjukkan aqidahmu kepada kami tentang masalah
al-Qodho’ wal Qodar… dan siapakah yang kau maksud dengan Ahlus Sunnah??? Tentu
saja Asy’ariyah dan Maturidiyah… hal ini akan semakin nampak dengan
nukilan-nukilan referensi yang telah kau nukil dan ajukan untuk membantah
salafy wahaby dari para muta’shshibin madzhaby dan shufiyun semacam Muhammad Zahid al-Kautsari
dan muridnya Abdul Fattah Abu Ghuddah, juga Hasan Ali Saqqof, al-Ghumari dan
semacamnya…
Sub Pasal 2
Tauhid Asma’ wa Shifat
Dalam permasalah Asma wa Shifat ini, pernyataan HT juga tidak jauh
berbeda dengan pembahasannya mengenai Asma’ wa Shifat. Dalam pembahasan ini, HT
lebih terpengaruh oleh Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Akan kita
singkap insya Allah berikut ini :
An-Nabhani
berkata di dalam asy-Syakhshiyah al-Islamiyah (I/97) : “sebelum muncul
ahli kalam tidak pernah dikenal pembicaraan tentang masalah sifat Allah dan
tidak pernah disinggung dalam satupun pembahasan. Selain itu tidak ada
disebutkan dalam al-Qur'an al-Karim dan as-Sunnah asy-Syarif kalimat sifat
Allah. Dan tidak pula dikenal dari salah
seorang sahabat bahwa ia menyebut sifat Allah atau berbicara tentang
sifat-sifat Allah.”
Syaikh Salim al-Hilali mengomentari :
“Demikianlah manhaj an-Nabhani yang menafikan secara mutlak dan mengklaim telah menyelami seluruhnya.
Lebih selamat jika sekiranya ia berkata : Aku belum menemukannya, karena di
atas or yang ‘alim ada orang yang lebih ‘alim lagi.
Sesungguhnya sifat Allah atau sifat
ar-Rahman telah disebutkan di dalam beberapa hadits shohih yang jelas,
diantaranya : Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu 'anha bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam menunjuk seorang lelaki menjadi pemimpin sebuah
pasukan kecil. Ia selalu mengakhiri surat yang dibacanya di dalam sholat ketika
mengimami anggota pasukannya dengan qul huwallahu ahad. Ketika pasukan
itu telah kembali, mereka menceritaknnya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa Sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata : “Tanyakanlah
kepadanya mengapa ia melakukan itu?” Mereka pun bertanya kepadanya, lelaku itu
menjawab : “karena itu adalah sifat ar-Rohman dan aku suka membacanya.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Kabarkanlah kepadanya
bahwa Allah mencintai dirinya.” (HR Bukhori)
An-Nabhani
kembali berkata di dalam asy-Syakhshiyah al-Islamiyah (I/97-98) :
“Kemudian sifat-sifat Allah hanya boleh diambil dari al-Qur'an dan sebagaimana
yang disebutkan di dalam al-Qur'an. Sifat ilmu diambil dari firman Allah
al-An’am : 59, al-Hayat dari Ali Imran : 2 dan al-Mukmin : 65, Qudroh dari
al-An’am : 65 dan al-Isro’ : 99, mendengar dari al-Baqoroh : 181 dan 224,
melihat dari al-Mujadilah : 1 dan al-Mukmin : 20, berbicara dari an-Nisa’ : 64
dan al-A’rof : 143, irodah dari al-Buruj : 16, Yasin : 82 dan al-Baqoroh : 252
dan al-Kholiq dari az-Zumar : 62 dan al-Furqon : 2. Sifat-sifat ini telah
disebutkan di dalam al-Qur'an al-Karim sebagaimana halnya sifat-sifat yang lain
seperti wahdaniyah, qidam dan lain-lain. Tidak ada perselisihan diantara kaum
muslimin bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Maha Esa, Azali, Maha Hidup,
Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berbicara, Maha Mengetahui dan
Maha Berkehendak.”
Pembagian sifat ini sebagaimana pembagian yang dilakukan oleh
Asy’ariyah yang disebut sebagai sifat ma’ani, yang dasar pijakannya
adalah akal dan mengenyampingkan dalil-dalil lainnya yang menyelisihi akal.
Ucapan an-Nabhani bahwa sifat-sifat Allah hanya boleh diambil dari al-Qur'an
adalah klaim yang batil dan mengenyampingkan peran sunnah. An-Nabhani tidak
menjelaskan bahwa : Sesungguhnya yang paling mengetahui tentang sifat Allah
adalah Allah sendiri dan makhluk yang paling mengetahui tentang sifat-sifat
Allah adalah Rasulullah, sehingga tidaklah seharusnya an-Nabhani berkata bahwa
hanya al-Qur'an yang bisa digunakan untuk menetapkan sifat-sifat Allah ini.
Kemudian sifat-sifat yang disebutkan an-Nabhani di atas adalah
pembatasan yang tidak ada keterangannya dari Kitabullah tidak pula dari Sunnah
Rasulullah. Karena Ahlus Sunnah di dalam menetapkan sifat dan asma Allah adalah
tawaquf dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya sendiri dan apa yang ditetapkan oleh
Rasul-Nya, tanpa ta’wil (memalingkan
makna zhahir), tanpa ta’thil
(meniadakan sifat sebagian atau seluruhnya), tanpa takyif (mempertanyakan kaifiyatnya) dan tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Hizbut Tahrir serupa dengan Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Maturudiyah
di dalam mentakwil ayat-ayat sifat bagi Allah seperti sifat tangan, tertawa,
beristiwa dan semacamnya. Mereka memalingkan makna ini dengan dalih majaz. Inilah senjata mu’tazilah di
dalam membabat habis talaqqi di dalam
Islam, menolak hadits dengan istilah ahad dan menolak al-Qur’an dengan istilah
majaz.
Sesungguhnya penggunaan majaz adalah hal
yang baru di dalam Islam yang tidak dikenal ahli lughoh terdahulu. Istilah majaz ini muncul abad-abad terakhir
ketika kaum muslimin bersinggungan
dengan filsafat dan ilmu kalam. An-Nabhani yang menggunakan metode majaz ini di
dalam rangka menakwil ayat-ayat sifat adalah buah dari pemikiran mu’tazilah.
Sesungguhnya orang-orang yang menakwil
ayat-ayat sifat, sesungguh berada di dalam 4 kesesatan sekaligus, yaitu ta’wil, ta’thil, takyif dan tasybih. Walaupun mereka mengatakan
bahwa mereka mentakwil dengan maksud untuk tanzih.
Orang yang menakwil sifat tangan (yad)
misalnya dengan makna kekuasaan atau kekuatan, sesungguhnya mereka telah :
- Meniadakan (ta’thil) makna
tangan bagi Allah, dimana Allah menetapkan makna tangan bagi diri-Nya.
- Mentasybih sifat tangan Allah dengan makhluk-Nya, yaitu dengan cara
meniadakannya, sebab jika ditetapkan maka Allah seperti makhluknya.
- Mentakyif sifat tangan bagi Allah, yaitu dengan cara tidak
menetapkannya, yang mana jika menetapkannya maka mereka tidak mampu
menjangkau hakikatnya sedangkan kekuasaan mampu mereka jangkau.
- menta’wil kata tangan dengan makna lainnya, hal ini juga
mengindikasikan bahwa hakikat tangan itu sendiri adalah ada. Karena Allah
menggunakan kata tangan itu sendiri.
Lantas, mengapa anda mentakwil makna tangan
bagi Allah dengan makna kekuasaan atau kekuatan?? Jika anda mengatakan dengan maksud
makna tanzih (mensucikan) sifat Allah
dari tajsim atau tasybih, maka kami tanyakan kepada anda? Mengapa anda tidak
menetapkan tangan bagi Allah namun anda menetapkan sifat kekuatan atau
kekuasaan?? Jika dijawab, Allah berhak atas sifat sempurna berkuasa dan
kekuatan, namun tidak layak disifati dengan memiliki tangan, sebab nanti
seperti makhluknya. Kami tanyakan kepada anda kembali, siapakah yang lebih tahu
tentang Allah?? Tentunya pasti dijawab Allah. Lantas mengapa anda lancang
meniadakan sifat yang Allah sifatkan sendiri bagi diri-Nya. Siapakah makhluk
yang paling mengetahui tentang Allah? Pasti dijawab, Rasulullah. Lantas mengapa
anda meniadakan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah. Apakah anda merasa lebih
’alim daripada Allah dan rasul-Nya?!!
Jika mereka menjawab : Kami tidak
menetapkan sifat tersebut bagi Allah, melainkan supaya Allah memiliki
kesempurnaan dan sebagai tanzih bagi
Allah dari segala sifat kekurangan. Maka kami katakan : Atas dasar apa anda
mengatakan sifat tangan adalah sifat kurang bagi Allah?? Bukankah Allah dan
rasul-Nya sendiri yang menetapkan sifat tangan bagi Allah?!! Apakah anda
lancang untuk kesekian kalinya merasa lebih alim dari Allah dan Rasul-Nya.
Jika mereka mengatakan, kalau Allah
disifatkan dengan tangan maka Allah akan seperti makhluk-Nya. Maka kami katakan
: Berarti anda yang mentasybih atau
mentamtsil Allah, karena Allah
sendiri yang menetapkan sifat tangan bagi-Nya dan Ia sendiri menyatakan :
”Tidak ada yang serupa dengan-Nya”. Bukankah manusia juga punya kekuasaan dan
kekuatan?? Lantas mengapa tidak anda katakan bahwa jika Allah ditetapkan dengan
kekuatan dan kekuasaan maka Allah akan seperti makhluk-Nya??
Jika mereka menjawab : Karena Allah
layak ditetapkan dengan kekuatan dan kekuasaan namun tidak layak dengan tangan.
Karena kalau ditetapkan dengan tangan maka berkonsekuensi tajsim dan tasybih bagi
Allah. Maka kami jawab : dasar apa anda mengatakan Allah layak bersifat
demikian dan tidak layak demikian?!! Apakah anda memikiki dalil yang Allah dan
Rasul-Nya sebutkan?!! Maka kami katakan lagi, anda tidak punya dalil melainkan berangkat
dari pemahaman akal anda!!! Bukankah manusia memiliki tangan?? Juga bukankah
manusia memiliki kekuasaan dan kekuatan?!! Lantas mengapa anda hanya mengatakan
kalau Allah memiliki tangan maka Allah seperti makhluk-Nya, padahal makhluk-Nya
juga punya kekuasaan dan kekuatan?!!
Jika mereka berkilah : Kekuasaan dan
kekuatan makhluk terbatas dan berbeda dengan kekuasaan dan kekuatan Allah. Maka
kami katakan, demikian pula tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya.
Allah sendiri yang menetapkan tangan bagi diri-Nya maka Ia berhak untuk
mendapatkan sifat tangan bagi diri-Nya, dan tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya sebagaimana kekuatan dan
kekuasaan Allah berbeda dengan makhluk-Nya. Falillahi hamdu, sesungguhnya
pemahaman anda adalah pemahaman yang lemah dan pemahaman kami adalah pemahaman
yang selamat dan sehat.
Jika mereka masih berkilah : Sifat Allah
di dalam al-Qur’an atau Sunnah nabi-Nya adalah majaz, sebagaimana perkataan
orang arab : Ja’a asadun yang
memiliki dua makna, yaitu singa sebenarnya yang datang atau orang yang
pemberani yang disifati seperti macan. Maka kami jawab, majaz adalah perkara
yang baru di dalam agama, dan al-Qur’an diturunkan dengan kalam yang tegas dan
jelas, melainkan hanya sebagian kecil saja yang mutasyabihat. Pernyataan anda
bahwa ayat sifat adalah ayat mutasyabihat adalah seperti pernyataan mu’tazilah.
Sesungguhnya ayat sifat bagi Allah adalah muhkam maknanya dan mutasyabihat
hakikatnya. Bukan mutasyabihat makna dan hakikatnya.
Menyatakan di dalam al-Qur’an terdapat majaz
sama artinya mengatakan al-Qur’an diturunkan dengan keraguan makna. Karena
majaz mengundang interpretasi yang berbeda dari setiap manusia yang membacanya.
Dan ini jelas suatu kebathilan. Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
Arab yang lugas lagi mudah difahami, tidak terkandung majaz di dalamnya.
Adapun contoh majaz yang anda
kemukakan, seperti Ja’a asadun maka
yang harus difahami adalah kata asad
sendiri memiliki makna hakiki seekor singa, maka orang yang menakwil kata singa
pada hakikatnya mereka menetapkan makna singa itu sendiri dikarenakan mereka
memiliki gambaran singa. Sehingga mereka mengatakan bahwa asad yang dimaksud di sini orang yang pemberani bagaikan singa.
Juga harus difahami, majaz datang di
dalam bahasa harus memiliki qorinah yang mendukung terjadinya pemalingan makna
dari makna zhohir ke makna selainnya. Oleh karena itu, jika ada orang berkata :
Ja’a asadun tanpa ada qorinah
sedikitpun yang menunjukkan adanya pemalingan makna asad ke makna lainnya, maka memalingkannya adalah suatu kebodohan
dan kebatilan. Namun jika ada qorinah yang menyertai, dalam konteks tertentu
maka majaznya benar. Wallahu a’lam.
Adapun menerapkan majaz ke dalam
al-Qur’an adalah suatu kesesatan, karena akan memunculkan bidah-bidah baru di
dalam memahami agama. Apalagi menggunakan majaz dengan maksud menolak ayat
al-Qur’an. Karena menurut prinsip HT, suatu majaz adalah zhonni ad-Dilalah yang tidak dapat ditetapkan sebagai dasar di
dalam perkara aqidah, sebagaimana khobar ahad adalah zhonni ats-Tsubut sehingga tidak dapat ditetapkan dalam masalah
aqidah pula. Inilah adalah permainan dari mu’tazilah dengan maksud untuk
menolak al-Qur’an dan as-Sunnah, semenjak menolak al-Qur’an dan as-Sunnah
secara langsung tidak mampu mereka laksanakan. Allahumma subhanaka mimma yaquulun.
(bersambung)