SEBUAH KLARIFIKASI TENTANG HAJR
(BOIKOT/ISOLIR), DAN HAKIKAT MUBTADI�
Dipetik dari nasehat para masyaikh
kiram
Risalah ini bukanlah risalah untuk dijadikan ajang debat,
namun adalah klarifikasi dan nasehat terutama bagi diri saya sendiri dan ikhwah
salafiyyah lainnya. Saya katakan bahwa setiap orang yang meniti manhaj salaf,
mencintai manhaj salaf dan ahlinya, dan senantiasa mengamalkan manhaj salaf,
maka insya Allah dirinya adalah salafiy, selama dia tidak
mengafiliasikan diri kepada individu-individu tertentu sebagai klaim
representasi satu-satunya dari pengikut manhaj salaf, fanatik terhadap individu
tertentu dan lebih mencintai individu tertentu daripada al-haq serta tidak mau
menerima kebenaran darimanapun berasal.
Seorang yang bijak pernah berkata : al-Haqq la yu�rafi birrajuli war-Rajulu yu�rafu bil Haq (kebenaran
tidak dikenal dari perseorangan namun seseorang dikenal dari kebenarannya).
Maka tidaklah pantas seorang yang mengaku sebagai salafiy berta�ashub ria dengan ustadz-ustadznya,
dan taqlidul a�ma dengan
ucapan-ucapannya tanpa tabayun dan tatsabut.
Ikhwah Salafiyyin� di sini ana akan menukilkan sebuah
permasalahan penting yang sekarang ini sedang berputar di sekitar kita, perkara
yang besar namun telah menjadi kecil di hadapan kita, kita terlalu mudah dan
asyik bermain-main dengan fitnah yang kebanyakan dari kita tidak layak masuk ke
dalamnya apalagi menyibukkan diri dengannya� yang manfaatnya lebih kecil
ketimbang mudharatnya. Na�am, perkara itu adalah seputar permasalahan hajr (boikot), tabdi� (menvonis bid�ah) atau menuduh sururi karena salah faham
dalam memahami muwaazanah�
Masalah Hajr (pemboikotan) dan
Siapakah Mubtadi� itu??
Saya sempat tersentak kaget
ketika seorang ikhwan memper�tanya�kan risalah afsyus salam bainakum yang disusun oleh Syaikh Abdul Malik al-Qosim
hafizhahullahu, dia mempertanyakan
tentang perincian dari penerapan salam pada zaman ini dengan sikap ulama salaf
terdahulu dalam mensikapi mubtadi�,
yang diantaranya adalah tidak mau mengucapkan salam, menjawab salam, bermajlis,
bahkan mendengarkan ucapan mereka. Perkara ini tidak jauh beda dengan kejadian
ketika Fadhilatus Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh ditanya sebagaimana
terekam di dalam kaset yang berjudul : Nashiihatu
lisy Syabaab sebagai berikut :
Penanya : Syaikh barokallahu fiika, ada
sebuah perkara yang di dalamnya banyak sekali perdebatan dan perkara itu adalah
perkara hajr. Pertanyaannya : kapankah seorang mubtadi� perlu dihajr dan
siapakah yang berhak dihukumi hajr??
Syaikh : Selayaknya pertanyaannya juga harus menanyakan siapakah mubtadi� itu,
karena siapa yang berhak dihukumi bid�ah lebih utama ketimbang siapakah yang
berhak dihajr. Adapun hukum hajr adalah disyariatkan, dan nabi shallallahu
�alaihi wa sallam menghajr tiga orang sahabatnya yang tidak turut berperang
�sebagaimana telah kalian ketahui- selama sebulan atau lebih, hal ini
menunjukkan disyariatkannya hajr, yaitu demi agama dan demi kemaslahatan syar�i
orang yang dihajr.
Nabi �alaihi sholatu wa salam
dahulu pada zamannya bersama orang-orang yang gemar bermaksiat, orang-orang
munafiq dan kaum musyrikin yang beraneka ragam. Beberapa orang yang bermaksiat
dihajr oleh beliau dan beberapa lainnya lagi tidak. Demikian pula orang-orang
munafik tidak beliau hajr. Hal serupa juga terhadap orang-orang musyrik dan
nashrani, tidak beliau hajr.
Hal ini menunjukkan suatu kaidah yang ditetapkan oleh para ulama dan para
imam muhaqqiqin (peneliti) dan
disepakati oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di berbagai tempat (dari
kitab-kitab beliau), yaitu bahwasanya hajr itu mengikuti mashlahat
syar�iyyah. Maka orang-orang yang bermanfaat dihajr maka perlu dihajr dan
yang tidak bermanfaat maka tidak perlu dihajr, karena hajr itu dimaksudkan
untuk perbaikan, dan jika hajr tidak berfaidah mendatangkan kemaslahatan maka
tidaklah disyariatkan, oleh karena itulah nabi tidak menghajr semuanya
(orang-orang yang meninggalkan perang tabuk, pent.)
Hajr itu bisa dalam bentuk amalan, bisa juga dengan hati, atau bisa dengan
meninggalkan salam atau meninggalkan menjawab salam, bisa dengan meninggalkan
mengundang atau memenuhi undangan dan selainnya� maka hal-hal ini muqoyyad (terikat/tergantung) pada
manfaat yang dihasilkannya.
Masalah kedua, tentang siapakah yang berhak dihukumi sebagai pelaku bid�ah?
Menvonis bid�ah adalah hukum syar�i, dan menvonis orang yang mengamalkan bidah
sebagai mubtadi� adalah hukum syar�i yang berat sekali, karena hukum-hukum
syar�iyyah yang menyangkut perseorangan/individu seperti kafir, mubtadi� dan
fasiq, maka tiap-tiap hukum ini adalah haknya ahlu ilmi (ulama). Sesungguhnya
tidaklah lazim/harus antara kufur dengan kafir, dan tidaklah amalan kufur itu
melazimkan pelakunya menjadi kafir, pasangan (tsanaa�iyyah) tidaklah saling melazimkan (mengharuskan) satu dengan
lainnya. Demikianlah tidaklah setiap orang yang mengamalkan bid�ah maka ia
adalah mubtadi� dan tidaklah setiap orang yang melakukan kefasikan maka ia
menjadi fasik dengan serta merta. Terkadang dikatakan, sesungguhnya dia kafir
secara zhahir dipandang dari zhahirnya, dia fasiq secara zhahir, dia mubtadi� secara
zhahir, namun hal ini tidaklah berarti hukum mutlak, taqyid (mengikat) dengan zhahir tidaklah menghukumi secara mutlak
sebagaimana telah ditetapkan pada beberapa tempat /pembahasan.
Menghukumi mubtadi� dikarenakan seseorang mengucapkan perkataan mubtadi�
atau ucapan bid�ah bukanlah hak bagi setiap orang yang mengenal sunnah, namun
hal ini adalah haknya ahlu ilmu, yang mana seseorang tidaklah dihukumi sebagai
mubtadi� melainkan setelah terpenuhinya syarat dan dihilangkannya penghalang,
dan masalah ini dikembalikan kepada ahlu fatwa, karena memenuhi syarat dan
menghilangkan penghalang adalah bagian mufti� (lihat : Masa`il fil Hajri wa maa yata�allaqu bihi : Majmu�atu min ba�dli asyrithoti asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Ali
Syaikh, I�dad : Salim al-Jaza`iri, didownload dari maktabah sahab
salafiyah, http://www.sahab.org)
Dari penjelasan nasehat Syaikh
di atas, kita dapat beristifadah (memetik
faidah) beberapa hal sebagai berikut :
- Hajr adalah hukum syar�i yang terikat kepada
mashlahat, jika membawa mashlahat maka perlu dilaksanakan hajr dan jika
tidak, maka tidak perlu dijalankan hajr.
- Hajr memiliki berbagai bentuk, baik dengan
amalan, hati, menolak menjawab salam atau tidak mau mengucapkan salam,
dls.
- Hajr diterapkan kepada mubtadi� dan pelaku
maksiat (fasiq) juga melihat kepada mashlahat.
- Perlu difahami siapakah yang dimaksud dengan
mubtadi�, dan menvonis bid�ah adalah hukum syar�i hak para ulama dan
tholibul ilmi mutamakkin
(mumpuni) setelah terpenuhinya syarat dan hilangnya penghalang.
Untuk memperkuat penjelasan
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, ana nukilkan juga penjelasan Samahatul
Imam Abdulah bin Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahu
wa qoddasallahu ruuhahu sebagai berikut :
Samahatul Imam Abdullah bin Abdil Aziz bin Bazz rahimahullahu ditanya tentang bagaimana sikap seorang muslim yang
berada di atas sunnah nabi Muhammad shallallahu �alaihi wa sallam, sedangkan ia
memiliki hubungan erat (nasab) dengan kelompok yang mengamalkan bid�ah seperti
menambah lafazh adzan dengan asyhadu anna
�Aliyya waliyyullah dan hayya �ala
khayril �amal, mengatakan bahwa keturunan Muhammad dan Ali adalah
sebaik-baik keturunan, serta melakukan aqiqoh bid�ah di saat ada kerabat yang
meninggal dengan memotong domba dan tidak menghancurkan tulangnya, namun tulang
dan kotorannya dikuburkan dengan anggapan hal ini adalah baik dan wajib
diamalkan. Beliau rahimahullahu juga
ditanya apakah boleh menikahi mereka, berlemah lembut dengan mereka, menghadiri
walimah-walimah mereka padahal mereka menunjukkan aqidah mereka secara
terang-terangan dan mereka mengklaim bahwa mereka adalah al-Firqoh an-Najiyah dan selain mereka adalah di atas kebatilan.
Syaikh rahimahullahu pertama
menjawab tentang bid�ahnya lafazh adzan dan aqiqoh bid�ah di atas, kemudian
beliau menjawab tentang bagaimana sikap muslim yang berada di atas sunnah di
dalam mensikapi mereka sebagai berikut :
�Jika aqidah mereka adalah sebagaimana yang dikemukakan di dalam pertanyaan
sebelumnya, namun dengan tetap mensepakati ahlus sunnah di dalam tauhidullah subhanahu wa Ta�ala dan mengkihlaskan
ibadah hanya untuk-Nya semata tanpa mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik
dengan ahlul bait atau selainnya, maka tidaklah mengapa menikah dengan mereka,
memakan sembelihan mereka dan berkumpul di (menghadiri) walimah-walimah mereka.
Kita menyayangi mereka sebatas kebenaran yang ada pada mereka dan kita membenci
terhadap kebatilan yang mereka miliki, karena sesungguhnya mereka adalah kaum
muslimin yang terhimpun pada mereka sesuatu dari kebid�ahan dan kemaksiatan
yang tidak sampai mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. Maka wajib
menasehati dan mengarahkan mereka kepada as-Sunnah dan al-Haq, serta
memperingatkan mereka dari kebid�ahan dan kemaksiatan. Jika mereka berlaku
lurus dan menerima nasehat, falhamdulillah, maka inilah yang
dituju/dikehendaki. Jika mereka masih bersikeras dengan bid�ah-bid�ah yang
disebutkan di pertanyaan tadi, maka wajib menghajr mereka dan tidak boleh
menghadiri walimah-walimah mereka hingga mereka mau bertaubat kepada Allah dan
meninggalkan kebid�ahan dan kemunkaran. Sebagaimana Nabi shallahu �alaihi wa Sallam menghajr Ka�ab bin Malik al-Anshari dan
dua orang rekannya yang tidak turut berperang di perang Tabuk tanpa udzur
syar�i. Namun jika seseorang memandang
bahwa tidak menghajr teman atau tetangganya adalah lebih bermaslahat dan
bercampur dengan mereka serta menasehati mereka lebih dekat dengan penerimaan
mereka kepada kebenaran, maka tidak terlarang meninggalkan hajr. Karena tujuan
dari hajr adalah mengarahkan mereka kepada kebaikan atau mensyiarkan
ketidakridhaan terhadap kemungkaran agar mereka mau kembali (ruju�) dari
kemungkaran tersebut.
Jika sekiranya hajr akan merusak maslahat Islami dan makin menambah mereka
semakin berpegang dengan kebatilan mereka dan lari dari ahlul haq, maka
meninggalkan hajr lebih bermaslahat, sebagaimana nabi meninggalkan hajr kepada
Abdullah bin Ubai bin Salul, pimpinan kaum munafikin, yang nabi tidak
menghajrnya adalah demi kemaslahatan kaum muslimin.
Namun, jika kelompok ini menyembah ahlul bait seperti Ali, Fathimah, Husain
atau Hasan rahimahumullahu, atau
mempersembahkan do�a kepada mereka, beristighotsah dan memohon pertolongan atau
semacamnya kepada mereka, atau meyakini bahwa mereka mengetahui perkara yang
ghaib atau semacamnya dari amalan-amalan yang mengeluarkan pelakunya dari
Islam, maka sesungguhnya mereka dan perkara-perkara yang disebutkan di atas
adalah kafir. Tidak boleh menikahi mereka, tidak pula mengasihi mereka, memakan
sembelihan mereka, bahkan wajib membenci dan berlepas diri dari mereka, hingga
mereka beriman kepada Allah Ta�ala semata��
Lantas syaikh menyebutkan dalil-dalil pengharaman syirik, dan beliau rahimahullahu melanjutkan jawabannya :
�Adapun klaim mereka bahwa mereka adalah al-Firqoh an-Najiyah dan merekalah yang berada di atas kebenaran,
dan orang-orang selain mereka adalah berada di atas kebatilan. Maka jawabannya
adalah : tidaklah setiap orang yang mengklaim sesuatu maka klaimnya telah
bebas/selamat (dari cacat, pent.), namun haruslah klaim itu disertai burhan (bukti-bukti yang nyata) yang
mendukung klaimnya. Sebagaimana firman Allah sunhanahu : �Katakanlah, datangkan bukti-buktimu jika kamu adalah
orang-orang yang benar� (QS al-Baqoroh : 111)�� dst hingga akhir jawaban
beliau� (Lihat : al-Ajwibah al-Mufiidah
�an Ba�dli Masa`ilil Aqidah, diterbitkan oleh : Ri`aasah al-idaaroh al-Buhuts al-Ilmiyyah wal Iftaa�, cet. III,
1422/2002, Riyadh, hal. 25-31)
Dari penjelasan Samahatul Imam
rahimahullahu di atas, kita bisa
beristifadah beberapa hal sebagai berikut :
1.
Pelaku bid�ah yang tidak sampai mengkafirkan, boleh
dinikahi, memakan sembelihannya dan menghadiri walimah mereka.
2.
Kita berwala� kepada mereka sebatas kebenaran yang ada
pada mereka dan membenci sebatas kebatilan yang ada pada mereka.
3.
Pelaku bid�ah hendaknya dinasehati dan diarahkan terlebih
dahulu kepada sunnah dan al-Haq.
4.
Hajr dilakukan selama mendatangkan maslahat syar�i.
5.
Wajib menghajr pelaku bid�ah jika mereka masih bersikeras
dengan bid�ahnya dan menolak nasehat selama hajr tersebut mendatangkan
maslahat.
6.
Boleh tidak menghajr mereka, bercampur dan menasehati
mereka, jika hal ini lebih mendatangkan maslahat dan manfaat.
Demikian pula apa yang
diterangkan oleh Faqiihuz Zaman, Samahatus Syaikh Muhammad bin Sholih
al-�Utsaimin rahimahullahu. Beliau berkata
:
�Adapun menghajr ahlul bid�ah itu bergantung pada bid�ahnya. Jika bid�ahnya
merupakan bid�ah yang mukaffirah
(mengkafirkan), maka menghajr mereka adalah wajib. Namun jika bid�ahnya lebih
rendah dari pada itu, maka perlu dilihat : jika hajr terhadap mereka akan
mendatangkan maslahat maka kita lakukan, namun jika tidak mendatangkan maslahat
maka kita tinggalkan. Hal itu dikarenakan pada dasarnya menghajr seorang mukmin
itu haram hukumnya. Berdasarkan sabda Nabi : �Tidak halal bagi seorang mukmin menghajr
saudaranya lebih dari tiga hari�. Maka setiap mukmin, walaupun ia seorang yang
fasiq, haram menghajrnya selama tidak mendatangkan faidah. Namun jika
bermaslahat maka kita lakukan. Karena hajr adalah obat, jika hajr tidak
mempunyai maslahat atau justru malah menambah kemaksiatan dan kedurhakaan, maka
sesuatu yang tidak bermaslahat meninggalkannya adalah maslahat.� (lihat ash-Shohwah Islamiyyah Dlawabith wa Taujihat
(terj.) Panduan Kebangkitan Islam, pent. Muhammad Ihsan, Darul Haq, hal.
109-110).
Syaikh ditanya (idem, hal. 228-229) : �Apakah boleh menghajr para du�at
disebabkan perbedaan mereka dalam ushlub dakwah?�
Syaikh menjawab : �Saya katakan : Tidak boleh terjadi hajr diantara
mukminin, karena Nabi shalallahu �alaihi
wa sallam bersabda : �Tidak halal bagi seorang mukmin menghajr saudaranya
lebih dari tiga hari�, walaupun ia melakukan kemaksiatan maka tidak boleh
menghajrnya, kecuali jika mengandung maslahat, seperti ia akan meninggalkan
maksiat tersebut. Oleh karena itu nabi menghajr Ka�ab bin Malik dan kedua
sahabatnya ketika mereka tidak turut dalam perang Tabuk. Maka, apabila menghajr
orang-orang fasik itu mengandung maslahat yang kuat, maka mereka boleh dihajr.
Namun jika tidak bermaslahat maka mereka tidak boleh dihajr. Ini berkaitan
dengan orang fasik secara umum. Adapun para du�at di jalan Allah, maka tidak sepatutnya, bahkan tidak boleh mereka
saling menghajr hanya karena perbedaan ushlub
dakwah. Tetapi hendaknya setiap mereka mengambil manfaat dengan cara yang lain
bila ternyata cara itu lebih mengena dan bermanfaat.�
Berikut
ini saya nukilkan pula penjelasan Samahatul Imam al-Muhaddits al-Ashr, Muhammad
Nashirudin al-Albany rahimahullahu
dalam kaset haqiqotul bid�ah wal kufri
dari Silsilah Huda wa Nur yang direkam oleh murid beliau Abu Laila al-Atsari
(beliau adalah murid sekaligus perekam Syaikh yang senantiasa menyertai dan
merekam muhadharah Syaikh)
Penanya : Apa pendapatmu
�wahai syaikh- tentang orang-orang yang tidak memperbolehkan tarahum (Mendoakan rahmat kepada seorang yang telah meninggal
dengan ucapan rahimahullahu Pent.) terhadap
orang-orang yang menyelisihi �i�tiqad salaf seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar
al-Asqolani, Ibnu Hazm dan Ibnul Jauzi serta orang-orang yang semisal mereka
dari (ulama) salaf. Juga tokoh-tokoh kholaf (kontemporer) seperti
al-Banna dan Sayyid Quthb. Mengingat anda telah mengetahui dengan baik apa yang
ditulis oleh Hasan al-Banna dalam bukunya Mudzakkirat ad-Da�wah wad-Da�iyah
dan Sayyid Quthb dalam bukunya Fi Zhilalil Qur�an??
Syaikh : Kami berkeyakinan
bahwa rahmat dan tarahum diperbolehkan bagi seluruh muslim dan
diharamkan bagi seluruh orang kafir. Jawaban ini merupakan furu�
(cabang) dari i�tiqad yang dimiliki oleh jiwa seseorang. Jadi, barangsiapa yang
meyakini bahwa orang-orang yang disebutkan dalam pertanyaan tadi adalah muslim,
maka jawabannya adalah telah diketahui �sebagaimana yang telah saya katakan
barusan- yaitu boleh mendoakan �semoga Allah merahmati dan mengampuni mereka�.
Dan siapapun yang menganggap bahwa mereka yang disebut dalam pertanyaan tadi
adalah bukan muslim, maka tarahum tidaklah diperbolehkan. Inilah
jawabanku berkenaan dengan apa yang datang dari pertanyaan tadi.
Penanya : Mereka mengatakan
bahwa hal ini termasuk manhaj salaf, dimana mereka (salaf sholih, pent.)
tidak melakukan tarahum terhadap mubtadi� (pelaku bid�ah).
Konsekuensinya, orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi
dianggap sebagai mubtadi� dan mereka tidak melakukan tarahum
kepada mereka.
Syaikh : Kami telah katakan
tadi, bahwa rahmat atau tarahum diperbolehkan bagi setiap muslim dan
tidak boleh bagi seluruh orang kafir. Jika ini benar, maka pertanyaan kedua
tadi tidak memiliki dasar. Jika ini tidak benar, maka (pertanyaan kedua tadi)
memiliki dasar untuk didiskusikan. Bukankah mereka yang telah dihukumi oleh
sebagian ulama sebagai mubtadi�, mereka tetap disholati? Dan termasuk I�tiqod
salaf yang disepakati oleh kholaf adalah, bahwa kita sholat di
belakang muslim yang shalih sebagaimana pula kita shalat di belakang muslim
yang fajir, kita juga menshalati orang yang shalih maupun yang fajir.
Adapun orang kafir �di sisi lain- tidak boleh disholati. Oleh karena itu, orang
yang disebutkan dalam pertanyaan �mau tidak mau- disebut sebagai ahlul bid�ah.
Lantas haruskah mereka disholati ataukah tidak?. Saya sebenarnya tidak
berkeinginan mendiskusikan hal ini melainkan karena terpaksa. Jika jawabannya
adalah mereka harus disholati, maka jawabannya selesai sampai di sini.
Pembahasan telah selesai dan tak ada lagi tempat untuk mendiskusikan pertanyaan
kedua tadi, sebagaimana yang akan dilakukan oleh nuhat (ahli nahwu).
Jika tidak boleh mensholatinya, maka kesempatan untuk diskusi terbuka dan dapat
dilanjutkan�
Penanya : Jika dikatakan,
kita tidak mensholatinya dikarenakan mereka termasuk mubtadi�! Lantas
apakah jawabanmu?
Syaikh : Apa dalilnya?
Penanya : Mereka menggunakan af�alus
salaf (amalan para salaf) sebagai dalil, dan mereka membedakan antara ahlul
maksiat dengan ahlul bid�ah yang mengada-adakan kebid�ahan di dalam agama. Para
salaf terdahulu, mereka tidak mensholati ahlul bid�ah ataupun bermajlis dengan
mereka serta bermuamalah dengan mereka. Berdasarkan ini mereka membangun
dakwaannya.
Syaikh : Pertanyaannya tadi
apa?
Penanya : Kita menshalati
mereka ataukah tidak?
Syaikh : Tidak! anda
meluaskan jawaban anda dari pertanyaanku tadi dan anda kehilangan maksud dari
pertanyaanku. Pertanyaanku tadi adalah, �apa dalilnya?� Dan anda menjawab
dengan dalil �dakwaan�. Padahal dakwaan tidak sama dengan dalil. Sedangkan anda
menyatakan bahwa mereka mendakwakan sholat jenazah tidak dilakukan bagi mubtadi�.
Penanya : Tidak ada dalil �ya
syaikh-, mereka beragumentasi dengan amalan para salaf.
Syaikh : Apakah amalan salaf
itu dalil?
Penanya : Itu yang mereka
dakwakan.
Syaikh : Manakah dalil dari
dakwaan ini?
Penanya : Dalilnya biasanya
sangat umum pada perkara ini.
Syaikh : Bukankah para ulama
melakukan muqotho�ah (pemutusan hubungan) dengan individu-individu
tertentu yang melakukan kemaksiatan dan kebid�ahan? Lantas, apakah ini artinya
mereka menghukuminya sebagai kafir?
Penanya : Tidak.
Syaikh : Tidak! Sebab mereka
masih menganggap mereka sebagai muslim. Kita tidak memiliki pendapat/sikap
pertengahan antara muslim dan kafir. Jika mereka ini muslim maka diperlakukan
sebagai muslim atau jika mereka kafir diperlakukan sebagaimana kafir. Kita
tidak memiliki pendapat pertengahan sebagaimana pendapatnya mu�tazilah, yang
menyatakan ada tempat diantara dua tempat (manzilah baina manzilatain)
�yaitu diantara muslim dan kafir-. Selanjutnya, semoga Allah memberkahimu, hal
ini murni merupakan pendapat belaka �yaitu para salaf tidak mensholati mubtadi�
secara umum-. Ini merupakan pendapat belaka yang diusung oleh para pemuda yang multazim
(berpegang dengan sunnah) yang mengambil beberapa perkara dengan semangat yang
meluap-luap tanpa disertai ilmu yang benar berdasarkan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Saya telah
menunjukkan pada anda suatu hakikat yang tidak mungkin dua orang berbeda
pendapat tentangnya, yaitu tentang apakah orang tersebut muslim atau kafir.
Jika ia seorang muslim, menurut dari apa yang dia zhahir (tampak)-kan
maka ia disholati, bahkan �sebagai tambahan- hartanya diwarisi oleh ahli
warisnya, mayatnya dimandikan dan dikafani, serta ia dikuburkan di pekuburan
kaum muslimin. Jika ia kafir, maka ia dihempaskan seperti biji dan dikuburkan
di pekuburan kaum kafir. Kita tidak punya pendapat pertengahan tentang hal ini.
Kendati demikian,
jika ada seseorang yang tidak turut menshalati seorang muslim �atau para ulama
tidak mau menshalatinya-, hal ini tidaklah menunjukkan bahwa mensholati orang
ini adalah tidak boleh. Hal Ini menunjukkan bahwa para salaf sedang menunjukkan
suatu hikmah dan menunjukkan beberapa hal yang tidak dapat dipenuhi oleh orang
selainnya. Sebagamana kisah dalam
sebuah hadits �yang harus kau ingat- di saat nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam bersabda dalam beberapa riwayat, �Shalatilah sahabatmu ini!�,
sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak turut
menshalatinya. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah nabi, yang tidak
turut mensholati seorang muslim ini yang lebih utama (dijadikan dalil, pent.)
ataukah ulama salafi yang menolak menshalati muslim yang lebih utama??
Penanya : Penolakan Nabi yang
lebih utama!
Jawaban : hasanan! (anda benar).
Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam-lah yang lebih utama.
Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menshalati muslim tadi
tidaklah menunjukkan bahwa menshalati muslim tersebut adalah dilarang. Maka jelaslah, bahwa para ulama salaf yang
meninggalkan sholat jenazah tidaklah menunjukkan ketidakbolehan mensholatinya.
Selanjutnya, taruhlah seandainya sholat jenazah tadi tidak boleh dilaksanakan.
Apakah hal ini berarti seorang tidak boleh memohon rahmat dan maghfirah
baginya �berdasarkan pandangan kita bahwa dia masih muslim-.
Singkatnya,
penolakan sebagian ulama salaf dalam menshalati sebagian kaum muslimin pelaku
bid�ah, tidaklah membatalkan keabsahan menshalatkan mereka. Mereka melakukan
hal ini (tidak turut menshalati) dikarenakan termasuk dalam kategori umum tahdzir
(peringatan) dari kejahatan �si mayit- agar orang-orang yang sepertinya
mendapatkan pelajaran yang benar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu
'alaihi wa Sallam terhadap seorang yang tidak dishalatinya. Mengapa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak menshalatinya?
Penyebabnya adalah dia menyimpan beberapa bagian dari ghanimah untuk
dirinya sendiri. Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
mensholatinya adalah lebih utama daripada penolakan para ulama salaf yang
melakukan hal ini. Namun hal ini tidaklah meniadakan atau membatalkan keabsahan
mensholati muslim pelaku bid�ah. Dari sini, perlu diteliti untuk mengetahui
siapakah mubtadi� itu dan siapakah kafir itu. Ada pertanyaan yang muncul pada
pembahasan kali ini, yaitu apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan kafir
dengan serta merta ia menjadi kafir? Dan apakah setiap orang yang jatuh kepada
amalan bid�ah dengan serta merta ia menjadi mubtadi� ataukah tidak?
Penanya : Tidak!
Syaikh : Jika jawabannya
tidak, maka kita dapat lanjut melihat kepada subyeknya. Jika subyeknya tidak
jelas maka perlu diklarifikasi. Saya akan mengulang permasalahan yang
menyangkut pertanyaan ini dengan beberapa tambahan terperinci. Apakah yang
dimaksud dengan bid�ah? Bid�ah ialah perkara baru yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu
'alaihi wa Sallam, dan pelakunya melakukan bid�ah ini dengan maksud
menambah kedekatannya (taqarub) kepada Allah Jalla wa �Ala.
Apakah setiap orang yang melakukan kebid�ahan dengan serta merta menjadi
mubtadi'?
Penanya : tidak
Syaikh : Lantas siapakah
mubtadi' itu?
Penanya : Seseorang yang
telah didatangkan padanya hujjah yang nyata dan meyakinkan dan ia tetap
bersikeras melaksanakan kebid�ahannya.
Syaikh : Ahsan. Jadi, orang yang
disebutkan �dalam pertanyaan pertama tadi- yang dinyatakan tidak boleh tarahum
terhadap mereka, apakah hujjah telah ditegakkan kepada mereka? Allahu a�lam. Lantas apa dasar prinsip
tentang mereka? Apakah mereka muslim atau kafir?
Penanya : Muslim.
Syaikh : Prinsip dasarnya
adalah mereka muslim. Oleh karena itu, diperbolehkan tarahum terhadap
mereka. Prinsip dasarnya sekali lagi adalah diperbolehkan kita memohon maghfirah
dan rahmat kepada mereka. Bukankah ini masalahnya? Jadi permasalahan ini telah
selesai. Kita tidak boleh mengadopsi madzhab baru ini, yaitu pendapat bahwa tarahum
terhadap fulan dan fulan, atau ulama ini dan itu dari kaum muslimin, tidak
boleh baik secara umum maupun mu�ayan (spesifik). Mengapa? Karena dua
alasan yang tersimpulkan dari ucapanku tadi. Alasan pertama adalah mereka
muslim. Alasan kedua adalah kalaupun seandainya kita tahu mereka adalah pelaku
bid�ah, kita tidak tahu apakah hujjah telah ditegakkan ataukah belum, dan
apakah mereka bersikeras melakukan kebid�ahannya dan melanjutkan kesesatannya
ataukah tidak. Karena itu, saya katakan : diantara kesalahan fatal pada hari
ini adalah, para pemuda muslim yang multazim dengan al-Qur'an dan as-Sunnah,
dikarenakan mengadopsi madzhab baru ini, mereka telah menyelisihi al-Qur'an dan
as-Sunnah tanpa mereka sadari. Konsekuensinya, berdasarkan madzhab mereka ini pula,
saya berhak pula menghukumi mereka sebagai mubtadi�, dikarenakan mereka
menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah (dengan madzhab baru yang mereka adopsi
ini, pent..)
Kendati demikian,
saya takkan menyelisihi madzhabku sendiri (madzhab ahlus sunnah, pent.).
Prinsip dasar yang berkenaan dengan pernyataan mereka (para pemuda yang
semangat tadi, pent.) adalah, bahwa mereka adalah muslim dan mereka
tidak bermaksud untuk mengada-adakan suatu bid�ah, serta mereka tidak menolak
hujjah yang ditegakkan kepada mereka. Sesungguhnya kami berpendapat bahwa
mereka melakukan kesalahan di saat mereka mencari kebenaran. Jika kita sadar
akan hal ini, kita akan terhindar dari
masalah yang merebak dewasa ini� (Sumber : Transkrip kaset Haqiqotul Bid�ah wal Kufri, Silsilah Huda wa
Nur, rekaman : Abu Laila al-Atsari, transkrip dan terjemah ke Inggris oleh
: Abu Aminah Bilal Philips (lihat : http://www.siraat.org/)
Untuk
menyempurnakan faidah, silakan baca Nasehat Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili terbaru
tentang perkara. Silakan dibaca dan difahami. Janganlah kita menjadi
manusia-manusia muta�aalim dan
membuang nasehat-nasehat berharga para masyaikh kiram. Dan telaahlah kembali
nasehat Syaikh Rabi� yang berjudul al-Hatstsu
�alal Mawaddah wal I�tilaaf, ambillah faidahnya dan sibukkan diri dengan
perkara-perkara yang bermanfaat. Kemudian juga yang terpenting adalah,
fahamilah nasehat Syaikh al-Walid baqiyatu
salaf fi hadzal ashr (sisa salaf yang masih hidup saat ini) dalam dua
risalah beliau yang berjudul Rifqon Ahlas
Sunnah bi Ahlis Sunnah dan al-Hatstsu
�ala ittiba�is Sunnah wa Tahdzir minal Bida� wa bayaanu khatariha.
Faidah Penting dari
nasehat masyaikh di atas dan kaidah utama ahlus sunnah dalam perkara ini adalah
:
1. Mengklaim orang lain dengan kafir, mubtadi�, dan fasik,
merupakan hak Allah, oleh karenanya jangan sekali-kali mengklaim dengan kafir,
atau mubtadi� atau fasik orang yang tidak layak diklaim demikian, walaupun
ia telah mengklaim anda dengan kafir,
atau mubtadi� atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan
untuk membalas kezhaliman pelaku kesalahan dengan kezhaliman. Akan tetapi
metode membalas kezhaliman dengan kezhaliman, merupakan perangai Ahlil Bid�ah.
2. Hajr (boikot/isolir) terkait erat dengan maslahat yang
terkandung di dalamnya. Jika tidak bermaslahat maka janganlah diterapkan dan
jika bermaslahat maka hendaklah diterapkan sesuai dengan keadaan dan
kondisinya.
3. Laysa man
waqo�a fil bid�ah waqo�at bid�atu �alaihi. Tidaklah setiap orang yang jatuh kepada amalan bid�ah dengan serta merta orang
tersebut menjadi mubtadi�!!! menvonis bid�ah adalah hak ahlul ilmi setelah
terpenuhinya syarat dan hilangnya penghalang.
Untuk
menyempurnakan faidah, Saya nukil
di sini pernyataan Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad dalam Rifqonnya :
�Sebahagian Ahlus Sunnah pada masa ini ada
yang kebiasaan dan kesibukkannya mencari-cari dan menyelidiki
kesalahan-kesalahan baik lewat karangan-karangan atau lewat kaset-kaset,
kemudian mentahdzir (peringatan untuk dijauhi) barangsiapa terdapat darinya
suatu kesalahan, bahkan diantara kesalahan tersebut yang membuat seseorang bisa
dicela dan ditahdzir disebabkan ia bekerja sama dengan salah satu badan sosial
agama (jam�iyaat khairiyah) seperti
memberikan ceramah atau ikut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh badan
sosial tersebut, padahal syeikh Abdul Aziz bin Baz dan syeikh Muhammad bin
sholeh Al �Utsaimin sendiri pernah memberikan muhadharah (ceramah) terhadap badan sosial tersebut lewat telepon,
apakah seseorang layak untuk dicela karena ia melakukan satu hal yang sudah
difatwakan oleh dua orang ulama besar tentang kebolehannya. Lebih baik
seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu dari pada menyalahkan pendapat
orang lain, terlebih-lebih apabila pendapat tersebut difatwakan oleh para ulama
besar, oleh sebab itu sebagian para sahabat Nabi saw selepas perjanjian
Hudaybiah berkata: �Wahai para manusia!, hendaklah kalian mengkoreksi pendapat
akal (ar-Ro�yu) bila bertentangan dengan perintah agama�. Bahkan diantara
orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfa�at yang cukup besar, baik dalam
hal memberikan pelajaran-pelajaran, atau melalui karya tulis, atau berkhutbah,
ia ditahzir cuma karena gara-gara ia tidak pernah diketahui berbicara tentang
si fulan atau jama�ah tertentu umpamanya, bahkan celaan dan tahdzir tersebut
sampai merembet ke bagian yang lainnya di negara-negara arab dari orang-orang
yang manfa�atnya menyebar sangat luas dan perjuangannya cukup besar dalam
menegakkan dan menyebarkan Sunnah serta berda�wah kepadanya, tidak ragu lagi
bahwa mentahdzir orang seperti mereka tersebut adalah sebuah tindakan menutup
jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari faedah dari
mereka dalam mempelajari ilmu dan akhlak yang mulia.� (Dinukil dari Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah (terj)
berlemah lembut sesama Ahlus Sunnah, pent. Ust. Abu Hasan Ali Misri Semjan
Putra, Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah).
Janganlah
ada diantara anda merasa berat hati menerima nasehat syaikh al-Abbad dalam
risalah rifqon� beliau. Karena, nasehat
beliau ini adalah beliau tujukan kepada generasi ahlus sunnah, dan saya
bidikkan nasehat ini kepada ikhwah salafiyah. Saya yakin bahwa kita semua
menghendaki ishlah dan persatuan�
namun akankah persatuan ini dicapai jika kedengkian masih melekat di sanubari
kita, tajrih (gemar mencela) dan tanfir (membuat orang lari dari
kebenaran) menjadi ciri khas kita, syiddah
(kekerasan) dan �anfah (kebengisan)
telah menjadi bagian manhaj kita, ta�ashub
dan taqlidul a�ma masih menjadi
rutinitas kita, keras kepala, egois dan ingin menang sendiri telah menjadi
bagian jiwa kita, mentazkiyah diri sendiri dengan menyatakan sebagai
satu-satunya salafiy yang haq serta tidak lapang dada dalam khilaf yang memang
masih diperbolehkan khilaf di dalamnya masih melekat pada kepala kita, maka
sungguh jauh angan kita tercapai�
Naqqil fu`adaka haytsu
syi�ta minal hawa
Mal hubbu illa lihabiibil awwali
Kam min manzilin
ya�lafuhul fataa
Wa haniinuhu illa lihabiibil awwali
Kau bawa serta hawa
nafsumu kemana saja kau berada
Tidaklah rasa cinta melainkan kepada kekasih pertama
Betapa banyak
persinggahan dilewati para pemuda
Namun kerinduannya hanyalah pada persinggahan pertama
Ihya�us Sunnah ITS, 19
Muharam 1426 H, 16.10 WIB
Akhukum Fillah
Abu Salma bin Burhan
at-Tirnaatiy