MENGAPA MEREKA
MENOLAK
HADITS AHAD???
Oleh : Abu Salma
al-Atsary
egala puji hanya bagi Allah, Rabb
pemelihara alam semesta, yang mengutus nabi-Nya dengan agama yang Haq,
yang akan dimenangkan dari agama seluruhnya. Dialah Allah yang mengutus manusia
yang paling sempurna kepribadiannya, yang paling mulia suluk (akhlak)nya, dan
manusia yang terbaik dibandingkan lainnya. Dialah Muhammad bin Abdullah
‘alaihi sholaatu wa salaam, yang diutus oleh Rabbul ‘alamin sebagai rahmatan
lil ‘alamin, yang menunjukkan manusia kepada jalan yang diridhai Allah,
yang mengajak manusia kepada kebahagiaan abadi, menyeru manusia kepada
penghambaan hanya semata-mata kepada Allah. Maka berbahagialah siapa saja yang
mentaatinya, membenarkan apa-apa yang diberitakan olehnya, menjauhi apa-apa
yang dilarangnya, dan beribadah kepada Allah dengan apa-apa yang
dituntunkannya. Sebaliknya, sungguh celaka dan binasa orang-orang yang
memaksiatinya, mengingkari berita-beritanya baik sebagian maupun seluruhnya dan
mengadakan bid’ah di dalam agama ini.
Sungguh,
merupakan suatu malapetaka, tatkala muncul manusia yang memilah-milah khabar
(berita) yang telah jelas ma’tsur (sampai) kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan metode yang tak dikenal oleh para salaf terdahulu.
Ya, mereka dengan mengatasnamakan islam, menolak khobar-khobar yang disampaikan
rasulullah jika khobar itu ahad sebagai landasan dalam masalah i’tiqodiyyah (keimanan).
Mereka menolaknya dengan tanpa dasar ilmu dan tanpa dasar argumentasi yang
terang dan nyata dari kitabain (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Mereka
menolaknya karena berpijak dari akal mereka yang terbatas dan dari filosofi
filsafat yang tak pernah dikenal oleh islam. Berikut ini akan kami sampaikan
penjelasannya dan bantahannya, semoga bermanfaat.
TA’RIF HADITS AHAD
Hadits ahad adalah hadits
yang derajatnya tak mencapai derajat Mutawattir, sedangkan hadits
mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah (kumpulan
banyak) shahabat sehingga dinyatakan menurut ‘adat tidak mungkin mereka
bersepakat untuk dusta ataupun melakukan kesalahan. Hadits mutawattir jumlahnya
amat sangat sedikit dibandingkan dengan hadits ahad. Hadits ahad sendiri
dibagi menjadi hadits gharib jika diriwayatkan oleh seorang saja pada
tiap tingkatannya, hadits aziz jika diriwayatkan oleh dua orang pada
tiap tingkatannya, dan hadits masyhur jika diriwayatkan oleh lebih dari
2 orang pada tiap jenjangnya namun tak mencapai derajat mutawattir.
Menurut muhadditsin
hadits ahad itu yufiidud dhon (membuahkan dhon/dugaan), berbeda dengan
hadits mutawattir yang yufiidul yaqiin (membuahkan keyakinan) sehingga
hadits mutawattir pasti shohih, dan menolaknya adalah kekufuran yang nyata.
Sebagian kelompok islam yang mengusung pemahaman aqlaniyy (pengagug
akal) dan mu’taziliy, menolak hadits ahad dalam masalah aqo’id (keyakinan)
karena sifatnya yang dhon itu. Menurut falasafah mereka aqidah itu harus
memiliki 2 syarat, yaitu :
- Qoth’i
ats-Tsubut (pasti
periwayatannya)
- Qoth’i
ad-Dilaalah (pasti
penunjukannya)
Pemahaman ini
diusung oleh Taqiyyudiin Nabhani dalam kitabnya Syakhisyah Islamiyyah
jilid III, dan menjadi mabda’ resmi Hizbut Tahrir. Beberapa
ulama’ yang mutaaham (tertuduh) aqlaniy juga menggunakan pendapat
ini seperti Sayyid Qutb, Muhammad Al-Ghozaly, dan semisalnya. Namun
telah banyak para ulama’ sunnah membantahnya. Dengan falsafah ini, mereka
menetapkan bahwa hadits ahad itu dhonni ats-Tsubut (meragukan
peiwayatannya) sehingga laa yufiidul yaqin (tidak membuahkan keyakinan),
jadi mana mungkin suatu hal yang tak membuahkan keyakinan akan berfaidah dalam
menetapkan aqidah yang harus ditetapkan dengan keyakinan. Mereka juga menolak
ayat-ayat shifat Allah di dalam al-Qur’an dikarenakan dhonni
ad-Dilaalah (meragukan penunjukannya sehingga bisa menimbulkan interpretasi
yang bermacam-macam). Lantas jika demikian falsafah mereka, betapa banyak ayat
dan dalil yang harus dipinggirkan dikarenakan tidak sesuai dengan falsafah
tersebut, padahal qoidah islamiyyah yang ma’lum, dalah al-Qur’an
dan as-Sunnah harus didahulukan daripada lainnya, lantas apakah layak kita
mendahulukan qiyas, falsafah, dan lain sebagainya yang bersumber dari
akal kita yang serba terbatas ini ketimbang al-Qur’an dan as-Sunnah?
Berikut ini
adalah bantahannya :
Pertama, hadits ahad
pada awalnya adalah bersifat dhonn (tidak pasti), hal ini sebagaimana
dalam QS Al-Hujuraat ayat 6 berfirman Allah Subhahanhu wa Ta'ala : “Hai
orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka
tabayyunlah (periksalah dengan teliti).” Dari ayat ini Allah memerintahkan
kepada mu’min untuk bertabayyun terhadap orang fasiq apabila
menyampaikan berita, berarti mafhum mukhalafahnya (pemahaman
berkebalikan dengan dhahir lafadh) apabila sang pembawa berita tersebut adalah ‘adil
maka hujjah akan tegak besertanya. Dari sini para ulama’ mewajibkan untuk
memeriksa khobar ahad dari segi riwayatnya, yakni memeriksa para perawinya,
maka dari sini pula muncul ilmu riwaayatul hadiits, ilmu jarh wa ta’dil,
ilmu riaalul hadits, dan lain sebagainya. Dengan perangkat ilmu alat inilah
para muhaddits mampu memilah mana hadits maqbul (hadits yang wajib
diterima) dan hadits mardud (hadits yang harus ditolak). Maka, jika
telah tsabat (tetap) suatu khobar itu shohih dengan ketsiqahan,
kedhabitan dan ke’adilan perawinya, maka wajib diterima dan
dibenarkan, serta haram untuk ditolak, demikian sebaliknya, jika telah nyata
bahwa hadits tersebut adalah dhaif bahkan maudhu’, bukan dari
Rasulullah maka wajib ditolak. Dari sini jumhur muhadditsin menyatakan
bahwa hadits ahad itu yufiidul ‘ilmal yaqin (membuahkan ilmu
yakin/pasti).
Lantas, atas
dasar apakah mereka menolak hadits ahad sebagai landasan aqidah jika ‘ilat (penyakit)
pada hadits tersebut telah dihilangkan dengan tabayyun ilmiyyah metode
muhadidtsin? Maka jikalau mereka tetap menolak hadits ahad dalam masalah aqidah
berarti, baik disadari maupun tidak disadari, mereka telah merusak bangunan
ilmu hadits, bahkan mereka menyatakan ilmu hadits itu tidak bermanfaat, ilmu
rijaalul hadits, ilmu jarh wa ta’dil itu sia-sia!!! Bagaimana tidak,
walaupun hadits itu telah ditelaah oleh para muhadditsin akan keabsahannya
tetap menurut mereka tidak yufiidul yaqin dan tak bisa ditetapkan
sebagai landasan aqidah!!! Maka, lihatlah wahai saudaraku, inilah ciri para inkarus
sunnah sejati!!!
Kedua, mereka mungkin
akan mengatakan, kami tidak menolak hadits ahad secara mutlak, kami hanya
meyakini keabsahannya dalam masalah ahkam dan ibadah, namun kami
memang tidak menggunakannya sebagai landasan dalam aqidah. Ini adalah pemahaman
yang sangat aneh, bid’ah, tak dikenal para salaf terdahulu dan tak
berdalil. Allah Ta’ala berfirman di dalam QS Al-Ahzab ayat 36, “Dan
tidaklah patut bagi mukmin dan mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan lain tentang urusan mereka.”
Maka darimanakah mereka mendatangkan pernyataan aneh ini? Apakah berhak bagi
mereka jika telah tsabat suatu perintah dari Allah dan Rasul-Nya lantas mereka
dengan seenaknya memilah-milah, ini khobar ahad, boleh diamalkan dalam masalah
ibadah namun tidak boleh dijadikan dalil dalam aqidah! Maka tampaklah kebodohan
dan kebingungan mereka takala dihadapkan pada hadits tentang do’a
isti’adzah dari siksa kubur, Dajjal, fitnah mati dan adzab neraka yang
dibaca saat tahiyyatul akhir. Menurut mereka hadits ini boleh diamalkan
namun beritanya tidak diimani, bagaimana bisa mereka mengamalkan do’a tersebut
sedangkan mereka tak mengimani isi dari do’a tersebut..!!! Wallahul Muwaafiq.
Ketiga, di tengah
keterpurukan dan kebingungan akan madzhab aqlaniy-nya, mereka sedikit merevisi madzhab
mereka dengan menyatakan ‘Kami menerima khobar ahad dalam masalah aqidah,
kami benarkan berita-beritanya namun tidak kami imani” atau “kami
mengimani tidak 100%”, karena menurut mereka tashdiq (membenarkan)
adalah dibawah derajat ‘iman. Iman membutuhkan dalil yang yakin sedangkan
tashdiq hanya memerlukan dhonn gholib (dugaan yang kuat), mereka
menyatakan bahwa walaupun hadits ahad telah diteliti keabsahannya dengan ilmu
hadits tetap tidak yufiidul yaqin, namun hanya yufiidu dhon gholib (membuahkan
dugaan yang mendekati kebenaran namun tidak mencapai derajat yakin, karena
masih adanya ‘illat dari wurud (periwayatan) yang memungkinkan terjadinya
kesalahan ataupun misinformasi dari pemberi khobar). Dari sinilah muncul
falsafah baru di atas, membenarkan namun tidak mengimani, jadi mereka
membenarkan siksa kubur namun tidak mengimaninya, mereka membenarkan turunnya
Isa al-Masih, Dajjal, adanya shirath, dan lain sebagainya namun mereka tidak
mengimaninya. Sungguh falsafah yang jauh lebih aneh dari sebelumnya, mereka
menetapkan yang demikian ini untuk kesekian kalinya tidak berlandaskan nash,
tidak dikenal oleh salaf terdahulu, dan kebid’ahannya melebihi bid’ah-bid’ah
sebelumnya. Bagaimana mungkin, mereka yang juga telah menyepakati bahwa
berita-berita yang tidak dapat diindera dan merupakan berita sam’iyyat adalah
merupakan masalah keimanan, namun di sisi lain mereka menolak khobar siksa
kubur, Dajjal, dls. Sebagai hal yang tidak wajib diimani, namun cukup
dibenarkan. Bagaimana bisa akal mereka menerima kontradiksi ini, membenarkan
berita sam’iyyat namun tidak mengimaninya, maka sungguh kami katakan,
tidaklah mereka mengucapkan pernyataan aneh ini kecuali untuk melanggengkan
penyimpangan mereka dan keengganan mereka untuk meninggalkan madzhab sesat
mereka ini.
Keempat, Sesungguhnya,
telah banyak para ulama baik salaf maupun kholaf yang telah membahas
permasalahan ini, dan pendapat ini (hadits ahad dalil untuk hukum dan aqidah)
adalah pendapat jumhur kaum muslimin, madzhabnya para salaf ash-sholih, dan
pemahamannya orang yang lurus. Penolakan terhadap hadits ahad berarti:
- Menyelisihi
al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana Allah berfirman, “Barangsiapa
mentaati Rasul maka sesungguhnya ia mentaati Allah” (An-Nisa’ : 80).
Karena pada hakikatnya, menolak hadits ahad dalam masalah aqidah sama dengan
menolak khobar dari Rasulullah, dan bagaimana mungkin mereka menerima khobar
ahad dalam masalah ahkam namun menolaknya dalam masalah aqidah, sedangkan
aqidah adalah landasan ahkam dan ibadah. Maka bagaimana mungkin pula mereka
menolak landasannya karena tidak yufiidul yaqin namun menerimanya dalam masalah
ahkam yang berdiri dan bercabang dari aqidah tersebut. Sehingga mereka pada
hakikatnya dikatakan tidak mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam sebagian hal yang implikasinya ketaktaatan pada seluruhnya.
- Menyelisihi
Aqidah dan Ijma’ Ahlus Sunnah. Dengan madzhab tersebut, mereka tidak memiliki
aqidah sebagaimana aqidahnya para salaf, mereka tak mengimani pokok-pokok yang
telah ditetapkan oleh ijma’ ulama’ salaf baik terdahulu maupun sekarang. Mereka
tidak yakin akan adanya siksa kubur, adanya Dajjal, turunnya Isa al-Masih, dls.
- Menyelisihi
madzhab ulama’ ahlus sunnah dan madzhab al-Arbi’ah. yang meyakini hadits ahad yufiidul
ilmal yaqin, seperti As-Sarjhasy dan Abu Bakar Ar-Razy dari Hanafiyah, Abu
Thayyib dan Abu Ishaq dari Syafi’iyyah, Ibnu Khuwaiz dari Malikiyah, dan Qadhi
Abu Ya’la dari Hanabilah.
Maka ya ayyuhal
Ikhwah, adalah wajib bagi seorang muslim mengimani apa-apa yang telah tsabat
dari Rasulullah, baik itu dari khobar mutaawattir ataupun ahad, baik dari dalil
yang yufiidul yaqin atau yang yufiidu dhonn gholib, selama
syarat-syaratnya memenuhi kesahahihan suatu hadits, lantas apakah yang menghalangi
kita untuk menolaknya? “Mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga
mereka menjadikanmu ya Muhammad sebagai hakim terhadap perselisihan yang
terjadi pada mereka, kemudian tidaklah terdapat pada mereka rasa berat hati
akan keputusanmu dan mereka menerimanya dengan sebenar-benarnya taslim”
(QS An-Nisa’ 65). Inilah buah keimanan itu, mengimani apa-apa yang disampaikan
oleh Rasulullah tanpa berat hati walau bertentangan dengan akal mereka dan
menyelisihi madzhab kelompoknya dan ulama’nya, mereka tetap berserah diri
dengan sebenar-benarnya taslim, tanpa memilah ini yang diimani dan ini yang
cukup dibenarkan saja, tanpa memilah ini untuk masalah ahkam dan ini untuk
masalah aqidah, yang mana pemilahan ini tak bersumber dari hujjatain (al-Qur’an
dan as-Sunnah) satupun. “Maka tak ada setelah kebenaran itu melainkan
kesesatan!!!” (Yunus :32)