// left:300 maksudnya adalah menunjukan posisi 300 pixel dari kiri -->
PANDANGAN SALAF THD MASALAH DAULAH DAN SIYASAH

HIZBUT TAHRIR : DARI MEREKA DAN UNTUK MEREKA

PEMBELAAN TERHADAP IMAM IBNU BAZ DARI TUDUHAN KEJI DAN MEMBONGKAR SEBAGIAN PENYIMPANGAN DAN KONTRADIKSI ‘MUDZABDZAB’ HIZBUT TAHRIR YANG JAHIL

(Sisilah Bantahan III Terhadap Hizbut Tahrir)

 

Oleh : Abu Salma bin Burhan at-Tirnatiy

 

 

Ba’da tahmid wa shalawat…

Berikut ini adalah lanjutan tanggapan dan bantahan saya terhadap tulisan seorang simpatisan Hizbut Tahrir yang fanatik dan jahil yang berkedok di balik nama ‘Mujaddid’ (baca : Mudzabdzab = orang yang goncang), yang ditulisnya dengan penuh kedengkian dan hasad terhadap Ahlus Sunnah dan ahlinya, yang disebarkannya melalui forum www.gemapembebasan.**.** (baca : gemapembid’ahan)…

Membaca apa yang ditumpahkan oleh si ‘mudzabdzab’ ini, saya menjadi yakin akan kebodohannya terhadap agama ini dan kerusakan metodenya yang penuh dengan kedustaan dan iftiro’ (fitnah). Si ‘mudzabdzab’ ini sangat gemar sekali berdusta, menfitnah dan berkhianat dalam rangka mencapai tujuannya. Kaidah al-Ghoyah tubarrirul Wasilah (Tujuan membenarkan segala cara) telah merasuk ke dalam fikiran dan pemahamannya.

Sungguh apa yang ditulisnya akan menjadi bumerang bagi dirinya, dan ia akan memercikkan air panas ke wajahnya sendiri dan menjilat ‘muntah’nya kembali, karena kebodohannya sangat tampak sekali dan bahkan karakter ini telah menjadi ciri khasnya. Saya akan menunjukkan tanaaqudl (kontradiktif) si’mudzabdzab’ ini, dan sikapnya yang lancang terhadap para ulama ahlus sunnah. Saya melihat, bahwa apa yang dimuntahkan oleh si ‘mudzbdzab’ ini tidak berbobot ilmiah sama sekali, bahkan argumentasinya dibangun di atas zhon al-Bathil dan konklusi-konklusi prematur tak berdasar yang berangkat dari akalnya yang pendek.

Diantara Sunnatullah dalam kehidupan ini adalah adanya ujian bagi orang-orang yang berpegang teguh dengan as-Sunnah dan al-Atsar di sepanjang masa, yang datang dari musuh-musuh atau orang-orang yang memendam kebencian (hasad). Mereka senantiasa menjelek-jelekkan para ulama serta merendahkan martabat mereka. Akan tetapi –walillahi hamdu- Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memelihara dan menjaga mereka, dan Allah akan senantiasa menampakkan kebenaran dan menentukan akhir yang baik bagi orang-orang yang berakwa.

Ulama-ulama salaf dahulu pernah berkata, “Diantara ciri ahlul bid’ah adalah mencaci maki dan mencela Ahli Atsar.”

 

Al-Mudzabdzab al-Hizbi berkata di dalam tuduhannya terhadap Imam Ibnu Baz dan Salafiyin :

1- Tentang masalah mengikuti manhaj salaf dalam masalah Aqidah dan Syari’at perlu dilihat dan kita kaji terlebih dahulu !? Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang berbeda dengan “pemahaman akal” seorang Ulama Salafi, maka ia cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut, seperti pada kasus Ibn Baz :

- Seseorang pernah menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Ibn Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat2 lainnya tentang kebolehan memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004; hal. 40-41)

Kalau demikian faktanya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ! Jika anda dan kelompok anda dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dll lebih baik dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini’ !! Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi) lebih mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senatiansa menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !?!

Lalu dengan beraninya, ia berkilah bahwa ‘hadis itu belum sampai kepada Sahabat tersebut, tapi sudah sampai pada Albani, Utsaimin, Ibn Baz dll dari kalangan Salafiyun’ !!!? Seakan2 anda menyatakan bahwa para ulama salafi ini mengklaim diri mereka ‘lebih nyalaf’ dibandingkan para Salaf As-Sholeh itu sendiri !?!

Dan banyak kasus Ulama Salafi lebih mengunggulkan pendapatnya sendiri, ketika pada saat yang bersamaan terdapat pendapat dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in yang berbeda dengan pendapat mereka !! Sebagaimana contoh berikut : “Pada suatu pelajaran, Abdullah Ibn Baz pernah menyatakan bahwa pernikahan dengan ahlul kitab dengan persyaratan. Sebagian mahasiswa yang mengikuti pelajaran itu berkata : “Wahai Syeikh, sebagaian Sahabat melarang hal itu !”. Beliau menoleh kepada Mahasiswa itu, lalu berkata : “Apakah perkataan Sahabat menentang Al-Qur’an dan As-Sunnah !!. Tidak berlaku pendapat siapapun setelah firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004; hal. 40-41).

Lalu bagaimana bisa, anda mengklaim mengambil manhaj Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, sementara pada saat yang bersamaan anda dan kelompok anda menolak dan mencampakkan pendapat mereka !?! Seraya melontarkan kata2 keji yang menodai kemulian para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Hadis, dengan ucapan : “Hadis shahih ini belum sampai pada mereka’, atau ‘apakah kamu akan memilih pendapat sahabat atau hadis Rasul SAW’ “!!

Sehingga menurut orang Salafi ini, seakan2 mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak pernah mendengar apalagi mendapat hadis dari Rasul SAW !!? Waliyadzubillah.

 

Tanggapan :

Ketika saya membaca ulasan si ‘mudzabdzab’ di atas, saya hanya bisa tertawa di dalam hati melihat begitu bodohnya syabab Hizbut Tahrir ini. Di antara syabab HT yang pernah berdiskusi dengan saya, saya melihat bahwa ‘mudzabdzab’ ini adalah syabab HT yang paling jahil, paling pendengki dan paling fanatik. Argumentasi yang dikemukakannya di dalam membantah atau mengkritik salafiyin sangatlah tidak relevan dan terkesan penuh dengan iftiro’ dan ikhtiro’. Pengagungannya terhadap akal dan pemahamannya sangat kentara, sehingga metode berfikirnya dipenuhi dengan kecacatan dan keganjilan yang sangat jelas, sehingga para pembaca budiman akan melihat bagaimana tanaqudh-nya orang jahil satu ini.

Saya katakan : dalam pernyataannya di atas, si ‘mudzabdzab’ ini secara tidak malu mempertontonkan dagelannya yang rusak. Pengambilan konklusi si mudzabdzab ini sangat jauh dari nilai-nilai ilmiah, bahkan saya katakan, metode pengambilan konklusinya dibangun di atas ‘kegelapan’ dan kebencian, tidak berbobot ilmiah sama sekali. Berikut ini akan saya jawab dan tanggapi pernyataan dan tuduhan kejinya.

 

PASAL 1

PEMAHAMAN AKAL SALAFIYUN VERSUS HIZBUT TAHRIR

 

Si Mudzabdzab al-Hizbi berkata :

Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang berbeda dengan “pemahaman akal” seorang Ulama Salafi, maka ia cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut

 

Maka saya jawab : Ucapan anda tidak memiliki fakta, karena fakta yang anda ucapkan di atas adalah bukan fakta, namun imajinasi anda sendiri yang anda bangun dengan penuh kedengkian dan kebodohan. Saya tidak heran ketika anda menyebutkan kata “pemahaman akal”, karena kata-kata ini adalah slogan hizb anda yang hizb anda membangun agama dengannya. Sesungguhnya para masyaikh ahlus sunnah atau salafiyun dan kaum awwamnya, dididik untuk merendahkan akalnya di bawah syara’ dan tidak pernah mensuperioritaskan akalnya di atas syariat. Terlebih dalam masalah aqidah, ahlus sunnah menyatakan bahwa akal tunduk patuh terhadap syariat, walaupun syariat itu ‘seolah-olah’ menyelisihi akal manusia yang lemah lagi rendah.

Jika kita menelaah kitab-kitab aqidah para ulama salaf, dinyatakan dengan gamblang bahwa aqidah adalah tauqifiyah, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya, dan tidaklah berperan akal seorang manusia di dalamnya, karena akal tunduk dan patuh terhadap aqidah dan sumber-sumbernya hanya terbatas di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Sebab tiada seorangpun yang mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang harus disucikan dari-Nya melainkan Allah sendiri. Dan tidak ada seorangpun sesudah Allah yang lebih mengetahui diri-Nya selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Oleh karena itu manhaj salaf di dalam mengambil aqidah terbatas hanya pada al-Qur'an dan as-Sunnah serta ijma’ as-salafus sholih.[1]

Sekarang, mari kita bandingkan dengan ‘pemahaman akal’ para pembesar HT. Perhatikanlah baik-baik :

Taqiyudin an-Nabhani rahimahullahu berkata di dalam Nizhomul Islam [2] :

“Oleh karena itu iman kepada Allah diperoleh dari jalan akal, dan harus menjadikan perkara keimanan ini melalui jalan akal, yang dengannya menjadi kokoh bagi kita untuk beriman kepada perkara-perkara ghoibiyah dan segala hal yang diberitakan Allah.” Hal yang tidak jauh berbeda diutarakan pula oleh Fathi Muhammad Salim dalam al-Istidlal bizh zhonni fil aqoo`id [3] yang berkata: “Aqidah adalah sesuatu yang telah menjadi ikatan hati, artinya aqidah itu benar-benar tercakup di dalamnya secara sempurna dan meyakinkan dengan tidak ada rasa ragu sama sekali. Ini artinya hati tersebut mengambil ide atau akidah tersebut, menguatkannya dan menyesuaikannya dengan akal, meskipun terikat penyerahan, sehingga dasar I’tiqod itu adalah bulatnya ikatan hati untuk menyepakati akal, jadi asalnya adalah kemantapan hati tetapi harus sesuai dengan akal. Jika dua hal ini terpenuhi, maka ia disebut aqidah.”

Wahai Mudzabdzab, sungguh saya tidak heran jika anda menuduh para masyaikh salafiyin dengan menyebutkan kata ‘pemahaman akal’, yang anda katakan jika ada pendapat yang menyelisihi ‘pemahaman akal’ mereka, maka mereka cenderung mengambil pendapatnya sendiri dan mencampakkan fatwa sahabat. Saya tidak heran, karena tuduhan anda ini : pertama, berangkat dari kebodohan, dan kedua, biasanya seorang yang menuduhkan suatu perbuatan kepada orang lain, sesungguhnya penuduh itulah yang biasanya sering melakukannya sehingga ia merasa dengan pemikirannya yang seperti itu orang lain melakukan serupa. Oleh karena, hizb anda yang sering ‘mengagungkan’ akal dan melebih-lebihkannya, maka anda tidak segan-segan membuat tuduhan ‘akal-akalan’ yang sesungguhnya lebih layak dialamatkan kepada anda dan hizb anda.

Ucapan anda : maka ia cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut adalah suatu kedustaan dan iftiro’ yang berangkat dari konklusi dan pemahaman yang dangkal dan tak berdasar. Insya Allah akan saya beberkan lebih panjang lagi setelah ini.

 

PASAL KEDUA

MENJAWAB KLAIM DAN TUDUHAN DUSTA AL-MUDZBADZAB SERTA MENUNJUKKAN PENCAMPAKKAN SUNNAH OLEH HIZBUT TAHRIR

 

Al-Mudzabdzab berkata :

seperti pada kasus Ibn Baz : Seseorang pernah menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Abu Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat2 lainnya tentang kebolehan memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004; hal. 40-41)

Kalau demikian faktanya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ! Jika anda dan kelompok anda dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dll lebih baik dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini’ !! Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi) lebih mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senatiansa menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !?!

 

Para pembaca budiman akan saya tunjukkan siapakah yang mencampakkan sunnah nabi dan lebih mengagungkan pemahaman akalnya di dalam permasalahan yang dicontohkan oleh si jahil ini. Bahkan pembaca kelak akan mengetahui –insya Allah- bahwa HT adalah kelompok yang paling gemar mencampakkan sunnah nabi dan meninggalkan pemahaman salaf.

Di dalam menjawab tuduhan di atas, agar lebih mudah difahami, maka saya membagi pasal ini menjadi tiga sub pasal, yaitu sub pasal pertama tentang apakah pendapat sebagian sahabat adalah hujjah, sub pasal kedua tentang masalah jenggot, di dalam sub pasal ini saya sekaligus menanggapi jawaban TKAHI tentang permasalahan jenggot yang dipublikasikan di forum tanya jawab www.hayatulislam.net dan mendudukkan perkara yang sebenarnya, yaitu siapakah yang mencampakkan sunnah dan meninggalkan pemahaman salaf di dalam masalah ini. Dan yang terakhir, subpasal yang berisi tentang beberapa contoh sunnah yang dicampakkan oleh HT dan contoh penelantaran HT terhadap madzhab salaf.

 

Sub Pasal 1

Apakah Pendapat Sebagian Sahabat Adalah Hujjah??

 

Melihat pernyataan Mudzabdzab di atas, yang mengambil kesimpulan se’enak-’nya sendiri, semakin meyakinkan saya bahwa orang jahil ini benar-benar manusia yang disusupi oleh kedengkian dan kebencian, dan meninggalkan norma-norma ilmiah serta amanat kejujuran yang harus diemban oleh setiap penuntut ilmu. Silsilah bantahan pertama dan kedua saya telah menunjukkan sebagian sikap pongah dan gegabahnya, yang dirinya tidak begitu ambil pusing dengan nukilan-nukilan dan pernyataannya yang nantinya akan saling kontradiksi dan bertentangan dengan pernyataan lainnya atau pernyataan hizb-nya.

Nukilan anda terhadap ucapan Syaikh al-Allamah Ibnu Bazz yang berkata : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004; hal. 40-41) adalah perkataan yang lurus dan tidak mengandung kebathilan sedikitpun dari segala sisi. Bahkan ucapan beliau adalah ucapan yang haq, benar dan lurus, yang selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berbunyi : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Hujurat : 1). Sesungguhnya yang rusak dan bengkok adalah pemahaman si mudzabdzab ini, dan pemahaman mudzabdzab yang dangkal-lah yang membawa makna lafazh syaikh Ibnu Bazz keluar dari konteksnya, sebagaimana kebiasaan Hizbut Tahrir.

Al-Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam al-Madkhol ila Sunanil Kubro (hal. 35) dengan sanad yang shahih dari Imam Syafi’i, beliau berkata, “Jika masih ada hujjah dari al-Qur'an atau as-Sunnah, maka setiap orang yang mendengarnya harus mengikutinya. Bila tidak ada (di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah) maka kita beralih kepada perkataan para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam atau salah seorang dari mereka.[4]

Imam Syafi’i juga berkata : “Apabila telah datang dari Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam perkataan-perkataan yang berbeda, maka lihatlah kepada yang mencocoki al-Qur'an dan as-Sunnah kemudian ambillah.”[5]

O… Mudzabdzab!!! Apakah kau tidak mengatakan bagaimana lancangnya Imam Syafi’i dan anda katakan bahwa beliau rahimahullahu mencampakkan fatwa sahabat dan lebih mendahulukan al-Qur'an dan as-Sunnah??? Dimana akalmu sekarang wahai mudzabdzab?!!

Ketahuilah, pendapat sahabat adalah hujjah dengan perincian sebagai berikut :

  1. Pendapat sahabat yang tersebar di kalangan mereka dan tidak ada yang mengingkarinya, seperti riwayat tentang mengusap khufain.
  2. Pendapat seorang sahabat, namun tidak berlawanan dengan lainnya.
  3. Pendapat sahabat, apabila terdapat perbedaan antara pendapat satu dengan lainnya, memiliki beberapa tingkatan, yaitu :

-         Pendapat tersebut merupakan pendapat Khulafa’ur Rasyidin yang empat, maka pendapat mereka lebih dikedepankan.

-         Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur sahabat, maka pendapat mereka adalah hujjah.

-         Pendapat tersebut berlawanan dengan sebagian besar sahabat lainnya, maka yang dijadikan hujjah adalah pendapat jama’ah.[6]

Seluruh para ulama bersepakat untuk menerima atsar para sahabat jika tidak ada faktor yang menolaknya dalam masalah tersebut, dan atsar tersebut diperkuat dengan sumber aslinya. Dan inilah yang tidak difahami oleh mudzabdzab!!! Atau dia faham namun dia menyembunyikannya supaya dia dapat mengakali orang-orang bodoh!!!

Sekarang mari kita lihat yang terjadi pada zaman sahabat, bahwa sebagian para sahabat ada yang belum mendengar sabda nabi supaya tuduhan si mudzabdzab ini termentahkan. Akan saya turunkan beberapa contoh kejadian di masa sahabat, dimana para sahabat saling berselisih dan saling mengingkari dikarenakan ada diantara mereka yang belum mendengar sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Perhatikanlah baik-baik!!!

Pertama : Dari Muhammad bin ‘Ali, bahwasanya pernah suatu ketika diceritakan kepada ‘Ali bahwa Ibnu ‘Abbas memperbolehkan kawin Mut’ah, maka beliau berkata : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melarang kawin mut’ah dan makan daging keledai waktu khaibar.”[7] Demikian pula diriwayatkan oleh ath-Thoyalisi di dalam Musnad-nya (hal. 18) dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah dan Abdul Aziz bin Abi Salamah, keduanya mendengar dari az-Zuhri yang mendengar dari Hasan dan Abdullah (keduanya) putera Muhammad bin al-Hanafiyah dari ibunya bahwa Ali berkata kepada Ibnu Abbas : “Lihatlah apa yang kamu fatwakan? Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melarang kawin mut’ah.” (Shohih)[8]

Saya katakan, Mudzabdzab tidak tahu tentang hal ini atau pura-pura tidak tahu, sehingga dia keluar dari koridor ilmiah.

Kedua : Dari Ubaid bin ‘Umair dia berkata : ‘Aisyah mendengar bahwa Abdullah bin ‘Amr memerintahkan kaum wanita agar menguraikan rambutnya ketika mandi janabat, lantas Aisyah berkata : “Sungguh aneh Ibnu ‘Amr ini, memerintahkan kepada kaum wanita untuk menguraikan rambutnya di saat mandi, kenapa tidak sekalian saja ia memerintahkan mereka untuk mencukur rambut mereka! Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam di tempat yang satu dan aku menyiram rambutku tidak lebih dari beberapa siraman saja.”[9]

Saya berkata : Mudzabdzab jahil tentang riwayat-riwayat ini, dimana ijtihad para sahabat ada yang salah karena belum sampai kepada mereka hadits-hadits nabi yang mulia. Namun Mudzabdzab dengan akalnya dan pemahamannya yang ‘cetek’ tidak mau tahu dengan hal ini. Pokoknya yang penting –menurutnya- salafiyin dan ulamanya salah karena mencampakkan pemahaman sahabat, padahal mudzabdzab (Jahlun murokkab) sendirilah yang membangun kesalahan di atas kesalahan yang bertingkat-tingkat dan semakin menonjolkan kebodohannya.

Ketiga : Dari Hudzail bin Syarahbil dia berkata : “Datang seorang lelaki menghadap Abu Musa al-Asy’ari dan Salman bin Rabi’ah, kemudian orang itu bertanya kepada mereka tentang (bagian warisan) anak perempuan, anak perempuan dari anak lak-laki dan saudara perempuan ayah dan ibu? Maka keduanya menjawab : “Untuk anak perempuan bagiannya setengah, saudara perempuan ayah dan ibu mendapat setengah, dan anak perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat bagian sedikitpun. Pergilah kamu kepada Ibnu Mas’ud, dia pasti akan mengikuti (pendapat) kami.” Kemudian lelaki tersebut menghadap Ibnu Mas’ud, bertanya padanya dan menceritakan jawaban mereka keduanya, Ibnu Mas’ud menjawab : “Kalau begitu aku akan tersesat dan bukan termasuk orang yang mendapat petunjuk. Akan tetapi aku akan menghukumi dengan hukum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, yaitu bagi anak perempuan setengah, bagi anak perempuan dari anak laki-laki bagian yang melengkapi dua pertiga, dan sisanya (ashobah) untuk saudara perempuan ayah dan ibu.”[10]

Saya berkata : Dimana kaidah yang tinggi ini di hadapan Mudzabdzab yang jahil namun merasa alim ini?!! Tidak syak lagi saya mengatakan bahwa kedengkiannyalah yang menyebabkan dirinya meninggalkan keadilan dan jatuh kepada kezhaliman dan celaan-celaan.

Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa (juz I hal 282-284) telah menjelaskan tentang kaidah “ucapan seorang sahabat bukan sebagai hujjah”. Beliau memberikan contoh yang banyak sekali mengenai pendapat sahabat yang bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa “Ucapan seorang sahabat sebagai hujjah” apabila memenuhi dua kriteria berikut ini :

1.      Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan tersebut.

2.      Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya.

Saya katakan : Kaidah inilah yang tidak difahami oleh mudzabdzab atau mungkin dia memahaminya namun dia menyembunyikannya, karena menurutnya ‘tujuan menghalalkan segala cara’, sehingga menurutnya sah-sah saja menuduh Syaikh Ibnu Baz mencampakkan fatwa sahabat, karena beliau adalah seorang salafi, dan mudzabdzab ini sangat benci dengan salafiyin dan ulamanya. Wallahul Musta’an.

Namun, anehnya si ‘mudzabdzab’ ini menutup mata atau memang benar-benar matanya tertutup karena seringnya memendam kepalanya ke dalam tanah, sehingga ia dengan bodohnya membangun pemahaman sakitnya terhadap ucapan Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu dan mem’perkosa’ pemahamannya seenak ‘syahwat’nya sendiri. Bahkan si mudzabdzab ini tanaqudl dan ta’arudl dengan perkataannya di sela-sela muntahannya yang busuk, ia berkata :

Bukankah dalam hadis ini Rasul memerintahkan kpd umat Islam agar mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin, bukan diperintahkan untuk mengikuti Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali sbg individu sahabat.

Saya katakan : Benar wahai Mudzabdzab, karena yang patut didahulukan adalah al-Qur'an, as-Sunnah dan ijma’ shohabat, termasuk di dalamnya sunnah para khalifah yang empat yang harus lebih dikedepankan dibandingkan pemahaman sahabat lainnya, dimana para ulama salafiyin lebih mengedepankan atsar mereka dibandingkan sahabat-sahabat lainnya. Lalu, mengapa dirimu memalingkan maksud perkataan Syaikh Ibnu Baz keluar dari konteksnya yang mana perkataan beliau baik manthuq (tekstual) maupun mafhumnya (kontekstual) tidak menyelisihi suatu kaidah pun di dalam agama ini?!!

Adakah mereka -masyaikh robbaniy- yang kau tuduh itu, mereka mengklaim bahwa pendapat mereka lebih utama dari Sahabat?? Adakah mereka merasa bahwa mereka lebih ‘alim dari para sahabat?? Adakah kami mengklaim bahwa pemahaman akal masyaikh kami itu lebih mulia dari sahabat??? Haihata… haihata… darimanakah kau datangkan konklusi prematur tersebut?? Apakah dari dugaanmu belaka yang terbakar hasad dan dengki?? Ataukah memang ini karaktermu dan karakter kelompokmu yang tak mampu berdalil melainkan hanya menukil sebagian ucapan yang haq dan difahami se’enak-udhel’nya sendiri dan dilemparkan ke salafiyin?? Sungguh besar sekali kedustaanmu wahai Mudzabdzab!!!

“Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta” (QS al-Mujadilah (58) : 2).

Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut (29) : 3)

 

Sub Pasal 2

Pencampakan Hizbut Tahrir Terhadap Sunnah Memelihara Jenggot

 

Tahukah anda ya mudallis jahil… bahwa apa yang kau nukil itu adalah perselisihan yang juga terjadi antara Imam Albany dengan Imam Ibnu Bazz –rahimahumallahu-, bahwa Imam Albany mewajibkan mencukur jenggot yang melebihi segenggam dengan dalil atsar Ibnu Umar dan Abu Hurairah sedangkan Imam Ibnu Bazz termasuk diantara yang tidak memperbolehkan mencukurnya secara mutlak… dan setiap mereka menyertai pendapatnya dengan dalil dan salaf/pendahulu masing-masing. Lantas bagaimana bisa kau generalisir dalam cercaanmu, termasuk Imam al-Muhaddits al-Albany yang berdalil dengan atsar Ibnu Umar dan Abu Huroiroh di dalam contohmu di atas, dan beliau berpendapat bahwa mencukur jenggot yang melebihi segenggam kepalan tangan adalah wajib dan membiarkannya adalah suatu bid’ah… Sungguh kebodohanmu benar-benar nampak dalam kepongahanmu dan kecerobohanmu…!!! Kau aduk air panas dan kau siram sendiri wajahmu dengannya!!!

Perhatikanlah ucapan Syaikh al-Albani rahimahullahu berikut ini :

“Kami tidak mengetahui salah seorangpun di kalangan salafus sholih –terlebih lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sebagai penghulu mereka- membiarkan jenggotnya tanpa batas, ini yang pertama. Adapun yang kedua, kami telah mengetahui dari sejumlah besar salafus sholih melakukan sebaliknya, yaitu mereka biasanya merapikan jenggot (yang melewati segenggam tangan), diantaranya adalah Abdullah bin Umar bin Khaththab…”[11]

Namun, Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu berpendapat bahwa mencukur jenggot baik yang tumbuh melewati segenggam tangan maupun yang tidak, adalah haram berdasarkan kemutlakan dalil-dalil Sunnah Rasulullah dan af’alus shohabah lainnya. Insya Allah akan saya turunkan dalil-dalilnya sekaligus sebagai bantahan terhadap Hizbut Tahrir yang memperbolehkan memangkas jenggot hingga licin dan menganggap sunnah ini hanya sebagai sunnah jibiliyah, permasalah qusyur (kulit) dan bukan sebagai kewajiban bagi seorang muslim.

Syamsudin Ramadhan berkata di dalam forum tanya jawab www.hayatulslam.net seputar permasalahan jenggot :

Kami berpendapat bahwa memangkas sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedangkan mencukurnya hingga habis hukumnya adalah makruh tidak sampai ke derajat haram. Adapun hukum memeliharanya adalah sunnah (mandub).

Yang saya herankan adalah Syamsudin ini sebelumnya menukil riwayat-riwayat yang menunjukkan akan keharaman (atau minimal makruhnya) mencukur jenggot, namun ia mengambil kesimpulan pendapat tersendiri yang tidak disokong oleh dalil dan argumentasi yang menyatakan bahwa memangkas jenggot adalah mubah atau makruh jika memangkasnya hingga licin. Ia berpendapat bahwa hukum memelihara jenggot adalah sunnah.

Padahal jika dia mau obyektif dan memilij pendapat yang rajih dan terpilih setelah dilakukan tarjih tentang hukum memelihara jenggot adalah wajib hukumnya, dengan dalil sebagai berikut :

  • Al- Qur'an al-Karim

Allah Ta’ala berfirman : “Dan aku (syetan) benar-benar akan menyuruh mereka (merubah ciptaan Allah) lalu mereka benar-benar merubahnya.” (an-Nisa’ : 119). Syaikh at-Tahanuwi dalam tafsirnya berkata : “Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk merubah ciptaan Allah.”[12]

  • Al-Hadits

Dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Berbedalah kalian dengan kaum musyrikin, pangkaslah kumismu dan biarkanlah jenggotmu.” (Muttafaq ‘alaihi)

Dari Abu Huroiroh Radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot kalian, selisihilah orang-orang majusi.” (HR. Muslim, Baihaqi, Ahmad dan selainnya)

Dari Abu Umamah Radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Pendekkanlah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian, selisihilah ahlul kitab.”

Perhatikanlah, bahwa seluruh shighot dalam lafazh hadits di atas adalah berbentuk fi’il amr, dan di dalam kaidah ushul fikih dikatakan : al-Ashlu fil Amri Yufiidul Wujuub illa idza Ja’at Qoriinatu Tashriiful Lafzho ‘an Zhoohirihi yang artinya hukum asal dari suatu perintah berfaidah kepada hukum wajib kecuali jika datang suatu indikasi yang dapat memalingkan teks dari makna lahirnya.[13]

  • Ucapan Para Ulama

Jumhur ulama berpendapat mengenai haramnya mencukur jenggot, diantaranya :

-         Imam Ibnu Hazm azh-Zhohiri rahimahullahu berkata : “Para Imam telah bersepakat bahwa mencukur jenggot adalah dilarang (haram)” (al-Muhalla II/189).

-         Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : “Haram hukumnya mencukur jenggot” (al-Ikthiyarat al-Ilmiyyah hal. 6)

-         Imam Ibnu ‘Abidin al-Hanafi rahimahullahu berkata : “Diharamkan bagi seorang laki-laki memotong jenggotnya yaitu mencukurnya.” (ar-Raddul Mukhtar : II/418)

-         Imam al-‘Adawi al-Maliki rahimahullahu berkata : “Dinukil dari Malik tentang dibencinya mencukur apa-apa yang ada di bawah bibir, sesungguhnya ini adalah perbuatan orang majusi.” (Hasyiah al-‘Adawi ‘ala Risalah Ibni Abi Zaid : II/411)

-         Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki rahimahullahu berkata di dalam at-Tamhid : “haram mencukur jenggot bagi lelaki dan pelakunya tidak lain adalah seorang yang banci.” (Adillah Tahrim Halqul Lihaa hal. 96).

-         Imam Ahmad bin Qoshim asy-Syafi’i rahimahullahu berkata : “Ibnu Rif’ah berkata di dalam Haasyiatu al-Kaafiyah, sesungguhnya Imam Syafi’i telah berkata di dalam al-‘Umm tentang haramnya mencukur jenggot, demikian pula pendapat az-Zarkasyi dan al-Hulaimi di dalam Syu`abul Iman.” (Adillah Tahrim Halqul Lihaa hal. 96).

-         Imam Safarini al-Hanbali rahimahullahu berkata : “Disandarkan kepada madzhab hanabilah tentang haramnya mencukur jenggot.” (Ghita’ul Albaab : I/376).

Dan masih banyak lagi para ulama yang berpendapat tentang haramnya mencukur jenggot, baik ulama salaf terdahulu maupun kholaf kontemporer seperti Syaikh Abdul Jalil Isa, Syaikh Ali Mahfuzh, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Nashirudin al-Albani, Syaikh Muhammad Sulthon al-Mashumi, Syaikh Ahmad bin Abdurrahman al-Banna, Syaikh Abu Bakar al-Jaza`iri, Syaikh al-Kandahlawi, Syaikh Abdurrahman al-Qoosim, Syaikh Isma’il al-Anshori dan selain mereka.

Lantas, wahai Mujaddid, kau campakkan ke mana sabda nabi yang mulia dan ucapan para ulama ummat ini?!! Darimana kalian membangun hujjah kalian bahwa jenggot itu hanyalah sekedar sunnah?!! Dan darimana kalian menyatakan bahwa memangkas habis jenggot hanyalah sekedar mubah?!! Apakah kalian lebih mengagungkan ‘pemahaman akal’ kalian dan mencampakkan hadits-hadits nabi yang mulia?!! Haihata haihata…!!!

 

Sub Pasal 3

Sunnah-Sunnah Dan Syariat Yang Dicampakkan Oleh HT

 

Para pembaca budiman, sesungguhnya bukan hanya masalah jenggot saja yang dicampakkan oleh HT, namun mereka juga mencampakkan sunnah-sunnah nabi yang lainnya yang jumlahnya sangat banyak, yang akan saya sebutkan beberapa diantaranya. Maka oleh karena itu wahai mudzabdzab, seharusnya jika kau akan meludah, lihatlah tempat dulu, jangan meludah sembarangan apalagi meludah ke atas, karena yang akan terkena ludahmu adalah wajahmu sendiri…

 

Perhatikanlah petikan berikut ini

Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang gambar wanita bukan mahram, walaupun dengan syahwat sebagaimana dalam nusyrah (selebaran resmi Hizbut Tahrir) no 16/Syawwal/1388H atau 4/1/1969M. yang berisi. “Memikirkan dengan syahwat, berkhayal dengan syahwat ataupun memandangi foto wanita dengan syahwat tidak haram, demikian pula pergi menonton bioskop adalah tidak haram, dikarenakan yang ditonton hanyalah gambar (benda mati) yang bergerak.”. Demikian pula dalam nusyrah no 21/Jumadil awwal/1390 atau 24/7/1970M, dikatakan, “Sesungguhnya memandang gambar wanita baik dari cermin, di kartu, di surat kabar ataupun yang semisalnya tidaklah haram”.

Lantas kau campakkan kemana wahai Hizbut Tahrir, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya :

“Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (al-Israa’ : 32)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman supaya mereka menundukkan pandangannya dan supaya mereka memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (an-Nuur : 30)

Kamu campakkan ke mana wahai Hizbut Tahrir, sabda Nabi yang mulia yang artinya :

Sudah ditetapkan bagi anak cucu Adam bagian zina yang pasti akan menimpanya. Kedua mata, zinanya dengan memandang, zina kedua telinga ialah mendengar, zina lisan ialah mengucap, zina tangan ialah memegang, zina kaki ialah melangkah dan zina hati ialah menghendaki sesuatu atau berkhayal, sedangkan yang membenarkan adalah kemaluannya.” (Shahih, diriwayatkan Muslim dari Abi Huroiroh)

Wal’iyadzu billah, sungguh celaka dirimu wahai mudzabdzab!!!

 

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa mencium wanita ajnabiyah (bukan mahram) adalah mubah tidak haram, sebagaimana dalam nusyrah jawab wa su’al no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970M.

Astagfirullahal Adhim… Wahai mudzabdzab, kau campakkan kemana nilai-nilai akhlak islami dan iffah bagi seorang wanita?!! Kau campakkan kemana ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah-sunnah nabi yang mulia yang mengharamkan persentuhan dengan ajnabiyah, namun anda dan kelompok anda memperbolehkan ciuman dengan ajnabiyah (walaupun tanpa syahwat). Apakah anda akan mungkir, dengan menyatakan bahwa HT tidak berpendapat demikian, ini adalah fitnah… maka saya jawab, berarti anda berdusta atau menyembunyikan kebenaran. Karena Umar Bakri Muhammad[14] sendiri menyatakan bahwa fatwa di atas adalah memang pendapat HT, dan Umar Bakri menolaknya dan membantahnya, bahkan ia keluar dari HT dan membentuk sempalannya yang bernama al-Muhajirun. Berhijrah dari negeri kaum muslimin ke negeri kaafir. Namun anehnya, sebagian anggota hizb lainnya masih berpegang dengannya sebagaimana mereka berpegang terhadap pendapat Abdurrohman al-Baghdadi yang dikeluarkan secara resmi dari HT.

Jika anda mengatakan, o… itu adalah qoul qodim HT, qoul jadid HT menyatakan bahwa fatwa di atas mansukh, maka saya katakan : Berikan bayan dan bukti tentang dimansukh-kannya fatwa HT di atas.

Jika anda mengatakan, ini bukan pendapat resmi HT, tiap syabab memiliki pendapat yang berbeda-beda, maka saya katakan : Jama’ah macam apa kalian ini?!! Membiarkan saudara kalian yang lainnya berada di dalam kebatilan!!! Diamnya anda dengan tidak mengoreksi pemahaman ini adalah ridhonya anda dengan pendapat ini…!!!

 

Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nizhomul Ijtima’iy fil islam (Sistem pergaulan dalam Islam, Pustaka Thoriqul Izzah, hal. 67), “Seorang pria pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria tanpa ada penghalang di antara keduanya.” Hal ini juga diperkuat dengan nusyrah su’al jawab mereka no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970, no 8/Muharam/1390 atau 16/3/1970 dan nusyroh al-ajwibah wal as^ilah tanggal 26/4/1970.

Wal Iyyadzu billah!!! Kau campakkan kemana hadits Aisyah yang menyatakan bahwa Rasululah tak pernah sekalipun menyentuh wanita selain isteri-isterinya??? Hadits Umaimah yang hadir di baiat dan menyatakan ketiadaan jabat tangan oleh Rasulullah?!! Hadits yang menyatakan tentang lebih baik ditusuk jarum besi daripada menyentuh wanita?!! Lihatlah bantahan saya terhadap syubuhat yang dikeluarkan oleh TKAHI dan Syamsudin Ramadhan di dalam artikel saya yang berjudul : “Jabat Tangan dengan Ajanbiyah Haram Wahai Hizbut Tahrir” (buka http://abusalma.blogspot.com/ -archives March 2005)

 

Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena menurut mereka wajah tidak termasuk aurot. Taqiyuddin berkata dalam Sistem pergaulan dalam Islam hal 61, “Allah Ta’ala berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin laki-laki hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.’ (an-Nur (24) : 30), maksudnya tentu adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab memandang wajah dan telapak tangan adalah mubah.”

Astagfirullahal Adhim… wahai HT, darimana lagi anda mendatangkan pemahaman ini?!! Dan dimanakah kalian campakkan ayat-ayat dan tafsir para mufassirin yang menjelaskan keharaman memandang wajah ajnabiyah…!! Kau campakkan ke mana pula hadits-hadits nabi yang mengharamkan memandang wajah ajnabiyah?!! Insya Allah akan saya turunkan khusus tanggapan terhadap pemahaman ‘nyeleneh’ HT ini…

 

Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat musik) sebagaimana dalam Nusyrah jawab wa su’al no 9 (20/Safar/1390 atau 26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurot dan nyanyian mubah hukumnya serta mendengarkannya mubah. Adapun hadits-hadits yang warid mengenai larangan musik adalah tidak shohih haditsnya. Yang benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits yang memperbolehkan musik adalah shohih”.

Astagfirullahal Adhim… Sungguh tak mengherankan pula kau tutup telingamu dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan kau sibukkan dirimu dengan lagu-lagu dan musik-musik sehingga hatimu menjadi mati, dan dirimu menjadi orang-orang yang ‘sakit hati’ karena disusupi oleh setan-setan pencinta musik. Akan saya turunkan pula insya Allah bantahan khusus mengenai hukum musik dan lagu ini, sekaligus sebagai bantahan terhadap DR. Yusuf al-Qordhowi wafaqohullahu.

 

Saya katakan, sesungguhnya orang-orang yang mencela ketiga masyaikh Robbani (i.e. Samahatus Syaikh Ibnu Bazz, al-Albany dan Ibnu Utsaimin –raghmun unufihim-) tidaklah keluar dari 3 jenis manusia :

  1. Orang yang Jahil Murokab
  2. Ahlul Bid’ah terutama dari kalangan shufiyun, syi’iy dan semacamnya
  3. Orang kafir, zindiq dan munafiq.

Padahal mereka semua dikenal baik oleh kawan dan lawan sebagai alim mujtahid… jika anda pelajari biografi mereka, bagaimana tokoh-tokoh harokah dan hizbiyah masih menghormati mereka dan menganggap mereka masyaikh dan ulama mujtahid… lihatlah Ali Belhaj (pimp. FIS dulu) yang mengemis fatwa kepada Samahatus Syaikh Ibnu Bazz dan Albany sebelum kasus pembantaian di al-Jazair bergolak yang mana Ali Belhaj sendiri yang mencampakkan fatwa para masyaikh tersebut…. Lihatlah pula DR. Abdullah Azzam yang datang meminta fatwa kepada Imam Albany dan Ibnu Bazz tentang permasalahan jihad di Afghonistan

Bahkan ketika Imam Ibnu Bazz meninggal, betapa banyak majalah islami dipenuhi oleh artikel-artikel dan khabar yang berisi bela sungkawa sekaligus sebagai pujian terhadap beliau sebagai ulama ummat, lihatlah apa yang ditulis pentolan Ikhwanul Muslimin, DR. Yusuf al-Qordhawi di saat kematian Imam Ibnu Bazz, beliau menulis : ‘allamatul Jaziirah wa Faqiidul Ummah yang dimuat di Majalah al-Mujtama’ III/2.1420, dan beratus-ratus lagi masyaikh serta thullabatul ilmi yang turut berduka cita atas wafatnya beliau rahimahullahu…

Perhatikan pula bagaimana ummat ketika mendengar wafatnya al-Muhaddits al-Faqih Syaikh Nashir –rahimahullahu-, yang mana beratus-ratus ulama dan beribu-ribu thullabatul ilmi berta’ziyah dan berbelasungkawa dengan penuhnya majalah-majalah serta koran-koran dengan biografi beliau… Perhatikan pula Imam Faqihuz Zaman Syaikh Ibnu Utsaimin, yang tidak jauh berbeda dengan keadaan pendahulu beliau… Lihatlah pula nukilan-nukilan fatwa mereka di majalah-majalah Ikhwanul Muslimin, majalah Jama’ah al-Islamiyyah Mesir Majalah Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah, dan beribu-ribu majalah islam lainnya… makanya ana tidak heran, mengapa anda menukil dari majalah SAHID dimana mereka sendiri memberikan porsi dalam rangka memuji dan menganggap mereka sebagai kibarul ulama, sebagai mujtahid al-Alim, sebagai mufti al-‘alam….

Sekarang mari kita bandingkan mereka dengan tokoh Hizbut Tahrir… Apakah ada ulama HT yang menulis kitab-kitab syarah hadits, takhrij dan tahqiq…??? Sebagaimana Imam Albany meneliti dan menyusun kitab-kitab fenomenal yang sangat luar biasa besarnya, seperti : Silsilah as-Shahihah, Silsilah adh-Dhaifah, Shahih Abu Dawud dan Dhaifnya, Shaih Turmudzi dan Dha’ifnya, Shahih Ibnu Majah dan Dha’ifnya, Shahih Riyadhus Shalihin, Shahih dan Dhaif Adabul Mufrad, Shahih dan Dhaif Jami’us Shaghir dan kitab-kitab hadits lainnya… belum lagi tahqiq dan takhrij beliau terhadap kitab-kitab fiqh, seperti Tamamul Minnah ta’liq terhadap Fiqhus Sunnah karya Syaikh Sayid Sabiq –rahimahullahu-, Takhrij dan Ta’liq Kitabus Sunnah, dan lain-lain, ada lagi dalam kitab-kitab aqidah (seperti Ta’liq dan Syarh ath-Thawiyah, Kitabul Iman, dll), sirah (Fiqhus Sirah al-Ghozali), dan lain-lain… Belum lagi Himpunan Fatawa beliau yang sedang naik cetak berjumlah tidak kurang dari 40 Jilid, kemudian kaset-kaset muhadharah beliau yang tidak kurang 7000 judul…

Apakah ada pula tokoh HT yang menulis, mensyarh, mentahqiq dan menta’liq kitab-kitab Aqidah dan hadits sebagaimana Imam Ibnu Utsaimin mensyarh Riyadus Shalihin, Arbain Nawawi, Syarh Lum’atul I’tiqod, Kitabut Tauhid, Syarh Manzhumah al-Baiquniyah, Syarh Aqidah al-Wasithiyah dan masih banyak lagi hampir berjumlah ratusan… Belum lagi kitab yang beliau tulis seputar masalah ushul fiqh dan fiqh… serta kumpulan fatawanya yang hampir 30 jilid…???

Adakah pula tokoh HT yang seperti al-Allamah Imam Ibnu Bazz yang bergelut dengan makhthutath semenjak remajanya, mengoreksi Fathul Bari` dan kitab-kitab hadits lainnya, menulis buku-buku Aqidah Salaf dan Fiqh Islami… yang mana beliau memiliki Majmu’ Fatawa dan maqolaat mutanawwi’ah berjumlah belasan jilid… belum lagi kumpulan-kumpulan fatwa lainnya yang hampir berjumlah 20 jilid… adakah ulama’ HT yang demikian???

Lantas dengan hak apa anda berani memanggil mereka dan merendahkan mereka sembari menyatakan “si ini dan itu”… dimana posisi anda dibandingkan mereka… saya yakin, kedudukan anda dengan kedua mata kaki dari masyaikh mulia ini tak ada apa-apanya… sekiranya ditimbang sejuta orang macam anda maka tetap saja anda tak ada apa-apanya dibandingkan mereka… inilah bedanya kami dengan anda!!! Jika anda berbicara dengan maksud merendahkan, maka anta gunakan lisan anda yang hina untuk merendahkan masyaikh yang mulia, namun jika kami mengkritik para tokoh hizbiyah dan mubtadi’ah, maka kami nukil ucapan orang-orang yang sederajat –bahkan lebih- dengan mereka, supaya kedhaliman tidaklah menyelimuti diri kami, karena tiap-tiap orang ada kadarnya…

 

Di bawah ini tulisan al-Mudzabdzab yang ana lemparkan lagi kepadanya :

Lantas bagaimana bisa anta katakan bahwa hasil pemahaman HT berada di atas nash Al-Qur’an dan As-Sunnah!! Tahukah anta wahai Mudzabdzab, dari mana para Ulama Salafy ini mengambil pendapat madzhabnya !!! Mereka mengambil pendapatnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih, dari Ijma’ Shahabat, dari aqwalus salaf yang selaras dengan Qur’an dan Sunnah, dari Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dan selainnya yang selaras dengan al-Haq tanpa fanatik terhadap salah seorang dari mereka!!! Yang mana kitab Al-Muwaththo’ karya Imam Malik (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiut tabi’in di Madinah, bahkan Fathur Rabani-nya - Imam Ahmad Ibn Hambal yang berisi ribuan hadis nabi SAW bahkan ketika beliau ditanya apakah seorang yg hafal 100 ribu hadis boleh berijtihad sendiri, Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Lalu beliau ditanya lagi : ‘apakah seorang yg hafal 200 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika beliau ditanya kembali : ‘apakah seorang yg hafal 400 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , lalu Imam Ahmad menjawab : ‘boleh’[15]. Bahkan Imam Abu Hatim sampai menyatakan bahwa mencintai Imam Ahmad adalah pengikut Sunnah, Abu Hatim berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah ia adalah pengikut Sunnah.” (As-Siyar A’lam An-Nubala’ 11/198).[16]

Saya tambahkan di sini : Anda wahai mudzabdzab, anda tanaqudl dengan diri anda sendiri… karena anda menukil ucapan orang-orang yang membenci Imam Ahmad bin Hanbal, bahkan anda menukil pendapat-pendapat orang-orang yang manhaj dan aqidahnya menyelisihi Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu. Anda menukil dan membangun argumentasi anda dari talbis antara al-Haq dan al-Bathil, antara sunnah dan bid’ah, antara penyeru tauhid dengan penyeru kesesatan dan kesyirikan. Siapakah Hasan Ali as-Saqqof yang anda kemukakan dan anda bangga-banggakan?!! Siapa pula Abu Ghuddah, al-Buthi, al-Ghumari bahkan al-Kautsari pembesar mereka?!! Kenapa pula anda mencantumkan kitab-kitab sesat dari kaum shufiyun dan syi’ah di dalam membantah dakwah wahabiyah?!! Allahumma, sungguh ‘miskin’ sekali dirimu wahai mudzabdzab!!!

Saya lanjutkan kembali dengan menukil perkataan anda dan saya bidikkan kembali ke anda : Lalu apakah tidak boleh seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik (yang menjadi pewaris madzhab Sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in); lalu Imam Ahmad (yang hafal 400 ribu hadis), imam syafi’I yg menulis kitab Al-Umm, Ar-Risalah (yg juga berisi ribuan hadis); dan Imam Abu Hanifah yg menulis kitab Al-Mabsuth dll (yg berisi juga hadis2 dan fatwa Salaf Ash-Sholeh) dan Ulama Mujtahid lainnya ??!? (Tentu boleh selama selaras al-Haq). Lalu adakah salah satu tokoh HT yang punya karya melebihi al-Muwatho Imam Malik, atau yang hafal hadis lebih dari 400 ribu seperti Imam Ahmad, atau kitab fiqh–sunnah seperti Al-Umm atau Al-Mabsuth !!! Tidak ada, lalu bagaimana anta dan kelompokmu bisa mengatakan hal seperti itu !!! Sungguh ucapan spt ini merupakan bentuk ‘kekurangajaran’ kpd para Ulama Mujtahid yg dilontarkan dari ‘partai jahil’ yg sama sekali tidak mencapai ‘barang secuil dari ilmu para Imam Mujtahid (yg sering ‘sok tahu’ dg mengklaim paling berpegang dg ushul fiqh dan manhaj tarjih!!!), dan pada saat bersamaan menuduh para Ulama yang mengambil pendapat dari al-Qur’an, as-Sunnah dan atsar Shahabat sebagai ‘orang yang kurang ajar’. Padahal sebenarnya mereka inilah –Syaikh Ibnu Bazz, Ibnu Utsaimin dan al-Albany- yg paling layak disebut sebagai pewaris madzhab Salaf dlm Aqidah dan fiqh karena dekatnya ilmu mereka dg pemahaman Sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dan banyak ahli ilmu!!??!

Saya katakan : Jangan lihat kitab Syakhsiyah Al-Islamiyah (nb : karya Syeikh An-Nabhani), Jangan pula Nidhomul Islam ataupun ad-Dusiyah!!!? Yang isinya penuh dengan penyimpangan-penyimpangan dan kesesatan… lihatlah al-Qur’an dan as-Sunnah dan kitab-kitab Aqidah para imam salaf… Syarah Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah, Asy-Syari’ah, Syarhus Sunnah, Kitabus Sunnah, Ushulus Sunnah, dll…

 

 

PASAL 3

AQIDAH DAN HIZBUT TAHRIR VS AQIDAH SALAFIYYAH

 

Al-Mudzabdzab al-Hizbi berkoar-koar kembali :

 

Kalau anta menuduh bahwa pembahasan aqidah Hizb kurang dibanding masalah politik adalah dusta semata !!! Hizb telah mengeluarkan dan mentabanni sejumlah kitab yg membahas banyak masalah spt : Nidzam Iqtishod (sistem ekonomi islam), Al-Anwal fi daulah Al-Khilafah (Sistem keuangan dalam Daulah Al-Khilafah), Nidzam Uqubat (sistem sangsi islam), Nidzam Al-Hukmi (sistem pemerintahan islam), Nidzam Ijtima’ (sistem pergaulan islam), Daulah Al-Islamiyyah (Kitab Sirah), Syakhsiyah Al-Islamiyah tdr dari 3 jilid (berisi pembahasan masalah aqidah, hadis, jihad, muamalat, ushul fiqh dll), Ad-Dussiyah dan Ma’lumat li Asy-Syabab (nb : 2 kitab ini banyak memabahas masalah aqidah dan kritik atas peyimpangan aqidah umat dr aqidah yg shohih yg berdasar kitab dan As-Sunnah), ahkam Ash-Sholat (Hukum2 sholat), Min Muqawwimat An-nafsiyah Al-Islamiyyah (Pengutat Nafsiyah Al-Islamiyah berisi ayat2 dan hadis ttg masalah akhlaq) dan berbagai kitab lainnya yg membahas berbagai masalah termasuk diantara afkar siyasi dan Nadzarat siyasi li hizb At-Tahrir (nb : 2 kitab terakhir ini scr spesifik membahas pemikiran kontemporer dan konstalasi politik internasional) !!! Ditambah lagi puluhan bahkan ratusan kitab yg telah ditulis oleh para syabab dg tema Aqidah (seperti kitab Thoriq Al-Iman yg ditulis oleh DR. Sami’ Athif Az-Zein), hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tafsir, Ekonomi, politik, Sejarah, Ilmu sosial, Ilmu Psikologi, sirah dll. Sekali lagi, telah terbukti bahwa tuduhan si Ikhwan ini tdk terbukti dan ini hanya sebuah kedustaan yg pasti Allah akan meminta pertanggungan jawab atasnya !!!?

 

Tanggapan :

Koar-koarmu sungguh menggelikan… mana kitab aqidah yang anda maksudkan dari HT?? Apakah pembahasannya terperinci sebagaimana kitab Aqidah para salaf?? Ataukah hanya global dan terpaku dengan akal-akal dan pemahaman diwarnai oleh Aqidah Jahmiyah, Maturidiyah dan Asy’ariyah??? Berikut ini akan saya tunjukkan aqidah Hizbut Tahrir yang ditabanni di dalam kitab mutabanat mereka yang akan saya bandingkan dengan aqidah salafiyah ahlul hadits.

Lihatlah berikut ini wahai Mudzabdzab….

 

Sub Pasal 1

Al-Qodho’ wal Qodar

 

Hizbut Tahrir memiliki pemahaman tentang al-Qodho’ wal Qodar yang aneh dan mengklaim pemahaman mereka adalah pemahaman yang paling benar dan sehat, mereka menyatakan seluruh pendapat tentang masalah Qodho’ dan Qodar ini adalah keliru, baik pendapat Mu’tazilah, Jabariyah bahkan Ahlus Sunnah dan pendapat-pendapat lainnya. Para pembaca akan melihat bagaimana rancu dan aqlaninya mereka di dalam memahami ini, sehingga mereka lebih menyimpang daripada mu’tazilah di dalam permasalahan Qodho’ dan Qodar, walaupun mereka mengklaim bahwa pendapat mereka ini membantah mu’tazilah. Tulisan saya di bawah ini sekaligus membantah klaim Yahya Abdurrahman di dalam artikelnya yang berjudul “Hizbut Tahrir menjawab Tuduhan Miring”, Berikut ini saya cuplikkan perkataan an-Nabhani dari kitab yang dinyatakan oleh mudzabdzab sebagai kitab aqidah HT :

 

Taqiyudin an-Nabhani rahimahullahu berkata : “Adapun masalah al-Qodho’ wal Qodar, kedua istilah ini belum pernah disebutkan secara bergandengan di dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah. Dan tidak pula pernah diucapkan oleh sahabat maupun tabi’in, dan masalah ini tidaklah dikenal pada zaman mereka.” (ad-Duusiyah hal. 18)

 

Tanggapan : Ucapan Syaikh an-Nabhani rahimahullahu di atas adalah tidak berdasar dan tidak disokong oleh penelitian yang dalam serta tidak benar sama sekali. Istilah Qodho’ dan Qodar ini telah disebutkan secara bergandengan dalam hadits-hadits shohih, misalnya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Kebanyakan penyebab kematian di kalangan ummatku setelah ketetapan kitabullah dan qodho’ serta qodar-Nya adalah karena penyakit ‘ain.” (HR. Thabrani dan selainnya, dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari` (X/167)).[17]

Jika anda mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah aqidah, maka saya jawab : klaim anda bathil, karena pendapat yang benar adalah hadits ahad selama ia shohih dan memiliki qorinah yang kuat adalah wajib diyakini dan dapat dijadikan hujjah dalam masalah aqidah. Insya Allah pembahasan ini akan saya turunkan tersendiri sekaligus sebagai bantahan terhadap anda dan hizb anda.

 

Taqiyudin menyatakan bahwa al-Qodho’ wal Qodar bukanlah permasalahan aqidah, beliau rahimahullahu berkata : “Masalah qodho’ dan qodar bukanlah masalah yang dibawa oleh Islam untuk diimani. Bukan pula termasuk masalah yang disebutkan oleh ayat-ayat al-Qur'an untuk diyakini. Masalah ini tidak termasuk masalah aqidah yang diperintahkan supaya diyakini.” (ad-Duusiyah hal. 23)

 

Tanggapan : Klaim an-Nabhani rahimahullah adalah bathil. Karena permasalahan al-Qodho’ wal Qodar adalah bagian dari keimanan dan aqidah yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Bahkan masalah Qodho’ dan Qodar ini adalah termasuk rukun iman yang ke-6, sebagaimana disabdakan oleh nabi yang mulia ‘alaihi sholaatu wa salaam : “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada qadar-Nya yang baik maupun yang buruk.[18]

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Seandainya engkau memiliki emas sebesar gunung uhud atau seperti gunung uhud dan engkau belanjakan di jalan Allah, maka Ia takkan mau menerimanya darimu sebelum engkau beriman kepada takdir, dan engkau mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu takkan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan meleset darimu takkan menimpamu. Dan sesungguhnya jika engkau mati di atas (aqidah/keimanan) selain ini, maka engkau pasti akan masuk neraka.[19]

Dan dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah nabi yang mulia adalah banyak sekali, dan hal ini menunjukkan bahwa perkara Qodho’ dan Qodar ini adalah bagian dari perkara keimanan. Oleh karena itu, klaim an-Nabhani di atas adalah bathil dan menyesatkan. Semoga Allah Ta’ala mengampuni beliau.

 

Taqiyudin juga menuduh Ahlus Sunnah sebagai Jabariyah dalam masalah al-Qodho’ wal Qodar sebagaimana termuat secara eksplisit dalam ad-Dusiyah hal 21-22, sebagai berikut, “Mereka (Ahlus Sunnah) mengklaim bahwa pandangan mereka adalah pandangan yang baru, bukan pandangan mu’tazilah dan bukan pula jabariyah. Mereka (Ahlus Sunnah) berkata tentang pandangan mereka (yakni al-Kasb) bahwa pandangan mereka tersebut bagaikan susu putih yang bersih yang keluar diantara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya. Itulah konklusi pendapat ahlus sunnah. Setelah diperinci, nyatalah dan jelaslah bahwa perkataan mereka dan perkataan Jabariyah hakikatnya sama, dan mereka (Ahlus Sunnah) termasuk Jabariyun, yang mereka kebingungan diantara dalil-dalil mu’tazilah dan Jabariyah…

 

Tanggapan : Tuduhan an-Nabhani di atas adalah tuduhan yang keji, yang menunjukkan perbedaan pemahaman beliau dengan pemahaman ahlus sunnah, dan penjelas yang nyata dari beliau bahwa beliau tidak berintisab (menisbatkan diri) kepada ahlus sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa, pada hakikatnya HT tidaklah menyandarkan diri sebagai bagian dari Ahlus Sunnah, walaupun Yahya Abdurrahman mengatakan bahwa HT bukanlah madzhab baru dan tidak membawa madzhab baru, namun madzhab HT dalam masalah Qodho’ dan Qodar ini adalah madzhab baru yang tidak dikenal sebelumnya, melainkan hanya mengadopsi pemikiran Qodariyah yang dimodifikasi.

Ucapan an-Nabhani di atas juga menunjukkan ketidakfahamannya terhadap Ahlus Sunnah, karena yang diisyaratkan oleh dirinya sebagai Ahlus Sunnah pada hakikatnya adalah Asy’ariyah, dan ini jelas suatu kesalahan yang amat dan kebatilan yang berlipat. Sebab istilah kasb yang diklaim oleh an-Nabhani adalah istilah Asy’ariyah yang tidak dikenal oleh Ahlus Sunnah. Maka benarlah apa yang diucapkan oleh Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqiyah, bahwa an-Nabhani ini tidak dapat membedakan antara ahlus sunnah dengan asy’ariyah ataupun maturidiyah.

Syaikh Salim bin Ied al-Hilali berkata : “An-Nabhani telah menisbatkan madzhab bathil kepada Ahlus Sunnah, yaitu al-Kasb dan penyamaan antara Irodah dan Masyi’ah. Itu tidak lain adalah madzhab al-Asy’ariyah bukan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah pengikut salaf ashabul hadits. Jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyah, maka kami jawab : Tidak boleh menamakan Asy’ariyah dengan sebutan Ahlus Sunnah, karena mereka (asy’ariyah) bukanlah termasuk Ahlus Sunnah berdasarkan persaksian ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah pengikut Salafus Shalih.”[20]

Imam Ahmad, Ibnu Madini dan selain mereka menyatakan bahwa barang siapa yang menyelami ilmu kalam bukanlah termasuk Ahlus Sunnah meskipun perkataan mereka bersesuaian dengan as-Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal dan menerima nash-nash syar’iyyah.[21] Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzhab asy’ariyah adalah akal. Tokoh-tokoh asy’ariyah sendiri yang menegaskan hal tersebut, bahwa mereka lebih mendahulukan dalil aqli daripada naqli bila terjadi pertentangan. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka dalam buku beliau yang sangat langka yang berjudul Dar`u Ta’arudh al-Aql wan Naql, beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum mereka bilamana terjadi pertentangan di antara dalil-dalil.[22] Saya katakan : HT sangat jahil tentang perbedaan antara asy’ariyah dan ahlus sunnah, menurut mereka perselisihan diantara ahlus sunnah dan asy’ariyah adalah perselisihan kalamiyah. Wal ‘Iyadzubullah. Sungguh ucapan yang berangkat dari kebodohan yang berlipat (jahil murokkab) dan pemahaman yang dangkal serta pengetahuan yang sempit.

Ibnu Abdil Bar menukil perkataan Ibnu Khuwais Mandaad al-Maliki di dalam mensyarah perkataan Imam Malik : “Tidak diterima persaksian ahli ahwa”, beliau menjelaskan : “Ahlul Ahwa yang dimaksud oleh Imam Malik dan seluruh sahabat-sahabat kami adalah ahli kalam. Siapa saja yang termasuk ahli kalam maka ia tergolong ahli ahwa wa bida’. Baik ia seorang pengikut madzhab asy’ariyah ataupun selainnya. Maka tidak diterima persaksiannya dalam Islam untuk selama-lamanya, wajib diboikot dan ditahdzir bid’ahnya. Jika ia masih mempertahankannya harus dimintai taubat.”[23]

Perkataan Hizbut Tahrir yang mensifati ahlus sunnah sebagai jabariyah adalah karakter ahli ahwa wa bida’, tuduhan yang tidak benar dan batil. Imam Ahmad berkata : “Sungguh aku telah melihat ahlu ahwa’ wa bida’ wa khilaaf telah memberi nama dan julukan yang keji kepada ahlus sunnah. Mereka bermaksud menghina, mendiskreditkan dan melecehkan mereka di hadapan orang-orang yang bodoh dan jahil. Adapun al-Qodariyah, mereka menyebut Ahlus Sunnah sebagai penganut faham Jabariyah. Sungguh dusta perkataan al-Qodariyah itu, merekalah yang pantas disebut sebagai pendusta dan penyelisih. Mereka menafikan takdir Allah atas makhluk-Nya. Mereka mengatakan Allah tidak punya kuasa (atas makhluk-Nya), Maha suci Allah (dari yang mereka katakan).”[24]

 

Taqiyudin berkata : “Dari semua itu jelaslah bahwa akar masalah qodho’ dan qodar ini adalah keliru, karena merupakan salah satu (buah) dari pemikiran filsafat Yunani. Oleh karena itu, semua pembahasan dalam masalah ini adalah keliru. Kekeliruan ini telah menyeret ummat ke dalam kesalahan demi kesalahan. Demikian pula seluruh pendapat yang ada dalam permasalahan ini adalah keliru seluruhnya, baik pendapat mu’tazilah, ahlus sunnah maupun jabariyah ataupun pendapat-pendapat lain yang datang sesudah mereka yang menggiring ummat kepada dugaan-dugaan dan khayalan.” (ad-Duusiyah, hal. 23-25)

 

Tanggapan : An-Nabhani rahimahullahu sekali lagi berani menyamaratakan antara qodariyah, jabariyah dan ahlus sunnah berada di atas kekeliruan, dan seluruhnya berangkat dari filsafat Yunani. Mereka mementahkan jerih payah ulama-ulama terdahulu yang telah menguraikan masalah ini dan membawakan pendapat yang menuntaskannya, seperti Imam Bukhori di dalam kitabnya yang berjudul Kholqu Af’aalil ‘Ibaad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kumpulan fatawanya dan kitab-kitab aqidahnya seperti al-Wasithiyah, al-Hamawiyah, as-Safariniyah, dan lain lain juga Ibnul Qoyyim dalam Syifa’ul Alil, demikian pula Abul Izz al-Hanafi dalam Syarh Aqidah ath-Thohawiyah dan masih banyak ulama lainnya. HT mengklaim telah menyelami seluruh pendapat dan madzhab di dalam masalah ini, kemudian mereka menyalahkan seluruhnya!!! Apakah HT sudah menyelami pendapat ahlus sunnah di dalam hal ini?!! Ini sungguh kelancangan tanpa bukti. Dan yang parah lagi adalah mereka tidak menyinggung sama sekali madzhab salaf dalam masalah ini!!! Apakah HT tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu?!! Wallahul Musta’an!!!

 

“Masalah al-Qodho’ wal Qodar sungguh telah memainkan peranan penting dalam madzhab-madzhab islami. Ahlus sunnah berpendapat yang ringkasnya manusia memiliki kasb ikhtiari di dalam perbuatannya, yang mana mereka dihisab karena kasb ikhtiari tersebut. Sedangkan Mu’tazilah berpendapat yang ringkasnya adalah manusia sendiri yang menciptakannya. Adapun Jabariyah, memiliki pendapat sendiri yang ringkasnya adalah Allahlah yang menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia dipaksa melakukan perbuatannya dan tidak mampu berikhtiar bagaikan bulu yang diterbangkan angin ke mana saja…” Beliau melanjutkan di dalam paragraf berikutnya : “… Ternyata asas ini tidak berkaitan dengan perbuatan manusia ditinjau dari apakah diciptakan oleh Allah atau manusia itu sendiri, juga tidak berkaitan dengan ilmu Allah ditinjau dari sisi kenyataan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, dimana ilmu-Nya meliputi semua perbuatan hamba, dan tidak pula terkait dengan irodah Allah yang irodah-Nya berkaitan dengan perbuatan hamba sehingga perbuatan tersebut terjadi dengan adanya irodah Allah, juga tidak berhubungan dengan perbuatan hamba dalam Lauh al-Mahfuzh, sehingga mau tidak mau ia harus melakukan apa yang tertulis… memang benar!!! Semua pembahasan di atas bukanlah dasar di dalam pembahasan al-Qodho’ wal Qodar.” (Nizhomul Islam, hal. 15)

 

Inilah pemahaman HT terhadap masalah al-Qodho’ wal Qodar, yang mana mereka mengklaim bahwa pendapat mereka adalah pendapat yang paling benar, dan seluruh pendapat –walaupun pendapat ahlus sunnah- adalah pendapat yang bathil, dan kaum muslimin tentu saja dalam keadaan menyimpang di dalam masalah ini, hingga akhirnya HT muncul dan mengoreksi segala pendapat mereka di atas. Subhanallah. Sungguh aneh… kaum kholafi yang banyak memiliki penyimpangan ini muncul dan mengoreksi kesesatan ummat selama berabad-abad.

Padahal pernyataan an-Nabhani di atas adalah pernyataan bathil, dimana ia menyatakan bahwa masalah qodho’ dan qodar tidak ada hubungannya dan tidak berkaitan dengan irodah, ilmu dan lauh al-Mahfuzh Allah. Dia menyatakan bahwa perkara-perkara ini bukanlah dasar di dalam pembahasan al-Qodho’ wal Qodar. Lantas apa dasarnya wahai HT?? Sungguh, ini adalah kesekian kali keganjilan pemahaman HT yang kontradiksi, dimana an-Nabhani menyatakan tentang ilmu Allah yang meliputi semua perbuatan, irodah Allah dan lauhil mahfuzh, namun beliau menyatakan bahwa masalah qodho’ dan qodar tidak berhubungan dengan itu semua. Lantas berhubungan dengan apa wahai HT??

Padahal imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah di dalam Syifaa`ul Aliil (I/91) menerangkan : “Tingkatan qodho’ dan qodar itu ada empat, yang apabila seseorang belum mengimaninya, maka berarti ia belum mengimani qodho’ dan qodar, yaitu : Pertama : Ilmu Allah terhadap segala sesuatu sebelum terjadi. Kedua : Penulisan takdir segala sesuatu sebelum terjadi. Ketiga : Kehendak Allah atasnya. Keempat : Penciptaan Allah terhadapnya.”

Dengan yakinnya, HT memunculkan istilah ‘khasiyat’ dalam memahami al-Qodar yang dimiliki setiap benda, dan HT juga di dalam memahami al-Qodho’ mereka membedakan antara ‘af’al’ dengan ‘tawalludul af’al’ dimana mereka membaginya di dalam dua hal, yaitu : (1) yang tidak bisa dipilih oleh manusia (mujbar) dimana manusia berada di dalam lingkaran yang manusia tidak berperan apa-apa di dalamnya dan (2) yang bisa dipilih oleh manusia (mukhoyyar) dimana manusia berada di dalam lingkaran yang mereka bisa melakukan apa saja dan hal yang kedua ini tidak berhubungan dengan al-Qodho’.

HT berbicara tentang dua lingkaran, dan pembagian ini hanya terfokus pada perbuatan manusia yang ikhtiyarah, dimana di dalam lingkaran yang mukhoyyar manusia bisa untuk melakukan apa saja dan hal ini tidak berkaitan dengan Qodho’ dan Qodar. Pendapat ini adalah penjelmaan dari pendapat mu’tazilah yang menyatakan bahwa amal perbuatan adalah makhluk (ciptaan) manusia itu sendiri yang tidak ada kuasa dan kehendak Allah di dalamnya, semuanya murni dari kehendak manusia. HT pun juga tidak jauh berbeda, namun dengan susunan kata yang berbeda, yang menyatakan : “Lingkaran ini (mukhoyyar) yang mana setiap manusia atau yang dilakukan oleh orang lain terhadapnya berasal dari kehendak manusia itu sendiri, dan tidak termasuk masalah qodho’ dan qodar”.[25] Jadi mereka memisahkan kehendak Allah dengan kehendak manusia di dalam hal ini, dan ini sangat serupa dengan aqidah mu’tazilah. Berikut ini akan saya terangkan lagi lebih jelas :

Ketahuilah, bahwa ahlus sunnah meyakini bahwa manusia benar-benar melakukan perbuatannya, perbuatan mereka dinisbatkan kepada mereka secara hakiki bukan majazi. Perbuatan mereka dinisbatkan kepada mereka secara hakiki bukan majazi. Dan meyakini bahwasanya Allah telah menciptakan mereka dan amal perbuatan mereka. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Dan Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat,” (ash-Shoffat : 96), dan firman-Nya :

Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuran dengan serapi-rapinya.” (al-Furqon : 2).

Jadi ahlus sunnah menetapkan kehendak dan ikhtiyar bagi manusia muqoyyad (terikat) dengan kehendak dan masyi’ah Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

Yaitu bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah pemelihara alam semesta.” (at-Takwiir : 28-29).

Oleh karena itu, pembahasan masalah amal manusia tidak bisa lepas dari irodah dan masyi’ah Allah, tidak lepas dari ilmu-Nya dan yang tercatat di dalam Lauh al-Mahfuzh. Allah telah menentukan takdir segenap makhuknya semenjak diciptakan al-Qolam hingga hari kiamat kelak, Allah telah menentukan rizki, wafat, amal, kebahagiaan, kesusahan hingga penentuan manusia apakah akan masuk surga ataukah neraka berdasarkan amal manusia tersebut sebelum manusia yang beramal itu diciptakan. Oleh karena itu, perbuatan manusia tidak terlepas dari irodah dan masyiah Allah.

Pemahaman HT terhadap qodho dan qodar ini, bagaikan sisi mata uang dengan pendapat mu’tazilah qodariyah, yang memisahkan antara kehendak makhuk dengan kehendak Allah. Mereka tidak mengenal irodah syar’iyah dan irodah kauniyah Allah. Mereka meyakini bahwa kekufuran, kemaksiatan, kerusakan dan selainnya adalah murni perbuatan makhluk tanpa campur tangan kehendak Allah. Padahal Allah menciptakan kekufuran, kemaksiatan dan kerusakan, lantas bagaimana mungkin kehendak Allah terlepas dari amalan-amalan tersebut.

Di sinilah letak kesamaan mereka dengan mu’tazilah dan perbedaan mereka dengan ahlus sunnah. Ketahuilah, bahwa Allah berkehendak untuk menciptakan kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan, namun Allah tidak ridho dengan kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan tersebut. Kehendak Allah menciptakan kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan adalah irodah kauniyah Allah namun ketidakridhoan Allah dengan amalan tersebut adalah irodah syar’iyah Allah. Oleh karena itu Allah menerangkan dua jalan bagi makhluk-Nya yang bisa mereka pilih, namun pilihan makluk-Nya tidak terlepas dari kehendak-Nya.

Seorang manusia berkehendak untuk berjalan, dan kehendak manusia ini muqoyyad dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendakinya niscaya akan berlangsung dan jika Allah tidak menghendakinya niscaya tidak akan berlangsung. Demikian pula, seorang manusia berkehendak untuk menjadi muslim atau kafir, jika manusia itu kafir maka ia berkehendak dengan kehendaknya dan kehendaknya adalah muqoyyad dengan kehendak Allah, maka Allah akan mengadzabnya sesuai dengan amalnya dan Allah telah mengetahui dan berkehendak sebelumnya bahwa orang itu memang akan diadzab semenjak al-Qolam diciptakan.

Mungkin, HT akan bertanya sebagaimana kaum mu’tazilah pernah mempertanyakannya sehingga mereka memiliki keyakinan yang berbeda dengan ahlus sunnah walau dengan maksud tanzih (mensucikan Allah), namun pada hakikatnya mereka jatuh ke lubang kebatilan… jika mereka bertanya : kalau begitu Allah zhalim, karena menghendaki keburukan, padahal diri-Nya tidak meridhainya?

Maka kami jawab : Allah maha adil, dan segala sesuatu berjalan menurut kehendak dan hikmah-Nya. Barangsiapa yang diberinya petunjuk maka tak ada yang mampu menyesatkannya dan barangsiapa yang ditetapkan kesesatan baginya maka tak ada yang mampu memberinya petunjuk. Mu’tazilah sesungguhnya melarikan diri dari sesuatu dengan tujuan yang mulia yaitu tanzih namun pada akhirnya mereka terjerumus kepada sesuatu yang lebih buruk lagi. Pemahaman dan pendapat mereka itu berkonsekuensi bahwa kehendak orang yang kafir mengalahkan kehendak Allah. Karena menurut mereka, Allah mengendaki keimanan sedangkan orang kafir itu menghendaki kekufuran, sehingga kehendak orang kufur itu mengalahkan kehendak Allah. Ini jelas pendapat yang paling rusak, binasa dan tak memiliki dalil. Oleh karena itu, ahlus sunnah berkeyakinan, bahwa Allah menghendaki adanya kekufuran namun Dia tidak ridha dengan kekufuran tersebut, dan Dia akan mengadzab siapa saja yang mengkufuri-Nya.

Jika ditanya : Lantas jika Allah tidak ridha dengan adanya kekufuran mengapa dia menciptakan-Nya? Hal ini jelas tidak mungkin karena hal ini jelas-jelas menisbatkan suatu keburukan bagi Allah, menghendaki apa yang tidak Ia ridhai, suatu kontradiksi bagi Allah yang maha bijaksana. Oleh karena itu keburukan itu dinisbatkan kepada manusia dan murni dari perbuatan manusia.

Kami Jawab : Pemahaman anda ini adalah pemahaman yang suram dibangun diatas kesuraman. Karena konsekuensi dari ucapan anda adalah bahwa Allah tidak menciptakan kekufuran, dan manusia itu sendiri yang menciptakan kekufuran. Pendapat ini jelas sangat kufur, karena meniadakan sifat pencipta bagi Allah dan maha berkehendak. Bukankah manusia itu adalah makhluk?? Lantas apakah kehendak manusia itu bukan makhluk?? Dan apakah kehendak manusia untuk kufur juga bukan makhluk?? Oleh karena itu pendapat anda di atas adalah suatu penghinaan bagi Allah dan menafikan rububiyah Allah, suatu kesesatan yang lebih sesat daripada kaum yang menafikan uluhiyah Allah.

Allah menciptakan adanya kekufuran, dengan dalil :

Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang berada di muka bumi seluruhnya.” (Yunus : 99)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menghendaki bahwa tidak seluruh orang yang berada di muka bumi ini beriman. Namun dirinya tidak meridhai kekufuran, dengan dalil :

Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (az-Zumar : 7)

Oleh karena itu, pernyataan kontradiktif antara menciptakan keburukan dengan meridhai adalah prasangka lemah belaka. Karena tidak semua yang Allah tetapkan di dalam takdirnya adalah Ia ridhai, karena yang harus difahami adalah kita harus membedakan antara takdir Allah dan sesuatu yang ditakdirkan-Nya. Takdir Allah yaitu perbuatan yang dilakukan-Nya sedangkan sesuatu yang ditakdirkan-Nya adalah obyek yang terpisah dari diri-Nya. Takdir itu semuanya baik, adil dan bijaksana sedangkan sesuatu yang ditakdirkan-Nya maka ada hal yang patut diridhai dan ada yang tidak patut.

Contoh gampangnya adalah misalnya bunuh diri. Allah telah mentakdirkannya, menetapkan dan menghendakinya mati dalam keadaan demikian semenjak alam semesta belum diciptakan, adapun mati bunuh diri adalah suatu hal yang tidak diridhai oleh-Nya namun ia menghendaki bahwa orang itu akan meninggal dalam keadaan demikian. Maka fahamilah benar-benar perbedaannya.

Contoh lainnya adalah kekafiran. Misalnya Allah menetapkan kekafiran bagi Abu Thalib paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Kekafiran Abu Thalib ini adalah suatu hal yang telah ditetapkan-Nya semenjak zaman azali, namun Allah tidak meridhai akan adanya kekafiran. Demikianlah semoga menjadi jelas.

Jika dikatakan : Lantas, mengapa Allah mengadzab orang kafir jika Allah sendiri yang menghendaki orang tersebut kafir?!! Berarti apa yang dikatakan oleh an-Nabhani adalah benar, bahwa perkara ini tidak berhubungan dengan irodah, ilmu dan lauh al-mahfzuh.

Kami jawab : Allah menghendaki adanya kekafiran bukan artinya Allah meridhai kekafiran. Pernyataan di atas menyimpan pemahaman jabariyah. Telah berlalu penjelasannya bahwa seorang manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan beramal, dan dia akan diadzab sesuai dengan apa yang ia pilih dan ia amalkan. Namun amalan dan pilihannya, tidaklah lepas dari apa yang ditetapkan oleh Allah atasnya. Dan kesemua ini bukanlah suatu hal yang kontradiksi, bahkan saling menjelaskan dan menetapkan akan kemahasempurnaan Allah.

Jika ditanyakan : Mengapa Allah menciptakan sesuatu yang tidak Ia ridhai??

Maka kami jawab : Allah adalah yang berhak bertanya tidak berhak ditanya. Seorang makhluk hanya berhak menerima putusan dari Allah tanpa boleh memprotes atau mempertanyakannya. Karena Allah adalah maha adil. Perlu difahami juga, bahwa tatkala Allah menciptakan sesuatu yang tidak Ia ridhai, maka sesungguhnya hikmah akan berjalan sempurna. Karena dengan adanya kekufuran, kesyirikan, kemaksiatan atau kerusakan lainnya, maka hikmah diturunkannya kitab suci, diutusnya rasul dan diperintahkannya manusia untuk berdakwah dapat berlangsung. Jika sekiranya tidak ada kekufuran, kesyirikan, kemaksiatan dan semacamnya, maka apa hikmah diturunkannya kitab suci? Diutusnya rasul? Diperintahkannya dakwah? Padahal seluruh makhluknya telah beriman dan taat kepada-Nya.

Oleh karena itu, sungguh indah ucapan Ibnu Qutaibah rahimahullahu : “Hikmah dan Qudroh takkan sempurna melainkan dengan menciptakan segala sesuatunya dengan lawannya agar masing-masing diketahui dari pasangannya, ingatlah sesungguhnya cahaya diketahui dengan adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adanya kemudharatan dan manis diketahui dengan adanya pahit[26]

Oleh karena itu, Umar bin Hutsaim pernah menceritakan : Kami pernah bepergian dengan perahu. Kami ditemani oleh seorang Majusi dan seorang Qodari. Qodari itu berkata kepada Majusi : “Masuklah Islam.” Majusi itu menjawab : “Nanti saja, kalau Allah menghendaki” Qodari berkata : “Sesungguhnya Allah menghendaki (dirimu Islam) namun setan tidak menghendakinya.” Si Majusi menanggapi : “Allah berkehendak dan Setan juga berkehendak, namun kehendak setan yang terwujud! Berarti setan lebih kuat daripada Allah, maka saya ikut kepada yang lebih kuat!!!”[27]

Ada sebuah cerita juga, ada seorang Badui yang menghadiri pengajian Amru bin Ubaid, seorang guru besar Mu’tazilah, orang Badui itu berkata : “Wahai manusia, unta saya dicuri, tolong doakan supaya unta saya bisa kembali.” Maka Amru bin Ubaid berdoa : “Ya Allah, sesungguhnya Engkau menghendaki unta itu tidak dicuri, tapi ternyata dicuri oleh pencuri. Maka kembalikanlah untanya kepada orang itu.” Orang Badui itu langkas menanggapi, “Saya tidak lagi butuh doamu!!”, dia menjawab, “Loh kenapa?”, orang Badui itu menjawab, “Saya takut. Kalau Allah menghendaki untuk tidak dicuri masih saja dicuri, bagaimana nanti kalo Dia menghendaki untuk kembali pasti juga tidak kembali!!!”[28]

Bagi yang ingin memperluas pemahaman tentang ini silakan merujuk kepada kitab-kitab ulama ahlus sunnah, dan bandingkan dengan pemahaman HT yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan ahlus sunnah.

Saya katakan : O… aqidah apakah yang kau bawa wahai Mudzabdzab al-Hizbi??? Dengan menuduh Ahlus Sunnah sebagai Jabariyah… sungguh telah kau tunjukkan aqidahmu kepada kami tentang masalah al-Qodho’ wal Qodar… dan siapakah yang kau maksud dengan Ahlus Sunnah??? Tentu saja Asy’ariyah dan Maturidiyah… hal ini akan semakin nampak dengan nukilan-nukilan referensi yang telah kau nukil dan ajukan untuk membantah salafy wahaby dari para muta’shshibin madzhaby dan shufiyun semacam Muhammad Zahid al-Kautsari dan muridnya Abdul Fattah Abu Ghuddah, juga Hasan Ali Saqqof, al-Ghumari dan semacamnya…

 

Sub Pasal 2

Tauhid Asma’ wa Shifat

 

Dalam permasalah Asma wa Shifat ini, pernyataan HT juga tidak jauh berbeda dengan pembahasannya mengenai Asma’ wa Shifat. Dalam pembahasan ini, HT lebih terpengaruh oleh Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Akan kita singkap insya Allah berikut ini :

 

An-Nabhani berkata di dalam asy-Syakhshiyah al-Islamiyah (I/97) : “sebelum muncul ahli kalam tidak pernah dikenal pembicaraan tentang masalah sifat Allah dan tidak pernah disinggung dalam satupun pembahasan. Selain itu tidak ada disebutkan dalam al-Qur'an al-Karim dan as-Sunnah asy-Syarif kalimat sifat Allah. Dan tidak pula dikenal dari salah seorang sahabat bahwa ia menyebut sifat Allah atau berbicara tentang sifat-sifat Allah.”

 

Syaikh Salim al-Hilali mengomentari : “Demikianlah manhaj an-Nabhani yang menafikan secara mutlak dan mengklaim telah menyelami seluruhnya. Lebih selamat jika sekiranya ia berkata : Aku belum menemukannya, karena di atas or yang ‘alim ada orang yang lebih ‘alim lagi.

Sesungguhnya sifat Allah atau sifat ar-Rahman telah disebutkan di dalam beberapa hadits shohih yang jelas, diantaranya : Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menunjuk seorang lelaki menjadi pemimpin sebuah pasukan kecil. Ia selalu mengakhiri surat yang dibacanya di dalam sholat ketika mengimami anggota pasukannya dengan qul huwallahu ahad. Ketika pasukan itu telah kembali, mereka menceritaknnya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata : “Tanyakanlah kepadanya mengapa ia melakukan itu?” Mereka pun bertanya kepadanya, lelaku itu menjawab : “karena itu adalah sifat ar-Rohman dan aku suka membacanya.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Kabarkanlah kepadanya bahwa Allah mencintai dirinya.” (HR Bukhori)[29]

 

An-Nabhani kembali berkata di dalam asy-Syakhshiyah al-Islamiyah (I/97-98) : “Kemudian sifat-sifat Allah hanya boleh diambil dari al-Qur'an dan sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur'an. Sifat ilmu diambil dari firman Allah al-An’am : 59, al-Hayat dari Ali Imran : 2 dan al-Mukmin : 65, Qudroh dari al-An’am : 65 dan al-Isro’ : 99, mendengar dari al-Baqoroh : 181 dan 224, melihat dari al-Mujadilah : 1 dan al-Mukmin : 20, berbicara dari an-Nisa’ : 64 dan al-A’rof : 143, irodah dari al-Buruj : 16, Yasin : 82 dan al-Baqoroh : 252 dan al-Kholiq dari az-Zumar : 62 dan al-Furqon : 2. Sifat-sifat ini telah disebutkan di dalam al-Qur'an al-Karim sebagaimana halnya sifat-sifat yang lain seperti wahdaniyah, qidam dan lain-lain. Tidak ada perselisihan diantara kaum muslimin bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Maha Esa, Azali, Maha Hidup, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berbicara, Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak.”

 

Pembagian sifat ini sebagaimana pembagian yang dilakukan oleh Asy’ariyah yang disebut sebagai sifat ma’ani, yang dasar pijakannya adalah akal dan mengenyampingkan dalil-dalil lainnya yang menyelisihi akal. Ucapan an-Nabhani bahwa sifat-sifat Allah hanya boleh diambil dari al-Qur'an adalah klaim yang batil dan mengenyampingkan peran sunnah. An-Nabhani tidak menjelaskan bahwa : Sesungguhnya yang paling mengetahui tentang sifat Allah adalah Allah sendiri dan makhluk yang paling mengetahui tentang sifat-sifat Allah adalah Rasulullah, sehingga tidaklah seharusnya an-Nabhani berkata bahwa hanya al-Qur'an yang bisa digunakan untuk menetapkan sifat-sifat Allah ini.

Kemudian sifat-sifat yang disebutkan an-Nabhani di atas adalah pembatasan yang tidak ada keterangannya dari Kitabullah tidak pula dari Sunnah Rasulullah. Karena Ahlus Sunnah di dalam menetapkan sifat dan asma Allah adalah tawaquf dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya sendiri dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya, tanpa ta’wil (memalingkan makna zhahir), tanpa ta’thil (meniadakan sifat sebagian atau seluruhnya), tanpa takyif (mempertanyakan kaifiyatnya) dan tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).

Hizbut Tahrir serupa dengan Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Maturudiyah di dalam mentakwil ayat-ayat sifat bagi Allah seperti sifat tangan, tertawa, beristiwa dan semacamnya. Mereka memalingkan makna ini dengan dalih majaz. Inilah senjata mu’tazilah di dalam membabat habis talaqqi di dalam Islam, menolak hadits dengan istilah ahad dan menolak al-Qur’an dengan istilah majaz.

Sesungguhnya penggunaan majaz adalah hal yang baru di dalam Islam yang tidak dikenal ahli lughoh terdahulu. Istilah majaz ini muncul abad-abad terakhir ketika kaum muslimin bersinggungan dengan filsafat dan ilmu kalam. An-Nabhani yang menggunakan metode majaz ini di dalam rangka menakwil ayat-ayat sifat adalah buah dari pemikiran mu’tazilah.

Sesungguhnya orang-orang yang menakwil ayat-ayat sifat, sesungguh berada di dalam 4 kesesatan sekaligus, yaitu ta’wil, ta’thil, takyif dan tasybih. Walaupun mereka mengatakan bahwa mereka mentakwil dengan maksud untuk tanzih. Orang yang menakwil sifat tangan (yad) misalnya dengan makna kekuasaan atau kekuatan, sesungguhnya mereka telah :

  1. Meniadakan (ta’thil) makna tangan bagi Allah, dimana Allah menetapkan makna tangan bagi diri-Nya.
  2. Mentasybih sifat tangan Allah dengan makhluk-Nya, yaitu dengan cara meniadakannya, sebab jika ditetapkan maka Allah seperti makhluknya.
  3. Mentakyif sifat tangan bagi Allah, yaitu dengan cara tidak menetapkannya, yang mana jika menetapkannya maka mereka tidak mampu menjangkau hakikatnya sedangkan kekuasaan mampu mereka jangkau.
  4. menta’wil kata tangan dengan makna lainnya, hal ini juga mengindikasikan bahwa hakikat tangan itu sendiri adalah ada. Karena Allah menggunakan kata tangan itu sendiri.

Lantas, mengapa anda mentakwil makna tangan bagi Allah dengan makna kekuasaan atau kekuatan?? Jika anda mengatakan dengan maksud makna tanzih (mensucikan) sifat Allah dari tajsim atau tasybih, maka kami tanyakan kepada anda? Mengapa anda tidak menetapkan tangan bagi Allah namun anda menetapkan sifat kekuatan atau kekuasaan?? Jika dijawab, Allah berhak atas sifat sempurna berkuasa dan kekuatan, namun tidak layak disifati dengan memiliki tangan, sebab nanti seperti makhluknya. Kami tanyakan kepada anda kembali, siapakah yang lebih tahu tentang Allah?? Tentunya pasti dijawab Allah. Lantas mengapa anda lancang meniadakan sifat yang Allah sifatkan sendiri bagi diri-Nya. Siapakah makhluk yang paling mengetahui tentang Allah? Pasti dijawab, Rasulullah. Lantas mengapa anda meniadakan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah. Apakah anda merasa lebih ’alim daripada Allah dan rasul-Nya?!!

Jika mereka menjawab : Kami tidak menetapkan sifat tersebut bagi Allah, melainkan supaya Allah memiliki kesempurnaan dan sebagai tanzih bagi Allah dari segala sifat kekurangan. Maka kami katakan : Atas dasar apa anda mengatakan sifat tangan adalah sifat kurang bagi Allah?? Bukankah Allah dan rasul-Nya sendiri yang menetapkan sifat tangan bagi Allah?!! Apakah anda lancang untuk kesekian kalinya merasa lebih alim dari Allah dan Rasul-Nya.

Jika mereka mengatakan, kalau Allah disifatkan dengan tangan maka Allah akan seperti makhluk-Nya. Maka kami katakan : Berarti anda yang mentasybih atau mentamtsil Allah, karena Allah sendiri yang menetapkan sifat tangan bagi-Nya dan Ia sendiri menyatakan : ”Tidak ada yang serupa dengan-Nya”. Bukankah manusia juga punya kekuasaan dan kekuatan?? Lantas mengapa tidak anda katakan bahwa jika Allah ditetapkan dengan kekuatan dan kekuasaan maka Allah akan seperti makhluk-Nya??

Jika mereka menjawab : Karena Allah layak ditetapkan dengan kekuatan dan kekuasaan namun tidak layak dengan tangan. Karena kalau ditetapkan dengan tangan maka berkonsekuensi tajsim dan tasybih bagi Allah. Maka kami jawab : dasar apa anda mengatakan Allah layak bersifat demikian dan tidak layak demikian?!! Apakah anda memikiki dalil yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan?!! Maka kami katakan lagi, anda tidak punya dalil melainkan berangkat dari pemahaman akal anda!!! Bukankah manusia memiliki tangan?? Juga bukankah manusia memiliki kekuasaan dan kekuatan?!! Lantas mengapa anda hanya mengatakan kalau Allah memiliki tangan maka Allah seperti makhluk-Nya, padahal makhluk-Nya juga punya kekuasaan dan kekuatan?!!

Jika mereka berkilah : Kekuasaan dan kekuatan makhluk terbatas dan berbeda dengan kekuasaan dan kekuatan Allah. Maka kami katakan, demikian pula tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya. Allah sendiri yang menetapkan tangan bagi diri-Nya maka Ia berhak untuk mendapatkan sifat tangan bagi diri-Nya, dan tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya sebagaimana kekuatan dan kekuasaan Allah berbeda dengan makhluk-Nya. Falillahi hamdu, sesungguhnya pemahaman anda adalah pemahaman yang lemah dan pemahaman kami adalah pemahaman yang selamat dan sehat.

Jika mereka masih berkilah : Sifat Allah di dalam al-Qur’an atau Sunnah nabi-Nya adalah majaz, sebagaimana perkataan orang arab : Ja’a asadun yang memiliki dua makna, yaitu singa sebenarnya yang datang atau orang yang pemberani yang disifati seperti macan. Maka kami jawab, majaz adalah perkara yang baru di dalam agama, dan al-Qur’an diturunkan dengan kalam yang tegas dan jelas, melainkan hanya sebagian kecil saja yang mutasyabihat. Pernyataan anda bahwa ayat sifat adalah ayat mutasyabihat adalah seperti pernyataan mu’tazilah. Sesungguhnya ayat sifat bagi Allah adalah muhkam maknanya dan mutasyabihat hakikatnya. Bukan mutasyabihat makna dan hakikatnya.

Menyatakan di dalam al-Qur’an terdapat majaz sama artinya mengatakan al-Qur’an diturunkan dengan keraguan makna. Karena majaz mengundang interpretasi yang berbeda dari setiap manusia yang membacanya. Dan ini jelas suatu kebathilan. Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang lugas lagi mudah difahami, tidak terkandung majaz di dalamnya.

Adapun contoh majaz yang anda kemukakan, seperti Ja’a asadun maka yang harus difahami adalah kata asad sendiri memiliki makna hakiki seekor singa, maka orang yang menakwil kata singa pada hakikatnya mereka menetapkan makna singa itu sendiri dikarenakan mereka memiliki gambaran singa. Sehingga mereka mengatakan bahwa asad yang dimaksud di sini orang yang pemberani bagaikan singa.

Juga harus difahami, majaz datang di dalam bahasa harus memiliki qorinah yang mendukung terjadinya pemalingan makna dari makna zhohir ke makna selainnya. Oleh karena itu, jika ada orang berkata : Ja’a asadun tanpa ada qorinah sedikitpun yang menunjukkan adanya pemalingan makna asad ke makna lainnya, maka memalingkannya adalah suatu kebodohan dan kebatilan. Namun jika ada qorinah yang menyertai, dalam konteks tertentu maka majaznya benar. Wallahu a’lam.

Adapun menerapkan majaz ke dalam al-Qur’an adalah suatu kesesatan, karena akan memunculkan bidah-bidah baru di dalam memahami agama. Apalagi menggunakan majaz dengan maksud menolak ayat al-Qur’an. Karena menurut prinsip HT, suatu majaz adalah zhonni ad-Dilalah yang tidak dapat ditetapkan sebagai dasar di dalam perkara aqidah, sebagaimana khobar ahad adalah zhonni ats-Tsubut sehingga tidak dapat ditetapkan dalam masalah aqidah pula. Inilah adalah permainan dari mu’tazilah dengan maksud untuk menolak al-Qur’an dan as-Sunnah, semenjak menolak al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung tidak mampu mereka laksanakan. Allahumma subhanaka mimma yaquulun.

 

(bersambung)



[1] Lihat Aqiidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Mafhumuha Khosho’ishuha wa Khoshoishu Ahliha, Syaikh Muhammad bin Ibrohim al-Hamd, cet. II, 1419/1998, Dar Ibnu Khuzaimah, hal. 18; dan at-Tauhid lish Shoffil Awwal al-‘Aali, DR. Sholih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan, hal. 5; Lihat pula kitab-kitab aqidah ahlus sunnah lainnya.

[2] Lihat Nizhomul Islam, Taqiyudin an-Nabhani, cet. VI, 1422/2001, Hizbut Tahrir, hal 11

[3] Lihat Al-Istidlaalu bizh Zhonni fil Aqoo`id, Terj. “Hadits Ahad dalam Aqidah”, Fathi Muhammad Salim, cet. I, 2001, Penerbil al-Izzah, hal. 131.

[4] Lihat al-Manhajus Salafi ‘indal Albani, Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim, terj. “Albani dan Manhaj Salaf”, cet. I, 2003, Najla Press, hal. 39.

[5] Lihat Al-Adab asy-Syafi’iy karya Ibnu Abi Hatim, hal. 235, sebagaimana di dalam Hujajul Aslaaf fi Bayaanial-Farqi baina Masa`ilil Ijtihad wa Masa`ilil Khilaaf karya Syaikh Fauzi al-Bahraini (download dari http://www.sahab.org/

[6] Idem, hal. 40-43.

[7] Dikeluarkan oleh Bukhori dalam Shahih-nya (VI/hal. 2003) dan Muslim dalam Shahih-nya (II/hal. 1028) dari jalan az-Zuhri, dari Hasan dan Abdullah keduanya putera Muhammad bin ‘Ali dari ayahnya. Lihat Hujajul Aslaaf fi Bayaani al-Farqi baina Masa`ilil Ijtihad wa Masa`ilil Khilaaf karya Syaikh Fauzi al-Bahraini (download dari http://www.sahab.org/

[8] Lihat Hujajul Aslaaf fi Bayaani al-Farqi baina Masa`ilil Ijtihad wa Masa`ilil Khilaaf karya Syaikh Fauzi al-Bahraini (download dari http://www.sahab.org/

[9] Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih-nya (IV/hal. 12), an-Nasa`i dalam As-Sunan al-Kubro (I/hal 203) dan Ibnu Majah di dalam Sunan-nya (I/hal. 198) dari jalan Abu Zubair dari Ubaid. Lihat Hujajul Aslaaf fi Bayaani al-Farqi baina Masa`ilil Ijtihad wa Masa`ilil Khilaaf karya Syaikh Fauzi al-Bahraini (download dari http://www.sahab.org/

[10] Dikeluarkan oleh Bukhori (XII/hal. 17) secara ringkas, Abu Dawud dalam Sunan-nya (III/ hal. 312), an-Nasa`i dalam Sunanul Kubro (IV/hal. 70), at-Turmudzi dalam Sunan-nya (IV/hal 415), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/ hal 909) dan Ahmad dalam al-Musnad (I/hal. 389) dengan beberapa jalan dari Abu Qois dan al-Hudzail. Lihat Hujajul Aslaaf fi Bayaani al-Farqi baina Masa`ilil Ijtihad wa Masa`ilil Khilaaf karya Syaikh Fauzi al-Bahraini (download dari http://www.sahab.org/

[11] Fatawa asy-Syaikh al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa al-Ulama’, Syaikh Ukasyah Abdul Mannan ‘Uthaibi, terj. “Fatwa-Fatwa Syaikh Albani”, cet. I, Januari 2003, Pustaka Azzam, hal. 35.

[12] Tafsir Bayanil al-Qur'an karya Syaikh at-Tahanuwi sebagaimana termaktub di dalam Hukmud Dien fil Liha wat Tadkhin, Syaikh Ali Hasan al-Halabi, cet. III, 1410, Al-Maktabah Al-Islamiyyah, hal. 21.

[13] Lihat Irsyaadul Fuhul, al-Imam asy-Syaukani, hal. 101-105; Tafsirun Nushush fil Fiqhil Islami, DR. Muhammad Adib Sholih, Juz II, hal. 264-265; dan Mudzakkiroth Ushul Fiqh, al-Imam asy-Syinqithi, hal. 191-192; sebagaimana di dalam Hukmud Dien fil Liha wat Tadkhin, Syaikh Ali Hasan al-Halabi, cet. III, 1410, Al-Maktabah Al-Islamiyyah, hal. 22.

[14] Pada hari Rabu malam saya mendengar kajian di Paltalk di room ‘liva salafee duroos’ mulai dari jam 12.00-01.30 malam. Pada sekitar jam 2 malam, saya melihat ada sebuah room yang bernama “al-Ghurobaa” Live Lecture Ahli Sunnati wal Jama’ati with sheikh Omar Bakri Muhammad from UK, Luton. Saya penasaran, karena setahu ana bahwa Umar Bakri inilah diambil ucapannya oleh Lazuardi al-Hizbi dan mengapa roomnya dia mengklaim sebagai ahlus sunnah dan ghuroba’. Akhirnya saya masuk ke Kajian live dari room (paltalk) ini yang menampilkan rojul yang bernama Omar Bakri Mohammed. Akhirnya saya putuskan untuk mendengarkan kajian yang berlangsung saat itu. Subhanallah, saya terperangah ketika mendengar kajiannya. Dia mengaku di dalam kajiannya sebagai Ahlus Sunnah dan Salafiyun. Dia membantah beberapa ahlul bid’ah di dalam muhadhorohnya. Kemudian saya putuskan untuk bertanya kepada ikhwan yang menjadi moderator (@dmin) di room tersebut yang bernama ‘Abu Luqman’, dan saya tanyakan kepadanya :

Abu Salma : Assalamu’alaykum

Abu Luqman : WAALIKUM SELAM WW

Abu Salma : Min fadhlikum ya akhee, uriidu an as`alukum (Permisi, saya ingin tanya pada antum)

Abu Luqman : yes…

Abu Salma : Man yatakallamu al’aan?? (Siapa yang berbicara sekarang)

Abu Luqman : Sheikh Omar Bakri Mohammed as-Salifee

Abu Salma : as-Salafee??? Hal huwa salafee?? Adhunnuhu huwa min Hizbit Tahrir (Salafi? Apakah dia salafi? Aku kira dia dari HT)

Abu Salma : a’nii al-Muhajiroun (maksud saya muhajirun)

Abu Luqman : Laa, huwa laysa min Hizbit Tahreer walaa Muhajiroun. He was. but he left his last stance. HT is from the mutazilite (Tidak, dia bukan dari HT. Dia dulu memang. Tapi dia meninggalkan pendapat pertamanya ini. HT termasuk mu’tazilah)

Abu Luqman : rasionalist…

Abu Salma : Subhanallah, since when ya akhee? (Subhanallah, semenjak kapan akhi?)

Abu Luqman : Since a few years ago… I think in 1996 (Semenjak beberapa tahun lalu.. aku rasa sejak 1996)

Abu Salma : Because some shabab HT in my country take his sayings that reject khobar ahad in aquidah case (karena beberapa syabab HT di negaraku mengambil ucapannya yang menolak khobar ahad dalam masalah akidah)

Abu Luqman : and then Allah guide him to be a salifee (Kemudian Allah menunjukinya sehingga menjadi salafi)

Abu Luqman : What country? (negara apa)

Abu Luqman : No!!! that’s not true… it was his last stance. And anyone who takes his last stance then he’s wrong!!! Sheikh doesn’t deny khobar ahad in aquidah.. HT does, and this is why sheikh called them as mutazilite. (Tidak itu tidak benar… ini adalah pendapatnya yang dulu! Syekh tidak menolak khobar ahad di dalam perkara akidah, tapi HT yang menolaknya. Oleh sebab itulah syekh menyebut mereka sebagai Mu’tazilah)

Abu Salma : Indonesia

Abu Luqman : Masha Allah. How bout Da’awah there? (Masya Allah, bagaimana dakwah di sana)

Abu Salma : Alhamdulillah, not as much as HT… (Alhamdulillah tidak sebanyak HT)

Abu Luqman : Hm… HT are many there? Then this is terrible. (HT banyak di sana, jadi ini adalah suatu musibah)

Abu Luqman : U can read bout HT in http://htexposed.com (Kamu dapat baca tentang HT di htexposed)

Abu Salma : Yes, I’ve read it. Do u know Abuzzubair?? (ya, aku sudah membacanya. Kamu kenal Abu Zubair?)

Abu Luqman : Abuzzubair. U mean Abuzzubair the contributor of htexposed?? (Abu Zubair? Maksudmu Abu zubair kontributor htexposed?)

Abu Salma : yes

Abu Luqman : I don’t actually know him. But he’s from islamic awakening (Aku tidak begitu mengetahuinya, tapi yang kuketahui dia dari Islamic Awakening)

Abu Salma : Na’am, Islamic Awakening.

Abu Luqman : Islamic Awakening is murjee’ (Islamic Awakening itu Murji’ah)

Abu Salma : ??

Abu Luqman : They are murjee’.

Abu Salma : How come??? (Koq bisa?)

Abu Luqman : Yes, becoz they take the sayings of murjee’ of this era, like Safar Hiwali. (Ya karena mereka mengambil ucapan murji’ah zaman ini, seperti Safar Hawali)

Abu Salma : Safar Hiwali is a Murjee’?? isn’t he wrote Dhohirotul Irja’ (Safar Hawali murji’ah?? Dia kan menulis Zhohirotul Irja’)

Abu Luqman : Yes, becoz he didn’t make takfeer to his mamlakah (Ya karena dia tidak mengkafirkan kerajaannya)

Abu Salma : Mamlakah Su’udiyah (Kerajaan Saudi)

Abu Luqman : Yes. Beladu Thoghut. (Ya negeri thoghut)

Abu Salma : What the stance of Sheikh Omar Bakri to Saudi Scholars like Ibn Baz?? (Apakah pendapat syaikh Umar Bakri terhadap ulama saudi seperti Ibnu Bazz?)

Abu Luqman : Ibn Bazz is kaafir murtad!!!

Abu Salma : Subhanallahu. Kaafir?? Murtad?? (kaget)

Abu Luqman : yes, becoz he defends Fahd the thoghut. He become muftee for thoghut. (Ya, karena dia membela Fahd sang Thoghut, dan dia mau jadi mufti untuk thogut)

Abu Salma : (penasaran) are Ibn Uthaimen and Albanee is also kaafir?? (Apakah Ibnu Utsaimin dan Albani juga kafir?)

Abu Luqman : No, they are murjee’ (tidak namun mereka murji’ah)

Abu Salma : So who the scholars beside Omar Bakri?? (lalu sapa ulama selain Umar Bakri)

Abu Luqman : Many akhee… Alee Hudair, Naser Fahd, Neser Ulwaan, Imam Usamah, Aiman Zawaher, Abu Muhamad Maqdese

Abu Salma : Hm… I think they don’t make takfeer to Ibni Bazz (Kupikir mereka tidak mengkafirkan Ibnu Bazz)

Abu Luqman : Yes, takfeer is ijtihaad (ya takfir itu ijtihad)

Abu Luqman : that may differ from one to another (Yang dapat berbeda antara satu dengan lainnya)

Abu Salma : Hm… how do u suppose if al-Maqdese yukaffir Omar Bakri?? (bagaimana menurutmu kalo seandainya al-Maqdisy mengkafirkan Umar Bakri)??

Abu Luqman : then this is ijtihaad (ya ini adalah ijtihad)

Abu Salma : How about Muhammad ibn Abdul Wahab, is he salafee? (Bagaimana dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, apakah dia salafi?)

Abu Luqman : He’s imaam ahl sunnati. Yes he’s pure salifee. (Dia adalah imam Ahlus Sunnah. Ya ia adalah Salafi murni)

Abu Salma : How about his grandsons, like Abdul Azeez Al Sheikh (Bagaimana dengan anak-anak cucunya, seperti Abdul Aziz Alu Syaikh?)

Abu Luqman : He’s the defender of thoghut. Hypocrit. Zindiq (Dia adalah pembela thoghut, munafik, zindik)

Abu Salma : (terperangah) Subhanallah… how about sholih Fauzan al-Fauzan, Shalih Al Shaikh (Subhanallah, bagaimana dengan Sholih Fauzan dan Sholih Alu Syaikh?)

Abu Luqman : They all the defenders of thoghut. (Mereka semua pembela thogut)

Abu Salma : Kaafir?

Abu Luqman : No. the kaafir one is Ibn Baz and Qordowi (Yang kafir itu Ibnu Baz dan Qordhowi)

Abu Salma : DR. Yusuf Qordhowi?? Why?

Abu Luqman : he’s kaafir.

Abu Salma : why?

Abu Luqman : Are u ikhwanee? (Apakah kamu ini ikhwani?)

Abu Salma : No, I’m salafees.

Abu Luqman : Ok

Abu Luqman : he says music is halaal (dia mengatakan kalau musik itu halal)

Abu Salma : ??? (kaget)

Abu Luqman : he says that moslems are not differ with jews and christian (dia mengatakan kalo muslim tidak beda dengan yahudi dan kristen)

Abu Salma : Hm… how about al-Banna??

Abu Luqman : He’s shufite mubtadee (dia sufi ahlul bid’ah)

Abu Salma : an-Nabhani??

Abu Luqman : He’s asharite mutazilite rasionalist (doa asy’ari mu’tazilah rasionalis)

Abu Salma : This lecture is live? (Kajian in langsung??)

Abu Luqman : Yes, from Luton

Abu Salma : Luton. Do u know the Masjid Ghurobaa?? (Apakah kamu tahu masjid Ghuroba?)

Abu Luqman : Yes, they are murjee’ (Ya mereka adalah murji’ah)

Abu Luqman : He prohibit sheikh to pray there (mereka melarang syaikh sholat di sana)

Abu Luqman : O akhee, it’s QA session now. Maybe you want to ask to sheikh. I will take ur question to him. (Akhi, sekarang sesi tanya jawab. Mungkin kamu mau tanya kepada syaikh. Aku akan memberikan pertanyaanmu kepada syaikh)

Terus, ana kembali ke main room, dan saya bertanya kepada Umar Bakri :

“dear Omar Bakri, some shabaab Hizbit Tahreer in my country (Indonesia) take ur sayings and article from Clara OBM rejecting khobar ahad in aquidah. What do you say about this? Secondly, is it true that you make justification that Shaikh Ibnu Bazz rahimahullahu is kaafir?? Shukron” (kepada Umar Bakri, beberapa syabab HT di negaraku Indoensia membawakan pendapat dan artikelmu yang menolak khobar ahad di dalam perkara aqidah, bagaiamana tanggapanmu? Kedua, apakah benar anda mengkafirkan Ibnu Bazz?”

Kemudian, setelah pertanyaan saya disodorkan, dia menjawab yang kurang lebih poin-poinnya sebagai berikut (tanda dalam kurung adalah komentar saya) :

1.        Menolak hadits ahad dalam masalah akidah adalah pendapat saya terdahulu, kemudian Allah memberi petunjuk kepada saya. (Sayangnya dirimu jatuh dari lubang kesesatan masuk ke lubang kesesatan yang lebih membinasakan)

2.        Barangsiapa menolak khobar ahad dalam masalah ahkam dan akidah maka ia telah kafir. (Umar Bakri mengkafirkan mu’tazilah, euy)

3.        Barangsiapa menolak khobar ahad dalam masalah akidah saja maka ia sesat pengikut ahlu bid’ah (dan dirimu lebih sesat kebid’ahannya wahai Umar Bakri)

4.        HT adalah mu’tazilah. (Dan dirimu adalah takfiri khowarij)

5.        Sebagian orang di dalam HT adalah kafir, karena menghalalkan musik, maksiat, dan berkasih sayang dengan syi’ah rofidhoh. (Dirimu adalah khowarij tukang pengkafir yang gegabah dan bodoh.)

6.        Saya meninggalkan HT semenjak 9 tahun yang lalu. (Namun dirimu masuk ke khowarij yang lebih sesat)

7.        Saya sekarang adalah ahlu sunnah, pengikut dakwah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahhab. (Ini adalah klaim dusta semata. Karena Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berlepas diri dari dakwahmu)

8.        Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka dia kafir. (kaidah yang difahami secara gegabah dan serampangan)

9.        Ibnu Baz adalah kafir karena beliau berwala’ dengan Fahd sang thoghut. Saya sudah beratus-ratus kali ditanya hal ini (semoga Allah melindungi Imam Ibnu Bazz dari jeleknya lisan Umar Bakri ini, semoga tuduhannya kembali kepada dirinya. Celaka engkau wahai Umar Bakri!!!)

10.     Ulama saudi sekarang adalah ulama thoghut (Semoga para ulama saudi yang berpegang dengan aqidah dan manhaj yang benar diselamatkan oleh Allah dari fitnah manusia sesat ini. Umar Bakri ini lebih sesat dari HT sekarang)

Demikianlah secara tidak sengaja saya mengikuti muhadhoroh (lecture) dari si Dajjal khowarij ini, si Dzul Khuwaisiroh al-Birithoni (dulunya tinggal di Damaskus sekarang hijrah ke negeri kafir, merasa aman tinggal di negeri kafir dan mengkafirkan secara sporadis negeri kaum muslimin). Ini menunjukkan bagaimana gegabahnya Lazuardi al-Jawi dan mudzabdzab di dalam menukil.

Bagi yang tidak mempercayai apa yang saya nukil ini, saya bersedia untuk menunjukkan room ini yang live pada waktu Indonesia Barat jam 2 malam, dan kajian ini live hampir setiap hari dari Luton. (Category : Islam, Room : al-Ghurobaa (Live Lecture Ahl Sunnati wal Jamaati Sheikh Omar Bakri Mohammed from Luton UK). Bagi Lazuardi dan Mudzabdzab, bila anda ingin bukti lebih nyata, anda bisa menghubungi saya privat dan akan saya tunjukkan kebenaran ucapan saya ini.

Insya Allah, saya akan membuka kedok Umar Bakri ini dari buku Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Sa’id ad-Dimasyqiyah yang menelanjangi pemikiran Umar Bakri ketika masih aktif di HT yang berjudul : “Hizbut Tahrir : Munaqosyah Ilmiyyah li ahammi Mabaadi`il Hizbi wa Roddu ‘Ilmiy Mufashshol hawla Khobar al-Waahid” yang diterbitkan oleh Maktabah al-Ghuroba, Istanbul, Turki. Sekaligus membantah ‘Surat Terbuka Bagi Salafiyin’ yang disusun oleh Muhammad Lazuardi al-Malanji, yang berdomisili di Malang, tamatan UNIBRA angkatan ’99. Insya Allah.

[15] Namun aneh bin ajaib. Mudzabdzab ini menukil ucapan al-Imam al-Mubajjal Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu tentang syarat mujtahid yang mereka arahkan kepada ulama ahlul hadits ulama salafiy, sedangkan HT tidak memiliki satupun muhaddits ulung yang dikenal jerih payahnya dalam tahqiqot, ta’liqot maupun takhrijat, bahkan Taqiyudn an-Nabhanni pendiri HT sendiri bukanlah seorang yang ahli hadits, dan tidak ada persyaratan yang disebutkan oleh Imam Ahmad terdapat dalam diri beliau. Namun HT dengan bangganya menyebut an-Nabhani ini sebagai Mujtahid Mutlak. Wallahul Muwaafiq.

[16] Sekali lagi mudzabdzab ini menunjukkan keanehan dan kontradiksi yang nyata. Bagaimana mungkin dia menukil ucapan di atas sedangkan di sisi lain, dia menukil ucapan ahlu bid’ah pembenci ahlus sunnah semacam Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, dimana al-Mudzabdzab ini mengambil ucapan as-Saqqof murid al-Kautsari yang menghina Imam Ahmad, dia juga menukil bantahan-bantahan terhadap ahlus sunnah salafiyun dari situs ahlu bid’ah (www.mas’ud.co.uk) yang mana di dalamnya Hamim Nuh Keller menuduh Imam Ahmad dan puteranya mujassim. Haihata haihata…

[17] Lihat al-Jamaa’at al-Islamiyyah fi Dhou’il Kitaabi was Sunnah, Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, terj. “Jama’ah-Jama’ah Islam”, jilid II, cet. I, Oktober 2004, Pustaka Imam Bukhori hal. 224.

[18] Muttafaq ‘alahi : Bukhori (I/19-20) dan Muslim (I/37).

[19] Diriwayatkan oleh Ahmad (V/185), juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan lafazh yang mirip.

[20] Lihat al-Jamaa’at al-Islamiyyah fi Dhou’il Kitaabi was Sunnah, Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, terj. “Jama’ah-Jama’ah Islam”, jilid II, cet. I, Oktober 2004, Pustaka Imam Bukhori hal. 229

[21] Lihat Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Imam al-Lalika`i (I/157-165); sebagaimana di dalam ‘Jama’ah-Jama’ah Islam”, hal. 230.

[22] Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci silakan lihat kitab Asas at-Taqdis karya ar-Raazi (hal. 168-173); asy-Syaamil karya al-Juwaini (hal. 561); dan al-Mawaaqif (hal. 39-40). Saya berkata : mereka semua adalah pembesar Asy’ariyah yang menjelaskan tentang madzhab mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang wahyu ketika terjadi pertentangan.

[23] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu Abdil Bar, Juz II hal. 96; lihat “Jama’ah-Jama’ah Islamiyyah”, hal. 230.

[24] Kitabus Sunnah (hal. 86, Dzail Radd ‘ala Zanadiqoh wal Jahmiyah); sebagaimana dalam “Jama’ah-Jama’ah Islamiyyah” jilid II, hal. 231-232.

[25] Ucapan an-Nabhani di dalam ad-Dusiyah hal. 26.

[26] Ta’wil Mukhtalafil Hadits hal. 14 sebagaimana di dalam Ilmu Ushulil Bida’ Dirosah Takmiliyah Muhimmah fi ‘Ilmi Ushulil Fiqhi, Syaikh Ali Hasan bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, cet. II, Dar ar-Royah, Riyadh, hal. 41

[27] Lihat Tahdzib Syarh ath-Thohawiyah (terj.), Abdul Akhir Hammad al-Ghunami, Pustaka at-Tibyan, jilid II, cet. III, Januari 2001, hal. 113.

[28] Idem, hal. 113.

[29] Lihat al-Jamaa’at al-Islamiyyah fi Dhou’il Kitaabi was Sunnah, Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, terj. “Jama’ah-Jama’ah Islam”, jilid II, cet. I, Oktober 2004, Pustaka Imam Bukhori hal. 245

Hosted by www.Geocities.ws

Hosted by www.Geocities.ws

1