Sikap Ahlus Sunnah
Terhadap Seorang Ulama Apabila Ia Tersalah ia Diberi ?uzur Tampa Dibid?ahkan
Dan Tidak Pula Dijauhi
?
Tidak seorangpun yang ma?sum dari
kesalahan selain Rasulullah r dan tidak seorang ulama yang tidak
tersalah, siapa yang tersalah tidak boleh diikuti kesalahannya, namun
kesalahannya tersebut tidak boleh dijadikan sebagai batu loncatan untuk
mencelanya dan menjauhkan orang lain darinya, tetapi kesalahannya yang sedikit
tertutup oleh kebenarannya yang banyak, barangsiapa yang telah meninggal
diantara ulama tersebut dianjurkan untuk mengambil faedah dari ilmu mereka
bersamaan dengan itu perlu kehati-hatian dari mengikuti kesalahannya, serta
mendo?akannya semoga Allah menmgampuni dan merahmatinya, dan barangsiapa yang
masih hidup baik ia seorang ulama atau sebagai seorang penuntut ilmu, ia
diberitahu tentang kesalahannya dengan ramah dan berlemah lembut serta
mencintai bagaimana supaya ia selamat dari kesalahan dan kembali kepada
kebenaran.
Dan diantara sebahagian ulama yang
terdahulu yang disisi mereka ada sedikit kekeliruan? dalam sebahagian persoalan aqidah, namun para
ulama dan penuntut ilmu tidak pernah merasa tidak butuh terhadap ilmu mereka,
bahkan buku-buku karangan mereka merupakan rujukan-rujukan yang amat penting
bagi orang-orang yang sibuk dalam menggali ilmu syar?i, seperti Imam Al
Bayhaqi, Imam An Nawawy, dan Ibnu hajar al ?Asqolany.
Adapun tentang Imam Ahmad bin Husain
Abu Bakar Al Bayhaqi, berkata Az Zahaby dalam kitabnya As Siyar (18/163)
dan halaman berikutnya : ?Imam Al Bayhaqi adalah seorang hafiz (penghafal),
seorang ulama terkemuka, seorang yang dipercaya, seorang yang faqih (paham),
syeikh Islam?. Imam Az Zahaby menambahkan lagi: ?Ia seorang yang diberi berkat
dalam ilmunya, dan menulis berbagai karangan yang bermanfa?at?. Imam Az Zahabi
berkata lagi: ?Ia (Imam Al Bayhaqi) berdiam diri di desanya dan menghabiskan
umurnya dengan menuntut ilmu dan mengarang, ia menulis kitab As Sunan Al
Kubro dalam sepuluh jilid, tiada bagi seorangpun yang semisalnya?, Imam Az
Zahaby juga menyebutkan berbagai karangannya yang begitu banyak, kitabnya As
Sunan Al Kubro sudah dicetak dalam sepuluh jilid yang cukup besar, Imam Az
Zahabi menukil dari Al Hafiz Abduqhaafir bin Ismail tentang perkataannya
terhadap Imam Al Bayhaqi: ?karangan Imam Al Bayhaqi mendekati seribu jilid, ini
adalah sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orangpun, ia menggabung antara
ilmu hadits dan fiqih, serta menerangkan kecacatan sebuah hadits, dan bagaimana
menggabungkan pemahaman antara dua hadits yang kontrafersi?.
Imam Az Zahaby memujinya lagi:
?karya-karya Imam Al Bayhaqi memiliki ukuran yang agung, penuh dengan
faedah-faedah ilmiah, amat sedikit orang yang mampu mengarang sebagus karya-karya
Imam Al Bayhaqi, maka sepantasnya bagi seorang ulama untuk memiliki karya-karya
tersebut terutama sekali AsSunan Al Kubro.?
Adapun Imam Yahya bin Syaraf An
Nawawy, telah berkata Imam Az Zahaby dalam kitabnya Tazdkiratul Hufaazh (4/259):
?Ia adalah Imam, Al Hafiz Al Auhad (penghafal yang ulung), Al Qudwah, Syeikhul
Islam, lambang kewalian, ?memiliki berbagai karangan yang bermanfa?at?, Imam Az
Zahabi berkata lagi: ?bersamaan dengan itu ia mencurahkan segala kemampuan
dirinya dalam beramal sholeh dan seorang yang wara?, serta selalu merasa takut
pada Allah, dan selalu membersihkan dirinya dari berbagai kotoran dosa, dan
menahan dirinya dari berbagai keinginannya, ia seorang penghafal hadits, dan
ahli dalam segala bidang hadits dan para perawinya, serta mengetahui mana yang
shohih dan mana yang lemah, ia seorang terkemuka dalam mengetahui mazhab
syafi?ie?.
Berkata Ibnu Katsir dalam kitabnya Al
Bidayah wan Nihayah (17/540): ?Kemudian Imam An Nawawy menghabiskan waktu
dengan menulis sehingga ia telah mengarang karya yang cukup banyak, diantaranya
ada yang sempurna dan diantaranya ada yang belum selesai, diantara karangannya
yang sempurna adalah; Syarah shohih Imam Muslim, Ar Raudhoh, Al Minhaaj,
Riyadhus sholihiin, Al Azkaar, At Tibyaan, Tahriir At Tanbiih watt Tashhihi, Tahziib Al Asma? wal
Lugqaat, dan At Thobaqaat dan lain-lainnya, dan
diantara karyanya yang belum selesai -kalau sekiranya selesai tidak ada
tandingan baginya dalam pembahasannya- seperti Syarah Al Muhazzab yang beliau
beri judul Al Majmu?? yang hanya
sampai pada pembahasan kitab riba, ia menulisnya dengan sanga baik dan mantab,
menuangkan berbagai faedah dan sangat bagus dalam memilih dan memilah suatu
pendapat, ia meredaksi hukum yang terdapat dalam mazhab dan lainnya serta
mengkoreksi hadits sebagaimana mestinya, dan menerangkan kata-kata yang qharib
(asing), ilmu bahasa serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan
kecuali dalamnya, saya belum menemukan kitab fiqih yang lebih bagus darinya,
sekalipun ia masih perlunya penambahan dan penyempurnaan terhadapnya?.
Bersamaan dengan luas dan bagusnya
karya-karyanya, Ia (Imam An Nawawy) tidak memiliki usia yang cukup panjang,
umur beliau hanya sekitar empat puluh lima tahun, ia lahir pada tahun (631 H)
dan meninggal pada tahun (676 H).
Adapun Al Hafiz Ahmad bin Ali bin
hajar Al ?Asqolany, ia adalah seorang imam yang terkenal dengan karangannya
yang cukup banyak, yang paling terpenting adalah Syarah shohih Al Bukhary yang
merupakan sebagai rujukan penting bagi para ulama, dan diantaranya lagi; Al
Ishobah, Tahziibut Tahziib, At Taqriib, Lisaanul Mizaan, ta?jiilul Manfa?ah dan
Buluqhul Maraam dan lain-lainnya.
Dan diantara ulama yang hidup pada
sekarang adalah Syeikh, Al ?alamah, Al Muhaddits, Muhammad Nashiruddin Al
Abany, yang saya belum mengetahui ada orang yang sebanding dengan beliau pada
sekarang ini dalam memelihara hadits dan mengadakan penelitian yang luas
dalamnya, walaupun demikian halnya beliau pun tak terlepas dari berbagai
kesalahan seperti dalam masalah hijab dan menetapkan bahwa menutup muka tidak
wajib bagi wanita, tapi hanya disunahkan (mustahab) walau sekalipun apa yang
beliau katakan tersebut adalah benar maka sesungguhnya hal tersebut diangggap
dari kebenaran yang semestinya tidak diekspos, karena berakibat akan berpegangnya
sebahagaian wanita yang suka buka-bukaan terhadap pendapat tersebut, begitu
juga pendapat beliau dalam sifat sholat nabi r: Bahwa meletakkan tangan diatas
dada setelah bangkit dari rukuk adalah bid?ah yang sesat, sedang hal tersebut
adalah masalah khilafiyah, begitu juga pendapatnya dalam kitabnya silsilah
dho?ifah hadits no (2355): Bahwa siapa yang tidah memotong jenggotnya yang
lebih dari kepalan adalah bid?ah idhofiah, begitu juga pendapatnya: Tentang
haramnya memakai perhiasan emas bagi wanita, sekalipun saya menentang berbagai
pendapatnya tersebut maka saya ataupun orang selain saya tidak pernah merasa
tidak butuh terhadap karya-karya beliau serta menimba faedah dari karyanya
tersebut.
Betapa indahnya perkataan Imam
Malik: ?Setiap orang berhak untuk diterima atau ditolak pendapatnya kecuali
penghuni kuburan ini dan ia menunjuk kuburan Nabi r?.
Inilah berbagai nukilan dari
sekelompok Ahli ilmu dalam menentukan dan menjelaskan tentang tertutupnya
kesalahan seorang ulama dalam kebenarannya yang banyak.
Berkata Sa?id bin Musayyib (wafat 93
H): ?Tiada seorang ulamapun, tidak pula seorang yang mulia dan seorang yang
memiliki keutamaan kecuali ia memiliki kelemahan (aib) tetapi barangsiapa yang
keutamaannya jauh lebih banyak dibanding kekurangannya, maka kekurangannya
hilang oleh keutamaannya, sebagaimana orang yang lebih dominan kekurangannya
hilang keutamaannya?.
Berkata lainnya: ?Tidak seorang
ulamapun yang selamat dari kesalahan, barangsiapa yang kesalahannya sedikit dan
kebenarannya banyak maka ia adalah seorang yang ?alim, dan barangsiapa
kebenarannya sedikit dan kesalahannya banyak maka ia adalah jahil (tolol)?.
(lihat Jami?ul ?ulum wal Hikam karangan Ibnu Rajab (2/48).
Berkata Abdullah bin Mubarak (wafat
181 H): ?Apabila kebaikan seseorang lebih dominan dari kejelekannya tidaklah
disebut kejelekannya, dan apabila kejelekan seseorang lebih dominan dari
kebaikannya tidaklah disebut kebaikkannya?. (lihat siar A?laam An
Nubala?? karangan Az Zahaby (8/352).
Berkata Imam Ahmad (wafat 241 H) :
?Tidak seorangpun yang melewti jembatan dari negeri Khurasan seperti Ishaq bin
Rahuyah, sekalipun ia berbeda pendapat dengan kita dalam beberapa hal,
sesungguhnya para ulama senantiasa sebagian mereka menyalahi pendapat bagian
yang lainnya?. (lihat siar A?laam An Nubala? ?(11/371).??
???
Berkata Abu Hatim bin Hibbaan (wafat 354 H) : ?Abdulmalik
bin Abi Sulaiman adalah seorang pilihan Ahli Kuffah dan diantara penghafalnya,
kebanyakan orang yang hafal dan merawikan hadits dari hafalannya kemungkinan
ada salahnya, bukanlah suatu keadilan ditinggalkannya hadits seorang syeikh
yang telah kukuh keadilannya dengan sebab
adanya kesalahan dalam riwayatnya, jika kita menempuh cara seperti ini
(membuang setiap riwayat orang yang tersalah) melazimkan kita untuk menolak
hadits Az Zuhry, Ibnu Juraij,???????????
As Staury, dan Syu?bah, karena mereka adalah para penghafal yang matang,
sebab mereka juga meriwayatkan hadits dari hafalan mereka juga, sedangkan
mereka bukanlah seorang yang ma?sum sehingga mereka tidak pernah keliru dalam
riwayat mereka, tetapi untuk lebih berhati-hati dan yang utama dalam hal ini
adalah diterimanya apa yang diriwayatkan oleh seorang yang telah kukuh
keadilannya dari berbagai riwayat, dan meninggalkan sesuatu yang telah jelas
bahwa ia keliru dalamnya selama hal tersebut tidak melampaui batas darinya
sehingga mengalahkan kebenarannya, jika hal demikian terjadi padanya maka ia
berhak untuk ditinggalkan seketika itu?. (lihat Ats Tsiqaat (7/97-98).
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taymiah (wafat 728 H) :
?Diantara hal yang perlu diketahui tentang berbagai golongan yang berintisab
terhadap figur tertentu dalam usuluddin dan ilmu kalam mereka
bertingkat-tingkat, diantara mereka ada yang menyalahi Ahlus Sunnah dalam
pokok-pokok yang mendasar, dan diantara mereka ada menyalahi dalam persoalan
yang kecil, barangsiapa yang membantah terhadap yang lainnya dari berbagai
golong yang melenceng jauh dari Sunnah, maka ia dipuji terhadap bantahannya
atas kebatilan dan ucapannya yang sesuai dengan kebenaran, tetapi ia telah
melampaui batas keadilan ketika ia mengingkari sebahagian kebenaran dan
mengatakan sebahagian kebatilan, maka ia telah menolak bid?ah yang besar dengan
bid?ah yang lebih kecil darinya, dan menolak kebatilan dengan kebatilan yang
lebih ringan darinya, inilah keadaan kebanyakan Ahli kalam yang berintisab
kepada Ahlus Sunnah wal Jam?ah.
Mereka yang seperti demikian halnya selama mereka tidak
menjadikan bid?ah tersebut sebagai pendapat yang menyingkirkan mereka dari
jama?ah kaum muslim yaitu menjadikannya sebagai termoter dalam memilih teman
dan memilah lawan, maka hal tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan, Allah
Subhanah mengampuni bagi orang-orang yang beriman terhadap kesalahan mereka
seperti demikian.
Karena hal seperti ini banyak terjadi dikalangan para
ulama salaf, berbagai pendapat mereka yang mereka katakan melalui berijtihat,
sedangkan pendapat tersebut bertentangan dengan apa yang sudah tetap dalam Al
Quran dan Sunnah, lain halnya dengan orang yang menjadikannya sebagai pola ukur
dalam memilih teman dan memilah lawan, serta memecah belah antara sesama kaum
muslim, atau mengkafirkan dan memfasikkah orang yang tidak setuju dengan
berbagai pendapat dan ijtihadnya, bahkan menghalalkan darah orang yang tidak
setuju dengan pendapatnya, mereka tersebut adalah termasuk kelompok suka
memecah belah dan bertengkar. (lihat majmu? fatawa; 3/348-349).
Dan ia berkata lagi (19/191-192);
?Kebanyakan dari para mujtahid ulama salaf dan khalaf (terakhir) telah berkata
dan mengerjakan perbuatan yang termasuk bid?ah tampa mereka sadari bahwa
perbuatan tersebut adalah bid?ah, adakalanya karena mereka berpedoman pada
hadits dhoif yang menurut perkiraan mereka shohih, dan adakalanya karena salah
dalam memahami maksud sebuah ayat, atau karena ijtihat mereka sedangkan? dalam masalah tersebut ada nash (dalil) yang
menjelaskannya namun nash tersebut tidak sampai kepadanya, apabila seorang
melakukan ketaqwaan kepada Allah sebatas kesanggupannya maka ia telah termasuk
dalam firman Allah:
{رَبَّنَا
لاَ
تُؤَاخِذْنَا
إِن
نَّسِينَا أَوْ
أَخْطَأْنَا} ???
?Ya tuhan kami
janganlah engkau azab kami jika kami lupa dan tersalah?. Dalam shohih Bukhary
bahwa Allah menjawab: ?Sungguh Aku telah memperkenankannya?.
Berkata Imam Az Zahaby (wafat 748 H) : ?Sesungguhnya
seorang ulama besar apabila kebenarannya cukup banyak, dan diketahui
kesungguhannya dalam mencari kebenaran kemudian ia seorang yang memiliki ilmu
yang luas, cerdas, sholeh, wara? dan mengikuti sunnah, kesalahannya diampuni
maka kita tidak boleh menyesatkan dan menjatuhkannya, atau kita melupakan segala
kebaikkannya, suatu yang sudah diakui bahwa kita dilarang untuk mencontoh
bid?ah dan kesalahannya tersebut, kita mengharapkan semoga ia bertaubat dari kesalahannya tersebut?. (lihat Siyar?
A?lam An Nubalak: 5/271).
Berkata lagi Imam Az Zahaby: ?Jika setiap tersalahnya
seorang ulama dalam berijtihad dalam salah satu masalah yang mana kesalahan
tersebut dalam hal yang bisa dima?afkan lalu kita bersama-sama membid?ahkan dan
menjauhinya tidak seorangpun yang akan bisa selamat bersama kita sekalipun Ibnu
Naashir atau Ibnu Mandah atau ulama yang lebih tua dari mereka
berdua, hanya Allah yang mampu menunjuki makhluk kepada kebenaran, Ia-lah yang
paling kasih diatas segala makhluk, maka kita berselindung dengan Allah dari
mengikuti hawa nafsu dan kekasaran dalam bertutur kata?. (lihat As Siyar :
14/39-40).
Ia berkata lagi: ?Dan jika setiap siapa saja yang
tersalah dalam ijtihadnya -sekalipun (sudah diketahui) keshohihan imannya dan
konsekwennya ia dalam mengikuti kebenaran-, kita membuang dan membid?ahkannya,
sungguh sangat sedikit sekali dari para ulama yang bisa selamat bersama kita,
semoga Allah merahmati kita semua dengan anugrah dan kemuliannya?. (lihat As
Siyar : 14/376).
Ia berkata lagi: ?Kita mencintai Sunnah dan pengikutnya,
dan kita mencintai seorang ulama yang terdapat padanya sikap mengikuti Sunnah
lagi memiliki sifat-sifat yang terpuji, namun kita tidak menyukai bid?ah yang
dilakukannya akibat penakwilan yang wajar, sesungguhnya yang menjadi I?tibar
adalah dengan banyaknya kebaikannya?.
Berkata Imam Ibnul Qoyyim (wafat 751 H) : ?Mengenal
keutamaan para ulama Islam, kehormatan dan hak-hak mereka serta tingkatan
mereka, bahwa mereka memiliki keutamaan, ilmu dan nasehat untuk Allah dan
Rasulnya, tidaklah memestikan kita untuk menerima segala yang mereka katakan,
bila terdapat dalam fatwa-fatwa mereka dari berbagai masalah yang tersembunyi
diatas mereka apa yang dibawa oleh rasul r lalu mereka berfatwa sesuai dengan ilmu mereka sedangkan
yang benar? adalah sebaliknya, tidaklah
semestinya kita membuang pendapatnya secara keseluruhan atau mengurangi rasa
hormat dan mencela mereka, dua macam tindakan tersebut adalah melenceng dari
keadilan, jalan yang adil adalah diatara keduanya, maka kita tidak
menyalahkannya secara mutlak dan tidak pula mensucikannya dari berbuat salah?,
sampai pada pekataannya: ?Barangsiapa yang memiliki ilmu dalam agama kenyataan
menunjukkan bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan
usaha-usaha yang baik untuk Islam, dia juga seorang yang disegani di
tengah-tengah umat Islam, boleh jadi terdapat padanya kekeliruan dan kesalahan
yang bisa ditolerir bahkan ia diberi pahala karena ijtihadnya, maka ia tidak
boleh diikuti dalam kesalahannya tersebut namun tidak pula dijatuhkan kehomatan
dan kedudukannya dari hati kaum muslim?. (lihat I?laamul Muwaaqi?iin :
3/295).
Berkata Ibnu Rajab Al Hambaly (wafat
795 H) : ?Allah enggan untuk memberikan kema?suman untuk kitab selain kitabNya,
seorang yang adil adalah orang yang mema?afkan kesalahan seseorang yang sedikit
dihapan kebenarannya yang banyak?. (lihat Alqawa?id ,
hal: 3).
***
موقف
أهل السنة من
العالم إذا
أخطأ أنه
يعذر
فلا يبدع ولا
يهجر
ليست العصمة
لأحد بعد رسول
الله صلى الله
عليه وسلم؛
فلا يسلم
عالمٌ من خطأ،
ومن أخطأ لا يُتابع
على خطئه، ولا
يُتخذ ذلك
الخطأ ذريعة إلى
عيبه والتحذير
منه، بل
يُغتفر خطؤه
القليل في
صوابه الكثير،
ومن كان من
هؤلاء
العلماء قد
مضى فيستفاد من
علمه مع الحذر
من متابعته
على الخطأ،
ويدعى له
ويترحم عليه،
ومن كان حياً
سواء كان
عالماً أو
طالب علم
يُنبه على
خطئه برفق
ولين ومحبة
لسلامته من
الخطأ ورجوعه
إلى الصواب.
ومن العلماء
الذين مضوا
وعندهم خلل في
مسائل العقيدة،
ولا يستغني
العلماء
وطلبة العلم
عن علمهم، بل
إن مؤلفاتهم
من المراجع
المهمة للمشتغلين
في العلم،
الأئمة:
البيهقي
والنووي وابن
حجر
العسقلاني.
فأما الإمام
أحمد بن حسين
أبو بكر
البيهقي، فقد
قال فيه
الذهبي في السير
[18/163 وما بعدها]: "
هو الحافظ
العلامة
الثبت الفقيه
شيخ الإسلام
"، وقال: "
وبورك له في
علمه، وصنف
التصانيف
النافعة "،
وقال: " وانقطع
بقريته
مُقبلاً على
الجمع
والتأليف،
فعمل السنن
الكبير في عشر
مجلدات، وليس
لأحد مثله "،
وذكر له كتباً
أخرى كثيرة،
وكتابه (السنن
الكبرى) مطبوع
في عشر مجلدات
كبار، ونقل عن
الحافظ عبد
الغافر بن
إسماعيل
كلاماً قال
فيه: "
وتواليفه
تقارب ألف جزء
مما لم يسبقه إليه
أحد، جمع بين
علم الحديث
والفقه،
وبيان علل
الحديث، ووجه
الجمع بين
الأحاديث " ،
وقال الذهبي
أيضاً: "
فتصانيف
البيهقي عظيمة
القدر، غزيرة
الفوائد، قل
من جود
تواليفه مثل
الإمام أبي
بكر، فينبغي
للعالم أن
يعتني بهؤلاء،
سيما سننه
الكبرى ".
وأما الإمام
يحيى بن شرف
النووي، فقد
قال فيه الذهبي
في تذكرة
الحفاظ [4/259]: "
الإمام
الحافظ الأوحد
القدوة شيخ
الإسلام علم
الأولياء ...
صاحب التصانيف
النافعة "،
وقال: " مع ما
هو عليه من
المجاهدة
بنفسه والعمل
بدقائق الورع
والمراقبة وتصفية
النفس من
الشوائب
ومحقها من
أغراضها، كان
حافظاً
للحديث
وفنونه
ورجاله
وصحيحه وعليله،
رأساً في
معرفة المذهب
".
وقال ابن
كثير في
البداية
والنهاية [17/540]: "
ثم اعتنى
بالتصنيف،
فجمع شيئاًَ
كثيراً، منها
ما أكمله
ومنها ما لم
يكمله، فمما
كمل شرح مسلم
والروضة
والمنهاج
والرياض
والأذكار
والتبيان وتحرير
التنبيه
وتصحيحه
وتهذيب
الأسماء واللغات
وطبقات
الفقهاء وغير
ذلك، ومما لم
يتممه ? ولو
كمل لم يكن له
نظير في بابه ?
شرح المهذب الذي
سماه
المجموع، وصل
فيه إلى كتاب
الربا، فأبدع
فيه وأجاد
وأفاد وأحسن
الانتقاد،
وحرر الفقه
فيه في المذهب
وغيره، وحرر
فيه الحديث
على ما ينبغي،
والغريب
واللغة
وأشياء مهمة لا
توجد إلا فيه ...
ولا أعرف في
كتب الفقه
أحسن منه، على
أنه محتاجٌ
إلى أشياء
كثيرة تزاد
فيه وتضاف
إليه ".
ومع هذه
السعة في
المؤلفات
والإجادة
فيها لم يكن
من المعمرين،
فمدة عمره خمس
وأربعون سنة،
ولد سنة (631هـ)،
وتوفي سنة (676هـ).
وأما الحافظ
أحمد بن علي
بن حجر
العسقلاني، فهو
الإمام
المشهور
بتآليفه
الكثيرة،
وأهمها فتح
الباري شرح
صحيح
البخاري،
الذي هو مرجع
عظيم
للعلماء،
ومنها
الإصابة وتهذيب
التهذيب
وتقريبه
ولسان
الميزان وتعجيل
المنفعة
وبلوغ المرام
وغيرها.
ومن
المعاصرين
الشيخ
العلامة
المحدث ناصر الدين
الألباني، لا
أعلم له
نظيراً في هذا
العصر في
العناية
بالحديث وسعة
الإطلاع فيه،
لم يسلم من
الوقوع في
أمور يعتبرها
الكثيرون
أخطاء منه،
مثل اهتمامه
بمسألة
الحجاب
وتقرير أن ستر
وجه المرأة
ليس بواجب، بل
مستحب، ولو
كان ما قاله
حقاً فإنه
يعتبر من الحق
الذي ينبغي
إخفاؤه، لما ترتب
عليه من
اعتماد بعض
النساء
اللاتي يهوين السفور
عليه، وكذا
قوله في كتاب
صفة صلاة النبي
صلى الله عليه
وسلم: " إن وضع
اليدين على
الصدر بعد
الركوع بدعة
ضلالة " وهي
مسألة خلافية،
وكذا ما ذكره
في السلسلة
الضعيفة (2355) من
أن عدم أخذ ما
زاد على
القبضة من
اللحية من
البدع
الإضافية،
وكذا تحريمه
الذهب المحلق
على النساء،
ومع إنكاري
عليه قوله في
هذه المسائل
فأنا لا
أستغني وأرى
أنه لا يستغني
غيري عن كتبه
والإفادة
منها، وما
أحسن قول الإمام
مالك رحمه
الله: " كل
يؤخذ من قوله
ويرد إلا صاحب
هذا القبر،
ويشير إلى قبر
النبي صلى الله
عليه وسلم ".
وهذه نقول عن
جماعة من أهل
العلم في
تقرير وتوضيح
اغتفار خطأ
العالم في
صوابه الكثير:
قال سعيد بن
المسيب (93هـ): "
ليس من عالم
ولا شريف ولا
ذي فضل إلا
وفيه عيب،
ولكن من كان
فضله أكثر من
نقصه ذهب نقصه
لفضله، كما
أنه من غلب عليه
نقصانه ذهب
فضله. وقال
غيره: لا يسلم
العالم من
الخطأ، فمن
أخطأ قليلاً
وأصاب كثيراً
فهو عالم، ومن
أصاب قليلاً
وأخطأ كثيراً
فهو جاهل ".
جامع بيان
العلم وفضله
لابن عبد البر
[2/48].
وقال عبد
الله بن
المبارك (181هـ): "
إذا غلبت محاسن
الرجل على
مساوئه لم
تذكر
المساوئ،
وإذا غلبت
المساوئ على
المحاسن لم
تذكر المحاسن
". سير أعلام
النبلاء
للذهبي [8/352 ط.
الأولى].
وقال الإمام
أحمد (241هـ): " لا
يعبر الجسر من
خراسان مثل
إسحاق (يعني
ابن راهويه)،
وإن كان يخالفنا
في أشياء؛ فإن
الناس لم يزل
يخالف بعضهم بعضاً
". سير أعلام
النبلاء [11/371].
وقال أبو
حاتم ابن حبان
(354هـ): " كان عبد
الملك ? يعني
ابن أبي
سليمان ? من
خيار أهل
الكوفة،
وحفاظهم،
والغالب على من
يحفظ ويحدث من
حفظه أن يهم،
وليس من
الإنصاف ترك
حديث شيخ ثبتٍ
صحت عدالته
بأوهام يهم في
روايته، ولو
سلكنا هذا
المسلك
للزمنا ترك حديث
الزهري وابن
جريج والثوري
وشعبة؛ لأنهم
أهل حفظ
وإتقان،
وكانوا
يحدثون من
حفظهم، ولم
يكونوا
معصومين حتى
لا يهموا في
الروايات، بل
الاحتياط
والأولى في
مثل هذا قبول
ما يروي الثبت
من الروايات،
وترك ما صح
أنه وهم فيها
ما لم يفحش
ذلك منه حتى
يغلب على
صوابه، فإن كان
كذلك استحق
الترك حينئذ ".
الثقات [7/97-98].
وقال شيخ
الإسلام ابن
تيميه (728هـ): "
ومما ينبغي أن
يعرف أن
الطوائف
المنتسبة إلى
متبوعين في أصول
الدين
والكلام على
درجات، منهم
من يكون قد
خالف السنة في
أصول عظيمة،
ومن من يكون
إنما خالف
السنة في أمور
دقيقة.
ومن يكون قد
رد على غيره
من الطوائف
الذين هم أبعد
عن السنة منه،
فيكون
محموداً فيما
رده من الباطل
وقاله من
الحق، لكن
يكون قد جاوز العدل
في رده بحيث
جحد بعض الحق
وقال بعض الباطل،
فيكون قد رد
بدعة كبيرة
ببدعة أخف
منها، ورد
باطلاً بباطل
أخف منه، وهذه
حال أكثر أهل
الكلام
المنتسبين
إلى السنة
والجماعة.
ومثل هؤلاء
إذا لم يجعلوا
ما ابتدعوه
قولاً يفارقون
به جماعة
المسلمين
يوالون عليه
ويعادون كان
من نوع الخطأ،
والله سبحانه
وتعالى يغفر
للمؤمنين
خطأهم في مثل
ذلك.
ولهذا وقع في
مثل هذا كثيرٌ
من سلف الأمة
وأئمتها لهم
مقالات
قالوها
باجتهاد وهي
تخالف ما ثبت
في الكتاب
والسنة،
بخلاف من والى
موافقه وعادى
مخالفه، وفرق
بين جماعة
المسلمين،
وكفر وفسق
مخالفه دون
موافقه في
مسائل الآراء
والاجتهادات،
واستحل قتال
مخالفه دون
موافقه،
فهولاء من أهل
التفرق
والاختلافات
". مجموع
الفتاوى [3/348-349].
وقال [19/191-192]: "
وكثيرٌ من مجتهدي
السلف والخلف
قد قالوا
وفعلوا ما هو
بدعة ولم
يعلموا أنه
بدعة، إما
لأحاديث
ضعيفة ظنوها
صحيحة، وإما
لآيات فهموا
منها ما لم
يرد منها،
وإما لرأي
رأوه وفي
المسألة نصوص
لم تبلغهم،
وإذا اتقى
الرجل ربه ما
استطاع دخل في
قوله: (( ربنا لا
تؤاخذنا إن
نسينا أو
أخطأنا ))، وفي
الصحيح أن
الله قال: { قد
فعلت } ".
وقال الإمام
الذهبي (748هـ): "
ثم إن الكبير
من أئمة العلم
إذا كثر
صوابه، وعلم
تحريه للحق،
واتسع علمه،
وظهر ذكاؤه،
وعرف صلاحه،
وورعه واتباعه،
يغفر له زلله،
ولا نضلله
ونطرحه، وننسى
محاسنه، نعم!
ولا نقتدي به
في بدعته
وخطئه، ونرجو
له التوبة من
ذلك ". سير
أعلام النبلاء
[5/271].
وقال أيضاً: "
ولو أنا كلما
أخطأ إمامٌ في
اجتهاده في
آحاد المسائل
خطأً مغفوراً
له قمنا عليه
وبدعناه
وهجرناه، لما
سلم معنا لا
ابن نصر ولا
ابن منده ولا
من هو أكبر
منهما، والله
هو هادي الخلق
إلى الحق، وهو
أرحم
الراحمين،
فنعوذ بالله
من الهوى والفظاظة
". السير [14/39-40].
وقال أيضاً: "
ولو أن كل من
أخطأ في
اجتهاده ? مع
صحة إيمانه
وتوخيه
لإتباع الحق ?
أهدرناه
وبدعناه، لقل
من يسلم من
الأئمة معنا،
رحم الله
الجميع بمنه
وكرمه " .
السير [14/376].
وقال أيضاً: "
ونحب السنة
وأهلها، ونحب
العالم على ما
فيه من
الإتباع
والصفات
الحميدة، ولا
نحب ما ابتدع
فيه بتأويل
سائغ، وإنما
العبرة بكثرة
المحاسن " .
السير [20/46].
وقال ابن
القيم (751هـ): "
معرفة فضل
أئمة الإسلام ومقاديرهم
وحقوقهم
ومراتبهم وأن
فضلهم وعلمهم
ونصحهم لله
ورسله لا يوجب
قبول كل ما
قالوه، وما
وقع في فتاويهم
من المسائل
التي خفي
عليهم فيها ما
جاء به
الرسول،
فقالوا بمبلغ
علمهم والحق
في خلافها، لا
يوجب اطراح
أقوالهم
جملة،
وتنقصهم والوقيعة
فيهم، فهذان
طرفان جائران
عند القصد،
وقصد السبيل
بينهما، فلا
نؤثم ولا نعصم
" إلى أن قال: "
ومن له علم
بالشرع
والواقع يعلم
قطعاً أن
الرجل الجليل
الذي له في
الإسلام قدم
صالح وآثار
حسنة، وهو من
الإسلام
وأهله بمكان
قد تكون منه
الهفوة
والزلة هو
فيها معذور، بل
ومأجور
لاجتهاده،
فلا يجوز أن
يتبع فيها، ولا
يجوز أن تُهدر
مكانته
وإمامته ومنزلته
من قلوب
المسلمين " .
إعلام
الموقعين [3/295].
وقال ابن رجب
الحنبلي [795هـ]: "
ويأبى الله
العصمة لكتاب
غير كتابه،
والمنصف من
اغتفر قليل خطأ
المرء في كثير
صوابه " .
القواعد (ص:3).
***