Manhaj Ahlus Sunnah wal
Jama’ah
( Akidah, Ibadah, Ahlak &
Dakwah )
Bagian I
MAKNA
MANHAJ DAN AHLUSSUNNAH
I. Makna Manhaj
Secara bahasa kalimat “manhaj“ berasal dari
kata –nahaja- yang berati jalan yang terang. Bisa juga
berarti jalan yang ditempuh seseorang, Allah I berfirman:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang”.
Ibnu Abbas t
berkata:
وَاللهِ
مَا مَاتَ رَسُوْلُ
اللهِ حَتَّى
تَرَكَ السَّبِيْلَ
نَهْجًا وَاضِحًا
“Demi Allah, Rasulullah tidak
meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang jelas”
Adapun manhaj yang dimaksud di sini
adalah jalan hidup Rasulullah e yang kemudian dilalui oleh para
sahabat, Tabi’in dan pengikutnya dalam kebenaran hingga hari kiamat,
sebagaimana firman Allah I :
” Katakanlah: "Inilah jalan
(agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik".
II. Makna
Ahlussunnah wal jamaah.
Kata “Ahlussunnah” terdiri dari dua suku
kata yaitu ahlu yang berarti keluarga, pemilik, pelaku
atau seorang yang menguasai suatu permasalahan. Dan kata Sunnah
yang berarti apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang
bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari
Kiyamat.
Namun dalam perspektif syariah (fiqh) kata sunnah sering
diartikan dengan Perbuatan yang kalau dilakukan mendapat pahala, dan kalau
ditinggalkan tidak mendapat dosa. Namun yang dimaksud dengan As-Sunnah" di
sini adalah adalah,” Thariqah (jalan hidup) Nabi r yang juga
dilalui oleh para shahabat yang telah selamat dari syubhat dan syahwat".
Fudhail bin Iyadh berkata,”Ahlus Sunnah adalah orang yang mengetahui apa yang
masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal".
Karena tidak memakan yang haram termasuk salah satu
sunnah yang dilakukan oleh Nabi r dan para
shahabat.
Dengan demikian maka Ahlus Sunnah
adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah r dan sunnah shahabatnya. Imam Ibnul
Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar Rasulullah r dan atsar para
shahabatnya adalah Ahlus Sunnah".
Adapun kata jamaah berarti bersama atau
berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam
kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari
sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari Kiyamat.
Sedangkan menurut istilah, dikatakan oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin, ” Ahlussunnah wal jamaah adalah orang
yang mengamalkan sunah Rasulullah dan berkumpul di dalamnya dengan beribadah
kepada Allah baik dalam masalah aqidah (keyakinan), perkataan, perbuatan, dan
panutannya adalah Shalafusshalih dari sahabat, tabiin dan pengikut tabiin”.
III. Kreteria
Ahlussunnah wal jamaah
DR. Nashr Al-Aql dalam kitabnya “Mafhum Alhlussunnah
inda Ahllussunnah”, menyebutkan beberapa kreteria Ahlussunnah wal jamaah
di antaranya;
1. Mereka adalah
sahabat Rasulullah yang mengerti, melihat dan mengamalkan sunnah Rasullullah
pertama kalinya, oleh sebab itulah mereka berhak mendapat gelar demikian.
Begitu juga para tabiin yang mengambil
sunnah dari sahabat dan mengamalkannya tanpa menambah dan menguranginya. Dan
juga para pengikut tabiin dan orang-orang setelahnya sampai hari kiyamat yang
berusaha mencontohi dan mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah.
2. Ahlussunah adalah
para salafusshalih yang mengamalkan Kitab dan Sunah sesuai dengan petunjuk
Rasulullah e , Yang mengikuti
teladan para sahabat, tabiin dan ulama-ulama yang tidak pernah merubah dan
membuat hal-hal yang baru dalam agama Allah.
3. Ahlussunnah wal
jamaah adalah firqatunnajiyah (golongan yang selamat) di antara golongan-golongan
yang ada. Yang selalu mendapatkan pertolongan
dari Allah sampai hari kiyamat.
4. Mereka adalah orang–orang yang ghuraba’ (asing)
karena tetap berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam keadaan yang orang lain melupakan dan
meninggalkannya. Mereka juga memperjuangkan tegaknya As-Sunnah di saat
tersebarnya bid’ah dan kesesatan dan kerusakan, sebagaimana sabda Nabi e,”Islam
muncul pertama kali dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing
sebagaimana semula. Maka beruntunglah orang–orang yang asing”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Beruntunglah
al-Ghuraba’ yaitu orang yang shalih di tengah manusia yang jahat, orang yang
mengingkarinya lebih banyak dari yang mengikutinya”.
5. Dinamakan
Ahlussunnah karena mereka mengamalkan sunah sebagaimana mestinya. Berdasarkan sabda Nabi e
“Amalkanlah sunnahku”.
Penamaan Ahlussunnah dilakukan setelah
terjadinya fitnah pada awal munculnya firqah-firqah. Ibnu Sirin
berkata,”Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika
terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada
kami. Mereka melihat bila ia termasuk Ahlus Sunnah hadits mereka diambil, dan
bila termasuk ahlul bi'dah maka hadits mereka tidak di ambil".
Al-Imam Malik pernah ditanya
:"Siapakah Ahlus Sunnah itu ?. Beliau menjawab,”Ahlussunnah adalah mereka
yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal seperti Jahmi,
Qadari, atau Rafidli".
Istilah Ahlus Sunnah sudah
terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) sebagai kebalikan dari
istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij,
Murji'ah dan lain-lain. Ahlus Sunnah adalah orang yang tetap berpegang pada
sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah e dan para shahabatnya. Jadi gelar Ahlussunnah bukanlah hal-hal yang muhdats
(dibuat-buat baru), tetapi mempunyai sandaran syar’I yaitu:
1. Sunnah Rasulullah
e karena beliau
memerintahkan untuk mengamalkan sunnahnya. Dan memerintahkan untuk berjamaah
dan melarang untuk berpecah belah dan keluar darinya. Jadi Ahlussunnah adalah gelar yang diberikan langsung oleh
Rasulullah e.
2. Bersumber dari
atsar para sahabat dan generasi terbaik umat ini dari sifat mereka yang telah
disepakati oleh para ulama umat yang mereka tulis dalam kitab-kitabnya.
3. Sebuah nama yang
dipakai untuk membedakan mereka dengan pelaku bid’ah, bukan seperti yang dituduhkan bahwa istilah ahlussunah tidak
muncul kecuali setelah terjadi perpecahan di antara umat Islam.
IV. Apakah mereka terbatas hanya pada
satu masa dan tempat?.
Ahlussunnah tidak hanya terbatas pada
satu priode dan tempat. Tetapi terkadang mereka lebih banyak di suatu tempat
atau masa dan berkurang di masa atau tempat yang lain.
Beberapa
karakteristik dari Ahlussunah yang disebutkan sendiri oleh para salafusshalih
adalah ;
1. Mereka yang
berpegang pada tali Allah yang kuat.
Abu Bakar
al-Shiddik t berkata, “
As-Sunnah adalah tali Allah yang kuat, barang siapa yang meninggalkannya maka
dia telah memutus talinya Allah”, Umar bin
al-Khattab t menambahkan,“Sesungguhnya
Ashabussunan (pengamal sunnah) itu lebih mengetahui tentang Kitabullah”.
2. Mereka adalah
teladan baik yang mengajak kepada jalan yang benar.
Umar bin Qais al-Malaiy (wafat tahun 143
H) berkata, “Apabila anda melihat
seorang pemuda yang tumbuh dewasa bersama Ahlussunnah maka peliharalah, dan
kalau besar bersama pelaku bid’ah maka jagalah dirimu darinya. Karena sifat
seorang akan tumbuh dewasa sesuai dengan masa kanaknya”. Dalam kitab kitab
yang sama ditambahkan, “Sesungguhnya pemuda
apabila bergaul dengan orang alim maka akan selamat, tetapi apabila
bergaul dengan yang lainnya maka akan terpengaruh Ibnu Syaudzab
(wafat tahun 120 H) berkata, “Termasuk
nikmat Allah kepada pemuda apabila dewasa diberikan taufik untuk bergaul dengan
pelaku sunnah”.
Demikian juga
yang dikatakan oleh as-Sahityani (wafat tahun 131 H), “Termasuk kebahagiaan
bagi seorang apabila diperkenankan oleh Allah untuk bergaul dengan Ahlussunnah”. Dan dari Ibnu
Abbas diriwayatkan ketika menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 106
beliau mengatakan,” Adapun orang yang putih mukanya adalah Ahlussunnah wal
Jamaah, dan orang yang hitam mukanya adalah ahli bid’ah dan kesesatan “.
3. Mereka tidak mau
diberi gelar dan atribut kecuali dengan nama Ahlussunah.
Barang siapa yang
bergabung pada kelompok yang bukan Ahlussunah maka akan mendapatkan kerugian
dan kebinasaan karena Ahlussunah-lah golongan yang selamat karena
mendapatkan pertolongan dari Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah,
dan itulah jalannya orang–orang yang mukmin. Ibnu Abbas berkata,”Barang siapa
yang mengikuti kelompok-kelompok pelaku bid’ah ini maka dia telah melepaskan
ikatan Islam dari dirinya.“ . Ketika Imam Malik
ditanya siapakah Ahlussunnah itu ?, beliau menjawab, “Mereka orang yang tidak
mempunyai nama lain atau identitas yang dikenal dengannya seperti Jahamiy
(pengikut kelompok Jahamiyah), Rafidhiy (pengukut Rafidhah) atau Qadhariy
(pengikut Qadariyah)”.
Begitu
juga jawaban Ibnu Al-Qayyim ketika ditanya tentang Ahlussunnah beliau berkata,
“Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlussunnah”. Malik
bin Maglul lebih tegas lagi mengatakan, “Apabila ada seorang menamakan dirinya dengan bukan Islam dan
As-Sunnah maka masukkanlah dia pada agama apapun yang kamu kehendaki. Maka Maimun bin
Mahran menasihatkan untuk jangan sekali-kali menamakan dirinya dengan nama
selain Islam “.
Referensi:
- Muzilul Ilbas fi al-Ihkam ‘ala an-Naas, editor Syaikh Sa’d bin Shabir Abduh.
- Ta’rif al-Khalaf bi Manhaj al-Salaf, DR. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan
- Al-Minhaj baina al-Ishalah wa al-Tagrib, DR. Muhammad bin Shalih Ali Jan
Bagian II
Manhaj Aqidah Ahlussunnah wal
Jamaah
Ahlussunnah adalah jama'ah yang dimaksud oleh Rasulullah e dalam sabdanya,”Akan senantiasa ada
segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul,
yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga
datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta'la), sedang mereka tetap dalam keadaan
yang demikian".
Ahlussunnah adalah al-firqotun najiyah, yang pada masa Rasulullah e mereka adalah umat yang satu sebagaimana
firman Allah I ,”Sesungguhnya kalian adalah umat yang
satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku".
Orang Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada
zaman Rasulullah, namun belum pernah berhasil, sebagaimana firman Allah ,
” Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah
berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang
diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang
dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum
muslimin) kembali kepada kekafiran".
Namun Rasulullah e memberitahukan akan terjadi perpecahan di
kalangan umat Islam sebagaimana sabda beliau,” Sesunguhnya barangsiapa yang
masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka
berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa'rasiddin yang
mendapat petunjuk setelah Aku".
Dan sabda beliau e,”Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh
puluh satu golongan; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua
golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang
satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada
pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini".
Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat
dari kesesatan, maka kita perlu mengetahui nama-nama dan ciri-cirinya agar kita
dapat mengikutinya. Di antara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan
yang selamat), Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong), dan Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah, yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Kelompok ini adalah yang selamat dari api neraka sebagaimana sabda Nabi e,” Seluruhnya di atas neraka kecuali satu (Maksudnya
yang tidak masuk ke dalam neraka adalah satu).
Kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan
apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu) dari
kalangan Muhajirin maupun Anshar. Rasulullah bersabda,”Mereka itu adalah siapa-siapa
yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini".
Mereka itu bisa
dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting;
pertama, berpegang teguhnya
mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemilik sunnah
(Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang berpegang pada
pendapat, hawa nafsunya sehingga dinisbahkan kepadanya seperti Al-Qadariyah dan
Al-Murji'ah. Atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah, atau
dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan
Al-Khawarij.
Kedua, mereka adalah Ahlul
Jama'ah karena mereka bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan
jauhnya mereka dari perpecahan.
Mereka adalah golongan
yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya dalam menolong agama
Allah , sebagaimana firman-Nya,
”Jika kamu menolong
Allah niscaya Allah akan menolong mereka".
Rasulullah e bersabda, "Tidak
ada yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu membahayakan mereka
sampai datang keputusan Allah sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian".
Di antara prinsip dan
manhaj Ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai berikut:
Prinsip Pertama: Beriman kepada
Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan
Taqdir-Nya.
Beriman kepada Allah I artinya meyakini
Rububiyyah Allah, uluhiyyah-Nya dan Asma wa –Sifat-Nya. Allah I berfirman,
” Segala puji bagi
Allah, Rabb semesta alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Juga firman Allah I,
”Dan Allah mempunyai
nama-nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya".
Beriman kepada Para
Malaikat-Nya yakni membenarkan adanya para malaikat dan mereka adalah mahluk
mahluk Allah yang diciptakan dari
cahaya. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan perintah
Allah di dunia. Allah I berfirman,”Bahkan
malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dimuliakan, mereka tidak
mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya".
Iman kepada
Kitab-kitab-Nya Yakni membenarkan adanya kitab Allah dan segala kandungannya
berupa hidayah (petunjuk) dan ia diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Dan
yang paling agung diantara sekian kitab tersebut adalah Al-Qur'an, karena ia
sendiri merupakan mukjizat dari Allah. Allah berfirman,
”Katakanlah (Hai
Muhammad) : 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa Al-Qur'an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama
mereka saling bahu membahu".
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
mengimani Al-Qur'an kalam (firman) Allah, bukan makhluq baik huruf maupun
artinya. Berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan Mu'tazilah yang mengatakan
Al-Qur'an makhluk baik huruf maupun maknanya. Juga berbeda dengan Asyaa'irah yang
mengatakan kalam (firman) Allah hanyalah artinya, sedangkan huruf-hurufnya
adalah makhluk. Kedua pendapat tersebut bathil berdasarkan firman Allah ,
” Dan jika ada
seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur'an)".
Iman Kepada Para
Rasul yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang disebutkan namanya oleh
Allah maupun yang tidak. Dan penutup para nabi adalah nabi Muhammad , tidak ada
nabi sesudahnya. Termasuk beriman kepada para rasul adalah tidak menyepelekan
mereka dan tidak berlebih-lebihan terhadap mereka seperti yang dilakukan oleh
orang Yahudi dan Nashara, Allah I berfirman,
” Dan
orang-orang Yahudi berkata : 'Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani
berkata :'Isa Al-Masih itu anak Allah...".
Sebaliknya orang-orang
sufi dan ahli filsafat telah menghina para rasul dan lebih mengutamakan para
pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada
seluruh rasul tersebut. tetapi Ahlussunah tidak membeda-bedakan antara semua
Rasul, sebagaimana firman Allah ,
” Kami tidak
membeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ....".
Iman Kepada Hari Akhirat
yakni membenarkan semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang pristiwa setelah kematian seperti adzab dan
ni'mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang
mahsyar, hisab (perhitungan), mizan (ditimbangnya) segala
perbuatan dan pemberian buku catatan amal dengan tangan kanan atau kiri, jembatan
(sirat), serta Surga dan Neraka. Keimanan yang membuat bersiap sedia dengan
amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan jelek dan serta bertaubat dari
dosa. Berbeda dengan orang-orang musyrik dan dahriyyun yang mengingkari
adanya hari kiamat, atau orang Yahudi dan Nashara yang tidak mengimaninya
dengan benar, Allah berfirman,
” Dan mereka (Yahudi
dan Nashara) berkata Sekali-kali tidaklah masuk Surga kecuali orang-orang (yang
beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ......".
Juga firman Allah I,
“Dan mereka berkata : Kami sekali-kali
tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja"..
Iman kepada taqdir
maksudnya meyakini bahwasanya Allah mengetahui apa yang telah terjadi dan yang
akan terjadi, menulisnya dalam Lauhul mahfudz. Segala sesuatu yang terjadi
berdasarkan telah dikehendaki dan diciptakan oleh Allah . Allah mencintai
keta'atan dan membenci kemaksiatan. Manusia mempunyai kekuasaan, kehendak dan
kemampuan memilih pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau kemaksiatan,
tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan Jabariyah
yang mengatakan manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki
pilihan dan kemampuan. Sebaliknya Qodariyah mengatakan hamba itu memiliki
kemauan yang berdiri sendiri dan dialah yang menciptkan pekerjaannya. Kemauan
dan kehendaknya terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Allah membantah kedua
pendapat di atas dengan firman-Nya,
” Dan
kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya".
Prinsip Kedua, iman itu
perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta'atan dan
berkurang dengan kema'siatan.
Iman bukan hanya
perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab itu merupakan keimanan kaum
munafiq. Bukan pula sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan
amal sebab itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran.
Allah berfirman,
Dan mereka
mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati
mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat
kerusakan itu".
Iman juga bukan sekedar
keyakinan dalam hati atau perkataan tanpa perbuatan karena yang demikian adalah
keimanan Murji'ah. Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana
firman-Nya,
Sesungguhnya orang-orang
yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar
hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada
Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan
yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah
orang-orang mu'min yang sebenarnya ..."
Juga firman Allah ,
” Dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan iman kalian"
Prinsip Ketiga: Tidak
mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan
perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Adapun perbuatan dosa
besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya kafir.
Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelakunya tidak dihukumi kafir
akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang
dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Allah
berkehendak Dia akan mengampuninya, atau menghukumnya namun tidak kekal di
neraka, sebagaimana firman Allah ,
” Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
Ahlus Sunnah wal
Jama'ah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan
pelaku dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si
pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya. Mereka mengatakan dosa dan
ketaatan tidak berpengaruh pada iman.
Prinsip Keempat: Wajib ta'at
kepada pemimpin kaum muslimin selama tidak memerintahkan untuk kema'shiyatan.
Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka dilarang
menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran yang lainnya, Allah berfirman,
” Hai orang-orang
yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para
pemimpin diantara kalian ..."
Diriwayatkan dari Irbadh
bin Sariyyah, Rasulullah e bersabda,”Dan aku
berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan
ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".
Ahlus Sunnah wal Jama'ah
menentang seorang amir (pemimpin) yang muslim itu merupakan ma'shiyat
kepada Rasulullah e, sebagaimana sabdanya,”Barangsiapa
yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa
yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku".
Ahlus Sunnah wal
Jama'ah juga memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para pemimpin
yang zalim dan menasehati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan
keistiqomahan.
Prinsip Kelima: Haramnya
memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal
yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur.
Hal ini sesuai dengan
perintah Rasulullah tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang
bukan ma'shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas.
Berbeda dengan Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari pemimpin yang melakukan
dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal
tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Padahal sebenarnya tindakan mereka
itu termasuk kemunkaran yang besar karena menimbulkan bahaya yang besar bagi
umat.
Prinsip Keenam: Tidak mencela
dan membenci para sahabat Rasulullah.
Hal ini telah
dicontohkan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar, sebagaimana firman Allah I, ”Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan
saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau
jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".
Rasulullah e bersabda,”Janganlah
kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya,
kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung
uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara
mereka tidak juga setengahnya".
Ahlus Sunnah memandang
bahwa khalifah setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in.
Barangsiapa yang mencela salah satu di antara mereka, maka dia lebih sesat
daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan
mereka .Berbeda dengan sikap ahlul bid'ah dari kalangan Rafidhoh maupun
Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Prinsip Ketujuh: Mencintai Ahlul
bait (Keluarga) Rasulullah e.
Hal ini sesuai dengan
wasiat Rasul dengan sabdanya,”Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan
ahli baitku".
Termasuk Ahlul bait
adalah keluarga Rasulullah yang beriman dan juga istri-istrinya yang menjadi
ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhuma wa ardhaahuma, yang telah disucikan oleh
Allah , sebagaimana firman-Nya,
” Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan
kamu sesuci-sucinya".
Prinsip Kedelapan: Membenarkan
adanya karomah para wali Allah.
Karomah yaitu
apa-apa yang Allah perlihatkan melalui sebagian mereka, berupa sesuatu yang
luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah
ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbeda dengan Muktazilah dan
Jahamiyah yang mengingkari adanya karomah. pada hakikatnya mereka mengingkari
sesuatu yang diketahuinya.
Namun sebagian
orang pada zaman sekarang tersesat dalam masalah karomah, mereka
berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk
karomah seperti jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para
pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya adalah karomah
merupakan kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya
yang sholeh dan bersumber dari Allah
semata. Sedangkan sihir adalah kejadian yang luar biasa yang
diperlihatkan para tukang sihir dan orang-orang kafir dengan maksud untuk
menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka dan bersumber pada
kekafiran dan kemaksiatan.
Prinsip
Kesembilan: Dalam berdalil selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah e baik secara
lahir maupun bathin sesuai dengan pemahaman Salafussalih.
Hal ini sesuai dengan
wasiat Rasulullah e,”Berepegang teguhlah
kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat
petunjuk".
Ahlus Sunnah wal Jama'ah
tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda
Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah
itu mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Segala hal
yang diperselisihkan selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah,
sebagaimana firman Allah ,
Maka jika kalian berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu
benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih
baik bagimu dan lebih baik akibatnya".
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain
Rasulullah dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat
tersebut disesuaikan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid
itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad
sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut
ahlul 'ilmi. Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak
boleh menimbulkan permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka,
sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Mereka tetap
metolerir perbedaan yang layak (wajar), dan tetap saling mencintai satu sama
lain. Sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapapun perbedaan
masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi,
mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari
golongan mereka.
Prinsip kesepuluh: Prinsip-prinsip
di atas menjadikan mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah
yang diyakininya.
Diantara sifat-sifat
mulia tersebut adalah mereka beramar ma'ruf dan nahi mungkar sebagaimana
firman Allah I,” Jadilah kalian umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan
kalian beriman kepada Allah".
Rasulullah e bersabda,”Barangsiapa
diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan
tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak
mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman".
Ahlus Sunnah wal
Jama'ah tetap menjaga tegaknya syi'ar Islam dengan menegakkan shalat Jum'at dan
shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap ahlul bid'ah dan orang-orang munafik
yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun shalat Jama'ah.
Mereka juga menegakkan
nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam
kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi,” Agama itu nasehat, kami
bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para
imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya".
Mereka juga tegar
dalam menghadapi ujian-ujian dan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan
bersyukur ketika mendapatkan keni'matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.
Singkatnya mereka selalu
berahlak mulia dan berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali
persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari
sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sebagaimana firman Allah ,
”Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin,
ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri".
Rasulullah e bersabda,”
Sesempurna-sempurna iman seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya".
Semoga Allah Azza
wa Jalla menjadikan kita semua menjadi bagian dari mereka. shalawat serta salam
terlimpah kepada Nabi kita Muhammad e, keluarganya
beserta shabat-sahabatnya. Aamin.
Disarikan dari buku “Prinsip-Prinsip 'Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah”
Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Terj. Abu Aasia,
terbitan Dar Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh.
Bagian III
Manhaj Ibadah Ahlussunnah wal
Jamaah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
berkata:
أهل
السنة يعبد
الله، لله،
بالله, وفي
الله
“Ahlussunnah
beribadah kepada Allah, karena Allah, dengan pertolongan Allah dan dalam agama Allah ”.
Ahlussunnah
ya’budullah (beribadah kepada Allah) lillah maksudnya adalah
ikhlas kepada Allah semata untuk mencari ridha-Nya. Mereka tidak beribadah kepada Allah supaya dilihat, dipuji orang dan agar digelari seorang ahli
ibadah. Dari Amirul Mu’minin Abu Hafsh ‘Umar bin Khothob
berkata,” Saya mendengar Rosululloh r bersabda,” Sesungguhnya
amal itu tergantung pada niatnya dan
Sesungguhnya bagi setiap orang tergantung dari apa yang dia niatkan.
Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk
Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah kepada dunia yang dia cari atau
wanita yang dia ingin nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah
kepadanya.”
Adapun billah
maksudnya meminta tolong kepada Allah . Seorang tidak akan mungkin bisa
beribadah kepada Allah dengan
sendirinya, tetapi ia meminta pertolongan kepada Allah sebagaimana firman Allah :
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya
kepada-Mu kami mohon pertolongan”
Adapun fillah
yaitu pada agama Allah yang
disyariatkan melalui Rasulullah tanpa ditambah dan dikurangi. Mereka tidak
keluar dari agama Rasulullah, mereka bersihkan ibadah mereka dari kesyirikan
dan bid’ah sebagaimana firman Allah :
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Ibadah mereka
bukan didorong oleh nafsu dan akalnya, akal yang sehat tidak akan membolehkan
seorang mukmin untuk keluar dari syariat Allah. Karena berpegang pada syariat
Allah termasuk bagian dari akal yang
sehat. Itulah sebabnya Allah menyebut orang–orang yang mendustakan Rasulullah
sebagai orang yang tidak berakal, sebagaimana firman-Nya:
“Tetapi kebanyakan mereka tidak berakal”
Seandainya kita
beribadah kepada Allah menurut nafsu kita, niscaya akan terjadi perpecahan dan
pengelompokan yang setiap orang menganggap baik pendapatnya untuk beribadah
kepada Allah. lihatlah mereka yang beribadah kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang bid’ah yang
tidak disyariatkan oleh Allah, bagaimana antar mereka saling membenci dan
saling menyalahkan. Mereka mengkafirkan orang lain dengan sesuatu yang
sebenarnya mereka tidak kafir tetapi hawa nafsunya yang membutakan mereka.
Seandainya kita
tidak beribadah kepada Allah kecuali
dengan syariat Allah , bukan dengan hawa nafsu niscaya kita akan menjadi satu
umat. Karena syariat Allah adalah
petunjuk bukan hawa kita. sebagian ahli bid’ah yang melakukan bid’ah dalam
masalah aqidah atau amal, berdalil dengan sabda Nabi:
مَنْ سَنَّ
فِي الإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا
إِلَي يَوْمِ
القِيَامَةِ
“Barangsiapa
yang membuat teladan yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala
orang yang mengikutinya hingga hari kiamat”
Kita mengatakan
kepadanya,” Apakah yang anda anggap baik dalam bid’ah ini tidak diketahui oleh
Rasulullah?. Atau beliau mengetahuinya tetapi menyembunyikannya sehingga tidak
ada kalangan salaf yang mengetahuinya, kemudian beliau simpan untuk anda?.
Apabila mereka
mengatakan,”Sesungguhnya Rasulullah tidak mengetahui kebaikan bid’ah ini
sehingga beliau tidak ajarkan”. Kita menjawab,”Anda telah menuduh
Rasulullah dengan sangat keji yaitu bodoh terhadap agama Allah dan syariat-Nya”. Bila mereka
mengatakan,” Rasulullah
mengetahuinya, tapi tidak menyampaikannya kepada orang lain”. Ini tuduhan
yang lebih keji, anda menganggap Rasulullah seorang yang bergelar “al-Amin”
(amanah), seorang pengkhianat dan tidak mengajarkan pengetahuannya.
Bisa juga mereka
berkata,” Rasulullah mengetahuinya, mengajarkannya tapi belum sampai kepada
kita”. Kita mengatakan kepada mereka bahwa anda telah menentang firman
Allah yang menyebutkan:
إِنَّا
نَحْنُ
نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ
وَإِنَّا
لَهُ
لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
kami menurunkan Al-Dzikr dan Kami yang akan menjaganya” .
Apabila syariat
Allah hilang sehingga tidak sampai kepada kita, artinya Allah tidak menjaga
syariat-Nya, bahkan kurang dalam menjaganya sehingga hilang sebagian dari yang
ada dalam Al-Qur’an.
Kesimpulannya, setiap orang
yang melakukan bid’ah dalam masalah agamanya baik dalam aqidah atau ibadah
berupa ucapan maupun perbuatan, maka dia adalah orang yang sesat, sebagaimana sabda
Nabi:
كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap
bid’ah adalah sesat”
Hadits ini
umum mencakup setiap bidah dalam
masalah agama, ia sesat dan tidak ada kebaikan di dalamnya, Allah berfirman:
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)”.
Adapun hadits
Rasulullah e “Barangsiapa
yang membuat teladan dalam Islam” tidak menjelaskan tentang bid’ah, karena
semua yang bukan ajaran Rasulullah tidak termasuk dari Islam. Itulah sebabnya
ditambahkan dengan “sunnah yang baik” karena ia termasuk yang diakui
oleh Islam.
Sababul Wurud (Sebab
munculnya) hadits tersebut menunjukkan bahwa maksudnya adalah segera untuk
mengamalkan sunnah. Sekelompok orang faqir datang kepada Rasulullah, kemudian
beliau menganjurkan orang untuk bersedekah kepada mereka. seorang dari Anshar
datang dengan membawa sekeranjang korma kemudian memberikan kepada orang-orang
tersebut. Dan orang-orang mengikutinya. Maka Rasulullah bersabda dengan hadits
di atas.
Dengan demikian
maksudnya bukan membuat syariat baru, tetapi mengamalkannya, menjadi teladan
dalam mengamalkannya di hadapa orang sehingga ia menjadi teladan yang baik dan
mendapatkan pahalanya sebagaimana pahala orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat.
Sebagian ahli
bidah berhujjah dengan kaidah itu sebuah sarana untuk kebaikan seperti
mengumpulkan al-Qur’an, mendirikan sekolah dll, yang hanya sebagai sarana bukan
tujuan.
Ada perbedaan
antara sesuatu yang menjadi sarana untuk tujuan baik yang ditetapkan oleh
syariat, tetapi tidak bisa terwujud kecuali dengan melakukan sarana tersebut,
dan sarana ini berkembang seiring perkembangan zaman, misalnya firman Allah :
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”.
Persiapan
kekuatan di zaman Rasulullah berbeda dengan persiapan kekuatan di zaman kita.
Maka bila kita melakukan suatu perbuatan yang merupakan persiapan kekuatan,
maka ia bid’ah sarana bukan gayah (tujuan) yang seseorang beribadah kepada
Allah dengannya. Kaidah yang sudah disepakati menyebutkan,” Anna Lil
Wasaa’il Ahkaam al-Maqashid”, (Sarana memiliki hukum yang sama dengan
tujuannya). Semua yang dilakukan adalah saran untuk tujuan yang terpuji.
Mengumpulkan
Al-Qur’an dan mencetaknya merupakan sarana untuk tujuan yang disyariatkan.
Hendaknya dibedakan antara sarana dan tujuan. Sesuatu yang sendirinya merupakan
sebuah tujuan, maka ia telah disyariatkan oleh Allah dan diwahyukan kepada Rasulullah sebagaimana firman Allah :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agamamu”,
Seandainya amalan
bid’ah merupakan penyempurna syariat, niscaya sudah disyariatkan, dijelaskan
dan disampaikan dan dijaga. Ia bukan menyempurnakan syariat bahkan ia
menguranginya.
Sebagian orang
mengatakan bahwa dalam perbuatan bidah tersebut bisa membersihkan hati,
semangat beragama dan lainnya. kita katakan bahwa Allah telah memberitahu kita bahwa syaitan
bersumpah:
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari
muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)”.
Syaitan
memperindah di hati manusia untuk memalingkan mereka dari ibadah kepada Allah .
Rasulullah telah mengingatkan bahwa syaitan masuk ke dalam diri manusia seperti
darah yang mengalir. Dan ini selaras dengan firman Allah I :
“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada
kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya.
Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya
jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah ”
Allah menjadikan
syaitan berkuasa pada orang-orang yang berpaling dari Allah dan
menyekutukan-Nya. Dan setiap orang yang menjadi pengikut bidah di dalam agama
Allah , maka ia telah menyekutukan Allah dan menjadikan orang yang diikuti ini
sebagai sekutu Allah dalam masalah hukum. Padahal hukum syar’i itu hanya milik
Allah sebagaimana firman-Nya:
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain
Dia”, .
Ketahuilah!,
semoga Allah merahmatimu, bahwa tidak
ada jalan yang bisa mengantarkan kita kepada Allah kecuali dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah lewat Rasul-Nya. “Allah mempunyai sifat
yang Maha Tinggi”, seandainya
seorang raja menentukan sebuah pintu untuk masuk menemuinya dan
berkata,”Barangsiapa yang ingin menemui saya, maka hendaknya masuk lewat pintu
ini”. Bagaimana pendapat anda bila ada orang yang ingin menemui raja lewat
pintu lain, apakah ia bisa bertemu dengannya?.
Allah telah menentukan jalan khusus untuk
menemui-Nya yaitu jalannya Rasulullah, yang tidak mungkin seorang hamba akan
mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan menempuh jalan Rasulullah.
Penghormatan
kepada Rasulullah dan termasuk adab kepada beliau adalah mengerjakan apa yang
beliau kerjakan dan meninggalkan apa yang beliau tinggalkan. Kita tidak
mendahului beliau dalam agamanya, berkata dalam agamanya yang beliau tidak
pernah katakan da mengadakan suatu ibadah yang tidak pernah beliau syariatkan.
Apakah termasuk
mencintai Rasulullah seorang yang mengada-ada dalam masalah agama, padahal
beliau bersabda,”Setiap bid’ah itu sesat”. Juga beliau bersabda,” Barangsiapa
yang mengada-ada dalam urusan agama maka ia tertolak”. Apakah ini merupakan
kecintaan kepada Rasulullah? Dengan membuat syariat dalam agama Allah sesutu yang tidak pernah disyariatkan?.
Allah I berfirman:
“Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu".
Diterjemahkan dari “Manhaj Ahlussunnah Wal
Jamaah-Thariqatu Ahlussunah fi Ibadatillah” karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Bagian
IV
Manhaj
Akhlak Ahlussunnah wal Jamaah
Allah Mengutus Muhammad sebagai pembawa
hidayah agama yang haq dan Penyempurna Akhlak. Allah I
berfirman,
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama
agama meskipun orang-orang musyrik benci".
Allah mengutus Muhammad kepada jin dan manusia,
seluruh penduduk dunia sebagai rahmatan (karunia) dan imaman (pemimpin) bagi
orang-orang yang bertaqwa. Mengajarkan dan memahamkan manusia tentang
agama-Nya, menjelaskan penyebab keselamatan dan kebinasaan hidup di dunia dan
di akhirat, Allah mengutusnya dengan Dienul Islam. Beliau membawa kabar yang
benar, ilmu yang bermanfaat, syari'at yang lurus serta hukum-hukum yang adil.
Allah mengutusnya untuk menyeru kepada seluruh kebaikan dan mencegah kejahatan,
menyeru kepada akhlak yang mulia dan pebuatan yang baik serta mencegah
rendahnya akhlak dan buruknya amal perbuatan. Allah berfirman,
”Dan kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan".
Juga firman Allah, ”Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam".
(Al-Anbiya' : 107).
Akhlak yang paling agung adalah beribadah
kepada Allah , Allah berfirman,
”Hai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu
yang telah menciptakanmu dan orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa".
Juga firman Allah ,
” Beribadahlah kepada Allah dan janganlah
engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu".
Allah
berfirman,
”Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan beribadah kecuali kepada-Nya ..."
Kemudian berakhlak kepada Rasulullah dengan mengikuti sunnah beliau,
Allah berfirman,
” Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia ; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa".
Kita berdoa kepada Allah untuk
ditunjukkan “Shiratal Mustaqim”, Allah
berfirman,
” Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu
jalan orang-orang yang Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".
Pengertian Ash-Shirath Al-Mustaqim
adalah Dienullah, yaitu Al-Islam, Al-Iman, ilmu yang bermanfaat serta amal yang
shalih. Ia adalah jalannya orang-orang yang mendapat nikmat dari kalangan ahlul
ilmi dan amal, mereka adalah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta pendahulu dari kalangan
Rasul beserta pengikutnya. sebagaimana firman Allah ,
”Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan
Rasul (-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi
nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi, para shidiqin, orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya".
Wajib bagi setiap muslim untuk mendalami
Kitabullah, dan mempelajari Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta istiqamah padanya. Di
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, tercantum penjelasan tentang perintah-perintah
dan larangan yang dibawa dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alihi
wa sallam. Dan di dalamnya terdapat penjelasan tentang akhlak mulia yang dipuji
oleh Allah sebagai akhlak mukminin dan mukminat. Di antara firman Allah yang memuat akhlak mulia adalah surat Al-Furqan:
63-77. Allah befirman:
“Dan
hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”.
Dan orang yang melalui malam hari dengan
bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.
Dan orang-orang yang berkata:"Ya Rabb
kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah
kebinasan yang kekal".
Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat
menetap dan tempat kediaman.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang
lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang
melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)
(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan
dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,
kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman
dan mengerjakan amal saleh; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah
dengan kebajikan.Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal
saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.
Dan orang-orang yang tidak memberikan
persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan
dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang
yang tuli dan buta.
Dan orang-orang yang berkata:
"Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan
martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut
dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya,
Allah juga berfirman,
” Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu
ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan
nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang
meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa”,
Dan di antara akhlak yang ketiga adalah akhlak
kepada diri sendiri, dengan memberikan hak-haknya seperti hak mata untuk tidur,
badan untuk istirahat dan lainnya. juga menjauhkan badan dari hal-hal yang
memudaratkan baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Agar badan mendapatkan
ketenangan di dunia maka dengan menentramkan hati lewat dzikrullah, Allah berfirman,
” (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah
hati menjadi tenteram.
Dan keselamatan badan di akhirat dari azab
Allah dengan bertaubat dari segala dosa
dan kesalahan.
Semua bentuk akhlak di atas terangkum dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dzar Jundub bin Junadah Rasulullah bersabda:
اِتَّقِ
اللهَ حَيْثُمَا
كُنْتَ وَاتْبِعِ
السَّيِّئَةَ
الحَسَنَةَ تَمْحُهَا
وَخَالِقِ
النَّاسَ بِخُلُقٍ
حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah
di mana saja berada. Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan (bertaubat)
niscaya kebaikan akan menghapuskan kejelekan. Dan pergaulilah manusia dengan
budi pekerti yang baik”
Semoga
Allah mengaruniai kita akhlak yang
terpuji dan menghindarkan kita dari akhlak tercela, amin!.
Disarikan dari buku,” Akhlaqul Mukminn wal Mukminat, Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baaz, terj. “Akhlak Salaf, Mukminin & Mukminat, oleh
Ihsan, (Solo: Pustaka At-Tibyan). (Abu Athiyah).
Bagian V
Manhaj
Dakwah Ahlussunnah wal Jamaah
Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah jalan yang
ditempuh Rasulullah e dan
pengikut-pengikutnya, sebagaimana Allah I berfirman,
” Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang
nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
Dakwah kepada Allah merupakan tugas utama para Rasul dan
seluruh pengikutnya, untuk mengeluarkan manusia dari kekufuran menuju keimanan,
dari kesyirikan menuju tauhid dan dari Neraka menuju Surga. Dakwah tersebut
ditopang dengan tiang-tiang yang didirikan diatas pondasi, jika salah satunya
saja binasa maka dakwah tersebut tidaklah berjalan dengan benar serta tidak
pernah membuahkan hasil yang diinginkan, meskipun dengan jerih payah yang amat
sangat serta menghabiskan banyak waktu. Sebagaimana yang terjadi pada sebagian
besar dakwah-dakwah modern masa kini yang tidak dilandasi dengan tiang-tiang
dan juga tidak berdiri di atas pondasi tersebut. Adapun tiang-tiang yang
menopang dakwah yang benar adalah seperti yang disebutkan dalam Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah, ringkasnya sebagai berikut:
Pertama, mengetahui apa yang didakwahkan.
Maka seorang yang bodoh tidak layak menjadi da'i, Allah
berfirman,
“Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik". ( QS. Yusuf :
108 ).
“Bashirah” maksudnya adalah
ilmu, karena seorang da'i akan menghadapi ulama yang sesat dan berbagai
syubhat (kekaburan), mereka membantah
agar kebatilan bisa mengalahkan kebenaran, Allah berfirman:
“...bantahlah
mereka dengan cara yang baik.”
Nabi e bersabda kepada
Mu'adz t: " Kamu
akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab…". Jika seorang da'i tidak
berbekal ilmu yang dapat digunakan untuk menghadapi setiap syubhat, maka ia
akan kalah di awal pertandingan atau terhenti di tengah jalan.
Kedua, Mengamalkan apa yang didakwahkan.
Seorang da’i menjadi teladan yang baik , tindakan sesuai
dengan ucapannya sehingga tidak membuah celah bagi orang-orang untuk
menghinanya, Allah berfirman tentang nabi-Nya Syu'aib yang berkata kepada
kaumnya:
“Dan aku tidak
berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”.
Ketiga, Ikhlas
Dakwah yang dilakukan hendaknya betul-betul mengharap
ridha Allah, bukan supaya dipuji orang atau agar diangkat menjadi pemimpin atau
demi keinginan duniawi semata, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah tentang
nabi-nabi-Nya, bahwasanya mereka mengatakan, “Aku tidak meminta kepadamu
balasan”. Juga,” Aku tidak meminta kepadamu harta”.
Keempat, Memulai dari sesuatu yang terpenting
Hendaknya pertama kali yang didakwahkan adalah masalah
akidah dengan memerintahkan beribadah kepada Allah semata dan melarang syirik
kemudian memerintahkan untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan
kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan sebagaimana jalan yang dilakukan
oleh semua rasul, Allah berfirman
“ Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".
Juga firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus seorang
rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku".
Ketika Nabi e mengutus Mu'adz
ke Yaman, beliau berkata kepadanya:
إِنَّكَ
تَأْتِي
قَوْمًا مِنْ
أَهْلِ الكِتاَبِ
, فَلْيَكًنْ
أَوَّلُ
مَاتَدْعُوْهُمْ
إِلَيْهِ
شَهَادَةُ
أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَا
الله فَإِنْ
هُمْ
أَجَابُوْكَ
فَاعلَمُهُم
أَنَّ الله
افْتَرَضَ
عَلَيْهِمْ
خَمْسَ
صَلَاوَاتِ
فِي اليَوْمِ
وَ
اللَيْلَةِ .....
الحديث
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi
suatu kaum dari Ahli Kitab maka jadikanlah hal yang utama engkau seru kepada
mereka adalah syahadah ( persaksian ) bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak
disembah selain Allah dan jika mereka menjawab seruanmu maka katakan pada
mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu di dalam
setiap harinya.........” Hadits.
Manhaj
Rasulullah e dalam berdakwah menjadi teladan yang baik dan yang paling
sempurna ketika beliau tinggal di Mekah selama 13 tahun mengajak manusia kepada
tauhid dan melarang mereka berbuat kesyirikan sebelum beliau memerintahkan
mereka shalat, zakat, puasa, dan haji dan sebelum beliau melarang mereka dari
perbuatan riba, zina, mencuri, membunuh jiwa tanpa haq.
Kelima, Bersabar dalam menghadapi rintangan
di jalan dakwah
Jalan dakwah tidaklah ditaburi bunga-bunga melainkan
penuh dengan suatu yang tidak menyenangkan dan penuh dengan bahaya, sebagaimana
yang terjadi pada para Nabi dan Rasul sebelumnya. Allah berfirman,
”Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul
sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara
mereka balasan (azab) olok-olokan mereka.”
Dan Allah berfirman :
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul
sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan
(yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada
mereka.”
Keenam, Berakhlak yang baik dan bijaksana
dalam berdakwah
Akhlak mulia merupakan sebab utama diterimanya dakwah
sebagaimana Allah memerintahkan dua Nabi-Nya yang mulia Musa dan Harun u agar mereka bijaksana dalam menghadapi
orang yang paling kafir di muka bumi ini yaitu Fir'aun yang mengaku sebagai
tuhan, Allah berfirman,
“Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Firman Allah juga pada Musa u :
"Pergilah kamu kepada Fir'aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun):
"Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)"
Allah juga berfirman, tentang sikap yang harus dimiliki
oleh Nabi kita Muhammad e:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Allah juga berfirman : “Sesungguhnya kamu mempunyai
akhlak yang mulia”. Allah juga berfirman :
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik.”
Ketujuh, Seorang da'i harus memiliki rasa
optimis
Seorang dai tidak mudah putus asa dalam dakwahnya atau
mengharapkah hidayah atas kaumnya, seraya selalu mengharap pertolongan dan
perlindugan dari Allah, meskipun waktu yang telah ditempuhnya sangatlah lama,
karena pada rasul-rasul Allah terdapat contoh yang demikian itu.
Misalnya nabi Nuh u yang mendakwahi
kaumnya selama 950 tahun. Dan demikian pula Rasulullah e ketika mendapat
gangguan orang-orang kafir yang semakin berat, beliau didatangi oleh malaikat
gunung yang menawarkan untuk melempar mereka dengan bebatuan. Rasulullah
berkata: " Jangan , tetapi aku akan bersikap perlahan-lahan menghadapi
mereka semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka seorang keturunan
yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatupun".
Jika seorang da'i telah kehilangan sifat optimisnya, maka
ia akan berhenti di tengah jalan dan mengalami kegagalan dalam menjalankan
tugasnya.
Dan setiap dakwah yang tidak di bangun di atas manhaj
para rasul ini, maka dakwah tersebut akan gagal, sehingga hanya melelahkan dan
tidak ada faedahnya. Seperti jama'ah-jama'ah dakwah yang ada sekarang ini yang
telah salah memilih manhaj dakwah dengan menyelisihi manhaj dakwah para Rasul.
Mereka lalai dalam mendakwahkan akidah, sehingga mereka lebih mementingkan
masalah-masalah yang sifatnya cabang (sekunder).
Sebagian jama'ah-jama’ah tersebut menyeru pada perbaikan
hukum dan politik dan menuntut agar dilaksanakan hukum pidana dan diterapkannya
syari'at Islam dalam bentuk undang-undang di tengah-tengah masyarakat. Ini
merupakan hal yang penting namun bukan yang terpenting. Bagaimana mereka
menuntut untuk diterapkan hukum Allah terhadap pencuri, pezina, sebelum ia
meminta untuk diterapkannya hukum Allah terhadap pelaku kemusyrikkan?.
Bagaimana ia meminta diterapkan hukum Allah terhadap pencuri sebelum ia meminta
diterapkannya hukum Allah terhadap orang-orang yang menyembah berhala dan
kuburan dan orang-orang yang mengingkari Nama-Nama dan sifat-sifat Allah ?.
Bukankah dosa kemusyrikan lebih besar dari dosa orang
yang berzina, meminum khamer dan mencuri?!! Sesungguhnya dosa-dosa ini
merupakan yang dilakukan terhadap hak mahluk ( hamba ). Sementara
kesyirikkan dan menolak akan nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan
kejahatan terhadap hak Khaliq ( Pencipta ) I, Sedangkan hak
Pencipta lebih diutamakan daripada hak mahluk-mahlukNya .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,” Dosa-dosa ini
apabila dilakukan dengan benarnya tauhid lebih baik daripada rusaknya tauhid
diiringi dengan perbuatan dosa-dosa ini”.
Hal ini juga sesuai dengan firman Allah,
” Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
Sebagian
jama'ah dakwah yang lainnya tidak menaruh perhatian terhadap masalah akidah,
melainkan hanya mementingkan dakwah dengan membiasakan dzikir-dzikir dengan
metode sufi dan menekankan akan pentingnya khuruj ( baik di luar atau di
dalam negeri ). Yang penting bagi mereka adalah manusia mau bergabung
bersamanya tanpa memandang akidah mereka. Semua ini merupakan cara-cara bid'ah
dengan memulai dakwahnya pada bagian terakhir dari apa yang didakwahkan oleh para
rasul. Hal ini bagaikan mengobati sekujur tubuh yang terpenggal kepalanya,
karena akidah itu bagaikan kepala dalam masalah agama.
Yang diharapkan dari jama'ah dakwah ini adalah
memperbaiki pemahamannya dengan merujuk kepada Al Qur'an dan As Sunnah agar
mengetahui manhaj para rasul dalam berdakwah di jalan Allah . Karena
sesungguhnya Allah telah memberikan kabar bahwa kekuasaan yang menjadi tujuan
dakwah jama'ah-jama'ah tersebut tidak akan terwujud sebelum mereka memperbaiki
akidah mereka yaitu menyembah Allah semata dan meninggalkan sesembahan
selain-Nya. Allah berfirman:
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.”
Mereka ingin mendirikan Daulah Islamiyah sebelum
membersihkan negara mereka dari akidah-akidah berhala, dengan menyembah patung,
orang yang telah meninggal dunia, meminta pada kuburan. Hal ini tidak berbeda
dengan akidah orang-orang kafir jahiliyah terhadap Laata, 'Uzza , Mannah dan
lainnya. Sesungguhnya berhukum dengan syari'at Allah, menegakkan hukum pidana,
mendirikan pemerintahan Islam, meninggalkan larangan-larangan dan mengerjakan
suatu kewajiban-kewajiban merupakan hal yang menjadi pelengkap dan cabang
Tauhid. Maka bagaimana memperhatikan yang cabang sedang yang pokok dilupakan?
Apa yang terjadi dengan jama'ah-jama'ah dakwah ketika
menyelisihi manhaj para rasul dalam berdakwah terjadi karena mereka tidak
mengetahui manhaj dakwah para Rasul. Seseorang yang tidak mengetahui akan hal
tersebut tidaklah pantas menjadi seorang da'i, karena di antara syarat-syarat
dakwah adalah mengetahui ilmunya, sebagaimana Firman Allah:
“Katakanlah: "Inilah jalan
(agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik".
Dan
yang terpenting bagi seorang da’i adalah ilmu. Sehingga ada di antara mereka
yang ditanya tentang pengertian Islam, pembatal-pembatalnya dan lainnya, tidak
mampu bisa mereka jawab.
Setiap jama'ah dakwah juga membuat metode dakwah
tersendir yang berbeda antara satu jamaah dengan jamaah yang lain. Inilah
akibat dari menyelisihi manhaj dakwah Rasulullah e, karena manhaj
para Rasul adalah satu tidak ada perbedaan di antara mereka, sebagaimana Firman
Allah:
“Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Maka siapa saja yang mengikuti jalannya Rasulullah e
yang satu ini maka mereka tidak akan mungkin berselisih.
Mereka berselisih karena menyelisihi manhaj beliau,
sebagaimana Firman Allah:
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya.”
Selama jama'ah-jama'ah dakwah yang bermacam-macam
ini menyimpang maka ini akan membahayakan bagi Islam karena menyebabkan
seseorang berpaling ketika akan masuk agama Islam dan hal tersebut bukanlah
dari ajaran Islam, sebagaimana Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang
memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak
ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.”
Islam juga menyeru agar berkumpul di atas kebenaran,
sebagaimana Firman Allah: “
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai”
Disarikan dari Pengantar" Manhajul Anbiya' fid
Da'wah ilallah fihil Hikmatu wal 'Aql " karya Prof. DR. Syaikh Rabi’ bin Hadi bin Umar Al-Madkhali,
oleh Syaikh DR. Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan.