JABAT TANGAN DENGAN AJNABIYAH ADALAH HARAM WAHAI HIZBUT TAHRIR…!!!
Bantahan Tuntas Terhadap
Syamsudin Ramadhan dan TKAHI (Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam) Dari Hizbut
Tahrir Yang Memperbolehkan Berjabat Tangan Dengan (Ajnabiyah) Wanita Non Mahram
Oleh : Abu
Salma at-Tirnatiy
Wahai Syamsudin Ramadhan dan
TKAHI (Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam) serta seluruh syabab Hizbut Tahrir,
semoga Allah menunjuki saya dan diri anda semua ke jalan yang lurus dan
diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala… Ingatlah firman Allah Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Barangsiapa yang mengikuti
langkah-langkah syaithan maka sesungguhnya syaithan itu menyuruh mengerjakan
perbuatan yang keji dan mungkar.” (an-Nur : 21)
“Janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (al-Israa’ : 32)
“Hai orang-orang yang beriman…
janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji baik yang tampak diantaranya
maupun yang tersembunyi” (al-An’aam : 151)
Berikut ini adalah tanggapan saya
terhadap jawaban TKAHI (Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam) seputar “Jabat Tangan
Dengan Lawan Jenis Bukan Mahram” yang dipublikasikan tanggal 17/05/2004 dan
tanggapan terhadap jawaban Syamsudin Ramadhan, yang berjudul “Hadits Ummu
Athiyah” yang dipublikasikan tanggal 10/02/2005 di website Hizbut Tahrir : http://www.hayatulislam.net/. Semoga tanggapan saya ini bisa
menjadi nasehat anda semua wahai Hizbut Tahrir, sehingga anda mau menarik
pendapat anda yang ganjil dan menyelisihi dalil yang lebih kuat. Karena
bukankah anda sendiri wahai Syamsudin Ramadhan, telah mengatakan : “yang
terpenting adalah kebenaran itu sendiri, yakni sesuai dengan al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah” di akhir jawaban anda.
Jadi jika terbukti bahwa pendapat
anda menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah, maka anda harus jujur dengan komitmen
anda. Karena fanatik dengan pendapat seseorang selain Rasulullah adalah suatu
penyimpangan dan membawa kepada kesesatan. Oleh karena itu, saya harapkan anda
mau untuk mengoreksi kembali pendapat-pendapat anda apakah sesuai dengan
al-Qur'an dan as-Sunnah ataukah tidak?? Saya khawatir anda hanya ingin
melanggengkan pendapat pendahulu anda, yaitu an-Nabhani rahimahullahu wa
ghofarallahu lahu dan membelanya baik salah maupun benar dengan berbagai
dalih dan cara, entah itu dengan menakwil dari pemahamannya yang benar ataupun
membuat menerapkan kaidah yang tidak pada tempatnya sehingga menghasilkan
pemahaman yang gharib (asing).
Berikut ini adalah tanggapan saya
kepada jawaban TKAHI (Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam), di dalam konsultasi http://www.hayatulislam.net/ yang dipublikasikan pada
17/05/2004 ditanya dengan pertanyaan :
Soal: Saya ingin menanyakan apakah
boleh berjabat tangan dengan lawan jenis, mohon penjelasan yang detail berikut
pendapat-pendapat yang muncul dan tarjihnya.
Kemudian anda menjawab sebagai
berikut :
Pembahasan hukum berjabat tangan
antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam
sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang
digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas
masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada
pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).
Tanggapan : Pernyataan anda bahwa
pembahasan hukum jabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan
kajian kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan adalah benar. Karena memang
dalil-dalil syara’ yang menunjukkan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah
adalah banyak dan akan saya turunkan sebagian insya Allah di dalam risalah
ini, sedangkan dalil yang memperbolehkannya jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan dalil yang mengharamkannya, itupun kalau kita katakan dalilnya shahih
dan layak dijadikan sebagai hujjah dan saya akan turunkan pula bantahannya.
Pernyataan anda bahwa para ulama
berbeda pendapat tentang masalah ini menjadi kubu yang mengharamkan dan
memperbolehkan adalah klaim belaka yang tidak didukung bukti. Karena yang benar
adalah jumhur –jika tidak mau dikatakan kesepakatan ulama- yang menyatakan
bahwa berjabat tangan dengan ajnabiyah adalah haram, dan ini adalah
pendapat seluruh madzhab dan hanya sebagian kecil ulama yang memperbolehkan,
seperti an-Nabhani, al-Qordhowi, Mahmud Khalidi dan semisalnya dari kalangan
kholaf dan itupun dengan dalil yang lemah dan syadz serta mengacu kepada
pemahaman yang tidak sehat, insya Allah akan datang perinciannya dan
penjelasannya.
Pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa
tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah
r.a. yang berkata :
“Kami membai’at Rasulullah Saw,
lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan
sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis
mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan)
tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang
(perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas
jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu
pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].
Tanggapan : Terjemahan hadits di atas sungguh
penuh dengan kesalahan dan pengkhianatan. Di dalam Fathul Bari’ dikatakan : Menceritakan kepada kami Abu Ma’mar,
menceritakan kepada kami Abdul Warits, menceritakan kepada kami Ayyub dari
Hafshoh binti Sirin, dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau
berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam membaiat kami, dan
beliau membacakan kepada kami ayat “agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, beliau melarang kami dari niyahah (meratap), seorang
wanita memegang tangannya sendiri dan berkata : seorang fulanah telah membuatku
gembira dan aku ingin berterima kasih padanya, dan nabi tidak mengatakan
sesuatu apapun pada dirinya, kemudian wanita itu pergi dan kembali lagi, lalu
nabi membaiatnya.”
Hadits ini menunjukkan bahwasanya
kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba
dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan.
Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau
melepaskan (tangannya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus
Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat)
artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at
dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu
digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain
itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada
saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at
dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas
–baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulullah
Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Lihat Taqiyuddin
An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72).
Tanggapan : kesimpulan anda di atas terlalu prematur dan di’paksa’kan serta
terkesan seolah anda sedang membela mati-matian pendapat pendahulu anda,
an-Nabhani ghofarallahu lahu. Kata qo ba dlo di dalam teks hadits
faqobadlot imro’atun yadaha anda tafsirkan secara bathil dengan makna
berjabat tangan (Mushofahah), padahal penafsiran ini tidak tepat dari
segi bahasa baik secara manthuq maupun mafhum-nya. Berikut ini
akan saya nukilkan makna qo ba dlo dari beberapa kamus bahasa Arab yang
menjadi pegangan.
Di dalam Mukhtaarus Shihhaah
dikatakan :
Qobadlo asy-Sya’i maknanya akhodzahu = mengambilnya.
Wal Qobdlu aidhan dliddu al-Basthu = dan qobdlu juga
merupakan lawan dari basthu (membentangkan).
Jika dikatakan : Shoro asy-Sya’i fi qobdlika wa fi qobdlotika
maknanya adalah fi milkika (dalam kepunyaanmu/kepemilikanmu).
Di dalam kamus al-Mu’tamad
dikatakan :
Qobadlo Qobdlon ar-Rajulu asy-Syai’a maknanya akhodzahu wa
tanaawaluhu = mengambil dan menerimanya.
Qobadlo ‘ala asy-Syai’i maknanya amsakahu wa dlomma ‘alaihi ashobi’uhu =
menggenggamnya dan merapatkan dengan erat jari jemarinya.
Qobadlo yadahu ‘an asy-Syai’i maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan
dari genggaman.
Di dalam kamus al-Muhith
dikatakan :
Qobadlohu yadahu yaqbidluhu maknanya tanaawaluhu biyadihi = menerima
dengan/mengulurkan tangannya.
Qobadlo ‘alaihi biyadihi maknanya imsaakihi = menggenggamnya.
Qobadlo yadahu ‘anhu maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan genggamannya.
Di dalam kamus al-Munawwir
dikatakan :
Qobadlo asy-Syai’a aw ‘alaihi maknanya menggenggam
Qobadlo wa Qobbadlo asy-Syai’a maknanya qollashohu =
mengerutkan atau menguncupkan.
Qobadlo ‘anil Amri maknanya nahhaahu = menjauhkan
Qobadlo yadahu ‘ani asy-sya’i maknanya melepaskan
Qobadlo ‘anil Qoumi maknanya hajarohum = meninggalkan
Qobadlo ‘alaihi maknanya menangkap
Demikian pula di dalam kamus al-Mu’jamul Wasith,
Laarus al-Mu’jam al-‘Arobiy al-Hadits,
al-Waafi Mu’jamul Wasith lilughotil ‘Arobiyah,
al-Mishbahul Munir fi Ghoribi asy-Syarhil Kabir ar-Rafi’i
dan al-Bustaan Mu’jamul Lughowi.
Jadi jika dikatakan qobadlo di sini bermakna jabat tangan
atau melepaskan genggaman dari jabat tangan seperti yang anda klaim, maka ini
adalah kebatilan yang dibangun di atas zhan belaka yang mengandung ihtimalat
(banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya). Saya katakan, jika anda mengatakan
bahwa qobadlo di sini bermakna jabat tangan, maka perlu anda ketahui
bahwa maf’ul (obyek) di dalam lafazh hadits tersebut adalah yadaha
dimana ha adalah dhamir (kata ganti) untuk wanita, sehingga dhamir
ha di sini mengandung ihtimal bisa jadi yang dimaksud adalah tangan
wanita tersebut atau wanita lainnya!! Juga perlu diketahui bahwa makna
mengenggam (amsaka) adalah jika qobadlo diiringi oleh asy-Sya’i
(sesuatu) atau muqoron (gandeng) dengan ‘ala
maka bisa dibawa kepada makna mengenggam. Anda juga berasumsi bahwa makna qobadlo
adalah imtana’a ‘an imsakiha (melepaskan tangannya dari
genggamannya), padahal tidak ada shilah ‘an (qobadlo ‘an)
di dalam lafazh ini. Oleh karena itu asumsi anda bahwa qobadlo di
sini bermakna “menggenggam” ataupun “melepaskan tangan dari jabat tangan”
adalah sangat tidak tepat. Yang benar adalah bermakna tanaawala
atau mengulurkan tangan yang bermaksud meminta izin dari prosesi baiat ketika
saat itu.
Mari kita lihat pula penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani
yang jauh lebih ‘alim daripada Taqiyudin an-Nabhani, DR. Mahmud Khalidi
(penulis buku Baiat versi HT), Abdurrahman al-Baghdadi, Syamsudin Ramadhan dan
orang-orang semisal mereka yang muta’aalimin (merasa lebih alim) dari
kalangan kholaf, sehingga ketika para imam terdahulu semacam al-Hafizh Ibnu
Hajar dan semisalnya menyebutkan hadits Ummu Athiyah ini, tidak terbetik
satupun pemahaman sebagaimana pemahaman yang ‘sakit’ orang-orang belakangan
yang muta’aalimin ini.
Al-Hafizh berkata : “Sabda nabi : “faqobadlot imro’atun yadahaa”
di dalam riwayat ‘Ashim berbunyi : “aku (Ummu Athiyah) berkata : Wahai
Rasulullah sesungguhnya keluarga fulan telah membahagiakanku di masa jahiliyah
maka aku harus membahagiakan mereka”, aku (al-Hafizh) tidak tahu siapakah keluarga
fulan yang ditunjuk dalam riwayat ini. Di dalam riwayat Nasa’i berbunyi : “Aku
(Ummu Athiyah) berkata : sesungguhnya ada seorang wanita yang membahagiakanku
di masa jahiliyah” dan aku (al-Hafizh) tidak mengetahui siapa nama wanita yang
dimaksud dan jelaslah bahwa Ummu Athiyah di dalam riwayat Abdul Warits memubhamkan
(menyembunyikan identitas) dirinya.”
Dari penjelasan al-Hafizh rahimahullahu di atas, tampak dengan
jelas bahwa wanita yang diceritakan oleh Ummu Athiyah adalah dirinya sendiri,
namun beliau menceritakan dengan lafazh mubham, dan ini adalah suatu hal
yang lazim di dalam menceritakan tentang diri namun dengan menggunakan lafazh
yang menunjukkan orang lain. Dan al-Hafizh sama sekali tidak menyinggung adanya
mushofahah di dalam syarah beliau. Sekiranya ada pemahaman mushofahah
dalam hadits tersebut, niscaya al-Hafizh akan menyinggungnya, karena beliau
adalah orang yang paling alim terhadap syarah hadits Bukhori dan paling alim
bahasa Arab ketimbang Hizbut Tahrir.
Namun anehnya, anda wahai Hizbut Tahrir, datang berabad-abad
kemudian dengan membawa pemahaman ‘sakit’ terhadap hadits ini dan merasa bahwa
anda adalah orang-orang yang lebih alim ketimbang mereka. Padahal al-Hafizh di
syarah hadits sebelumnya, menyebutkan hadits-hadits shohih tentang haramnya
menyentuh wanita ajnabiyah, namun anda datang berabad-abad kemudian
dengan membawa pemahaman baru yang sakit, yang tidak dikenal oleh ulama muhadditsin
maupun fuqoha’ yang mutamakkinin (mumpuni).
Pernyataan anda : “Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas
–baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulullah
Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at” adalah kesimpulan
yang bathil dan sembrono, zhalim (menempatkan sesuatu tidak pada
tempatnya) dan syadz (ganjil menyelisihi pendapat yang lebih kuat), akan
saya terangkan lebih rinci setelah ini.
Penjelasan ini juga sekaligus
membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits
tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan
yang mengharamkan jabat tangan. (Lihat Muhammad Ismail, Berjabat Tangan
Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits
tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak
bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang
terlambat’.
Tanggapan : Syaikh Muhammad bin Ahmad Ismail menjelaskan, bahwa makna qobadlo
dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’, beginilah teks
terjemahan di dalam bukunya. Mungkin yang dimaksud dengan kata ‘penerimaan’ ini
adalah ‘tanaawul’ atau ‘Munaawalah’. Sayang saya tidak memiliki
naskah asli berbahasa arab buku ini. Namun dugaan saya, ini adalah bahasa
pilihan dari penterjemah yang kurang tepat, wallahu a’lam.
Saya menduga bahwa kata ‘penerimaan’ di sini adalah terjemahan dari
kata tanaawul atau munaawalah dan ini adalah makna yang benar
dari sisi bahasa kata qobadlo, sebab kata tanaawala bermakna a’thoo
(memberi) dan akhodza (mengambil atau menerima).
Untuk lebih tepatnya akan saya nukil perkataan Syaikh Muhammad Ismail di sini,
beliau berkata :
“Yang dimaksud dengan qobadlo yadaha
dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.
Jabat tangan itu tidak harus mengulurkan tangan agar tidak tertinggal darinya.
Dalam hadits tersebut juga tidak ada hal yang menunjukkan adanya jabat tangan,
tetapi justru sebaliknya. Dalam hadits itu tersirat dalil yang meniadakan
perbuatan itu (jabat tangan). Sebagaimana yang tertera di dalam hadits Umaimah
: “Dan nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak berjabat tangan dengan
salah seorang wanita di antara kita.” Ini adalah dalil yang jelas dan tidak
dapat dipungkiri.”
Saya katakan, penjelasan Syaikh Muhammad Ismail di sini lebih sehat
dan kuat daripada penjelasan TKAHI-Hizbut Tahrir, karena beberapa hal :
- Penjelasan
beliau tidak menyelisihi hadits dan riwayat-riwayat lainnya yang lebih
shahih.
- Penjelasan
beliau tidak menyelisihi makna dari segi bahasa, karena qobadlo juga
bermakna tanaawala.
- Penjelasan
beliau didukung dengan riwayat-riwayat lainnya yang berkisah tentang baiat
kaum mukminat kepada nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam diantaranya
adalah riwayat Umaimah yang hadir di kala baiat.
- Penjelasan
beliau menghilangkan ta’arudh atau kontradiktif diantara
hadits-hadits nabi.
- Penakwilan
beliau lebih selamat dari munculnya ta’arudh, syadz dan
penelantaran hadits-hadits nabi yang shahih.
- Penakwilan
beliau sesuai dengan pendapat mayoritas ulama islam yang mengharamkan
jabat tangan dengan ajnabiyah.
- Penakwilan
beliau lebih selaras dengan akhlak islami.
- penakwilan
beliau merupakan salah satu saddu adz-dzara’i (penutup pintu-pintu
keburukan)
Adapun ucapan anda : “Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam
hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak
bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan penerimaan yang
terlambat” adalah argumentasi yang lemah dan
bathil, yang menyebabkan munculnya penyelisihan terhadap hadits-hadits shahih
lainnya, memunculkan kontradiktif, merupakan pemahaman yang syadz,
membuka pintu-pintu kejelekan dan menyelisihi pendapat jumhur ulama kaum
muslimin baik salaf maupun kholaf yang ditopang oleh dalil yang kuat.
Hadits yang diriwayatkan oleh
Ummu ‘Athiyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang
membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan
tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka
hukumnya haram.
Tanggapan : saya katakan, bahwa dalil yang
memperbolehkan jabat tangan dengan ajnabiyah ini adalah dalil yang lemah
ditinjau dari sisi istidlal dan istinbath hukum di dalamnya. Akan
saya jelaskan di tanggapan saya berikutnya tentang letak kelemahan penggunaan
dalil yang menopang pendapat yang syadz dan ‘nyeleneh’ ini, terutama
ditinjau dari ‘qowaidul fiqhiyah’. Dan perkataan anda ‘kebolehan
tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat’ adalah persyaratan
‘angan-angan’ belaka. Karena jika ada akibat pasti ada sebab, dan kaidah fikih
menyatakan urgennya saddu adz-dzara’i (menutup jalan-jalan keburukan),
apalagi Allah memerintahkan supaya hamba-Nya menjauhi zina sedangkan
jabat tangan dengan lawan jenis non mahrom merupakan jalan efektif menuju
kepada zina dan menimbulkan syahwat.
Kata ‘qa ba dha’ juga sering
ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan,
misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan,
Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku
seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi
tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada
beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan
tanggung’.”
Beliau kemudian bersabda :
“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia
menampakkan anggota badannya kecuali wajahnya dan selain ini –digenggamnya
pergelangan tangannya sendiri– dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan
yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR.
Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].
Tanggapan : jika anda mengatakan bahwa kata qobadlo
adalah bermakna ‘menggenggam dengan tangan’ taruhlah dikatakan benar,
namun jika anda bawa kepada pemahaman kepada ‘jabat tangan dengan Rasulullah’
maka telah berlalu penjelasannya, yaitu ini adalah pemahaman yang bathil.
Bagaimana bisa anda mengatakan bahwa qobadlo dalam lafazh hadits Ummu
Athiyah adalah jabat tangan (atau melepaskan tangan dari jabat tangan)?? Dan
dari mana pula anda mendatangkan pemahaman bahwa yang dijabat (atau menjabat)
adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam? Darimanakah anda
mengambil syarah hadits tersebut??
Adapun nukilan hadits yang anda
kemukakan di atas, sesungguhnya saya belum menemukan lafazhnya yang anda klaim
sebagai hadits riwayat Thobari. Berikan kepada saya lafazh arabnya, atau sumber
penukilannya untuk diperiksa keshahihannya hadits di atas sehingga jelas akan maqbul-nya
(dapat diterima) sebagai hujjah. Saya tanyakan demikian, karena saya
mendapatkan bahwa anda menukil riwayat-riwayat yang lemah tanpa anda terangkan
kelemahan riwayat tersebut, akan saya terangkan contohnya di belakang
pembahasan ini insya Allah.
Saya mendapatkan lafazh hadits
yang serupa yang diriwayatkan oleh ath-Thobrani di dalam Mu’jamul Kabir
(XXIV : 143/374) dan Mu’jamul Ausath (II : 230/8959), juga al-Baihaqi
melalui jalur Ibnu Luhai’ah, dari Iyadh bin Abdillah bahwa ia mendengar Ibrahim
bin Ubaid bin Rada’ah al-Anshori menceritakan dari ayahnya, dari Asma’ binti
Umais berkata : Rasulullah mengunjungi ‘Aisyah binti Abi Bakar, sedangkan di
sisi ‘Aisyah ada Asma’ binti Abi Bakar yang sedang mengenakan pakaian bermodel
syam yang lengannya lebar. Tatkala Rasulullah melihatnya, maka beliaupun
bangkit dan keluar. ‘Aisyah Radhiallahu 'anha berkata : Menyingkirlah
kamu karena Rasulullah melihat sesuatu yang beliau benci. Lalu Asma’ pun
menyingkir dan kemudian Rasulullah masuk kembali. Aisyah Radhiallahu 'anha
bertanya kepada beliau alasan mengapa beliau sampai bangkit, maka beliaupun
menjawab : Tidakkah kamu lihat dandannya?! Sesungguhnya seorang wanita muslimah
itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini! Beliau mengambil kedua
telapak tangannya (demikian di dalam riwayat al-Baihaqi, namun yang benar
adalah mengambil “kedua lengan bajunya” sebagaimana disebutkan di berbagai
sumber takhrij), lalu belaiu menutupkan dengan lengan baju itu pada
bagian punggung telapak tangan beliau sehingga yang tampak hanyalah jari jemari
beliau. Selanjutnya beliau meletakkan kedua telapak tangan beliau pada kedua
pelipis beliau sehingga yang tampak hanya wajah beliau.”
Al-Baihaqi berkomentar : isnad
hadits ini dha’if. Syaikh al-Albani mengatakan : cacatnya adalah Ibnu Luhai’ah,
namanya adalah Abdullah al-Hadhromi Abu Abdirrahman al-Mishri al-Qodhi. Dia
sebenarnya tsiqoh fadhil, namun beliau menyampaikan hadits dari
buku-buku catatannya, lalu catatannya hangus terbakar, sehingga beliau
menyampaikan hadits berdasarkan hafalannya namun hafalannya telah kacau dan
bercampur-aduk.
Al-Haitsami menghasankannya di dalam Majma’uz Zawa’id (V : 137) dan mengatakan : “Di dalamnya terdapat Ibnu Luhai’ah yang
haditsnya hasan sedangkan perawi lainnya adalah rijal shahih.” Syaikh
Albani kembali berkomentar : “Yang tidak diragukan adalah bahwa haditsnya ini
jika didudukkan sebagai mutabi’at dan syawahid tidak akan
turun derajatnya dari derajat hasan. Dan derajat hadits ini berada diantara
keduanya.” Saya berkata : derajatnya diantara hasan dan dha’if atau dengan kata
lain hasan lighoirihi.
Saya katakan, hadits di atas
tidak dapat digunakan sebagai dalil tentang kebolehan berjabat tangan dengan
wanita ajnabiyah dengan alasan :
1.
Lafazh
‘beliau mengambil kedua tangannya’ adalah lafazh yang salah, dan yang benar
adalah ‘mengambil kedua lengan bajunya’ sebagaimana termaktub dalam
sumber-sumber takhrij.
2.
Hadits ini
memiliki cacat yang berderajat hasan lighoirihi dengan sebab adanya
Ibnu Luhai’ah dan hanya dapat dipakai sebagai mutabi’ dan syahid saja.
3.
Tidak ada
satupun ulama hadits yang mensyarah hadits ini menjelaskan tentang mubahnya
berjabat tangan dengan ajnabiyah.
“Seorang wanita mengisyaratkan
sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu
memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang
laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab.
‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita,
mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar).” [HR. Abu Daud].
Sekiranya hadits di atas shohih,
juga tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berjabat tangan dengan
wanita ajnabiyah, dengan alasan :
1.
Rasulullah
tidak mengetahui apakah orang yang mengisyaratkan buku itu adalah lelaki atau perempuan,
oleh karena itu beliau bertanya kepadanya. Jika sekiranya jabat tangan atau
menyentuh wanita tidak dibedakan hukumnya oleh Rasulullah, niscaya Rasulullah
tidak perlu berkata dengan nada bertanya kepada orang tersebut apakah dia
lelaki ataukah wanita
2.
Rasulullah
mengatakan, “Jika kau seorang wanita maka seharusnya kau ubah warna kukumu”,
hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah menghendaki supaya wanita ini membedakan
dirinya dengan kaum pria dengan cara memberi pacar pada kukunya, agar supaya
dengan pembedaan ini Rasulullah tahu mana tangan pria dan wanita, sehingga
beliau tidak sampai menyentuh atau memegang tangannya. Wallahu a’lam
Dalam menghadapi perbedaan
tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita
harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini.
Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang
seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita
perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits
shahih yang
harus diterima kebenarannya.
Tanggapan : O tidak wahai Hizbut Tahrir,
hadits-hadits yang anda kemukakan tidak bertentangan sama sekali, sehingga
tidak perlu dilakukan metode jam’u (kompromi), penentuan nasikh
mansukh, tarjih maupun tawaqquf. Yang tanaqudl (bertentangan)
adalah akal anda dan pemahaman anda yang ‘sakit’ dan ‘nyeleneh’, sehingga anda
melelahkan diri dengan jam’u dan takwil-takwil yang tidak sehat terhadap
hadits-hadtis nabi yang muhkam (tegas) dan shahih yang tidak saling
kontradiktif sedikitpun.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah
pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1. Hadits yang sering digunakan
oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram
adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan
yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. Untuk
mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang
telah dijelaskan para ulama bahwa: “Rawi yang mengetahui secara langsung
kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”
Dari hadits-hadits diatas, maka hadits
yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan
mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah Saw yang berjabat tangan dengan
wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyah r.a. sendiri
berjabat tangan dengan Rasulullah Saw seperti apa yang tersirat dari hadits
yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a.
isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau.
Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulullah Saw, beliau tidak
pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.
Jadi secara tidak langsung ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak
pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.
Tanggapan : O tidak wahai Hizbut Tahrir!!!
Dakwaan anda di atas adalah bathil dan dusta!! Anda membangun kebathilan di
atas kebathilan!! Dalil yang rajih adalah Jabat Tangan Dengan Ajnabiyah
adalah Haram!!! Dan dalil dalil yang anda kemukakan di atas adalah dalil
yang marjuh, syadz, bathil, gharib, ajib dan berangkat
oleh hawa nafsu, yaitu menyatakan jabat tangan dengan ajnabiyah adalah mubah…
Anda telah berlaku zhalim dengan menempatkan suatu kaidah tidak pada
tempatnya. Akan saya tunjukkan letak kedustaan dan kebodohan klaim Hizbut
Tahrir di atas insya Allah di bawah ini :
Imam Bukhari berkata:
Menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim, menceritakan kepadaku Syihab dari
pamannya, beliau berkata : Mengabarkan kepadaku ‘Urwah bahwasanya Aisyah istri
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengabarkan kepadanya bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah menguji orang-orang yang
berhijrah kepada beliau dari kaum mukminat dengan ayat “Wahai Nabi, jika datang
kepadamu kaum mukminat yang akan membaiatmu…(hingga akhir ayat 12 surat
al-Mumtahanah)”. Urwah berkata : “Aisyah bertanya tentang pengakuan persyaratan
ini dari kaum mukminat, maka Nabi mengatakan kepada beliau, “Aku telah
membaiatmu” dengan ucapan. Dan demi Allah, tangan Rasulullah tidak
menyentuh tangan para wanita di saat baiat sedikitpun, dan tidak pula beliau
membaiat mereka melainkan hanya dengan ucapan “Aku telah membaiatmu atas hal
itu”. Demikianlah lafazh Bukhari.
Saya katakan : menerapkan kaidah “Rawi
yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang
mengetahui tidak secara langsung” adalah penerapan kaidah yang tidak tepat.
Karena Aisyah memberitakan hadits di atas adalah dari penuturan Nabi Shallallahu
'alaihi wa Sallam sendiri, bukan dari dirinya pribadi semata namun
berangkat dari ilmu/pengetahuannya secara pasti dari penuturan Nabi!!! Oleh
karena itu Sungguh lancang anda wahai Hizbut Tahrir mengambil kesimpulan
demikian… tidakkah anda perhatikan lafazh hadits di atas?!! Lihatlah lafazh
bahwa Aisyah menerima khobar ini dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
dan bahkan Aisyah sendiri berani bersumpah demi Allah bahwa nabi tidak
pernah menyentuh tangan wanita sedikitpun… apakah sumpah Aisyah menunjukkan
ketidaktahuan Aisyah tentang peristiwa baiat sebenarnya sebagaimana yang
dituduhkan oleh DR. Mahmud Khalidi, an-Nabhani, al-Baghdadi dan selainnya dari
Hizbut Tahrir!!! Haihata haihata!!! Sungguh lancang sekali anda wahai
Hizbut Tahrir!!!
2. Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak
pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan wanita bukan mahram. Tetapi tidak
bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulullah Saw mengharamkan berjabat tangan
dengan bukan mahram. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan
tentang ketiadaan perbuatan Rasul –dalam hal ini berjabat tangan– yang
diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan
mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya
didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulullah Saw bersama ‘Aisyah r.a.
lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah Saw di luar rumah
(berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak
pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, tidak
bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab pada
keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyah r.a.) Rasulullah
Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Oleh krena itu hadits riwayat
Ummu ‘Athiyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil
serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Saya Jawab : Klaim anda di atas adalah klaim
‘murahan’ yang dibangun di atas zhan marjuh yang menunjukkan kebodohan
anda di dalam beristidlal dan berihtijaj. Sesungguhnya ada perawi
yang menghadiri langsung peristiwa baiat dan menegaskan secara jazim (pasti)
tentang ketiadaan jabat tangan atau persentuhan tangan Rasulullah dengan para
wanita. Perhatikanlah baik-baik riwayat berikut ini wahai Hizbut Tahrir :
Imam Ahmad berkata :
Menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Mahdi, mengabarkan kepadaku Sufyan bin
Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah binti Ruqoiyah beliau berkata : “Aku
mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam beserta para wanita
untuk membaiatnya, lantas beliau mengambil (baiat) atas kami sebagaimana
tertera di dalam al-Qur'an supaya kami tidak menyekutukan Allah dengan suatu
apapun, kami tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak
kami dan tidak akan berbuat dusta yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki
kami serta kami tidak akan mendurhakaimu dalam perkara yang ma’ruf. Rasulullah
bertanya : “Apakah mampu kalian melaksanakannya?”, mereka menjawab :
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengasihi kami daripada kami
sendiri.” Kami berkata : “Wahai Rasulullah, tidakkah kau berjabat tangan dengan
kami?”, Rasulullah menjawab : “Aku tidak berjabat tangan dengan wanita,
sesungguhnya perkataanku terhadap seorang wanita sama dengan perkataanku
terhadap seratus wanita.” Sanad hadits ini shahih, dan telah meriwayatkan
pula at-Turmudzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari hadits Sufyan bin Uyainah serta
an-Nasa’i meriwayatkan dari Tsaur dan Malik bin Anas, seluruhnya dari jalur
Muhammad bin al-Munkadir. Turmudzi berkata : hasan shahih, dan kami tidaklah
mengetahuinya melainkan dari jalur Muhammad al-Munkadir. Ahmad juga
meriwayatkan dari hadits Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin al-Munkadir dari
Umaimah sebagaimana lafazh di atas namun dengan tambahan “dan wanita
tidaklah menjabat tanganku”, demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari
jalur Musa bin ‘Uqbah dari Muhammad bin al-Munkadir.
Saya katakan : Celakalah anda
dengan kezhaliman anda wahai Hizbut Tahrir. Apa sekarang yang akan anda
katakan?!! Bagaimana anda menempatkan kaidah “Rawi yang mengetahui secara
langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara
langsung” sekarang?!! Tidakkah lafazh hadits di atas lebih muhkam daripada
hadits Ummu Athiyah sedangkan Umaimah sendiri adalah perawi yang menyaksikan
dan hadir di saat baiat?!! Saya kemukakan beberapa kaidah lain yang menunjukkan
kebatilan dan kelemahan pendapat anda di atas, maka perhatikanlah baik-baik :
Kaidah Pertama : Imam Syaukani di dalam Irsyadul
Fuhul menyatakan bahwa : hadits al-Qoul (ucapan) lebih
dikedepankan ketimbang al-Fi’lu (perbuatan), dan al-Fi’lu lebih
dikedepankan daripada at-Taqrir (persetujuan)?!! Lantas,
apakah hadits yang (diklaim) menyatakan jabat tangan itu mubah, yaitu hadits
Ummu Athiyah dan semisalnya berbentuk ucapan (Qoul an-Nabi)?!! Ataukah
berbentuk fi’lu?!! Ketahuilah bahkan dalil yang mengharamkan-lah yang
kebanyakan berbentuk ucapan. Jadi sekiranya kita menganggap kedua dalil di atas
kontradiktif, seharusnya metode jam’u (kompromi) yang digunakan adalah
hadits yang berbentuk al-Qoul lebih didahulukan ketimbang yang berbentuk
al-Fi’lu. Maka jatuhlah klaim Hizbut Tahrir dari sisi kaidah ini.
Kaidah Kedua : “Larangan lebih
didahulukan ketimbang kebolehan” maka dengan kaidah di atas
seharusnya Hizbut Tahrir lebih mendahulukan larangan berjabat tangan dengan
lawan jenis daripada menetapkan kemubahannya.
Kaidah Ketiga : “Ihtimal
(kemungkinan) yang sedikit lebih didahulukan ketimbang ihtimal yang banyak.” Wahai Hizbut Tahrir, bukankah
hadits riwayat Ummu ‘Athiyah dan semisalnya yang anda klaim sebagai dalil yang
memperbolehkan jabat tangan memiliki ihtimal yang lebih banyak ketimbang
hadits-hadits yang mengharamkan?!!
Kaidah Keempat : “Dalil yang
Muhkam (tegas) lebih didahulukan ketimbang dalil yang ghoiru muhkam (tidak
tegas).” Tidakkah dalil-dalil yang mengharamkan jabat tangan
lebih muhkam daripada dalil yang diklaim menyatakan mubah?!! Bahkan di
dalam hadits riwayat Ummu Athiyah tidak ada ketegasan (muhkam) sama sekali
tentang adanya jabat tangan atau persentuhan tangan dengan Nabi, sedangkan
hadits yang menunjukkan keharamannya seluruhnya secara tegas menyatakan
ketiadaan jabat tangan nabi terhadap kaum wanita. Apakah yang akan kau
koar-koarkan sekarang wahai Hizbut Tahrir?!!
Kaidah Kelima : “Didahulukan
yang al-Maqrun at-Taukid (disertai dengan lafazh penguat/penekan) ketimbang
yang tidak disertai.” Wahai Hizbut Tahrir,
perhatikanlah sumpah yang disampaikan oleh Aisyah, yang merupakan penguat yang
paling tinggi, dimana riwayat Ummu Athiyah dan semisalnya tidak memiliki taukid
(penekan) sama sekali. Perhatikan pula sabda Nabi yang menyatakan : “Sesungguhnya
aku tidak berjabat tangan dengan wanita” dimana beliau mendahulukan kata Inni
yang bermakna kesungguhan dan penguat yang jelas akan ketiadaan jabat tangan
terhadap kaum wanita.
Kaidah Keenam : “Didahulukan
yang khosh (khusus) dibandingkan yang ‘am (umum).” Tidaklah tersembunyi atas anda wahai Hizbut Tahrir,
bahwa hadits Umaimah mengandung pengkhusus yang menyatakan bahwa Rasulullah
tidak menjabat tangan wanita, sedangkan riwayat Ummu Athiyah dalam bentuk umum.
Oleh karena itu yang khusus lebih didahulukan ketimbang yang umum. Maka apalagi
yang akan anda ‘muntah’kan?!!
Setelah keterangan ini, maka
berikan bayanmu wahai Hizbut Tahrir!!! Keluarkanlah kaidah-kaidah ushul fikihmu
lainnya yang dapat membantah kaidah-kaidah yang saya kemukakan di atas.
Sesungguhnya bagi orang-orang yang berakal tidaklah tersisa sedikitpun keraguan
akan lemahnya dalil orang-orang yang menyatakan kebolehan jabat tangan dengan
wanita non mahram!!! Fa’tabiru ya ulil albaab!!!
3. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan
‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya
hadits shahih yang berbunyi: “Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan
jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak
halal baginya.” [HR. Thabrani]. Atau hadits yang berbunyi: “Lebih baik
memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata
‘massa’ yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadz musytarak
(memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau
‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata
‘lamasa’ yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan
tangan’ atau ‘bersetubuh’… dst hingga kalimat…
5. Walaupun kata ‘massa’ dapat
diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang
digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan
mahram, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’.
Tanggapan : Hadits yang dimaksud oleh Hizbut
Tahrir adalah hadits yang diriwayatkan rari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu
'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Sungguh
jika salah seorang dari kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih
baik daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (Shahih, Diriwayatkan
oleh al-Baihaqi dan al-Haitsami)
Takwilan Hizbut Tahrir yang
menyatakan bahwa kata massa di dalam lafazh hadits di atas bermakna jima’
(bersetubuh) adalah bathil dari sisi bahasa dan dari sisi mafhum.
Karena memalingkan makna dari hakikatnya adalah harus dengan qorinah
(indikasi) yang dapat memalingkan makna zhahir kepada makna selainnya.
Memang benar, bahwa kata massa memiliki makna jima’ dalam
beberapa ayat dan hadits, tentunya hal ini jika disertai qorinah yang
kuat akan penakwilan lafazh ini kepada makna jima’. Berikut ini
penjelasannya :
Allah Ta’ala berfirman :
Yang artinya : “Tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan isteri-isteri
kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri/jima’ dengan mereka) dan
sebelum kalian menentukan maharnya.” (al-Baqoroh : 263).
“Jika kamu menceraikan
isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka)
padahal kalian sesungguhnya telah menentukan maharnya…” (al-Baqoroh : 237).
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian ceraikan
mereka sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah…” (al-Ahzaab : 49).
Ayat-ayat di atas memiliki qorinah
yang dapat memalingkan makna massa kepada jima’ yaitu adanya
penjelasan yang berkaitan tentang muamalah dengan isteri seperti
pembayaran mahar, tholaq, iddah dan semisalnya. Hal ini juga
didukung dengan pemalingan makna pada selain kata massa seperti pada
kata lamasa dan ifdlo seperti dalam firman Allah : “Bagaimana
kamu akan ambil kembali, padahal sebagian kamu telah afdloo (bercampur)
dengan selainnya (sebagai suami isteri).” (an-Nisa’ : 21).
Oleh karena itulah para mufassirin
dan fuqoha’ menyatakan bahwa kata-kata massa dan semisalnya
di sini yang memang memiliki qorinah untuk dipalingkan dari makna
hakikinya adalah suatu keniscayaan, juga dalam ayat 20 Surat Maryam yang
artinya : “Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki
sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang yamsasnii (menggauliku)
dan aku bukan (pula) seorang pezina.” Jika kita perhatikan, maka akan
tampak dengan jelas qarinah-nya yang menyatakan hasil dari massasa
yakni lahirnya seorang anak laki-laki. Apakah mungkin menyentuh dalam arti
sebenarnya dapat menghasilkan seorang anak laki-laki?!! Oleh karena itu
pemalingan makna dalam konteks yang didukung oleh qorinah semacam ini
adalah suatu keniscayaan.
Adapun hadits : “Apabila
kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi”, maka makna
dari qorinah yang tersirat adalah bermakna jima’. Sebab jima’
sendiri dalam kitab-kitab fikih bermakna ‘masuknya (tenggelamnya) kepala penis
hingga hilang ke dalam farji wanita”. Jika hanya terjadi pergesekan belaka,
maka belum bisa dikatakan jima’ yang mewajibkan mandi (jika tidak keluar
mani) ataupun hukum had bagi penzina diberlakukan. Bahkan al-Massu juga
bisa bermakna junun (gila) dan kesurupan seperti di dalam firman Allah
yang artinya : “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran peyakit gila…”
(al-Baqoroh : 275).
Oleh karena itu, memalingkan
makna massa atau selainnya ke luar dari makna hakikinya tanpa ada qorinah
pendukung pemalingan maknanya adalah suatu kebodohan terhadap bahasa, seperti
dalam hadits nabi di atas yang menyatakan “Sungguh jika salah seorang dari
kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik daripada menyentuh
wanita yang bukan mahramnya.”
Sebab lafazh di atas adalah sama
dan saling menguatkan dengan lafazh riwayat hadits berikut ini : Ma’mar berkata
: mengabarkan kepadaku Ibnu Thawus dari bapaknya, beliau berkata : “Tidaklah
tangan (nabi) menyentuh wanita melainkan wanita yang dimilikinya.”
Dan diriwayatkan dari Aisyah di dalam ash-Shahih, beliau berkata : “Tangan
nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita.” Dan beliau (nabi)
bersabda : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita,
sesungguhnya ucapanku terhadap seorang wanita seperti ucapanku kepada seratus
wanita,”
Sebab kata massa sendiri
bermakna : lamasahu wa afdloo ilaihi biyadihi = menyentuh dengan tangan. Memalingkannya dari
makna hakikatnya memerlukan qorinah yang mendukung pemalingan lafazh
tersebut dari makna hakikatnya, yang mana jika tidak dipalingkan maknanya maka
maknanya akan menjadi ghoyru mustaqim (tidak lurus/tepat). Jika
sekiranya ayat-ayat di al-Baqoroh dan al-Ahzab serta Maryam di atas tidak
dipalingkan maknanya menjadi jima’, niscaya akan ‘pincang’ pemahaman
yang timbul dari ayat tersebut dan menimbulkan kerancuan di dalam hukum tholaq,
iddah, mahar dan semacamnya.
Namun, memalingkan makna hadits
tentang “lebih baik ditusuk jarum besi daripada menyentuh wanita”
kepada makna jima’ akan menimbulkan kepincangan pemahaman dan pengkhususan
hanya kepada jima’ saja. Pemalingan makna ini tidak tepat karena tidak
ditopang oleh adanya qorinah (indikasi) yang dapat memalingkannya.
Penakwilan semacam ini adalah penakwilan yang berangkat dari hawa nafsu dan
fanatik terhadap pendapat an-Nabhani yang memperbolehkan jabat tangan. Jika
sekiranya penakwilan di atas benar, maka adakah pendahulu (salaf) anda dari
para ulama hadits yang menafsirkan makna hadits ini sebagaimana penafsiran anda
wahai Hizbut Tahrir?!!
Sebab jika di artikan dengan
‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih
yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah r.a. dimana tangan Rasulullah Saw yang mulia
telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram.
Tanggapan : O tidak wahai Hizbut Tahrir,
sesungguhnya yang bertentangan adalah akal dan pemahaman anda yang sempit!!!
Sesungguhnya yang bertentangan adalah hawa nafsu dan kebodohan anda!!!
Sesungguhnya hadits-hadits di atas tidak saling bertentangan bahkan saling
menguatkan. Dan telah jelas kebatilan klaim pemahaman anda yang ‘sakit’
terhadap hadits Ummu Athiyah.
Selain itu Rasulullah Saw pernah
berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah
juga Rasulullah Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau
dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang
berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw
tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun.
Juga tidak mungkin Rasulullah Saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a.
melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal
tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru
sebaliknya.
Tanggapan : Wahai Hizbut Tahrir, sekali lagi
anda menunjukkan kebodohan anda dengan menukil riwayat-riwayat tak berdasar.
Tunjukkan kepada kami dasar riwayat-riwayat penukilan anda di atas. Saya
khawatir bahwa anda ini akan terkena keumuman sabda nabi yang derajatnya
mutawatir yang berbunyi : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku maka
persiapkanlah tempat duduknya di atas apa neraka.” Sesungguhnya
menyampaikan hadits-hadits dha’if tanpa menerangkan kedha’ifannya adalah
termasuk berdusta atas nama nabi.
Jika anda berdalil dengan riwayat
di dalam at-Tafsirul Kabir karya ar-Razi (VIII/hal. 137) yang menyatakan
tentang telah diriwayatkannya bahwa sayyidina Umar Radhiallahu 'anhu pernah
berjabat tangan dengan wanita dalam baiat mewakili Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa Al-Qodhi Abu Bakar bin al-Arobi telah
menanggapi pendapat ini. Menurutnya riwayat ini dha’if, dan seyogyanya
berpaling kepada yang shahih. Sedangkan al-Hafizh Waliyyudin Abu Zar’ah
al-Iraqi mengatakan, sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa nabi Shallallahu
'alaihi wa Sallam pernah minta diambilkan semangkuk air. Lalu beliau mencelupkan
tangannya ke dalamnya. Kemudian para wanita melakukan hal yang sama. Juga
sebagian ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa nabi berjabat tangan dengan
mereka melalui tabir kala itu. Pada tangan beliau ada kain baju guthri.
Juga dikatakan bahwa sayyidini Umar telah berjabat tangan dengan mereka.
Sungguh, tidak ada satupun pernyataan itu yang benar, apalagi pernyataan yang
terakhir. Bagaimana mungkin sayyidina Umar Radhiallahu 'anhu berani melakukan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh al-Ma’shum Shallallahu 'alaihi wa
Sallam.
Saya katakan : Semua riwayat ini adalah dhaif riwayatnya.
Syamsudin Ramadhan berkata :
Selain itu, banyak riwayat yang
menyatakan, bahwa Rasulullah Saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan
dengan wanita (lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an;
Qs. al-Mumtahanah: 12).
Tanggapan : Syamsudin telah menyembunyikan
kebenaran dan melakukan tadlis kepada para pembacanya yang mayoritas awwam.
Setelah saya cek buku al-Jami’ li Ahkam Al-Qur'an
ternyata Imam Qurthubi menukil di baris-baris pertama tafsirnya terhadap surat
al-Mumtahanah ayat 12 ini dengan riwayat Aisyah yang menafikan jabat tangan
bagi Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Penempatan nukilan terhadap
riwayat Aisyah ini menunjukkan kekuatan riwayat Aisyah menurut beliau. Kemudian
al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan : “Diriwayatkan bahwasanya nabi ‘alaihish
sholatu was salam membaiat para nabi dan diantara tangannya dan tangan kaum
wanita ada selembar kain.”
Saya berkata : Bagi para penuntut
ilmu pastilah akan mengetahui bahwa lafazh yang digunakan oleh Imam al-Qurthubi
adalah lafazh yang menunjukkan akan kedhaifan suatu hadits atau keraguan beliau
akan keshahihannya, karena beliau mengatakan dengan lafazh ruwiya
(diriwayatkan) yang mana ini telah dikenal di kalangan muhadditsin bahwa kata
periwayatan yang disandarkan kepada nabi secara tidak jazim sebagaimana
perkataan qoola atau haddatsa dan semisalnya adalah suatu bentuk
keraguan akan keshahihannya atau bahkan isyarat akan kedhaifannya.
Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa
mengomentari hadits di atas dengan perkataan : wa huwa mukhoolif lish shohih
(riwayat ini menyelisihi hadits yang shohih). Kemudian beliau menukil
hadits shohih yang diriwayatkan dari jalur Muhammad al-Munkadir yang telah
lewat penyebutannya. Beliau mentakhrij hadits Muhammad al-Munkadir sebagai
berikut : “Diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam al-Bai’ah (V/149) bab
(18) Bai’atun Nisai, Turmudzi secara ringkas (1598) dan Ibnu Majah di
dalam al-Jihad (2874) bab Bai’atun Nisa’. Saya berkata : hadits
yang menyelisihi hadits yang shohih adalah syadz dan termasuk hadits
dha’if karena syarat hadits shahih haruslah selamat dari syadz.
Adapun riwayat Umar yang berjabat
tangan dengan para wanita, juga disebutkan oleh Imam Qurthubi dengan lafazh
yang tidak jazim pula penisbatannya yaitu beliau mengatakan dengan
lafazh qiila (dikatakan), yang hal ini menunjukkan keraguan beliau akan
keshahihan hadits ini. Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari riwayat Umar ini
sebagai berikut : “al-Hafizh mengisyaratkan di dalam al-Fath (VIII/637)
dari riwayat Thobroni dengan lafazh : ath-Thobroni telah mengeluarkan hadits
bahwasanya Rasulullah membaiat para wanita melalui perantaraan Umar, tanpa ada
penyebutan jabat tangan. Dan penyebutan jabat tangan ini adalah perkara yang
jauh dikarenakan menyelisihi yang shohih dari Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam.
Saya katakan : riwayat jabat
tangan Umar dengan para wanita adalah riwayat yang mardud tidak layak
dijadikan hujjah karena menyelisihi dalil yang lebih shohih, sehingga
statusnya menjadi syaadz maka hukumnya dho’if. Wallahu a’lam. Apalagi
tidak ada keterangan dari para ulama hadits yang menshahihkannya ataupun
menghasankannya.
Wahai Syamsudin, dimanakah
amanahmu?!! Dimanakah kejujuranmu di dalam menukil?!! Apakah dirimu ingin
menyesatkan pendukungmu yang masih bodoh-bodoh supaya mereka tetap berpegang
dengan pemahamanmu yang bathil dan nyeleneh ini?!! Fa’tabiruw ya ulil abshor!!!
Juga kalau memang berjabat tangan
(bersentuhan) anatar lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya
Daulah Khilafah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau
keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan
memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu
riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah
tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria
dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya
bersentuhannya pria dan wanita yang bukan mahram.
Aduhai, begitu konyolkah dirimu
wahai Hizbut Tahrir, sehingga semua upaya daya melelahkan kau gunakan supaya
argumentasi ‘sakit’mu dapat terkesan kuat. Saya katakan, bahwa ketiadaan
tidaklah menafikan hukum. Karena yang menjadi dalil adalah al-Qur'an dan
as-Sunnah, bukannya Nizhom Daulah. Seandainya memang anda belum
menemukan adanya sanksi hukum jabat tangan atau persentuhan lawan jenis non
mahram di dalam Nizhom Daulah bukan artinya bahwa jabat tangan dengan ajnabiyah
adalah mubah.
Bahkan saya katakan, dikarenakan
kaum muslimin terdahulu yang hidup di zaman kekhalifahan, mereka semua telah
mengetahui akan keharaman berjabat tangan dengan ajnabiyah sehingga
telah maklum di kalangan mereka tentang syariat ini, sehingga tidak perlu
dibuat undang-undang khusus yang akan memberikan sanksi kepada pelanggarnya.
Hal ini sebagaimana pelanggaran kemaksiatan seperti orang yang memandang
wanita, mengintip mereka ataupun berjalan di belakang mereka atau menggoda
mereka. Apakah ada undang-undang daulah yang memberikan sanksi jelas yang
termaktub di dalam nizhom-nya terhadap pelanggaran semacam ini?!!
Jika ada berikan bukti kepada kami.
Masalah pemisahan haji antara
pria dan wanita adalah kiyas konyol dan menggelikan yang sangat lucu bila
digunakan untuk memperbolehkan persentuhan dengan sengaja. Karena kondisi haji
adalah kondisi darurat yang memperbolehkan adanya persentuhan tanpa sengaja.
Demikian pula dalil anda tentang kemungkinan terjadinya persentuhan di dalam
pasar. Maka saya katakan, inilah letak kebodohan anda terhadap syariat Islam
itu sendiri, karena Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas dimana kaum
wanita lebih baik berdiam di dalam rumah dan dilarang keluar kecuali jika ada
hajat atau dalam keadaan darurat. Sedangkan bagi kaum wanita ke pasar bukanlah
suatu hal yang darurat atau hajat syar’i, karena pasar adalah tempat bagi kaum
lelaki bukan kaum wanita. Taruhlah wanita harus pergi ke pasar, jika terjadinya
persentuhan maka persentuhan tersebut bukanlah suatu hal yang disengaja, lantas
bagaimana bisa kiyas diberlakukan pada dua hal yang saling bertolak belakang,
yaitu antara sengaja dengan tidak sengaja!!!
6. Pendapat yang mengharamkan
berjabat tangan antara pria dan wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda
Rasulullah Saw: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR.
Malik, Tirmidzi dan Nasa’i]. Hadits di atas serta hadits-hadits lain
yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan
bukan mahram. Pendapat ini adalah lemah, sebab perkataan Rasulullah Saw,
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” tidak menunjukkan
larangan berjabat tangan, tetapi hanyalah mencegah dari perbuatan mubah.
Hukum mubah ini di dasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah.
Karena hukumnya mubah, maka terserah saja bagi Rasulullah Saw dan bagi kaum
muslimin lainnya apakah berjabat tangan (Lihat riwayat Ummu ‘Athiyah dan
Ath-Thabrani dari ‘Aisyah r.a.) atau meninggalkan berjabat tangan (seperti
hadits riwayat Malik, Tirmidzi dan Nasa’i).
Tanggapan : Wahai Hizbut Tahrir… dagelan apa
lagi yang anda utarakan?!! Saya hanya bisa berucap : Inna lillahi wa inna
ilaihi Raji’un… sesungguhnya munculnya kalian wahai Hizbut Tahrir
benar-benar musibah bagi Islam dan kaum Muslimin. Takwilan macam apa lagi yang
anda gunakan?!! Bagaimana mungkin perbuatan mubah dicegah jika perbuatan itu
bukannya perbuatan yang haram atau minimal makruh.
Anda di dalam kaidah anda ini
menempatkan diri anda dalam keadaan yang penuh dengan kontradiktif, karena anda
sendiri mengklaim bahwa Rasulullah berjabat tangan dengan kaum mukminat
atau menyentuh mereka dari hadits Ummu Athiyah. Namun di sisi lain anda
menetapkan hadits Nabi yang berbunyi : “sesungguhnya aku tidak berjabat
tangan dengan wanita” dengan artian nabi mencegah dari perbuatan mubah
jabat tangan. Wahai Hizbut Tahrir, bagaimana mungkin anda menetapkan dua hal
kontradiktif secara sekaligus dalam satu waktu, anda menetapkan bahwa
Rasulullah berjabat tangan dengan wanita sedangkan di sisi lain anda juga
secara tidak langsung turut menetapkan hadits : Sesungguhnya aku tidak
berjabat tangan dengan wanita
Keadaan anda ini tidak jauh
berbeda dengan orang yang berujar : sekarang ini siang dan malam… sungguh suatu
ucapan yang aneh yang tidak keluar melainkan dari orang-orang bodoh, bingung
dan hilang ingatan. Apakah mungkin nabi mengatakan “sesungguhnya aku tidak
berjabat tangan dengan wanita” sedangkan dalam riwayat lain beliau
menyalahinya?!! Lantas dimana kebenaran sabda nabi “sesungguhnya aku tidak
berjabat tangan dengan wanita” jika nabi melanggar sabdanya sendiri?!!
Maka, pendapat anda ini pada hakikatnya menggiring anda kepada pendustaan
terhadap sabda-sabda nabi yang shahih dan menuduh nabi tidak melaksanakan apa
yang ia katakan…
Maka pendapat yang selamat adalah
pendapat yang menyatakan keharaman berjabat tangan, karena pendapat ini adalah
pendapat yang paling selamat dari kontradikitif dan dari segala keburukan!!!
Maka telaahlah lagi pendapat anda wahai Hizbut Tahrir… dan hilangkanlah fanatik
anda terhadap hizb anda, terhadap tetua anda seperti an-Nabhani dan selainnya…
karena ia adalah manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar.
Tinggalkanlah segala pendapat-pendapatnya yang salah dan jangan anda bela
dengan segala daya upaya yang terkesan menghalalkan segala cara.
Pendapat yang membolehkan
berjabat tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada
syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat
tangan dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu
sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan.
Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang
sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau
tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan
mahram. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.
Saya katakan : Wahai
Hizbut Tahrir… bukankah suatu perkara yang menghantarkan kepada keharaman
adalah haram?!! Jika anda mengatakan bahwa ‘jika dimungkinkan bahwa jabat
tangan menimbulkan fitnah dan memunculkan syahwat maka tidak boleh
melakukannya’, maka saya katakan : inilah letak syarat ‘angan-angan’ anda,
karena sesuatu yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram, dan telah
jelas bahwa jabat tangan dengan wanita ajnabiyah sangat memungkinkan
untuk memunculkan keharaman dan menghantarkan kepada zina. Oleh karena itu
perkataan anda : ‘Kalau ada syahwat maka hukumnya haram’ adalah hujjah atas anda sendiri!!!
Ingatlah sabda nabi : “Perempuan
itu seluruhnya adalah aurot. Jika ia keluar, maka setan menghiasinya (di dalam
pandangan pria).” (HR. Turmudzi). Al-Allamah asy-Syinqithi
rahimahullahu berkata : “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurot yang
wajib ditutupi. Sedangkan perintah untuk menjauhi memandang kepadanya adalah
semata-mata karena takut tergelincir kepada fitnah. Tidak ragu lagi, bahwa
sentuhan badan ke badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap
naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar
memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui
kebenaran hal itu.”
Katakan, wahai Hizbut Tahrir, apakah ketika anda berjabat tangan dengan
akhowat, anda yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri anda
dan diri akhowat tersebut. Jika demikian adanya, maka sungguh benar jika ada
orang yang mengatakan bahwa anda (Hizbut Tahrir dan orang yang menyatakan
halalnya jabat tangan dengan ajnabiyah) tidak memiliki syahwat!!! Bukankah
an-Nabhani rahimahullahu sendiri telah mengatakan bahwa manusia memiliki
Ghorizatun Nau’ (naluri untuk melanggengkan keturunan) yang munculnya
karena adanya stimulasi dari luar (faktor eksternal)?!! Lantas apakah jabat
tangan dengan wanita ajnabiyah tidak termasuk stimulus Gharizah
an-Nau’?! fa’tabiru ya ulil albaab!!!
Perlu diingat bahwa sesuatu yang
mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat
menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan…
Bagi mereka yang mengikuti
pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka
mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas
perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun
berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena
perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling
menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas
kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka
atau tidak suku. Wallahu a’lam.
Ini adalah letak keraguan anda
terhadap pendapat anda. Dimana anda telah merasa khawatir akan imbas dari
munculnya pemahaman anda yang ‘nyeleneh’ ini dan anda seolah-olah merasa bahwa
pendapat dan pemahaman anda ini adalah ghorib dan syadz di
dalam Islam sehingga sangat memungkinkan anda akan difitnah dan
dijelek-jelekkan oleh orang yang berbeda dengan pemahaman anda. Saya katakan :
bahwa apa yang diucapkan oleh penentang pemahaman anda berupa cercaan dan
hinaan adalah cercaan dan hinaan atas pemahaman anda yang bathil, yang bukan merupakan
fitnah tak berdasar, namun berangkat dari kecemburuan terhadap agama ini.
Anda benar, bahwa kita wajib
mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri perasaan suka dan tidak suka,
karena hal ini diikat oleh syara’, maka apa yang dikatakan jelek oleh syara’
adalah jelek dan apa yang dikatakan baik oleh syara’ adalah baik. Oleh karena
itulah, coba cermatilah kembali dan telaah kembali pemahaman anda, jika salah
walaupun anda anggap baik tetaplah pemahaman anda itu salah dan wajib anda
tinggalkan, haram anda sebarkan dan anda pertahankan hidup mati. Jika anda
masih mempertahankannya maka siaplah anda menerima cercaan dan hinaan atas
kebodohan akal dan pemahaman anda tersebut!!!
Golongan yang membolehkan
berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat
tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk
mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah SWT telah membolehkannya lewat
perbuatan RasulNya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang
diharamkan oleh Allah SWT. Sebab Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya orang
yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan
sesuatu yang haram.” [HR. As-Sihab].
Saya kembalikan lagi dalil
tersebut kepada anda, apakah anda berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya??? Jika anda beranjak dari pemahaman dalil di atas, maka
seharusnya anda menarik pemahaman ganjil anda yang menghalalkan perkara yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana telah saya turunkan dalil-dalil
dan keterangannya.
Penutup
Dari Abi Hurairoh Radhiallahu
'anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya
Allah akan cemburu, dan sesungguhnya orang beriman juga akan cemburu, dan
kecemburuan Allah adalah jika orang mukmin mendatangi apa yang telah Allah
haramkan kepadanya.” (Muttafaq ‘alaihi). Lantas, cemburu macam apa bagi
orang yang membiarkan begitu saja lelaki asing berjabat tangan dengan isteri
atau puteri-puteri atau saudari-saudarinya?!!
Di dalam risalah ini saya telah
menurunkan dalil-dalil dan bantahan terhadap syubuhat golongan yang
menghalalkan jabat tangan dengan ajnabiyah yaitu Hizbut Tahrir.
Sesungguhnya pemahaman yang diusung mereka ini adalah pemahaman yang rusak yang
dibangun di atas kebatilan dan pembuka pintu-pintu keburukan. Membantah dan
mentahdzir pemahaman ini dan pengusungnya adalah suatu kewajiban supaya kaum
muslimin tidak terkotori oleh pemikiran yang men‘jijik’an semacam ini, yang
anehnya kebatilan ini diusung oleh kelompok yang mengklaim hendak menegakkan
hukum Islam namun mereka sendiri tidak mampu menegakkan hukum Islam yang
sederhana di dalam diri dan jiwa-jiwa mereka.
Sesungguhnya, masalah yang sedang kita perbincangkan ini bukanlah masalah
ijtihadiyah yang tidak boleh salah satu golongan mengingkari golongan lainnya
apabila telah jelas kelemahan dalil salah satu golongan. Khilaf semacam ini
bukanlah dalil atas bolehnya berpegang dengan salah satu dari dua pendapat di
atas dan sama-sama saling menghormati karena meyakini kedua-duanya berada di
atas kebenaran. Karena pemahaman ini adalah pemahaman yang bathil dan
kontradiktif. Karena al-Haq itu hanyalah satu dan tidak mungkin bisa dikatakan
pendapat yang menyatakan haram sama kuat dengan pendapat yang menyatakan halal.
Dasar pijakan kita adalah dalil
dari al-Qur'an dan as-Sunnah, bukan dari takwil, qiyas fasid ataupun
ijtihad dari pemahaman yang lemah. Oleh karena itu wahai saudaraku seislam,
janganlah anda terpedaya dengan tipu rayu setan di dalam memalingkan ummat ini
dengan berbagai cara, yaitu menyusup dari pintu syubuhat dan syahwat.
Sesungguhnya pemahaman tentang
bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis adalah pemahaman yang berangkat
dari pemahaman yang ‘sakit’ yang akan membuka pintu bagi syaithan melontarkan
panah syubuhat dan syahwat sekaligus. Bagi orang-orang yang lemah ilmu dan
amalnya, maka ia akan mudah sekali terpedaya oleh makar setan sehingga ia akan
menganggap baik apa yang dianggap jelek oleh syariat.
Hizbut Tahrir di dalam hal ini,
adalah korban dari permainan setan di dalam memalingkan ummat dari kebenaran
dengan melemparkan syubuhat dan syahwat, yang mana di dalam barisan mereka
dipenuhi oleh manusia-manusia bodoh namun merasa alim yang terbakar semangat
menggelora namun terjebak di dalam fatamorgana yang memukau padahal hampa dari
ilmu.
Lontaran-lontaran yang berangkat
dari kejahilan mereka telah mencapai puncaknya dengan menghalalkan apa yang
haram dan mengharamkan apa yang halal, namun mereka bersembunyi di balik
selimut Islam dan argumentasi yang dipoles dengan dalih-dalih yang berasal dari
pemahaman dan pemikiran yang ‘sakit’. Tidak hanya dalam masalah jabat tangan
dengan ajnabiyah saja mereka terjebak, namun mereka juga terjebak di
dalam kebodohan dan kepongahan di dalam masalah lainnya, seperti pemahaman
aqidah, khobar ahad, qodlo’ dan qodar, akhlak, manhaj dakwah, serta
masalah-masalah fiqhiyah seperti gugurnya sholat bagi astronot dan orang yang
mukim di kutub, ikhtilath, mubahnya memandang wajah wanita ajnabiyah, dan lain
sebagainya yang insya Allah akan saya turunkan bantahan-bantahannya dengan
seizin Allah subhanahu wa Ta’ala.
Semoga Hizbut Tahrir pada
khususnya dan kaum muslimin pada umumnya dapat mengambil faidah dari risalah
yang saya susun ini, adapun kesalahan dan kekurangan di dalam risalah ini
datangnya dari diri saya pribadi maka buanglah jauh-jauh dari hadapan anda, dan
kebenaran di dalam risalah ini adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala maka
janganlah anda enggan untuk menerimanya.
Akhiru Da’wana anil Hamdu Lillahi
Robbil Alamiin
Surabaya, 27 Maret 2005
Abu Salma at-Tirnati
Email : [email protected]