MENGAPA MEREKA
LEBIH MENDAHULUKAN KHILAFAH DARIPADA TAUHID ???
Oleh : Abu Salma
al-Atsary
egala puji hanya bagi Allah, Rabb
pemelihara alam semesta, satu-satunya Ilah yang Haq untuk disembah, yang tiada
sekutu bagi-Nya baik dalam nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum dan
ibadah kepada-Nya, yang mengutus para nabi untuk menegakkan haq-Nya, yang
menurunkan al-Kitab sebagai bayyinah atas keesaan-Nya, yang menciptakan manusia
dan jin hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan menjadikan segala maksud dan
tujuan hanyalah untuk-Nya. Amma Ba’du:
Sesungguhnya,
sejak zaman dahulu hingga sekarang, sejak manusia pertama diciptakan hingga
manusia terakhir akan binasa, Tauhid merupakan pondasi dasar ubudiyah seorang
hamba, haq Rabb yang harus dipenuhi hamba-Nya, baik dalam keadaan lapang maupun
sempit, dalam keadaan suka maupun duka. Bahkan, tiadalah diutus para anbiya’
dimuka buni ini kecuali mengembalikan fitrah manusia pada kesuciannya, dalam
mengabdi dan beribadah kepada penciptanya semata.
Namun, sungguh
sayang, ketika kelompok-kelompok islam yang parsial/juz’iyyat dalam
gerakannya bermunculan, mereka membangun bangunan yang dimulai dari atapnya,
sedangkan pondasinya keropos dan kosong dari pilar-pilar aqidah, maka bagaimana
mungkin bangunan tersebut akan berdiri, sedangkan pondasinya tidak ada, dan
mereka mencurahkan segala daya dan upaya mencari cara untuk membangun atap
bangunan yang tak berpondasi dan berpilar tersebut. Mereka berfikir, jika
mereka membangun pondasi terlebih dahulu, akan memerlukan waktu yang lama,
biaya dan tenaga yang besar, sedangkan hujan, badai dan terik telah menyiksa,
maka atap untuk berlindung lebih diperlukan, karena mereka tak kuat lagi
tertimpa hujan dan panas terik…
Namun sungguh
malang, karena upaya mereka itu adalah mustahil dan bodoh, karena biar
bagaimanapun, pondasi adalah penting dalam membangun infra-struktur suatu
bangunan, tanpa pondasi, maka kita seolah-olah hanya mengharap sesuatu yang tak
mungkin tegak, bak hendak meraih bulan dan bintang di tengah malam, padahal
tangan tak sampai. Pun seandainya berdiri atap tersebut, dan mereka beranggapan
telah aman dari hujan dan terik yang mendera, namun bangunan itu sangat lemah,
hanya dengan tiupan angin sedikit saja, maka akan hancur berkeping-keping
bangunan dan usaha mereka yang sia-sia tersebut. Inilah perumpaan mereka,
penyeru-penyeru islam yang senantiasa menggembar-gemborkan khilafah islamiyyah,
namun mereka jahil dan acuh terhadap aqidah dan manhaj yang benar di dalam
islam.
Inilah fenomena
nyata saat ini, dimana banyak sekali kelompok yang mengklaim sebagai kelompok
penegak syariat islamiyyah dan pelanggeng hukum-hukum islam, berkoar-koar ke
sana kemari, meneriakkan dan memekikkan tathbiqus syarii’ah (penegakkan syariat),
namun sekali lagi sungguh sayang, pekikan mereka tampak begitu parsial,
seolah-olah syariat islam yang dimaksud hanyalah seputar hukum-hukum siyasiyyah
saja, hanya penyelenggaraan hukum had, qishash, dan lain sebagainya,
mereka melalaikan suatu hal yang lebih penting dari itu semua, yang merupakan
dasar dan pijakan dari hukum-hukum lainnya, dan merupakan syariat terbesar di
dalam islam, yang seharusnya kita tegakkan dan kita prioitaskan, sebagai
pengejawantahan penegakkan syariat secara integral dan kaafah, yakni penegakkan
haqqullah (hak Allah) yang wajib dipenuhi hamba-Nya, yaitu mentauhidkan-Nya di
dalam uluhiyah/ubudiyyah. Karena inilah metode rasululullah ShallaLlahu
'alaihi wa Sallam dalam da’wahnya, manhajnya seluruh rasul dan nabi, karena
Allah Ta'ala’ala telah menandaskannya secara gamblang di dalam firman-Nya surat
An-Nahl ayat 36, “Dan sungguh telah kami utus pada tiap-tiap ummat seorang rasul,
(yang menyeru) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut.”
Mereka
menyatakan bahwa menegakkan daulah merupakan ghoyah (tujuan) da’wah, dan
daulah khilafah Islamiyyah adalah suatu hal yang niscaya dan wajib, mereka
berdalil dengan qoidah ushul fiqh, Maa Laa Yutimmu waajibun illa bihi fahuwa
waajibun, Suatu hal yang jika tanpanya tidak akan sempurna suatu kewajiban,
maka hukumnya adalah wajib, karena tidaklah akan tegak syariat Islam kecuali
jika ada perangkatnya, sedangkan daulah khilafah adalah perangkat syar’i untuk
meng-implementasikannya. Maka daulah khilafah hukumnya wajib, dan tidak
menegakannya termasuk dosa.
Mereka juga
berdalil dengan hadits baiat, bersabda nabi ShallaLlahu 'alaihi wa Sallam, “Man
maata walaysa fi unuqihi baa’iatan, fa maata miytaatan jaahilayatan”
(barangsiapa yang mati sedangkan tidak ada baiat di pundaknya, maka matinya bagaikan
bangkai jahiliah). Anggapan mereka, bahwa baiat wajib atas kholifah/imamul
a’dham, namun sekarang saat tak ada imamul a’dham, maka dengan kembali ke
qoidah awal tadi, makai baiat adalah wajib, karena jika tak ada baiat maka mati
kita adalah mati jahiliah, sehingga wajib atas kita untuk membaiat seorang imamul
a’dham, padahal ba’iat takkan bisa ditegakkan jika tak ada daulah, maka
menegakkan daulah hukumnya wajib, sehingga menurut anggapan mereka, orang-orang
yang menegakkan daulah tidak terkena ancaman hadits tersebut, namun orang islam
yang tak ada keinginan untuk menegakkan daulah terkena ancaman matinya dalam
keadaan jahiliah.
Maka, kami
katakan pada mereka, wahai para pengklaim penegak hukum islam dan perindu
daulah khilafah islamiyyah, dengan cara apakah antum memenuhi harapan antum
tersebut? Dengan metode bagaimanakah antum menegakkannya? Na’am!!! Tidak
dipungkiri bahwa syariat islam takkan bisa tegak secara sempurna jika tidak
didukung oleh hukama’ atau daulah islamiyyah. Sungguh merupakan suatu
dambaan bagi kami dan antum akan tegaknya daulah khilafah Islamiyyah ‘ala
manhaj nubuwwah, namun ingatlah, bahwa islam ini adalah agama yang
sempurna, yang tak butuh pengurangan terlebih lagi penambahan, telah terang
metode da’wah al-haq di al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa tidaklah para nabi dan
rasul (QS 16:36, 21:25), baik itu nabi Nuh kepada kaumnya (QS 7:59), Hud kepada
kaum ‘Aad (QS. 7:65), Sholih kepada kaum Tsamud (QS. 7:73), Nabi Syuaib kepada
Madyan (QS. 7:85), dan seluruh nabi hingga nabi terakhir kita Muhammad ShallaLlahu
'alaihi wa Sallam (39:65-66,dan masih banyak ayat pada tempat lain)
melainkan adalah mereka semua diutus untuk menegakkan peribadatan hanyalah
untuk Allah semata, baik dalam ibadah dan ahkam. Lantas, mengapa gaung dan gema
pekikan tathbiq syariiatil islaamiyyah yang antum tabu kosong dari
syariat islamiyyah yang paling tinggi ini, yakni da’wah kepada tauhidul
uluhiyyah/ibaadah? Kenapa antum konsentrasikan, fokuskan dan curahkan
segala daya dan upaya antum pada bagian yang parsial/juz’iyyah saja,
yakni penegakkan daulah khilafah semata, penegakan syariat had, qishahsh
dan yang semisalnya, sedangkan tidak pernah kami lihat antum mengajak manusia
kepada Aqidah yang benar secara tafshil (teperinci), kepada sunnah nabi
yang mulia yang shohihah, kepada dien yang murni sebagaimana awalnya.
Maka kami
katakan lagi kepada mereka mengenai dalil-dalil parsial mereka tentang ghoyah
da’wah mereka yang mereka orientasikan kepada daulah, maka kami jawab :
1. Likulli maqool maqoom wa likulli
maqoom maqool (tiap-tiap ucapan ada tempatnya dan tiap tempat juga ada
ucapannya), qoidah yang antum gembar-gemborkan, Laa yutimmu waajibun illa
bihi fahuwa waajib, tentulah ada konteksnya, dan memang kami membenarkan
bahwa daulah adalah suatu hal yang niscaya sebagai perangkat penegakkan syariat
islamiyyah, dan ini adalah ideal keinginan tiap muslim, jika ada muslim yang
tak menghendaki akan adanya daulah islamiyyah maka patutlah dipertanyakan
keimanannya, namun satu hal yang harus diingat, metode apakah yang kita tempuh
dalam menuju daulah Islamiyyah, inilah yang membedakan antara kami dengan
antum, antum lebih fokus kepada upaya parsial dengan pengopinian kepada
masyarakat pentingnya daulah islamiyyah dan penegakkan syariat (walau banyak
dari antum jahil terhadap syariat itu sendiri) sedangkan kita mengajak ummat
secara integral dari metode yang digariskan Allah dan Rasul-Nya, yang kita
berpijak dan berangkat darinya. Maka wahai antum yang berjuang dengan orientasi
daulah, kita katakan, maa laa yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib,
dengan qoidah ini kita sepakat bahwa menegakkan daulah adalah suatu hal yang
niscaya, maka mari kita juga bersepakat, dengan qoidah itu pula, tidak akan
bisa tegak daulah jika kita tidak meniti dengan metodenya para anbiya’ dan
rusul yang telah ma’tsur di dalam kitabain, yakni memulai
da’wah ini dari tauhid dan aqidah shohihah.
2. Allah Ta'ala berfirman, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah
kepada Allah” (Al-Hujurat : 1), dari ayat ini maka wajib bagi tiap mu’min
untuk mendahulukan al-Qur’an dan as-Sunnah dari lainnya, dan wajib berhujjah
dengan keduanya, maka apakah layak bagi kita mendahulukan qoidah ushul
fiqh di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal ushul fiqh merupakan istinbath
para ulama’ yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah,.
3. Allah Ta'ala berfirman, “Kemudian jika
kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an)
dan Rasul (as-Sunnah)” (An-Nisaa’ : 59), dari ayat ini wajib atas mu’min jika berselisih
untuk mengembalikan kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Sekarang kita berselisih
terhadap orientasi da’wah, antum mengatakan daulah prioritas pertama saat ini
sedangkan kami menyatakan tauhid dan aqidah islamiyyah yang terpenting, maka
merupakan kewajiban atas kita untuk mengembalikan perselisihan kita ini kepada kitabain,
maka wahai antum yang berorientasi kepada daulah dan tathbiqusy syarii’at,
tunjukkan dalil-dalil antum dari al-Qur’an dan as-Sunnah, di ayat mana para anbiya’
dan rusul memulai da’wahnya dan memprioritaskan da’wahnya kepada
kekuasaan, di hadits mana?? Apakah qoth’i ad-Dilalah (pasti
penunjukannya)??, maka ketahuilah!!! kami dapat menunjukkan berpuluh-puluh ayat
dari al-Qur’an dan beratus-ratus hadits tentang manhaj kami yang qoth’i
ad-Dilalah, bahwa metode haq dari kitabain adalah tauhid, prioritas pertama
dan utama!!!
4. Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya
Allah takkan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka.” (ar-Ra’du : 11), kita beristifaadah dengan ayat ini bahwa
keadaan ummat ini takkan berubah hingga ummat ini yang merubah keadaan mereka,
tentunya dengan cara/ikhtiyar yang masyru’ (disyariatkan),
maka kita sama-sama sepakat dan sering menggunakan ayat ini, namun kita berbeda
dalam pemahamannya, antum sering menggunakan ayat ini sebagai hujjah wajibnya
menerapkan syariat islamiyyah dan dorongan untuk menegakkannya sebagai solusi
dari semua krisis ummat saat ini, namun antum lupa, bahwa ikhtiyar manusia itu
juga tak lepas dari Irodah syar’iyyah Allah, yakni Allah takkan menolong
hamba-Nya yang tak menolong agama-Nya, Intanshurullahu yanshurkum wa yutsabbit
aqdaamakum, mafhum muwaafaqoh (pemahaman tekstual) dari ayat ini
adalah, jika kita menolong agama Allah niscaya Allah akan menolong kita, namun mafhum
mukhalafah (pemahaman berkebalikan) dari ayat ini adalah, jika
kita tidak menolong agama Allah dengan cara yang digariskan Allah dan
rasul-Nya, maka bagaimana mungkin Allah akan menolong kita dan
memperteguh kedudukan kita, walaupun kita sudah berusaha untuk
merubah keadaan kita, namun jika Allah tak menghendaki, yang disebabkan oleh
faktor penghalang turunnya nashrullah, maka keadaan kita akan tetap
demikian, dan ingatlah bahwa cara perubahan yang paling masyru’ adalah inqilabiyyah
yakni dengan tashfiyah (pensucian/pemurnian) dari syirik, bid’ah,
maksiat, dan tarbiyah (pembinaan) dengan aqidah yang benar,
sunnah yang shohihah, dan amal yang sholih. Inilah metode yang haq itu, inilah
perubahan yang akan membawa kepada kemenangan, yakni at-Tashfiyah
wat-Tarbiyah!!!
5. Allah Ta'ala berfirman, “Dan Allah telah
bejanji dengan orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholeh,
bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadikanmu berkuasa di bumi (dengan
kekhilafahan), sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelummu berkuasa,
dan sungguh ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk
mereka, dan Ia benar-benar merubah keadaan mereka setelah mereka dala
keadaan ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap menyembah-Ku dan tiada
mempersekutukan-Ku dengan suatu apapun.” (an-Nur : 55), ayat ini bagi
orang-orang yang berakal pasti akan menunjukkan banyak faidah, dari tekstual
ayat telah nyata bahwa merupakan janji Allah untuk memberikan kekuasaan
bagi ummatnya yang beriman dan beramal sholih, iman kepada Allah secara
ijmal (global) dan tafshil (terperinci), yang mana keimanan ini hanya dimiliki
oleh ahlus sunnah wal jama’ah, dan beramal sholih, yang ikhlash lillahi Ta'ala
dan ittiba’ rosul ShallaLlahu 'alaihi wa Sallam, inilah syarat kemenangan itu,
bahkan pada akhir ayat Allah menjelaskan syarat yang lain, yakni
mentauhidkan-Nya semata dan tak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun.
Lantas, bagaimana mungkin Allah Ta'ala akan mmberikan kekuasaan jika ummat ini
masih jahil terhadap aqidah yang benar, mereka tak bisa membedakan mana syirik
mana tauhid, mana sunnah mana bid’ah, mereka masih menyembah kuburan-kuburan,
bertawassul dengan wali-wali dan orang sholih yang telah meninggal, menyeru
mayat-mayat, membangun kubah di kuburan, ghuluw terhadap nenek moyang mereka,
lantas bagaimana mungkin Allah akan memenuhi janji-Nya. Maka berfikirlah!!!
Inilah yang ditinggalkan oleh hampir kebanyakan kelompok islam, yakni metode da’wah
integral/kulliyat yang ittiba’ terhadap metode da’wah anbiya’ dan
rusul, yang ma’tsur di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang tidaklah jika
ummat ini berpijak dan berangkat dainya kecuali hanyalah kemenangan yang akan
didapatnya. Maka berfikirlah sekali lagi wahai antum yang berjuang menatap ke
langit namun kepalamu tak mampu mendongak ke atas apalagi meraihnya.
6. Al-Ghoyah laa tubirrul washilah,
Tujuan tak membenarkan segala cara, karena, al-ashlu fil ‘ibaadah
al-ittiba’, asal dari ibadah adalah ittiba’ rasul, dan islam itu tauqifiyyah,
laa yutsbitu illa bid’dalil, tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, dan
da’wah termasuk bagian dari islam, dan ia adalah da’wah, sedangkan da’wah itu
adalah tauqifiyyah, maka wajib untuk ittiba’ terhadap metode rasul, maka
kami tanyakan kepada mereka, ittiba’ terhadap siapakah antum dalam metode
da’wah antum? Tidakkah antum telah melakukan bid’ah fi manhajid da’wah,
bid’ah dalam metode da’wah? Maka dimanakah hujjahmu wahai orang yang berakal???
Sungguh, kami dapat menunjukkan kepada mereka berpuluh hujjah akan lemahnya
pemahaman mereka terhadap manhaj da’wah bid’iyyah mereka, banyak kitab yang
telah ditulis para ulama’ mengenainya, namun kami cukupkan hanya sampai di
sini, semoga dapat mengambil pelajaran orang-orang yang berakal, dan semoga
impian mereka yang hanya isapan jempol semata itu dapat sirna dan mereka
akhirnya tersedarkan bahwa kita takkan dapat meraih kekuasaan dengan pemahaman
parsial, dan bersumber dari pemahaman mu’tazilah, khowarij dan kelompok
sempalan islam.