Pendahuluan
Segala puji hanya untuk Allah semata, dan salawat dan salam
atas Rasulullah dan keluarganya serta sahabat-sahabatnya dan atas siapa yang
mengikuti petunjuknya.
Amma ba’du :
Sungguh telah sampai kepada penyusun beberapa
lembaran yang berisikan perkataan dua orang alim salafi Syeikh Ibnu Baz dan
Ibnu Utsaimin, dimana sebagian orang Jamaah Tabligh ini menyeberkan dan
membagi-bagikannya di kalangan orang yang tidak mempunyai ilmu dan orang yang
tidak mengetahui hakikat manhaj (ajaran) mereka yang batil dan aqidah mereka
yang rusak.
Ternyata, pada perkataan dua orang syeikh itu ada bukti
menyalahkan mereka. (Sebenarnya), perkataan Syeikh Ibnu Baz berdasarkan kepada
ungkapan dan pengakuan seorang tabligh atau orang simpatisan dengan mereka, ia
menceritakan kepada syeikh Ibnu Baz berbeda dengan apa yang mereka pegang, dan
ia menggambarkan kepada syeikh tentang mereka tidak seperti gambaran mereka
yang sebenarnya. Apa yang kita katakan ini dipertegas oleh ucapan Syeikh Ibnu
Baz sendiri, beliau berkata :
“Dan tidak diragukan lagi sesungguhnya manusia (masyarakat)
sangat membutuhkan sekali kepada seperti pertemuan-pertemuan yang baik ini,
yang berkumpul untuk mengingatkan kepada Allah dan dakwah (mengajak) kepada
berpegang kepada agama Islam dan mempraktekan ajaran-ajrannya dan memurnikan
tauhid dari bid’ah-bid’ah dan khurafat-khurafat….”
(Lihat fatwa beliau no : 1007 tertanggal : 17/8/1407, yaitu yang
sekarang disebarkan oleh jamaah tabligh).
Hal ini mengambarkan bahwasanya penulis pengakuan dan
pernyataan itu sungguh telah menyebutkan dalam pernyataannya itu, bahwa
sesungguhnya jamaah ini mengajak kepada berpegang teguh dengan agama Islam dan
mempraktekkan ajarannya serta memurnikan tauhid dari bid’ah-bid’ah dan
khurafat-khurafat. Maka dengan sebab itulah syeikh memuji mereka.
Kalau seandainya penulis pernyataan
itu mengatakan perkataan yang benar (tidak berbohong) tentang mereka, dan
menggambarkan kondisi mereka sesuai dengan hakikat mereka yang sebenarnya, dan
menerangkan ajaran mereka yang rusak, niscaya kita tidak melihat dari Imam Ibnu
Baz yang salafi muwahhid (yang bertauhid) ini kecuali celaan pada mereka, dan
tahdzir (peringatan) dari mereka dan dari bid’ah-bid’ah mereka seperti yang
beliau lakukan dalam fatwa beliau terakhir tentang mereka yang dilampirkan
dalam makalah ini.
Dan dalam perkataan allamah Ibnu Utsaimin juga menyalahkan
mereka, lihatlah kepada perkataan beliau berikut ini :
“Catatan : Jikalau perbedaan itu terdapat pada masalah-masalah
aqidah maka wajiblah diperbaiki dan apa saja yang berbeda dengan mazhab salaf
maka wajiblah diingkari dan ditahzir (diperingatkan untuk menjauhi) dari orang
yang menempuh / melakukan apa yang menyelisihi mazhab salaf pada permasalahan
ini.
(Lihatlah fatwa Ibnu Utsaimin: 2/939-944 sebagaimana yang
ada dalam selembaran yang disebarkan oleh Jamaah Tabligh sekarang).
Tidak diragukan lagi sesungguhnya perbedaan antara
salafiyin, ahlu sunnah dan tauhid
dengan jamaah tabligh, adalah perbedaan yang kuat, dan dalam, tentang
masalah aqidah dan manhaj.
(Karena), mereka itu adalah (beraqidah) Maturidiyah
yang menghilangkan (mengingkari) sifat-sifat Allah, mereka adalah sufi
dalam masalah ibadah dan adab, mereka melakukan bai’at berdasarkan atas empat
ajaran (terikat) sufiyah yang tenglam dalam kesesatan, sesungguhnya
ajaran sufi itu berdiri atas ajaran hululiayh (Allah menyatu
dengan Makhluk) dan wihdatul wujud (Allah dan makhluk itu satu), perbuatan
syirik dengan kuburan, dan lainnya dari bentuk-bentuk kesesatan.
Dan ini, dapat dipastikan allamah Ibnu
Utsaimin tidak mengetahui tentang
mereka, kalau seandainya beliau mengetahui hal itu pasti ia telah menghukum
mereka dengan kesesatan dan pasti beliau telah mentahdzir (memperingatkan) dari
mereka dengan peringatan yang keras, dan tentu beliau telah menempuh jalan
salafy terhadap mereka, seperti yang dilakukan oleh dua orang syeikh beliau
(yaitu) Imam Muhammad Bin Ibrahim dan Imam Ibnu Baz.
Dan seperti yang dilakukan oleh Syeikh Al-Albani, Syeikh
Abdur Razzaq ‘Afifi, Syeikh Fauzan, Syeikh Hamud At Tuwaijiri, Syeikh
Taqiyuddin Al Hilali, Syeikh Sa’ad Al-Hushein, Syeikh Saifur Rahman dan Syeikh
Muhammad Aslam. Dan mereka-mereka ini mempunyai karangan-karangan yang agung
yang menerangkan akan kesesatan Jamaah Tabligh, dan bahayanya apa yang mereka
pegang dari segi aqidah dan manhaj yang sesat, maka hendaklah orang yang
mencari kebenaran merujuk kepada karangan-karangan itu. Dan sungguh Abdur
Rahman Al Misri telah menarik kembali apa yang telah ia tulis berhubungan
dengan pujiannya terhadap Jamaah Tabligh dan mengakui kesahalannya di hadapanku
(penyusun).
Adapun Yusuf AL Malahi, beliau ini adalah diantara
orang-orang yang ikut bersama mereka selama bertahun-tahun, kemudian ia menulis
satu kitab tentang mereka, dengan menerangkan kesesatan mereka, rusaknya akidah
mereka, kemudian sangat disayangkan sekali, ia kembali meninggalkan kebenaran
dan fakta, dan ia telah menulis tentang mereka dalam kitabnya yang terakhir,
sedang kitabnya yang pertama menyokongnya, dan apa yang telah ditulis oleh para
ulama manhaj (salaf) tentang mereka mematahkan kebatilannya. Kaidah yang mulia
(mengatakan) : Jarh (celaan) lebih didahulukan atas ta’dil (pujian),
membantah setiap pujian yang keluar dari siapapun, jika kiranya orang-orang
Jamaah Tabligh berpegang teguh kepada kaidah-kaidah islamy yang benar, dan
menempuh jalan-jalan ahli ilmu dan penasehat, terhadap Islam dan muslimin.
Ditulis
oleh :
Syeikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali.
Pada
tanggal : 29 / Muharam / 1421 H.
Fatwa Terakhir Syeikh Abdul Aziz Bin Baz Tentang Tahdzir
(Peringatan) Dari Jamaah Tabligh.
Syeikh Abdul Aziz bin
Abdullah Bin Baz telah ditanya tentang Jamaah Tabligh, si penanya berkata :
“Wahai samahatu Syeikh, kami mendengar
tentang Jamaah Tabligh dan dakwah yang mereka lakukan. Apakah Syeikh
menasehatiku untuk bergabung dengan jamaah ini? Saya mohon diberi bimbingan dan
nasehat, semoga Allah melipat gandakan pahala syeikh”.
Maka Syeikh menjawab dengan
mengatakan :
Setiap orang yang berdakwah kepada
Allah maka ia adalah mubaligh, (balighu ‘anni walau ayah) artiya
“sampaikanlah dariku walau satu ayat”. Akan tetapi Jamaah
Tabligh yang terkenal, yang berasal dari india ini, mereka memiliki
khurafat-khurafat, mereka memiliki sebagian bid’ah-bid’ah dan perbuatan syirik,
maka tidak boleh keluar (berpergian) bersama mereka, kecuali seorang yang
memiliki ilmu, orang yang berilmu itu keluar untuk mengingkari perbuatan
mereka, dan mengajar mereka. Adapun jikalau ia keluar untuk mengikuti
mereka, maka jangan (jangan keluar bersama mereka-pent).
Karena mereka memiliki
khurafat-khurafat, mereka memiliki kesalahan dan kekurangan dalam ilmu, akan
tetapi jika ada jamaah dakwah selain mereka dari kalangan ahli ilmu dan ahli
pemahaman, maka (tidak mengapa-pent) ia keluar bersama mereka untuk berdakwah
kepada Allah.
Atau seseorang yang memiliki ilmu,
dan pemahaman, maka ia keluar bersama mereka untuk memahamkan mereka,
mengingkari (kesalahan) mereka, dan membimbing mereka kepada jalan yang baik,
serta mengajar mereka, sehingga mereka meninggalkan mazhab (ajaran) yang
batil, dan memegang mazhab ahli sunnah wal jamaah.”
Maka hendaklah jamaah tabligh dan siapa
yang simpati kepada mereka mengambil faidah dari fatwa ini yang menjelaskan
kondisi mereka sebenarnya, akidah mereka, manhaj mereka dan karangan-karangan
pemimipin mereka yang mereka ikuti.
{saya mentekskripkan dari kaset
dengan judul (Fatwa samahatus Syeikh Abdul Aziz Bin Baz ala Jamaatu Tabligh),
fatwa ini dikeluarkan di Taif kira-kira dua tahun sebelum beliau wafat, dan di
dalamnya terdapat bantahan terhadap kekeliruan Jamaah Tabligh terhadap
perkataan yang lama yang bersumber dari Syeikh, sebelum jelas baginya akan
hakikat kondisi dan manhaj mereka.}
Jamaah Tabligh dan Ikhwan tergolong dari 72 golongan
(firqah).
Syeikh Abdul Aziz bin
Abdullah Bin Baz telah ditanya :
“Semoga Allah berbuat baik
kepada Anda, hadits Nabi e, tentang
berpecahnya umat-umat (yakni) sabda beliau : “Umatku akan terpecah menjadi 73
golongan kecuali satu”. Apakah Jamaah Tabligh dengan kondisi mereka yang
memiliki beberapa kesyirikan dan bid’ah, dan Jamaah Ikhwan Muslimin dengan
kondisi mereka yang memiliki sifat hizbiyah (berkelompok), dan
menentang penguasa, serta tidak mau tanduk dan patuh, apakah dua golongan ini
masuk …? (ke dalam hadits tadi-pent).
Maka Syeikh menjawab :
“Dia masuk dalam 72
dolongan ini; siapa yang menyelisihi akidah ahli sunnah maka ia telah masuk
kepada 72 golongan. Maksud dari sabda beliau (umatku) adalah
umat ijabah artinya mereka yang menerima dan menampakkan keikutan mereka kepada
beliau, tujuh puluh tiga golongan, yang lolos dan selamat adalah yang mengikuti
beliau dan konsekwen dalam agamanya. Dan tujuh puluh dua golongan, di antara
mereka ada bermacam-macam, ada yang kafir, ada yang bermaksiat dan ada yang
berbuat bid’ah.”
Lalu si penanya berkata :
“Maksudnya kedua golongan ini (Jamaah Tabligh dan Ikhwan) termasuk dari tujuh
puluh dua ?
Syeikh menjawab :
“Ya.
Termasuk dari tujuh puluh dua, begitu juga Murjiah dan lainnya, Murjiah
dan Khawarij. Oleh sebagain ahli ilmu memandang Khawarij tergolong dari orang
kafir yang keluar dari Islam, akan tetapi ia termasuk dari keumuman tujuhpuluh
dua itu.
{Diambil dari pelajaran
beliau dalam Syarh al Muntaqa di kota Taif, ini terdapat di dalam kaset
rekaman, sebelum beliau wafat kira-kira dua tahun atau kurang}.
Hukum
Khuruj (Keluar) Bersama Jamaah Tabligh.
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya
:
“Saya telah keluar bersama Jamaah Tabligh ke India
dan Pakistan, kami berkumpul dan shalat di mesjid-mesjid yang di dalamnya
terdapat kuburan, dan saya mendengar bahwa shalat di mesjid yang di dalamnya
terdapat kuburan, maka shalatnya batal (tidak sah), apakah pendapat Syeikh
tentang shalat saya, apakah saya mengulanginya, dan apa hukum khuruj (keluar)
bersama mereka kepada tempat-tempat seperti ini?
Jawab
“Bismillah walhamdulillah, amma ba’du :
Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai ilmu dan
pemahaman dalam masalah-masalah akidah, maka tidak boleh keluar (khuruj)
bersama mereka, kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan pemahaman tentang
akidah yang benar yang dipegang teguh oleh ahli sunnah wal jamaah, sehingga ia
membimbing, dan menasehati mereka,
serta bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan, karena mereka gesit dalam
beramal, akan tetapi mereka butuh penamahan ilmu dan butuh kepada orang yang
akan memahamkan mereka dari kalangan ulama-ulama tauhid dan sunnah. Semoga
Allah menganugerahkan kepada semua akan pemahaman dalam agama dan konsekwen di
atasnya.
Adapun shalat di dalam mesjid-mesjid yang di dalamnya
ada kuburan, maka shalatnya tidak sah, dan kamu wajib mengulangi shalat yang
kamu kerjakan di mesjid-mesjid itu, karena Nabi bersabda : “Allah telah
melaknat Yahudi dan Narani yang mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka
sebagai mesjid”. (muttafaqun ‘alaihi). Dan sabda Beliau : “Ingatlah
sesungguhnya orang sebelum kalian, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi dan
orang-orang shaleh mereka sebagai mesjid, ingatlah, maka janganlah kalian
menjadikan kuburan-kuburan sebagai mesjid, sesungguhnya saya melarang kalian
akan itu”. H.R. Muslim.
Dan hadits-hadits pada hal ini sangatlah banyak, wa
billahi taufiq, semoga Allah menanugerakan salawat dan salam atas nabi kita
Muhammad dan atas keluarganya serta sahabatnya.
{Fatwa tertanggal : 2/11/1414H}
Komentar
Penyusun Sekitar Perkataan Abdul Aziz Bin Baz :
“Maka tidak boleh khuruj (keluar)
bersama mereka, kecuali orang yang mempunyai ilmu dan pemahaman tentang akidah
yang shahih yang dipegang teguh oleh ahli sunnah wal jamaah, sehingga ia bisa
membimbing dan menasehati mereka serta bekerja sama dengan mereka untuk
melakukan kebajikan.”
Penyusun
mengatakan :
Semoga Allah merahmati Syeikh, kalaulah mereka itu
mau menerima nasehat, dan bimbingan dari ahli ilmu, tentulah tidak ada halangan
untuk keluar (khuruj) bersama mereka, akan tetapi realita yang membuktikan
bahwasanya mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau meninggalkan
kebatilan mereka. Disebabkan ta’asub (fanatik) dan sikap menuruti hawan nafsu
mereka yang bersangatan.
Kalaulah mereka menerima nasehat-nasehat para ulama,
niscaya mereka telah meninggalkan manhaj mereka yang batil dan pastilah mereka
telah menempuh jalan ahli tauhid dan sunnah.
Jika seandainya permasalahannya seperti itu, maka
tidaklah boleh khuruj (keluar) bersama mereka, sebagaimana sikap itu merupakan
sikap manhaj salafusholeh yang berpengang kepada kitab dan sunnah dalam
mentahdzir (memperingatkan) dari ahli bid’ah dan dari bergaul serta bermajlis
dengan mereka, karena hal itu adalah menambah banyaknya keanggotaan mereka, dan
membantu dan memperkuat bersebarnya kesesatan mereka, dan hal itu adalah
pengkhianatan terhadap agama Islam dan kaum muslimin, terpedaya oleh mereka dan
kerja sama dalam melakukan dosa dan melampaui batas.
Apalagi mereka itu melakukan bai’at berdasarkan atas
4 macam tarikat (ajaran) sufi yang di dalamnya terdapat keyakinan hululiyah
(Allah menepati makhluk) dan wahdatul wujud (Allah dan makhluk
satu) serta syirik dan bid’ah.
Fatwa
Lajnah Daimah (Lembaga Tetap) tentang Jamaah Tabligh.
No fatwa :
17776, tertanggal : 18/3/1416 H.
Seorang penanya (Muhammad Kahlid Al Habsi) bertanya setelah
ia mengemukakan pertanyaan pertama, sebagai berikut :
Pertanyaan Kedua : “Saya pernah membaca
beberapa fatwa Syeikh (Ibnu Baz). Dan Syeikh mendorong / mengajak pelajar
(penuntut ilmu) untuk keluar (khuruj) bersama Jamaah Tabligh, dan alhamdulillah
kami telah khuruj bersama mereka, dan kami memetik faidah yang banyak, akan
tetapi, wahai Syeikh yang mulia, saya melihat sebagian amalan (yang
dikerjakan-pent) tidak ada tercantum di dalam Kitabullah dan sunnah rasul-Nya
seperti :
1.
Membuat
lingkaran di dalam mesjid pada setiap dua orang atau lebih, lalu mereka saling
mengingat sepuluh surat terakhir dari Al Quran, dan konsisten dalam menjalankan
amalan ini dengan cara seperti ini pada setiap kali kami khuruj (keluar).
2.
Ber’itikaf
pada seriap hari Kamis dalam bentuk terus menerus.
3.
Membatasi
hari untuk khuruj, yaitu tiga hari dalam satu bulan, empat puluh hari setiap
tahun dan empat bulan seumur hidup.
4.
Selalu
doa berjamaah setiap setelah bayan (pelajaran).
Bagaimanakah wahai syeikh yang mulia, jika
seandainya saya keluar bersama jamaah ini, dan saya melakukan amalan-amalan dan
perbuatan ini yang tidak pernah terdapat di dalam kitabullah dan sunnah rasul,
ketahuilah wahai syeikh yang mulia, sesungguhnya merupakan hal yang sangat
sukar sekali untuk merobah metode (manhaj) ini. Beginilah cara dan metode
mereka seperti yang diterangkan di atas.
Jawab
“Apa yang telah anda sebutkan dari
perbuatan jamaah ini (Jamaah Tabligh) seluruhnya adalah bid’ah, maka tidak
boleh ikut serta sama mereka, sampai mereka berpegang teguh dengan manhaj kitab
dan sunnah serta meninggalkan bid’ah-bid’ah.”
Tertanda
:
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Anggota : Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syeikh.
Anggota : Sholeh bin Fauzan Al Fauzan.
Anggota : Bakr bin Abdullah Abu Zaid.
(Di bawahnya penyusun melampirkan kopian fatwa beserta tanda tangan
setiap syeikh).
Fatwa
Syeikh ‘Alaamah Muhammad bin Ibrahim Ali Syeikh tentang tahdzir (peringantan)
dari jamaah tabligh.
“Dari Muhammad bin Ibrahim kepada hadapan pangeran Khalid
bin Su’ud, pimpinan kantor kerajaan yang terhormat, assalamu’alikum
warahmatullah wabarakatu dan selanjutnya :
Sungguh saya telah menerima surat Pangeran (no : 36/4/5-d,
tertanggal 21/1/1382 H) beserta lampirannya, hal itu adalah harapan yang
diangkat kepada hadapan dipetuan agung Raja yang terhotmat, dari Muhammad Abdul
Majid Al Qadiri, Syah Ahmad Nurani, Abdus Salam Al Qadiri dan Su’ud Ahmad Ad
Dahlawi, sekitar permohonan mereka minta bantuan untuk proyek organisasi mereka
yang mereka namakan (Kuliah Da’wah Tabligh Al Islamiyah) dan begitu juga
buku-buku kecil yang dilampirkan bersama surat mereka. Saya mengemukakan kepada
hadapan Pangeran, bahwasanya organisasi ini tidak ada kebaikan di dalamnya,
karena sesungguhnya ia adalah organisasi bid’ah dan sesat. Dan
dengan membaca buku-buku kecil yang dilampirkan dengan surat mereka, maka kami
telah menemukan buku-buku itu mengandung kesesatan, bid’ah dan dakwah
(ajakan) kepada mengibadati kubur dan syirik. Hal itu adalah perkara
yang tidak mungkin didiamkan. Oleh karena itu kami insya Allah akan membalas
surat mereka dengan apa yang mungkin menyingkap kesesatan mereka dan membantah
kebatilan mereka. Dan kita mohon kepada Allah semoga Dia menolong agama-Nya,
dan mengangkat kalimat-Nya, wassalamu’alikum warahmatullah”. [S-M-405 pada
tanggal 29/1/1382H].
{Rujuklah ke Kitab : Alqaulul Baligh fit Tahdzir Min Jamaatit Tabligh,
oleh syeikh Hamud At Tuwaijiri halaman : 289}.
Fatwa syeikh Alaamah Muhammad Nasuruddin Al Albani tentang
Jamaah Tabligh.
Beliau pernah ditanya :
“Apakah pendapat Syiekh tentang Jamaah Tabligh, apakah boleh
bagi pelajar (penuntut ilmu) atau lainnya untuk khuruj (keluar) bersama mereka
dengan dalih berdakwah kepada Allah ?
Maka beliau menjawab :
Jamaah Tabligh tidak berdiri (berdasarkan) atas manhaj
kitabullah dan sunnah rasul-Nya ‘alaihi salawat wa salam, dan apa yang dipegang
oleh salafuu sholeh.
Kalau seandainya perkaranya seperti itu,
maka tidaklah boleh khuruj bersama mereka, karena hal itu bertentangan dengan
manhaj kita dalam menyampaikan manhaj salafus sholeh.
Maka dalam medan dakwah kepada Allah, yang keluar itu adalah
orang yang berilmu, adapun orang-orang yang keluar bersama mereka, yang wajib
mereka lakukan adalah untuk tetap tinggal di negeri mereka dan memperlajari
ilmu di mesjid-mesjid mereka, sampai-sampai mesjid-mesjid itu mengeluarkan
ulama yang melaksanakan tugas dalam dakwah kepada Allah.
Dan selama kenyataanya masih seperti itu, maka wajiblah atas
penuntut ilmu (pelajar) untuk mendakwahi mereka-mereka itu (Jamaah
Tabligh-pent) di dalam rumah mereka sendiri, agar mempelajari kitab dan sunnah
dan mengajak manusia kepadanya.
Sedang mereka –yakni Jamaah Tabligh- tidak menjadikan dakwah
kepada kitab dan sunnah sebagai dasar umum, akan tetapi mereka mengatagorikan
dakwah ini sebagai pemecah. Oleh karena itu, maka mereka itu lebih cocok
seperti Jamaah Ikhwan Muslimin.
Mereka mengatakan bahwa dakwah kami berdiri atas kitab dan
sunnah, akan tetapi ini hanya semata-mata ucapan, sedangkan mereka tidak ada
akidah yang menyatukan mereka, yang ini Maturidi dan yang itu Asy’ari, yang ini
sufi dan yang itu tidak punya mazhab.
Itu, karena dakwah mereka berdiri atas dasar : bersatu,
berkumpul, kemudian pengetahuan. Pada hakikatnya mereka tidak mempunyai
pengetahuan sama sekali, sungguh telah berjalan bersama mereka waktu lebih dari
setengah abad, tidak pernah seorang alim pun yang lahir di tengah-tengah
mereka.
Adapun kita, maka kita mengatakan : Berpengetahuan (dulu),
kemudian berkumpul, sehingga perkumpulan itu berada di atas pondasi yang tidak
ada perbedaan di dalamnya.
Dakwah Jamaah Tabligh adalah sufi moderen, yang mengajak
kepada akhlak. Adapun memperbaiki akidah masyarakat, maka mereka itu tidak
bergeming, karena dakwah ini (memperbaiki akidah) –sesuai dengan prasangka
mereka- memecah belah.
Dan sungguh telah terjadi koresponden antara akh Sa’ad Al
Hushain dan pemimpin Jamaah Tabligh di India atau Pakistan, maka jelaslah
darinya bahwa sesungguhnya mereka itu menyetujui tawasul, dan istighatsah
dan banyak hal-hal lain yang sejenis ini. Dan mereka meminta kepada
anggota mereka untuk membai’at di atas emapat macam terikat (ajaran),
diantaranya adalah : An Naqsyabandiyah, maka setiap orang tabligh seyogyanya
untuk membai’at di atas dasar ini.
Dan mungkin seorang akan bertanya : Sesungguhnya Jamaah ini,
disebabkan usaha anggota-anggotnya telah kembali (insaf dan sadar) kebanyakan
manusia kepada Allah, bahkan
mungkin melalui tangan-tangan mereka kebanyakan orang non muslim telah masuk
Islam. Apakah ini sudah cukup sebagai dalih bolehnya untuk keluar dan
bergabung bersama mereka pada apa
yang mereka dakwahkan?
Maka kita katakan : “Sesungguhnya ucapan-ucapan ini sering
kami ketahui dan kami dengar dan kami dengar (juga) dari orang-orang sufi!!.
Ini bagaikan : Ada seorang syeikh akidahnya rusak, dan tidak pernah mengetahui
sedikitpun tentang sunnah, bahkan ia memakan harta orang dengan cara batil
(tidak sah)…. Disamping itu banyak orang yang fasik (yang berdosa) bertaubat
lewat tangannya….!
Maka setiap jamaah yang mengajak kepada kebajikan pasti
mempunyai pengikut, akan tetapi kita harus melihat kepada intisari
permasalahan, kepada apakah yang mereka mengajak / berdakwah? Apakah kepada
mengikuti kitabullah dan hadits Rasul, kepada akidah salafus sholeh, tidak
ta’ashub (fanatik) mazhab, dan mengikuti sunnah, dimanapun dan sama siapapun?
Maka Jamaah Tabligh, mereka tidak memiliki manhaj ilmu, akan
tetapi manhaj mereka sesuai dengan tempat dimana mereka berada, mereka berubah
warna dengan setiap warna.
{Rujuklah Fatwa Imaratiyah, karangan Al Albani soal no : 73
hal : 38}.
Fatwa Syeikh Alaamah Abdur Razzaq ‘Afifi Tentang Jamaah
Tabligh.
Syeikh ditanya tentang khuruj Jamaah Tabligh
dalam rangka mengingatkan manusia kepada keagungan Allah. Maka Syeikh berkata :
“Pada kenyataannya, sesungguhnya mereka adalah mubtadi’
(orang yang membuat bid’ah) yang mutar balikkan serta pelaku terikat (ajaran)
Qadariyah dan lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di
jalan Ilyas (pendiri Jamaah Tabligh-pent), mereka tidak mengajak kepada kitab
dan sunnah, akan tetapi mengajak kepada Ilyas Syeikh mereka di Bangladesh.
Adapun khuruj dengan tujuan dakwah kepada Allah, itulah
khuruj di jalan Allah, dan ini bukan khurujnya Jamaah Tabligh.
Saya mengetahui Jamaah Tabligh sejak zaman dahulu, mereka
itu adalah pembuat bid’ah di manapun mereka berada, di Mesir, di Israil, di
Amerika, di Saudi, semua mereka selalu terikat dengan syeikh mereka yaitu
Ilyas”.
{Fatawa dan Rasail oleh samahatu syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi
(1/174).
Fatwa Syeikh Sholeh bin
Fauzan Al-Fauzan
Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan telah
ditanya :
“Apakah pendapat syeikh tentang orang yang keluar (khuruj)
ke luar Kerajaan Saudi untuk berdakwah, sedangkan mereka belum pernah menuntut
ilmu sama sekali, dan mereka memberikan motivasi untuk itu, dan mereka
elu-elukan syi’ar yang aneh, dan mendakwakan sesungguhnya siapa yang keluar di
jalan Allah untuk berdakwah, maka Allah akan memberinya ilham. Mendakwakan
sesungguhnya ilmu itu bukanlah syarat yang penting.
Tentu Syeikh mengetahui bahwa di luar kerajaan Saudi ini
akan ditemukan aliran-aliran dan agama-agama serta pertanyaan-pertanyaan yang
akan dilontarkan kepada si dai.
Tidakkah Anda melihat wahai Syeikh yang mulia, sesungguhnya
orang yang keluar di jalan Allah itu harus mempunyai senjata agar bisa
menghadapi masyarakat, terkhusus di timur Asia, dimana mereka memerangi /
membenci pembaharu dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab? Saya mohon jawaban
atas pertanyaan saya ini agar
manfaatnya menyebar.”
Jawab
Khuruj (keluar) di jalan Allah, bukanlah khuruj yang mereka
maksudkan sekarang. Khuruj (keluar) di jalan Allah adalah keluar untuk
berperang. Adapun apa yang mereka namakan dengan khuruj itu, sesungguhnya ini
adalah bid’ah yang tidak pernah datang dari salaf.
Seorang keluar untuk berdakwah kepada Allah, tidaklah
dibatasi pada hari-hari tertentu, akan tetapi berdakwah kepada Allah sesuai
dengan kesempatan dan kemampuannya, tanpa harus terikat dengan jamaah atau
terikat dengan empat puluh hari atau kurang atau lebih.
Dan begitu juga, di antara yang wajib atas seorang dai, ia
haruslah mempunyai ilmu, seseorang tidak boleh berdakwah kepada Allah sedangkan
ia bodoh (tidak berilmu), Allah berfirman :
Artinya : “Inilah jalanku, yang aku mengajak kepada Allah di
atas pengetahuan”
Yaitu atas ilmu, karena seorang dai mesti mengetahui apa
yang akan didakwahinya, berupa hukum-hukum yang wajib, yang sunat, yang haram
dan yang makruh. Dia harus mengetahui apa itu syirik, maksiat, kekufuran,
kefasikan, kemaksiatan. Dan harus mengetahui tingkat-tingkat pengingkaran, dan
bagaimana cara mengingkari.
Khuruj yang menyebabkan disibukan dari menuntut ilmu adalah
perkara yang batil (salah), karena menuntut ilmu itu adalah fardu (kewajiban),
dan ilmu itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan cara belajar, tidak akan
didapatkan dengan cara ilham, ini merupakan khurafat sufi yang sesat, karena
amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Dan tentu meraih ilmu tanpa belajar adalah
angan-angan yang salah.
{Dari kitab Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad Da’wah}.
Diterjemahkan oleh : Muhammad Elvi Syam, Dai dan Penerjemah
di Islamic Dawa & Guidance Center di Hail. K.S.A