“ANJURAN
UNTUK BERKASIH SAYANG DAN BERSATU SERTA PERINGATAN DARI PERPECAHAN DAN
PERSELISIHAN”
Oleh :
Fadhilah Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al-Madkholiy
Alih Bahasa :
Abu Salma bin Burhan
Al-Atsari
Korektor dan Editor :
Ustadz Abu Abdurrahman
Thayib, Lc.
KATA
PENGANTAR
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji hanya
milik Allah, Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah,
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya.
Amma Ba’du :
Berikut ini merupakan ceramah ilmiah seputar manhaj dan tarbiyah
(pembinaan) yang bermanfaat, dengan izin Allah, yang disampaikan oleh Fadhilatus
Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi –semoga Allah menjaga beliau dan menjadikan
(ilmu)nya bermanfaat- di saat pertemuan yang mubarak (penuh berkah) yang
dihadiri oleh para penuntut ilmu syar’i di Universitas Islam Madinah Munawarah,
beberapa minggu yang lalu.
Ceramah ini sungguh mengandung mutiara-mutiara yang berharga dari
nasehat-nasehat yang mengagumkan dan
pengarahan-pengarahan yang sarat dengan manfaat, yang disampaikan di
saat dan kondisi yang sangat tepat sekali –segala puji hanya milik Allah-
sebagai petunjuk bagi jalannya dakwah salafiyyah yang mubarakah (penuh
berkah) ini, yang pada masa-masa akhir ini telah terkontaminasi oleh sebagian
pemikiran asing dan karakter/perangai yang jauh darinya!
Semoga Allah membalas Syaikh Abu Muhammad Rabi’ bin Hadi –semoga
Allah senantiasa menjaganya- dengan sebaik-baik ganjaran, atas upaya yang yang
telah dipersembahkannya –dan apa yang akan beliau persembahkan- dalam menolong
da’wah yang mulia ini dan jalan yang menentramkan ini.
Markaz Imam Albani sungguh
memandang pentingnya menyebarkan
ceramah bermanfaat yang penuh berkah ini –insya Allah- agar manfaatnya
semakin menyebar dan kebaikannya semakin besar. Allah Ta’ala berfirman : “Saling tolong
menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan dan janganlah kalian saling
tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Demikianlah akhir seruan kami, segala puji hanya milik Allah
Pemelihara semesta alam.
Amman – Yordan
19 Sya’ban 1425 H.
Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi bin ‘Umair al-Madkholi
–Semoga Allah menjaganya- berkata :
Segala puji hanya
milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan pada-Nya, meminta pengampunan
dari-Nya, dan memohon perlindungan dari buruknya jiwa-jiwa kami dan jeleknya
amal-amal kami. Barang siapa yang Allah telah menunjukinya maka tak ada
seorangpun yang mampu menyesatkannya dan barang siapa yang Allah mengehendaki
kesesatan atasnya maka tak ada seorangpun yang sanggup memberinya petunjuk.
Saya bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali hanyalah Allah semata
yang tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi pula bahwa Muhammad ada hamba dan
utusan-Nya.
“Wahai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan
janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (Ali Imran :
102)
“Wahai sekalian
manusia, bertakwalah kalian kepada tuhan kalian yang menciptakan kalian dari
jiwa yang satu, yang darinya Ia menciptakan pasangannya, dan
memperkembangbiakkan dari keduanya kaum lelaki dan wanita yang banyak, maka
bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu saling meminta
satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim, sesungguhnya Allah
senantiasa menjaga dan mengawasi kalian.” (An-Nisa’ : 1)
“Wahai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang
benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa
kalian, dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia
telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (Al-Ahzab : 70-71).
Amma Ba’du :
Sesungguhnya sebenar-benar suatu perkataan adalah perkataan Allah
(Kitabullah) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu
'alaihi wa Sallam. Sedangkan
seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka.
Marhaban (Selamat
datang) wahai saudaraku seislam, para penuntut ilmu yang mulia,
yang telah melakukan perjalanan jauh dari ujung dunia, dalam rangka meneguk
ilmu syar’i yang memancar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam di tempat turunnya wahyu ini, kota Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam, yang merupakan tempat kedua turunnya wahyu setelah
Makkah Mukarramah, yang berangkat darinya panji-panji jihad dan futuh
(ekspansi islam) untuk meninggikan kalimat Allah Tabaroka wa Ta’ala, dan
untuk menyebarkan agama yang haq (benar) ini, serta untuk memenangkan
agama ini di atas seluruh agama lainnya, sebagaimana yang difirmankan Allah Tabaroka
wa Ta’ala : “Dialah Allah yang mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang
haq agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang musyrik benci.” (Ash-Shaff : 9).
Allah sungguh telah memenangkan agama ini melalui tangan (usaha)
para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang mulia dengan penuh
keikhlasan.
Mereka membuka hati manusia dengan ilmu, petunjuk dan keimanan, mereka membuka
benteng-benteng dan negeri dengan pedang kebenaran, dan mereka menolong agama Allah
Tabaroka wa Ta’ala dengan segala usaha yang mereka miliki, dengan setiap
apa yang mereka sanggupi, baik dengan mengorbankan harta dan jiwa. Mereka
adalah orang yang mengimplementasikan kehendak Allah terhadap agama ini, serta
mereka adalah orang yang memuliakan dan memenangkan agama ini di atas seluruh
agama lainnya. Karena agama ini tegak di atas petunjuk dan ilmu, tidak tegak di
atas hawa nafsu, kebodohan, kedunguan dan kekacauan -yang saat ini melanda
banyak negeri!- yang bersumber dari orang-orang yang tidak menegakkan dakwah
mereka di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, namun menegakkan dakwah mereka
di atas hawa nafsu –kecuali yang Allah Tabaroka wa Ta’ala selamatkan-.
Universitas Islam ini, -beserta segenap staf dan pendirinya-
mengerti akan realita kaum muslimin di dunia Islam yang hidup dalam kebodohan
dan jauh dari manhaj Allah yang haq –kecuali hanya sedikit saja-. Oleh karena
itu didirikanlah Universitas ini di atas manhaj islam yang shahih
(benar), yang terpancar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ‘alaihi
Sholaatu was Salaam. Empat perlima mahasiswanya adalah dari anak-anak dunia
islam (luar negeri), dan dan dua puluh persennya adalah anak-anak dari negeri Haramain
Syarifain ini, supaya mereka dapat meneguk dari sumber ilmu yang murni ini
dan agar setelah mendapatakan ilmu mereka kembali ke negeri mereka dan
menyebarkan kebenaran ini. Ini adalah kebaikan, dan ini adalah petunjuk yang
kalian mengetahuinya. “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya
(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah : 122)
Ini adalah suatu kesempatan emas bagi kalian, maka pergunakanlah.
Dan ambillah ilmu yang bermanfaat yang murni lagi bersih, yang bersandar kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, karena
sumber-sumbernya masih banyak di sekitar kalian di kota ini, dan di universitas
ini –segala pujian hanya milik Allah-.
Barangsiapa yang menghendaki kebenaran dan kebaikan bagi dirinya,
keluarganya, kaumnya dan negerinya, maka hendaklah dia menyingsingkan lengan
bajunya dan mengambil ilmu dari para ulama yang ada, yang mana mereka (para
ulama) ini mengkhidmatkan diri mereka untuk mengajarkan kebenaran dan
menyebarluaskannya, semoga Allah memberkahimu.
Belajarlah kalian dari sumber-sumber (referensi) yang menghimpun
aqidah dan manhaj yang benar, bacalah kitab-kitab tafsir salafiyah, yang
menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, atau dengan Sunnah Rasulullah, atau
dengan pemahaman sahabat yang mulia, yang mana mereka hidup di zaman turunnya
wahyu, dan mereka menyertai serta menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam, mereka mengetahui maksud-maksud al-Qur'an dan as-Sunnah. Mereka
adalah orang-orang yang paling layak utl dijadikan rujukan dalam memahami
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Oleh
karena itulah Rasulullah yang mulia ‘alaihi Sholaatu wa Salaam
pernah bersabda, dan menceritakan tentang Firqoh Najiyah (golongan yang
selamat) : “Mereka adalah orang-orang yang berada di atas (pemahaman)-ku dan
sahabatku”
Pemahaman sahabat yang mulia tehadap agama Allah yang haq ini,
yang mereka ambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa Sallam, ucapan, perbuatan, pendidikan dan pengarahan beliau ‘alaihi
Sholaatu wa Salam, maka wajib kita jadikan sebagai referensi. Mereka adalah
orang-orang mukmin yang dimaksudkan oleh firman Allah Tabaroka wa Ta’ala
: “Barangsiapa
yang menentang Rasul setelah jelas atasnya petunjuk dan mengikuti jalannya
selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’ : 115). Ini adalah ancaman yang pedih bagi siapa saja
yang menentang Allah dan rasul-Nya, dan mengikuti selain jalannya orang-orang
mukmin (para sahabat, ed.).
Perhatikanlah benar-benar perkara ini, dan bersemangatlah kalian
untuk memahami jalannya orang-orang mukmin, yang mereka menyandarkan
(pemahaman)-nya dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam, dan dari tazkiyah serta tarbiyah beliau terhadap mereka di atas al-Kitab dan
al-Hikmah, semoga Allah memberkahimu.
Ini adalah kesempatan baik bagimu, fahamilah dari mereka (sahabat)
agama Allah yang haq ini, dan berusahalah dengan segala kesungguhan
kalian di dalam memenangkan agama ini di atas seluruh agama lainnya dengan hujjah
(argumentasi yang terang) dan burhan (keterangan yang jelas).
Hendaklah kalian menuntut ilmu dari sumbernya yang asli, dari
kitab-kitab tafsir salafiy dan kitab-kitab aqidah salafiyah, yang terpancar
dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
yang akan menjelaskan kepada kalian perbedaan antara jalannya orang-orang
mukmin yang shadiq (jujur) dengan jalannya mubtadi’in (pelaku
bid’ah) yang menyelisihi manhaj Allah yang haq. Mereka, yaitu
orang-orang mukmin yang shadiq –demi Allah- adalah pengemban amanat
ummat ini terhadap agama Allah Azza wa Jalla, terhadap keselamatan
aqidah dan manhajnya, dan terhadap ketetapannya (ketsabatannya) di atas
apa yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Termasuk hal yang sudah kalian fahami adalah, bahwasanya merupakan
suatu kewajiban atas kita untuk meneladani Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam, berpegang teguh dengan keduanya, dan menggigitnya dengan
gigi geraham, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
ketika menasehati sahabatnya dengan nasehat yang indah yang menyebabkan air
mata bercucuran dan hati menjadi bergetar, mereka meminta kepada beliau agar
memberikan nasehat kepada mereka, mereka berkata : “Wahai Rasulullah,
seolah-olah ini nasehat perpisahan, maka berikanlah wasiat kepada kami”,
lantas Rasulullah bersabda, “Aku menasehatkan kalian untuk bertakwa kepada
Allah…”, perhatikanlah wasiat ini! “ dan untuk tetap mendengar dan taat
(kepada pemimpin kaum msulimin, ed.), sesungguhnya barang
siapa diantara kalian masih hidup akan melihat perselisihan yang amat banyak,
maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus (ar-Rasyidin) lagi
mendapat petunjuk (al-Mahdiyin), gigitlah dengan gigi geraham, dan jauhilah
perkara-perkara yang baru (muhdats) karena setiap perkara yang baru itu bid’ah
dan setiap kebid’ahan itu sesat.”
Nasehat ini mengandung wasiat untuk bertakwa kepada Allah, yang
merupakan suatu keharusan darinya, dan tidaklah hal ini termanifestasikan
melainkan hanya pada diri ulama yang jujur lagi shalih, sebagaimana firman
Allah Ta’ala : “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara
hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama”
(Fathir : 28).
Maka bertakwalah kalian kepada Allah Azza wa Jalla agar
kalian dapat mencapai derajat ini (derajat ulama, ed.), dan
belajarlah agar kalian dapat mencapai kedudukan mereka. Karena barang siapa
yang mengetahui aqidah dan manhaj yang benar, hukum, adab dan akhlak yang
berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
maka dialah orang yang takut kepada Allah Azza wa Jalla, karena
sesungguhnya takwa itu dapat termanifestasikan melalui perkara-perkara ini
seluruhnya.
Dari pengetahuan terhadap perkara ini –sebagaimana telah kami
sebutkan-, akan menyebabkan seorang hamba dapat meraih ketakwaan kepada Allah Azza
wa Jalla dan meraih khosyah (rasa takut) serta muroqobah (merasa
diawasi Allah) pada setiap waktu dan tempat dan pada setiap situasi dan
kondisi. Ini merupakan kedudukan yang paling agung –yaitu kedudukan ihsan-
(sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril, ed.) : “Engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu
melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu”.
Tingkatan ihsan ini, menyebabkan manusia yakin bahwasanya Allah
melihatnya, dan Allah mendengar setiap apa yang ia ucapkan, Allah mendengar
setiap denyut nadi jantungnya dan getaran keinginannya, bahkan apa yang
terbetik pada dirinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui dan mendengarnya,
dan Dia melihat (mengawasi) di saat gerak dan diamnya.
Seorang mukmin sejati akan senantiasa mengagungkan Allah dengan
sebenar-benarnya pengagungan, dia mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
mendengarkan apa yang ia katakan, dan Allah memiliki “(malaikat-malaikat pengawas) yang mulia (di sisi Allah) dan
yang mencatat (segala perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Infithar : 11-12). Jika perasaan mulia ini terdapat di dalam
jiwa seorang mukmin, maka ia akan memperoleh ketakwaan yang akan menjauhkan
dirinya dari kemaksiatan, kesyirikan, kebid’ahan serta khurofat, dan dia akan
mendapatkan kedudukan ihsan, dikarenakan dia selalu merasa diawasi oleh Allah,
dan selalu merasa bahwa Allah melihat dirinya, tidak tersembunyi urusannya di
sisi Allah sedikit maupun banyak, walaupun sekecil biji sawi.
Perasaan yang mulia ini akan menghantarkannya –insya Allah-
kepada takwa kepada Allah, tidak ada seorangpun dapat mencapai hal ini
melainkan dengan mengetahui aqidah shahihah dan syariat yang benar
dari perkara halal dan haram, dan mengetahui perintah dan larangan Allah serta
janji dan ancaman dari kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa Sallam. Mereka inilah yang berhak mendapatkan pujian Allah Tabaroka
wa Ta’ala yang Ia berfirman tentang mereka, “Sesungguhnya yang paling
takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (Fathir : 28) dan firman-Nya, “Allah mengangkat derajat
orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu
beberapa derajat.” (al-Mujaadalah : 11).
Maka bersemangatlah kalian dalam di dalam meneladani mereka para
ulama, yang menghimpun antara ilmu dan amal. Yang demikian ini merupakan buah
dari ilmu yang benar dan takwa kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala serta muroqobah/merasa
diawasi oleh-Nya. Hendaklah kalian juga -wahai saudara-saudaraku-, berusaha
meraih keimanan yang yang bersih lagi murni, dan ilmu yang bermanfaat serta
amal yang shalih. Karena telah berfirman Rabb kita Jalla Sya’nuhu : “Demi masa!
Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal shalih, dan senantiasa saling menasehati dalam kebenaran dan dalam
kesabaran.” (al-Ashri : 1-3).
Keimanan yang bersih sesungguhnya dibangun di atas ilmu. Amal yang
shalih tidak akan terpancar melainkan dari ilmu dan dakwah kepada Allah, yang
tidak bisa dijalankan melainkan oleh ahlu ilmi. Bersabar atas setiap
gangguan adalah suatu tuntutan bagi
orang yang berilmu dan mengajar serta berdakwah kepada Allah Tabaroka wa
Ta’ala –semoga Allah memberkahimu-.
Maka jadilah kalian seperti mereka yang berilmu dan mengimani ilmu
ini, yang menyeru kepada ilmu dan keimanan ini, dan bersabar atas gangguan
dalam menyampaikan kebenaran dan kebaikan ini kepada manusia, karena merupakan
suatu keniscayaan bagi seorang muslim yang beriman ketika berdakwah kepada
Allah akan menghadapi gangguan, yang terkadang belum terlintas di dalam benak
mereka!
Seorang muslim sebenarnya tidak perlu aneh dengan hal ini, karena
sesungguhnya sebaik-baik makhluk Allah telah diuji di jalan Allah dan di jalan
dakwah kepada Allah, yaitu para Nabi dan Rasul ‘alaihim ash-Sholatu was
Salam, dan mereka telah diganggu lebih daripada kita, dan diuji dengan
musuh yang lebih sengit permusuhannya dan lebih banyak ketimbang kita, dan
inilah makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Manusia yang
paling keras ujiannya adalah para Nabi kemudian orang-orang yang shalih,
kemudian yang serupa dengan mereka.”
Dan sabdanya pula : “Tidak ada seorangpun yang diuji sebagaimana diriku
diuji di jalan Allah.”
Barangsiapa yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah, serta menyeru kepadanya, niscaya dia akan diuji –kecuali
yang dikehendaki oleh Allah-. Maka persiapkan dirimu dengan kesabaran, karena “Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”
(az-Zumar : 10), dan Allah telah memerintahkan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam untuk bersabar sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi,
Allah Yang Maha Suci berfirman kepada beliau : “Bersabarlah dirimu
sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi dari para rasul dan janganlah kamu meminta
disegerakannya adzab bagi mereka (kaum musyrikin)” (al-Ahqaf :
35).
Pada diri
Rasulullah dan seluruh nabi Allah terdapat tauladan yang baik bagi kita.
Rasulullah diperintahkan untuk meneladani para nabi sebelumnya dan berpedoman
dengan petunjuk mereka. Dan kita diperintahkan untuk meneladani Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam dan bersabar sebagaimana sabarnya beliau ‘alaihi
Sholatu wa Salam, “Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri
Rasulullah bagi orang-orang yang mengharap Rahmat Allah dan (kedatangan) hari
kiamat.” (al-Ahzab : 21). Suri tauladan yang baik begitu sempurna pada
seluruh keadaan yang dimiliki oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Tauladan pada aqidah beliau, maka kita harus beraqidah sebagaimana aqidah
beliau. Tauladan pada ibadah beliau maka kita harus beribadah kepada Allah
dengan mengikhlaskan agama ini untuk-Nya dan ittiba’ (mencontoh) ibadah
yang telah diajarkan Rasul yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam. Tauladan
pada akhlak beliau yang agung yang mana banyak para da’i yang menyeru kepada
Allah Tabaroka wa Ta’ala dan mayoritas para pemuda tidak memilikinya
bahkan sebagian besar pemuda –atau bahkan semuanya- melupakannya. Padahal
sesungguhnya Allah memuji Rasul-Nya ‘alaihi Sholatu wa Salam dengan
pujian yang dalam dan sanjungan yang harum, firman-Nya : “Dan sesungguhnya
padamu wahai Muhammad terdapat perangai yang agung” (al-Qolam : 4).
Seorang da’i yang
menyeru ke jalan Allah, penuntut ilmu, pemberi pengarahan dan penasehat, mereka
seluruhnya membutuhkan untuk menelusuri jejak Rasululullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam dalam aqidah, manhaj dan akhlak beliau. Jika perkara ini
terkumpul secara sempurna atau mendekati kesempurnaan pada seorang da’i yang
menyeru ke jalan Allah, maka akan berhasil dakwah ini insya Allah.
Seorang da’i tersebut hendaknya menampulkan dakwah ini di dalam bentuk yang
paling indah dan paling baik, semoga Allah memberkahimu.
Jika seorang da’i
dalam urusan dakwahnya tidak memiliki akhlak yang mulia seperti sabar, hikmah,
ramah dan lemah lembut atau perkara lainnya yang merupakan perkara urgen yang
tercermin di dalam dakwah para rasul ‘alaihim ash-Sholatu was Salam,
maka yang demikian ini adalah kekurangan yang akan mencelakakan dakwahnya. Oleh
karena itu, seorang da’i harus menyempurnakan (perangai) ini.
Banyak manusia
terkadang lalai dari perangai ini! Hal ini jelas membahayakan dakwah salafiyah
dan pengikutnya (yaitu salafiyin, pent.). Karena lalai dari akhlak
ini dan mengedepankan dakwah ini kepada manusia dengan cara yang mereka benci,
atau mereka anggap jelek dan mereka pandang menakutkan, dari perangai yang
keras, kaku, gegabah atau yang semisalnya, akan merintangi jalannya dakwah
sehingga manusia tidak mau menerimanya. Sesungguhnya perangai-perangai ini
dibenci di dalam urusan dunia apalagi di dalam urusan agama. Oleh karena itu
merupakan keharusan bagi penuntut ilmu untuk meniti jalan akhlak yang mulia
dalam berdakwah. Demikian pula, seyogyanya anda wahai saudaraku, bercermin
kepada atsar yang datang tentang cara berdakwah ke jalan Allah dengan
mempelajari sirah (sejarah) Rasul, mempelajari akhlak, aqidah dan manhaj
beliau.
Sebagian manusia
ada yang tidak menghiraukan aqidah dan manhaj Rasulullah, namun mereka
mengikuti manhaj-manhaj dan aqidah-aqidah lainnya yang diada-adakan oleh
Syaithan untuk orang-orang yang dihinakan Allah dari ahlul bid’ah dan ahli
kesesatan. Ada pula manusia yang mencocoki dengan aqidah beliau saja namun
menelantarkan manhaj! Ada pula manusia yang mencocoki aqidah dan manhaj beliau,
namun perangai mereka menyia-nyiakan aqidah dan manhaj. Mereka memiliki
kebenaran di sisi aqidah dan manhajnya yang benar, akan tetapi perangai dan uslub
(cara) mereka di dalam berdakwah merusak dakwah itu sendiri dan
membahayakannya.
Berhati-hatilah
kalian dalam menyelisihi aqidah, manhaj dan dakwah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam. Wajib bagi kalian mempelajari bagaimana cara nabi ‘alaihis
Sholatu was Salam menyeru manusia, dan teguklah taujihat (pengarahan)
nabawi ini yang mengandung hikmah, kesabaran, kelembutan, sifat pemurah, sifat
pemaaf, lemah lembut, kasih sayang, dan perangai lainnya.
Ambillah (manhaj
nabi dalam berdakwah ini, pent.) wahai saudaraku dan ketahuilah
bahwa merupakan suatu keharusan mengimplementasikannya di dalam dakwah kita
kepada manusia. Jangan ambil satu sisi dari Islam dan meninggalkan sisi
lainnya, atau satu aspek dari metode dakwah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala
namun meninggalkan aspek lainnya, karena hal ini akan membahayakan agama Allah Azza
wa Jalla dan membahayakan dakwah ini dan orang-orangnya.
Demi Allah,
tidaklah dakwah salafiyah ini tersebar di zaman ini –dan sebelumnya- melainkan
melalui tangan (upaya) dari para ulama yang berilmu yang memiliki hikmah dan
kelemahlembutan, yang meneladani metode Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam. Mereka menerapkannya sekuat tenaga, semoga Allah senantiasa
memberikan manfaat dengan keberadaan mereka, sehingga menyebar dakwah salafiyah
ini ke seantero dunia, adalah dengan akhlak, ilmu dan hikmah mereka.
Namun akhir-akhir
ini, kami melihat bahwa dakwah salafiyah semakin surut dan menyusut, hal ini
tiada lain adalah karena telah hilangnya hikmah di tengah-tengah mereka (para
ulama tersebut, ed.), bahkan turut hilang pula hikmah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam sebelum kelembutan, kasih sayang, akhlak, keramahan, dan
kelemahlembutan beliau ‘alaihis Sholatu was Salam.
‘Aisyah pernah
mencerca seorang Yahudi, lantas nabi bersabda kepadanya : “Wahai ‘Aisyah,
sesungguhnya Allah itu mencintai kelemahlembutan pada seluruh perkara”.
Hadits ini, jika ada seorang ‘alim menyebutkannya hari ini dalam rangka
mengajak para pemuda kepada manhaj yang benar di dalam berdakwah kepada Allah,
maka niscaya mereka akan berkata : ini tamyi’!!! (manhaj yang lunak).
Akhlak-akhlak
yang mulia ini jika disebutkan, seperti hikmah, ramah, lemah lembut, kasih
sayang dan pemaaf, yang mana hal ini merupakan kebutuhan dakwah kepada Allah Tabaroka
wa Ta’ala dan merupakan aktivitas yang dapat memikat manusia kepada dakwah
yang benar, maka dampak yang dihasilkannya adalah : masuknya manusia ke dalam
agama Allah secara berbondong-bondong.
Akan tetapi
mereka –al-Mubaddilin (orang-orang yang senang merubah)-, mereka
mempersembahkan at-Tanfir (menyebabkan manusia menjadi lari), sembari
melupakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah bersabda
: “Sesungguhnya ada diantara kalian ini munaffirin (orang yang menyebabkan
manusia menjadi lari, pent.)”
dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Permudahlah
janganlah kalian persulit, berilah kabar gembira janganlah kalian menyebabkan
mereka lari”.
Wahai saudara
sekalian, sungguh mereka tidak sadar! Demi Allah, Bahwa mereka telah menuduh
Rasulullah sebagai mumayyi’ (orang yang lunak manhajnya, pent.)
demikian pula para sahabat dan para ulama’ juga dituduh sebagai mumayyi’un.
Dengan metode mereka yang tasyaddud (keras) dan bengis yang
menghancurkan dakwah salafiyah ini, mereka secara tidak langsung telah
menganggap Rasulullah yang menyeru kepada kelemahlembutan, hikmah dan kasih
sayang sebagai mumayyi’, kami mohon ampunan kepada Allah!!!
Demi Allah!
Mereka tidak menghendaki hal ini dan mereka tidak bermaksud begini! Akan tetapi
mereka tidak sadar! Maka wajib bagi mereka –mulai sekarang- untuk memahami
dampak dan akibat dari perbuatan semacam ini. Dan sesungguhnya kami –demi
Allah- bersungguh-sungguh, mengobservasi, menulis, menasehatkan dan mengajak
dengan kelemahlembutan ke jalan Allah Ta’ala namun mereka menganggap
kami sebagai mumayyi’in, mereka tidak menginginkan kami mengucapkan kata
hikmah, ramah dan lemah lembut. Kami telah melihat bahwa asy-Syiddah
(kekerasan) telah menghancurkan dakwah salafiyah dan mengoyak-ngoyak salafiyin,
lantas apa yang kita lakukan? Maka aku katakan -wahai saudaraku sekalian- :
ketika kita melihat api menyala, apakah kita tinggalkan begitu saja sehingga
semakin berkobar?! Ataukah kita mendatanginya dengan perkara ini (manhaj nabi
yang lemah lembut, pent.) yang akan memadamkan kobaran api itu?!
Maka aku terpaksa
–dan ini adalah kewajibanku -dan aku telah mengatakannya sebelum ini-, bahkan
aku menekankan kembali tatkala kulihat kegoncangan dan bencana ini, aku katakan
: Wajib atas kalian untuk berlemahlembut! wajib atas kalian bersikap ramah!
wajib atas kalian untuk saling bersaudara! dan wajib atas kalian saling
menyayangi! Karena sesungguhnya kekerasan ini (sekarang) tertuju kepada
ahlus sunnah sendiri, tatkala mereka meninggalkan ahlul bid’ah dan mereka
tujukan perangai syiddah (kekerasan) yang membinasakan ini kepada ahlus
sunnah, dan menyeruak ke dalamnya penganiayaan dan tindakan-tindakan batil
lainnya yang zhalim!
Maka jauhilah!
Dan sekali lagi jauhilah jalan yang dapat membinasakan kalian ini dan
menghancurkan dakwah salafiyyah dan salafiyin! Berdakwahlah kepada Allah Ta’ala
dengan segenap kemampuan kalian dengan hujjah (keterangan yang jelas)
dan burhan (argumentasi yang terang) di setiap tempat, dengan menukil
firman Allah dan sabda Rasulullah, dan mohonlah pertolongan atas hal ini kepada
Allah- kemudian kepada ucapan para a`immatul huda (imam-imam yang
lurus), yang mana keimaman dan kedudukan mereka di dalam Islam diterima baik
oleh Ahlus Sunnah maupun ahlul bid’ah.
Aku nasehatkan
kepada saudaraku yang akan pergi ke Afrika, atau ke Turki, atau ke India –atau
selainnya- (dalam rangka berdakwah, ed.) untuk senantiasa
bermodalkan dengan firman Allah, sabda Rasulullah dan perkataan dari para imam
yang mereka hormati. Jika anda pergi ke Afrika, misalnya, anda katakan : Ibnu
Abdil Bar berkata, Malik berkata, Fulan berkata –dimana banyak dan tidak
sedikit manusia di sana memiliki aqidah yang rusak!-, jika anda mendatangi
mereka dengan Kitabullah Ta’ala
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, kemudian
kalian datangkan perkataan para ulama, niscaya mereka akan mendengarkan
perkataan anda dan mereka akan memperhatikan anda. Inilah hikmah! Namun, jika
anda datang dengan perkataan dari diri anda sendiri maka akibatnya bisa jadi
mereka tidak menerima satupun dari anda.
Anda juga harus
memulai perkataan anda setelah dengan Firman Allah dan sabda Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa Sallam dengan perkataan para ulama, yang mana mereka (para ulama
tersebut, pent.) memiliki kedudukan dan tempat di dalam diri manusia
dan mereka tidak mampu mencela ulama tersebut maupun ucapan mereka. Jika anda
berkata : ‘Bukhari mengatakan ini dan itu’, maka sesungguhnya mereka
menghormatinya. Sebagai contoh, misalnya kaum sufi di setiap tempat, mereka
menghormati Bukhari dan Muslim, dan mereka juga menghormati kedua kitab mereka
(shahihain, pent.) dan kedua imam tersebut, mereka juga
menghormati Ahmad bin Hanbal, Auza’i, Sufyan ats-Tsuri dan selain mereka dari
para ulama besar terdahulu.
Dengan demikian,
sesungguhnya hal ini dapat menjadi ikatan antara diri kita dengan mereka di
dalam kebenaran, ada tempat-tempat untuk bertemu yang kita dapat menembus
mereka dengan jalan ini. Dan hal ini adalah termasuk hikmah -wahai saudaraku-.
Oleh karena itu tidaklah sepatutnya anda mengatakan kepada mereka –pertama
kali- : ‘Ibnu Taimiyah berkata’, sembari menyebutnya imam, dikarenakan mereka
masih bodoh dan tidak mengenal beliau, dan sekiranya mereka mengetahuinya maka
niscaya mereka akan membencinya disebabkan dari apa yang mereka dengar dari
pembesar-pembesar mereka yang mana tidak menghendaki dan menginginkan beliau.
Semoga Allah memberkahimu.
Katakan! : ‘Ibnu
Taimiyah berkata’, di tengah-tengah salafiyin yang menghormati beliau. Namun
janganlah anda katakan di tengah-tengah selain salafiyin : ‘Ibnu Taimiyah
berkata’ atau ‘Ibnu Abdul Wahhab berkata’ –misalnya-, dikarenakan mereka masih jahil
dan mereka dididik di tengah-tengah ahlul bid’ah yang lari dari hal ini, dan
syaikh-syaikh mereka menyebabkan mereka lari pula dari mereka (para ulama
tersebut, pent.). Katakan kepada mereka nama-nama para Imam yang
mereka mengakuinya dan menghormatinya, dikarenakan pemimpin dan syaikh mereka
menjelekkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahhab serta para ulama dan para imam
dakwah, sebagaimana baru kusebutkan.
Janganlah anda
mendatangi mereka dari pintu ini, karena hal ini tidaklah termasuk hikmah.
Tapi, masuklah dari pintu : ‘Malik berkata’, ‘Sufyan ats-Tsauri berkata’,
‘al-Auza’i berkata’, ‘Ibnu ‘Uyainah berkata’, ‘Bukhari berkata’, ‘Muslim
berkata dalam juz sekian halaman sekian’, dan yang semisalnya, maka anda akan
diterima. Kemudian, jika mereka telah menerima anda, mereka nantinya akan
menghormati Ibnu Taimiyah dan mengetahui bahwasanya beliau berada di atas
kebenaran, mereka akan menghormati Ibnu Abdul Wahhab dan mengetahui pula
bahwasanya beliau juga di atas kebenaran. Semoga Allah memberkahimu…
demikianlah…!!!
Aku katakan : hal
ini merupakan peringatan kepada perangai hikmah di dalam mendakwahi manusia ke
jalan Allah Tabaroka wa Ta’ala. Termasuk diantara juga yaitu : janganlah
kalian memaki jama’ah mereka, “Dan janganlah kalian memaki berhala-berhala yang mereka sembah
selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.” (al-An’am : 108).
Aku berkata :
ketika aku berkunjung ke Sudan, aku beristirahat di Bur Sudan, beberapa pemuda Ansharus
Sunnah datang menyambutku dan mereka berkata : “Wahai Syaikh, kami menginginkan
sesuatu dari anda”.
Aku menjawab : “silakan”
Mereka berkata : “Berbicaralah apa yang anda kehendaki.
Ucapkanlah: Allah berfirman, Rasulullah bersabda. Dan celalah sekehendak anda
segala kebid’ahan dan kesesatan, baik itu do’a kepada selain Allah, sembelihan,
nadzar, istighotsah, dan selainnya. Namun anda jangan menyebut kelompok ini dan
itu!, dan jangan pula syaikh fulan! Janganlah anda menunjuk Tijaniyah bagian
dari kelompok-kelompok (sesat, ed.)! Jangan pula Bathiniyah! Jangan
pula pembesar-pembesar mereka. Akan tetapi, perbaikilah aqidah niscaya
kebenaran yang anda bawa akan diterima.” Aku berkata kepadanya : “Baiklah”
lantas aku mengikuti cara ini dan kudapatkan manusia menerima dengan penerimaan
yang luar biasa.
Janganlah anda
menduga wahai penuntut ilmu, bahwasanya termasuk kesempurnaan manhaj yang benar
ini adalah harus memaki syaikh-syaikh mereka dan mencela mereka! Karena Allah Subhanahu
berfirman : “Dan janganlah kalian memaki berhala-berhala yang mereka sembah
selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.” (al-An’am : 108). Jika anda memaki seorang syaikh! Atau
anda katakan : (syaikh ini) sesat! Atau begini! Atau thoriqoh fulan (begini)!
Maka metode ini menurut kami menyebabkan mereka lari darimu, anda telah berbuat
salah, dan anda telah menjadikan manusia lari, kalau begitu anda adalah munaffirun
(sebagaimana dalam hadits yang telah berlalu, pent.).
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam tatkala mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman beliau
berpesan : “Permudahlah janganlah kalian persulit, dan berilah kabar gembira
janganlah menyebabkan orang lari”
Hal ini termasuk
cara yang Taysir (mempermudah) dan tabsyir (memberikan berita
gembira), tidak ada di dalamnya tanfir. Dan demi Allah, tidaklah aku
memasuki masjid melainkan aku melihat wajah mereka berbinar-binar, dan aku
tidak mampu keluar karena banyaknya orang yang datang menemuiku dan menyalamiku
serta menyapaku.
Kemudian ketika
pembesar-pembesar sufiyah syaithaniyah melihat bahayanya dakwah yang benar ini,
mereka berkumpul dan membuant makar serta merangkai kata sepakat untuk
membantahku. Mereka mengumumkan tentang ceramahku di wilayah yang lebih luas.
Kemudian kami berkumpul di wilayah tersebut, dan akupun berbicara, lantas
berdiri seorang pembesar mereka dan mengomentari perkataanku, dan mulai
membolehkan istighotsah, tawasul, dan berbicara tentang ta’thil (peniadaan)
sifat Allah, dan dia berkata dan berkata… dan dia memperkuat kebatilannya
dengan takwil-takwil yang rusak!
Setelah dia
selesai –dan dia kehabisan dalil, dia hanya mendatangkan hadits-hadits dha’if
(lemah) dan maudhu’ (palsu) dan mendatangkan ucapan-ucapan Asqorothiyyin
(pengikut asyqrot, seorang filsuf, ed.)-. Aku berkata : Wahai
jama’ah, kalian telah mendengar ucapanku, aku berkata : Allah berfirman,
Rasulullah bersabda, Ulama’ umat yang terkenal berkata, dan orang ini datang
dengan hadits palsu, dan aku tidak mendengar darinya al-Qur’an sedikitpun! Apakah
kalian pernah mendengar : Allah berfirman begini tentang bolehnya istighotsah
kepada selain Allah??! Tentang bolehnya tawasul??! Apakah kalian pernah
mendengarkan ucapan ulama besar seperti Malik dan semisalnya tentangnya??!
Kalian tidak pernah mendengarnya! Sesungguhnya yang kalian dengar (darinya)
hanyalah hadits-hadits palsu dan lemah, dan perkataan-perkataan orang-orang
yang kalian telah mengenalnya sebagai khurofiyun (penggemar khurofat, pent.)!
Tiba-tiba berdiri seorang khurofiy sembari memaki-maki dan mencela!
Lantas aku tersenyum, aku tidak membalas makiannya tidak pula celaannya, dan
aku tidak mengucapkan sesuatupun ketika itu melainkan hanya : Semoga Allah
memberkahimu! Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan! Semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan! Semoga Allah memberkahimu!.
Kamipun berpisah,
dan demi Allah yang tiada sesembahan yang haq kecuali Dia, ketika masuk waktu
pagi –pada hari kedua- orang-orang sedang bercerita di masjid-masjid dan
pasar-pasar bahwa kelompok sufi telah terkalahkan! Maka pelajarilah wahai
saudara-saudara sekalian metode syar’iyah dan shahihah ini.
Tujuan dakwah adalah menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus dan menanamkan
kebenaran ke dalam hati manusia!
Wahai saudaraku,
wajib atasmu untuk mempergunakan segala sarana yang kalian sanggupi dari
sarana-sarana yang syar’i di dalam jalan dakwah kepada Allah. Bukanlah yang
kita maksud adalah (ucapan) tujuan memperbolehkan segala cara! Hal ini termasuk
metodenya Ahlul Bid’ah. Dengan sebab kaidah tadi (yaitu, tujuan memperbolehkan
segala cara, pent.) mereka terjerumus kepada kedustaan, kerancuan,
kelicikan dan kepicikan! Sebagaimana yang diutarakan oleh Imam ‘Ali bin Harb
al-Mushili : “Seluruh pengikut hawa nafsu itu selalu berdusta dan mereka
tidak peduli”.
Hal ini semuanya
bukanlah perangai kita, karena kita adalah ahlu shidqi (pemilik
kejujuran) dan ahlu haqqi (pemilik kebenaran). Akan tetapi kita
menghidangkan dakwah ini kepada manusia dalam bentuk yang bisa diterima setiap
orang dan bisa menarik hati mereka. Semoga Allah memberkahi kalian.
Kemudian kami
pergi ke Kasala –sebuah tempat di Sudan juga-, dan masya Allah, dakwah
di sana sangat berkembang pesat dengan baik, segala puji hanya milik Allah.
Kami sempat berceramah di sana dan semoga Allah menjadikan ceramah kami tersebut
bermanfaat.
Kemudian kami
pergi ke al-Ghizhorif, yaitu sebuah kota kecil di sana, kami berkeliling ke seluruh masjid di sana.
Mereka berkata : tidak ada di kota ini kecuali satu masjid yang dikuasai
Tijaniyah sedangkan kami tidak mampu
menembusnya! Aku bertanya : kenapa? Mereka menjawab : Mereka sangat
fanatik sekali. Aku berkata : kita pergi menemui dan meminta izin kepada
mereka, jika mereka mengizinkan kita berbicara maka kita sampaikan, dan jika
mereka melarang kita maka kita memiliki udzur di sisi Allah, serta tidak
selayaknya kita menghadapi mereka dengan paksaan dan kekuatan. Semoga Allah
memberkahimu.
Kamipun tiba dan
kami sholat bersama imam, setelah selesai akupun datang dan mengucapkan salam
kepadanya, dan aku berkata kepadanya : Apakah anda mengizinkan diri saya untuk
menyampaikan beberapa patah kata bagi saudara-saudara kami di sini?, Ia berkata
: Silakan. Maka akupun berbicara, aku menyeru mereka kepada Allah, kepada
Tauhid, Sunnah dan kepada hal-hal lain dari perkara yang menyangkut ilmu. Dan
aku mengkritik beberapa kesalahan yang ada, dan beberapa kesesatan, hingga aku
sampai kepada hadits ‘Aisyah Radhiallahu 'anha yang muttafaq ‘alaihi
: “Tiga hal, barang siapa yang berbicara dengan salah satu dari ketiganya
maka sungguh ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah, yaitu
barangsiapa mengatakan bahwa Muhammad melihat Rabnya maka sungguh ia telah
berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah, dan barangsiapa yang mengatakan
bahwa Muhammad mengetahui apa yang akan terjadi besok maka ia telah berbuat
kedustaan yang besar terhadap Allah, -dan akupun membawakan dalil-dalil
tentang perkataan ini- serta barangsiapa yang mengatakan bahwa
Muhammad tidak menyampaikan apa yang diturunkan atasnya maka ia telah berbuat
kedustaan yang besar terhadap Allah”.
Sang imam pun
berdiri dan ia tampak gelisah, kemudian ia berkata : Demi Allah, sesungguhnya
Muhammad melihat Rabnya dengan kedua mata kepalanya! Aku menjawab : Semoga
Allah membalasmu dengan kebaikan, adapun Aisyah, dia adalah manusia yang paling
mengetahui tentang diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, ia berkata :
“Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad melihat Rabnya maka sungguh ia
telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah”. Jika sekiranya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melihat Rabnya ia pasti akan
mengabarkannya kepada kita namun ia tidak mengabarkannya.
Maka dia mulai
membuat gaduh dan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, aku berkata kepadanya :
Wahai saudaraku, tunggulah sebentar sampai aku menyelesaikan perkataanku,
setelah itu anda boleh bertanya apa saja sesuka anda, jika aku mengetahui
jawabannya maka aku akan menjawabnya dan jika aku tidak mengetahuinya maka aku
akan berkata kepadamu, Allahu a’lam, akupun meninggalkannya dan
kulanjutkan perkataanku. Aku tidak tahu apakah ia tetap tinggal ataukah pergi!
Aku benar-benar tidak tahu karena aku tidak menoleh kepadanya. Kemudian aku
mendengar seorang lelaki berkata : “Demi Allah, perkataan orang ini adalah
benar” (dengan logat Sudan, pent.), kemudian aku mendengar untuk
kesekian kalinya ungkapan yang serupa dari selainnya dengan tambahan : “orang
ini berkata dengan firman Allah dan sabda Rasulullah”. -Semoga Allah memberkahi
kalian-. Sampai tiba adzan isya’, ceramahku telah selesai dan sholat akan
ditegakkan, kemudian mereka menghendaki aku mengimami mereka! Maka aku menjawab
: jangan, aku tidak layak jadi imam, Imam (rawatib) kalian yang layak
mengimami, mereka berkata : Demi Allah sholatlah (jadi imam), aku menjawab :
Baik, dan akupun mengimami mereka. Setelah selesai shalat aku menunggu,
kemudian aku dan beberapa pemuda Ansharus Sunnah keluar bersama-sama, aku
bertanya kepada mereka : Kemana perginya imam? Mereka menjawab : Mereka
mengusirnya! Aku bertanya kembali : Siapa yang mengusirnya? Mereka menjawab :
Demi Allah, jama’ahnya sendiri.
Jika sekiranya
seseorang datang dan membodohbodohkan Tijaniyah Mirghaniyah! Maka barangkali
mereka akan membunuhnya, tidak hanya diusir saja. Namun jika anda datang dengan
hikmah dan kelembutan, semoga Allah memberkahi kalian- maka niscaya Allah akan
menjadikannya bermanfaat bagi mereka.
Persembahkanlah
wahai saudaraku, ilmu yang bermanfaat, hujjah yang pasti dan hikmah yang
berfaidah di dalam dakwahmu. Dan wajib atas kalian berakhlak dengan setiap
akhlak yang indah dan mulia, yang mana hal ini dianjurkan oleh al-Kitab dan
Rasul Shallallahu 'alaihi wa Sallam, karena sesungguhnya hal ini
merupakan upaya kemenangan dan keberhasilan.
Sesungguhnya para
sahabat tidak menyebarkan Islam sehingga merasuk ke dalam hati manusia
melainkan karena hikmah dan ilmu mereka, yang hal ini lebih banyak daripada
dengan hunusan pedang. Akan tetapi, barangsiapa yang masuk ke dalam Islam
karena di bawah naungan pedang mungkin tidak bisa tetap keimanannya. Namun
orang-orang yang masuk ke dalam Islam dari jalan ilmu, hujjah dan burhan
maka keimanannya tetap/istiqomah –dengan izin dan Taufiq Allah-.
Wajib bagi kalian
berpegang dengan jalan-jalan kebaikan ini, dan wajib bagi kalian
bersungguh-sungguh di dalam ilmu dan di dalam dakwah kepada Allah. Kemudian aku
mengingatkan kalian –wahai saudaraku- dari dua perkara ini :
Pertama : Untuk
saling bersaudara diantara sesama Ahlus Sunnah seluruhnya. Maka wahai sekalian
salafiyun, bangkitkan ruh kecintaan dan persaudaraan diantara kalian, dan
aplikasikan apa yang diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam tentang orang-orang mukmin yang “Bagaikan satu tubuh, satu dengan
lainnya saling menguatkan”
dan mereka itu “Bagaikan tubuh yang satu, jika satu bagian mengeluh maka
akan menyebabkan seluruh tubuh lainnya merasakan demam dan sakit”.
Jadilah seperti ini wahai saudaraku, jauhilah oleh kalian perbuatan yang dapat
menghantarkan kepada perpecahan, karena sesungguhnya hal ini adalah perbuatan
yang jelek lagi berbahaya dan penyakit yang parah.
Kedua : Jauhilah
oleh kalian sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada permusuhan dan
kebencian, serta perpecahan dan saling menjauh. Jauhilah oleh kalian
perkara-perkara ini, karena perkara ini
telah menyebar akhir-akhir ini melalui tangan orang-orang yang Allah
lebih mengetahui keadaan dan tujuan mereka. Sehingga perkara ini menyebar, dan
berkembang serta mengoyak-ngoyak para pemuda di negeri ini –baik di Universitas
maupun selainnya- atau di seluruh antero dunia.
Mengapa?!
Dikarenakan telah turun ke medan dakwah orang-orang yang bukan ahlinya, yang
tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman. Dan boleh jadi ada musuh yang
menyusup ke tengah-tengah salafiyun dalam rangka mengoyak-ngoyak dan memecah
belah mereka. Perkara ini bukan hal yang mustahil –selamanya-, bahkan benar-benar
terjadi. Semoga Allah memberkahi kalian. Bersemangatlah kalian dalam sikap
saling bersaudara, dan jika muncul di antara kalian sesuatu hal yang tidak
disukai, maka berusahalah melupakan masa lalu
dan keluarkan lembaran putih yang baru sekarang.
Dan aku berkata
kepada saudara-saudaraku sekalian :
Orang-orang yang
memiliki kekurangan maka tidak sepatutnya kita menyalahkannya dan mencercanya,
dan orang-orang yang tersalah diantara kita, janganlah kita mencercanya, Semoga
Allah memberkahi kalian, namun seyogyanya kita mengobatinya dengan kelembutan
dan hikmah, kita obati dengan kecintaan dan kasih sayang serta dengan seluruh
akhlak yang shalih, dengan dakwah yang benar hingga ia mau kembali, jika masih
tertinggal dalam dirinya kelemahan, maka janganlah kita tergesa-gesa mengambil
sikap terhadapnya, jika tidak maka demi Allah tidak akan tersisa seorangpun,
tidak akan tersisa seorangpun (kecuali akan dicela semuanya, ed.)!
Sebagian manusia
sekarang ini, mengusik salafiyin sampai-sampai ulama pun mereka sebut sebagai
mumayyi’in! Saat ini, tidaklah tersisa di daerah manapun seorang alim –atau
yang dekat dengannya- melainkan dirinya dicela dan dijelekkan! Hal ini –tentu
saja- merupakan metodenya Ikhwanul Muslimin dan Ahlul Bid’ah. Karena
sesungguhnya Ahlul Bid’ah itu, diantara senjata mereka adalah memprakarsai
dalam menjatuhkan ulama, bahkan metode ini merupakan metode Yahudi Masoniyah
yang mana jika mereka menghendaki untuk menjatuhkan suatu pemikiran maka mereka
jatuhkan ulama atau pribadi individu-individunya!! Karena itu jauhilah perangai
yang jelek ini dan hormatilah para ulama.
Demi Allah,
tidaklah ucapanku dicela dan tidaklah apa yang kita pegangi dimaki, melainkan
untuk menghancurkan manhaj ini. Maka orang yang membenci manhaj ini, ia akan
berbicara (jelek) tentang ulamanya, dan barangsiapa yang membenci manhaj ini
dan menginginkan kehancurannya, ia akan meniti jalan ini (yaitu celaan dan
makian terhadap ulama, pent.), dan jalan ini terbuka bagi mereka
–jalannya yahudi dan jalannya kelompok-kelompok sesat dari rofidhah dan
selainnya.
Rafidhah itu
sebenarnya membenci Islam, mereka tidak mampu berbicara langsung (mencela)
tentang Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, oleh karena itu mereka
berbicara (mencela) tentang Abu Bakr dan Umar serta ulama ummat ini, mereka
pada hakikatnya menginginkan hancurnya Islam. Demikian pula para pelaku bid’ah,
jika mereka berbicara, mereka tidak langsung berbicara tentang Ahmad dan
Syafi’i, namun mereka berbicara tentang Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu
Taimiyah –dan yang semisal dengan keduanya- untuk menghancurkan manhaj ini. Dan
sekarang, ada manusia yang tumbuh di dalam barisan salafiyin, tidaklah
kurasakan melainkan mereka memecahkan kepala para ulama! apa yang mereka
inginkan?! Apa yang mereka kehendaki?! Seandainya mereka menghendaki Allah dan
kampung akhirat, dan menghendaki menolong manhaj ini –dan mereka mencintai
manhaj ini- maka demi Allah, seharusnya mereka membela ulama-ulamanya. Jangan
kalian ambil ilmu agama dari mereka dan jangan pula kalian percayai mereka,
semoga Allah memberkahi kalian-, maka waspadailah mereka dengan kewaspadaan
penuh dan hendaklah kalian saling merapatkan (barisan) dan saling bersaudara
diantara kalian.
Aku tahu bahwa
kalian bukan orang yang ma’shum (terbebas dari kesalahan) dan tidaklah
para ulama itu juga ma’shum –karena terkadang kami juga salah- Ya Allah,
kecuali jika ada yang masuk ke dalam rafidhah mu’tazilah, jahmiyah
ataupun kedalam hizbiyah (kepartaian) dari hizbi-hizbi lainnya, maka
yang demikian ini harus disingkirkan.
Adapun seorang
salafiy yang berwala’ (memberikan loyalitas) kepada salafiyin dan
mencintai manhaj salafi -semoga Allah memberkahi kalian- dan membenci ahzab
(kelompok-kelompok), bid’ah dan para pelakunya –serta tanda-tanda manhaj salafi
ada pada dirinya-, kemudian ada kekurangan padanya dalam beberapa hal, maka
kita berlemah lembut kepadanya, dan kita tidak meninggalkannya, namun
menasehatinya, menggaulinya dan bersabar atasnya serta mengobatinya –semoga
Allah memberkahi kalian-. Adapun orang yang mengatakan : Barang siapa yang
salah maka ia binasa! Atas hal ini maka tidak pernah ada seorangpun (yang tidak
binasa, pent.)!!!
Oleh karena itu,
anda lihat mereka, ketika mereka telah selesai dari para pemuda, mereka mulai
menyerang para ulama. Ini adalah manhajnya Ikhwanul Muslimin yang telah masuk
ke negeri ini, dan yang pertama kali mereka serang adalah menjatuhkan para
ulama. Tapi justru mereka mulai membela Sayyid Quthb, al-Banna, al-Maududi dan
selain mereka dari ahlul bid’ah, di sisi lain mereka menjatuhkan para ulama
yang bermanhaj salafi dan mensifati mereka sebagai agen, mata-mata atau ulama
pemerintah… dan tuduhan-tuduhan lainnya!
Apakah tujuan
mereka?! Tujuan mereka adalah menghancurkan manhaj salafi dan membangun
kebatilan dan kesesatan di atas reruntuhannya. Dan orang-orang yang mencela sekarang ini, sesungguhnya mereka
berkata tentang diri mereka : sesungguhnya mereka adalah salafiyun, kemudian
mereka mencela para ulama salafiyah! Apakah yang mereka inginkan? Apakah mereka
menginginkan meninggikan bendera/panji Islam? Dan meninggikan bendera sunnah
dan manhaj salafi?! Selamanya (tidak)! Selamanya (tidak)! Ini adalah indikasi
dan petunjuk bahwasanya mereka adalah pendusta lagi penuduh –apapun yang mereka
dakwakan terhadap diri mereka-.
Maka aku
mewasiatkan kepada kalian wahai saudara-saudaraku, dan aku tekankan kepada
kalian untuk meninggalkan perpecahan. Wajib atas kalian saling bersaudara dan
saling menolong dalam kebenaran. Wajib atas kalian menyebarkan
dakwah ini –diantara pada thullab (penuntut ilmu) di Universitas dan
selainnya- dengan cara yang shahih dan bentuk yang indah, tidak dengan
bentuk yang buruk sebagaimana yang dijalani oleh mereka (mutasyaddidin, pent.)!
Kedepankan dakwah salafiyyah –sebagaimana telah kukatakan
pada kalian- dengan rupa yang elok : Allah berfirman, Rasulullah bersabda,
sahabat berkata, berkata Syafi’i, Ahmad, Muslim dan selainnya dari para
imam-imam islam yang mereka hormati dan agungkan serta mereka fahami ucapannya,
semoga Allah memberkahi kalian, hal ini akan menolongmu sampai kepada batas
yang jauh.
Sungguh, kalian akan mendapatkan beberapa orang yang
menentang, namun tidaklah setiap manusia akan menentang kalian. Bahkan kalian
akan mendapatkan mayoritas manusia mau menerima dakwah kalian, baik di sini, di
Universitas ini maupun ketika kalian telah pulang ke negeri kalian. Gunakanlah
cara-cara yang memikat manusia kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam, kepada manhaj salaf sholih, aqidah yang shahihah
dan manhaj yang shahih.
Aku meminta kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala supaya Ia
menuntun kami dan kalian kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya, dan supaya
Ia menjadikan kita da’i-da’i yang yang mukhlish dan ulama-ulama yang
mengamalkan ilmunya. Semoga Allah menjauhkan kita dari tipu daya Syaithan baik dari
golongan jin dan manusia.
Aku memohon kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala agar Ia
menyatukan hati kalian dan mempersatukan kalimat kalian dimanapun kalian berada
dan kemanapun kalian pergi. Aku mohon kepada Allah semoga Ia mewujudkannya.
Semoga Shalawat dan Salam senantiasa
tercurahkan atas Muhammad, keluarganya dan para Sahabatnya.
TANYA JAWAB :
Pertanyaan 1 : Aku menjalankan usaha/pekerjaan
pengiriman barang dagangan, apakah boleh bagiku mengirimkan barang dagangan
salah seorang pedagang yang menjual semacam mushaf, parfum dan majalah-majalah
ilmiah syar’iyah karya para ulama yang terkenal berpegang teguh dengan sunnah
–baik yang telah lalu maupun kontemporer- tapi ada beberapa yang menyusup ke
dalam barang dagangan ini dari sebagian buku-buku Ahli Bid’ah yang majhul (tidak
dikenal)?
Jawaban : Aku memandang bahwa pengirimanmu terhadap
kitab-kitab Ahli Bid’ah yang tidak dikenal termasuk tolong menolong dalam
kejelekan dan dosa. Aku berpendapat janganlah kau mengirimkannya. Tinggalkan
orang itu dan cari lainnya karena pintu-pintu rezeki masih terbuka. Kirimlah
barang dagangan sayur-mayur atau kirimlah kebutuhan-kebutuhan lainnya dari
perkara yang tidak mengandung syubuhat dan keharaman di dalamnya.
Pertanyaan 2 : Wahai Fadhilatus Syaikh,
jika ada seseorang yang melakukan kesalahan yang wajib untuk ditahdzir,
maka apakah mengharuskan menasehatinya dulu sebelum mentahdzir (memperingatkan)
manusia darinya ataukah tidak harus?
Jawaban : Jika keburukannya telah menyebar, maka
bersegeralah menasehatinya dan hal ini lebih bermanfaat namun jika dia mau
menerima (maka alhamdulillah, ed.) dan jika tidak maka
peringatkanlah ummat darinya. Mungkin dengan nasihat yang baik, mudah-mudahan
Allah Azza wa Jalla menjadikan nasihat ini bermanfaat bagi orang itu,
sehingga ia ruju’ (kembali) dari kebatilannya dan mengumumkan
kesalahannya, Semoga Allah memberkahi kalian. Namun jika anda datang dengan
menyodorkannya bantahan-bantahan saja, maka dia sulit untuk menerima! Maka
gunakanlah wasilah (cara) yang akan meninggalkan bekas yang baik, karena
dirimu ketika menasehati dirinya secara empat mata, dan anda tunjukkan
sikap-sikap yang halus kepadanya, maka ia akan ruju’ (kembali) –insya
Allah- dan mengumumkan kesalahannya (di depan publik, ed.). Hal
ini terdapat kebaikan yang besar dan lebih bermanfaat daripada membantahnya.
Oleh karena itu, sesungguhnya aku akan memberikan nasehat pertama kali
kepadanya, kemudian sebagian orang yang dinasehati menerimanya dan sebagiannya
lagi tidak. Maka, kita –saat itu- dengan terpaksa membantah dirinya.
Idza lam yakun illa al-Asinnah markab
Fa maa
hiilah al-Mudltharru illa rukuubuha
Jika tidak ada kecuali tombak sebagai kendaraan
Maka tidak ada
jalan lain bagi yang terpaksa kecuali menaikinya
Pertanyaan 3 : Wahai Fadhilatus Syaikh,
kapankah kita menggunakan al-liin (kelemahlembutan)? Dan kapan pula kita
menggunakan syiddah (kekerasan) di dalam dakwah kepada Allah, dan di
saat bermuamalah terhadap sesama manusia?
Jawaban : Hukum asal di dalam berdakwah adalah al-Liin
(lemah lembut), ar-Rifq (ramah) dan al-Hikmah. Inilah hukum
asal di dalam berdakwah. Jika anda mendapatkan orang yang menentang, tidak mau
menerima kebenaran dan anda tegakkan atasnya hujjah namun dia menolaknya, maka
saat itulah anda gunakan ar-Radd (bantahan). Jika anda adalah seorang
penguasa –dan pelaku bi’dah ini adalah seorang da’i- maka luruskanlah ia dengan
pedang, dan terkadang ia dihukum mati jika ia tetap bersikukuh dengan
menyebarkan kesesatannya. Banyak para ulama dari berbagai macam madzhab
memandang bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh Ahlul Bid’ah lebih berbahaya
dari para perampok. Oleh karena itu ia harus dinasehati kemudian ditegakkan
atasnya hujjah. Jika ia enggan maka diserahkan urusannya kepada hakim
syar’i untuk dihukum, bisa jadi hukumannya ia dipenjara, atau diasingkan atau
bahkan dibunuh.
Para ulama telah memutuskan hukuman terhadap Jahm bin
Shofwan, Bisyr al-Marisi dan selainnya dengan hukuman mati, termasuk juga Ja’d
bin Dirham. Ini adalah hukum para ulama bagi orang yang menentang dan tetap
keras kepala menyebarkan kebid’ahannya, namun jika Allah memberikannya hidayah
dan ia mau rujuk/taubat, maka inilah yang diharapkan.
Pertanyaan 4 : Sebagian pemuda berkata :
“Sebagaimana kami bertaqlid kepada Syaikh Albani rahimahullahu dalam
masalah hadits, maka demikian pula boleh bertaqlid terhadap para imam Jarh
wa Ta’dil di zaman kita ini secara mutlak”, apakah perkataan ini benar?
Jawaban : Syaikh Albani –dan para ulama yang lebih
besar dari beliau seperti Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa`i- maka orang yang
meneliti perkataan dan pendapat mereka terhadap hadits ada dua golongan, yaitu
: Adapun orang yang masih jahil dan tidak mungkin baginya menshahihkan
dan mendha’ifkan sebuah hadits, maka dibolehkan bagi mereka bertaqlid. Adapun
orang-orang yang mutamakkin (mampu dan kokoh ilmunya), penuntut ilmu
yang qowiy (kuat), ‘alim mutamakkin (orang yang ilmunya mantap)
yang mampu memilah antara yang shahih dan dha’if, dan dirinya memiliki
kemampuan serta ahli dalam memilah-milah antara yang shahih dan dha’if, yang
mempelajari biografi rijal (para perawi hadits), mempelajari ilal (cacat
hadits), dan lain lain, yang kadang bisa jadi bersesuaian dengan imam tersebut
atau menyelisihinya, sesuai dengan pembahasan ilmiah yang tegak di atas manhaj
yang shahih dan metodenya Ahli Jarh wa Ta’dil.
Taqlid di dalam masalah Jarh wa ta’dil, semoga Allah
memberkahi kalian, adalah : Jika seandainya seorang manusia tidak memiliki
kapabilitas ilmu, dia mengambil ucapan Bukhari, Muslim, Abu Dawud (yang
berkata) : Fulan kadzdzab (pendusta), Fulan Sayyi`ul Hifzhi (memiliki hafalan yang buruk), Fulan wahin (lemah), Fulan matruk (ditinggalkan), Fulan begini, dan dia tidak mendapatkan seorangpun
yang menolaknya, maka diambil perkataannya dikarenakan perkataannya merupakan khobar (berita) bukanlah fatwa. Hendaklah dia menerima perkataannya karena
ucapan tersebut merupakan khobar, sedangkan menerima khobar (berita) tsiqot (orang yang kredibel) merupakan perkara
yang urgen yang tidak boleh tidak!
Namun, jika ada seorang penuntut
ilmu dan dia mendapatkan orang yang menyelisihi seorang ulama yang menjarhnya,
kemudian dia temukan imam lainnya telah menyelisihinya dan memujinya, maka pada
saat itu ia harus menjelaskan jarhnya. Tidak serta merta langsung diterima ucapan
sang Jarih jika ada ulama lain yang menentang tajrih ini.
Jika tidak ada seorangpun yang
menentang maka diterima (tajrihnya), dan jika ada yang menentang (jarh tersebut) maka haruslah menerangkan sebab-sebab jarh-nya, semoga Allah memberkahi kalian, dan perkara ini ada di dalam
kitab-kitab mustholah dan kitab ulumul hadits.
Perkara ini adalah sesuatu yang
sudah ma’ruf (diketahui) oleh para penuntut ilmu, maka rujuklah Muqoddimah Ibnu ash-Sholah, Fathul
Mughits dan Tadribur Rawi. Dan rujuklah
kitab-kitab yang membahas perkara ini –yaitu Ulumul Hadits dan Ilmu Jarh wa Ta’dil-.
Pertanyaan 5 : Sebagaimana telah anda sebutkan, semoga Allah
menjaga anda, apakah mereka (al-Mutasyaddun
atau orang-orang yang ekstrim, pent.) memiliki jalan yang benar di
dalam berdakwah kepada Allah, apakah mereka, yaitu para da’i yang melempar
tuduhan kepada setiap orang dengan tuduhan tamyi’ tanpa ada
kesalahan, berada di dalam barisan salafiyin? Kami mengharapkan anda memberikan
contoh kepada kami?
Jawaban : Tidak ada yang perlu dicontohkan, namun hal ini
memang ada dan kalian telah mengetahuinya! Perkara ini dapat kalian rasakan dan
kalian pun mengetahuinya secara pasti. Tidak ragu lagi bahwa hal ini ada. Kita
mohon kepada Allah agar Ia menghilangkan fitnah ini, karena sesungguhnya hal
ini –demi Allah- telah membahayakan dakwah salafiyah dimana-mana, bukan hanya
di sini, namun di seluruh penjuru dunia! Ini adalah madzhab baru yang
tidak dikenal Ahlus Sunnah, yaitu menuduh Ahlus Sunnah dengan mumayyi’un –yaitu : mubtadi’ah- dan mematikan Ahlu Sunah itu sendiri.
Aku tidak menganggap mustahil
bahwasanya ada diantara orang-orang asing yang menyusup ke dalam manhaj salafi
dan salafiyin, karena hal ini suatu hal yang telah diketahui secara pasti
termasuk cara-caranya Ahlul
Hawa’ (pengikut hawa nafsu) yang mana
mereka menyusup ke dalam barisan salafiyin. Yahudi pun juga menyusupkan ke
dalam barisan kaum muslimin para penyusup yang menyesatkan. Dan pasti mereka
juga berpakaian dengan pakaian salafi jika memang perkaranya berkaitan dengan
salafiyin.
Anda lihat banyak Ahlul Bid’ah
mendakwakan diri mereka sebagai salafiyin, bahkan mereka mendakwakannya dengan
semangat yang meluap-luap dan kekuatan. Mereka mempertahankannya dari anda,
mereka adalah orang-orang yang tak dapat anda percayai, -semoga Allah
memberkahi anda-. Bahkan anda temui di dalam kaum muslimin –di seluruh dunia-
adanya orang-orang yang meyelinap masuk dengan nama Islam, hal ini adalah
perkara yang sudah dikenal, tetapi hanya orang-orang yang cerdik sajalah yang
mengetahui mereka, yang mengetahui perihal mereka, sikap mereka dan tindakan
mereka, dengan qarinah (indikasi/petunjuk) dalil. Semoga Allah memberkahi
kalian memberi taufiq kepada kalian.
Pertanyaan 6 : Sebagian pemuda membagi para ulama salafiyin
menjadi ulama syari’at dan ulama manhaj, apakah pembagian ini benar?
Jawaban : Ini salah! -Semoga Allah memberkahi kalian-, namun
dengan spesialisasi hukumnya seseorang dapat mengetahui syari’at yang terkadang
melebihi lainnya disebabkan perhatiannya terhadap manhaj serta apa yang
menyelisihi manhaj tersebut beserta orang-orangnya.
Dan ulama lainnya, ia memiliki
perhatian dan pengetahuan, namun ia tidak memiliki spesialisasi dalam segala
hal, terutama jika yang lainnya menyelisihinya –semoga Allah memberkahi
kalian-.
Tinggalkan pemilahan seperti ini,
karena asal pemilahan bersumber dari Ahlul Bid’ah, (yang membagi ulama menjadi)
fuqoha’ (Ahli Fikih) yang faham waqi’ (realita) dan fuqoha’ yang tidak faham waqi’! ini adalah pemisahan baru yang sekarang ada di
dalam barisan salafiyin, padahal tidak sepatutnya ada.
Mereka menghendaki mencela Ibnu
Baz dan ulama-ulama yang ada. Mereka berkata : ‘Para ulama itu tidak tahu waqi’!’ Jika mereka (Ahlul Bid’ah, pent.) berbicara tentang
perkara kontemporer dan problematika yang dihadapi dan menimpa kaum muslimin
yang terjadi saat ini, mereka berkata : ‘Para ulama itu tidak faham waqi’!!!’. Celaan ini adalah celaan yang sangat berbahaya, untuk mengaburkan
manusia bahwa masalah ini adalah khusus bagi mereka (yang sanggup menanganinya,
ed.).
Pertanyaan 7 : Apakah boleh kita menghajr (mengisolasi/memboikot)
orang-orang yang menyalami Ahlul Bid’ah dari kalangan Ikhwanul Muslimin, harokiyin dan takfiriyin, mereka bermajlis dengan mereka dengan tetap
mengakui bahwa mereka adalah mubtadi’, namun mereka menjauhkan manusia dari
ilmu Jarh wa Ta’dil?
Jawaban : Bagaimana mereka bermajlis dengannya?? Apakah
Salafiyun bermajlis dengan Ahlul Bid’ah?? Jika ditemukan ada seorang salafi
yang kuat, dan ia mampu untuk menyampaikan dakwah kepada Ahlul Bid’ah dan
kelompok-kelompok (lainnya) dengan hujjah
dan burhan, mampu
mempengaruhi mereka dan bukan mereka yang mempengaruhinya, maka ini merupakan
kewajibannya supaya dia bercampur dengan mereka dalam rangka mendakwahi mereka,
bukan dalam rangka makan dan minum bersama mereka, bukan pula untuk bermudahanah (menjilat/berpura-pura), bukan pula untuk sesuatu dari urusan agama,
bukan pula untuk menyetujui kebatilan mereka. Sesungguhnya dia berkumpul dengan
mereka di masjid untuk mendakwahinya, berkumpul dengan mereka di pasar untuk
mendakwahinya, dan pergi naik mobil, pesawat atau kereta api besertanya untuk
mendakwahinya.
Dia berdakwah dan mau tidak mau
dia harus bercampur dengan mereka, yang dia tak dapat terbebas dari mereka,
karena Ahlul Bid’ah dan Ahlul Ahwa’ adalah jauh lebih banyak, sedangkan
salafiyun bagaikan rambut putih pada kerbau hitam, semoga Allah memberkahi
kalian, maka mau tidak mau salafiyun berbaur dengan mereka, namun apakah
kewajibannya? Kewajibannya adalah, menyampaikan dakwah kepada Allah dengan cara
yang hikmah dan nasehat yang baik. Jika orang ini berdiam diri di rumahnya
dengan dalih menghajr Ahlul Bid’ah! Maka hal ini dapat mematikan
dakwah!!
Contohnya, ada seorang manusia
yang jahil dan pribadinya lemah, jika dia mendengar syubhat
yang kecil saja dengan serta merta dia mengambilnya, maka sepatutnya orang ini
menyelamatkan diri dari Ahlu Syubhat dan Ahlu Bid’ah, menjauhi mereka dan tidak
bermajlis dengan mereka. Namun jika ada seseorang yang mengujimu dengan
mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah salamnya : wa ‘alayka as-Salam. Tapi, jika anda bermajlis dengan mereka,
makan-makan dengan mereka, bercanda dengan mereka dan bercengkerama dengan
mereka, maka anda dalam hal ini telah melakukan kesalahan! Karena apa yang anda
kerjakan menyelisihi manhaj salafi dan sunnah.
Sekarang… saya –Rabi’ misalnya-,
tidaklah diriku melihat seorang mubtadi’ kecuali aku akan lari darinya! Dan aku tidak tau
kenapa!! Fulan, fulan atau fulan dari para penuntut ilmu –misalnya-, tidaklah
dia melihat seorang mubtadi’ melainkan ia lari darinya! Dia tidak mau
melihatnya atau memandang wajahnya dari depan rumahnya melainkan ia
menyembunyikan dirinya, jika ia melihatnya di suatu jalan, maka ia akan
menghindar ke jalan yang lain. Yang demikian ini bukanlah jalannya salafi. Para
sahabat dulu mereka menyebar diantara kaum kuffar di seluruh penjuru bumi, dan
mereka menyebarkan agama Allah kepada mereka, semoga Allah memberkah kalian.
Salafiyun sebelum kita, mereka
juga menyebar -seperti para sahabat- di tengah-tengah Ahlul Bid’ah, mereka
mempengaruhi Ahlul Bid’ah, dan masuklah beibu-ribu manusia ke dalam haribaan
manhaj salafi. Maka barangsiapa yang memiliki pemahaman dan kepribadian yang
kuat serta ilmu yang mantap, hendaknya dia menegakkan hujjah dan mendakwahi
mereka dengan cara yang hikmah dan pelajaran yang baik. Maka anda akan lihat pengaruh hal ini.
Adapun orang yang lemah, Demi
Allah! janganlah dia bercampur sedikitpun dengan mereka, namun jika ia diuji
dengan salam maka wajib atasnya menjawab salam, tidaklah mengapa ia
melakukannya, jika tidak apa yang ia lakukan? Namun, janganlah ia becampur dan
jangan pula bermajlis dengan mereka.
Pertanyaan 8 : Bagaimana cara bermua’amalah terhadap seseorang
yang berpendapat : ‘Sesungguhnya fulan telah dikatakan mubtadi’ oleh ulama,
namun dia hanya menyalahkannya saja dan tidak mengeluarkannya dari lingkaran
Ahlus Sunnah’? Dan manhaj baru ini mulai tampak setelah wafatnya para ulama
senior seperti Albani, Ibnu Baz dan al-Utsaimin –semoga Allah merahmati mereka
semua-.
Jawaban : Iya, manhaj ini memang baru-baru ini berkembang.
Kalian memiliki ilmu dari Jarh
wa Ta’dil –perkataan yang tadi telah kami
utarakan-: ada manusia menjarh seseorang dan ada manusia tidak menjarhnya, ada manusia yang memujinya dan membela orang yang dijarh ini, dan
kita meminta kepada orang yang menjarh tafsir (penjelasan sebab
jarhnya, pent.). Jika ia menjelaskan sebab-sebab jarhnya secara
benar maka wajib mengikutinya, karena hal ini termasuk mengikuti yang benar dan
membantah orang-orang yang tidak memiliki kebenaran dan orang itu menolak
kebenaran.
Hakikat Jarh wa Ta’dil itu sendiri didapatkan di sini, mereka menjarh
seseorang namun jarhnya tanpa disertai hujjah maka sungguh ucapannya tidak
bernilai. Jika mereka menjarh dengan hujjah maka wajib bagi orang yang
menyelisihi mereka (orang yang menjarh, pent.) ini untuk mengakui
kebenaran dan kembali kepada al-Haq, dan dia mengambilnya dengan hujjah, semoga Allah
memberkahi kalian. Betapa banyak orang-orang yang mendustakan kebenaran dan
menolaknya. Dan hal ini sungguh merupakan perkara yang besar dan sangat
berbahaya.
Dan demikianlah –sebagaimana
telah kukatakan pada kalian-, inilah dia kaidah di dalam Jarh wa Ta’dil, yaitu dituntut orang yang menjarh penjelasan
(tafsir) jarhnya dan bayyinah
(keterangan) atasnya jika mereka tidak
memiliki bayyinah, namun jika mereka memiliki bayyinah dan dalil, maka ia menjadi hujjah dan mengikuti kebenaran, dan
selesailah segala perkara.
Pertanyaan 9 : Semoga Allah memberi anda pahala, jika ada seorang
ulama menghukumi seseorang bahwa ia adalah seorang mubtadi’, apakah
dimutlakkan pula hukum ini terhadap pengikutnya yang mengikuti syaikhnya,
mereka berdalih bahwa syaikh mereka hanya melakukan kesalahan biasa dan tidak
perlu membid’ahkannya?
Jawaban : Dikembalikan pada pertanyaan pertama tadi, jika
ulama tadi yang membid’ahkan orang ini memiliki hujjah atas tabdi’nya, maka wajib atas murid-muridnya dan setiap orang yang meneliti
perkara ini mau mengambil kebenaran ini. Tidak boleh bagi mereka membelanya.
Aku memohon kepada Allah untuk
mempererat hati kalian.
Aku memohon kepada Allah untuk
mempersatukan kalimat kalian di atas kebenaran.
Aku memohon kepada Allah untuk
menghilangkan tipu daya syaithan dari kalian.
Dan bersungguh-sungguhlah kalian
untuk mewujudkan sebab-sebab (persatuan) ini, dan cabutlah sampai ke
akar-akarnya sebab-sebab duri/luka perpecahan yang telah mendarah daging ini.
Semoga Allah menuntun kalian dan
meluruskan langkah-langkah kalian –hayyakumullahu-
Lihatlah musuh-musuh kalian
bergembira! Sesungguhnya dakwah salafiyah dihentikan dan diganggu –wahai
saudaraku sekalian-, maka bertakwalah kalian kepada Allah terhadap (perihal)
diri-diri kalian, dan bertakwalah kepada Allah terhadap dakwah ini. Dan
wujudkalah semua sebab-sebab yang dapat menumpas segala kebatilan dan fitnah
ini.
Barokallahu
fiikum wa Hayyaakumullahu.
Wassalamu’alaykum
warahmatullahi wabarokatuh.