بسم الله
الرحمن
الرحيم
Bila Aman Enggan Menutupkan
Topeng Diwajahnya
Oleh : Muhammad Arifin Baderi
Alhamdulillah,
sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad e, keluarga, sahabat, dan setiap orang
yang menjalankan sunnahnya hingga hari qiyamat.
Amma
ba’du :
Sebagai
pembuka, saya ingin mengingatkan kepada pembaca yang budiman, akan sebuah sabda
Nabi e, yang harus selalu tertanam didalam
jiwa setiap muslim, sehingga dalam setiap ucapan, perbuatan dan sikap, ia
menjadikannya sebagai tolok ukur, dan pedoman, agar ia tidak terjerumus kedalam
kubang kehinaan dan kenistaan, yaitu sabda beliau :
عن ابن
مسعود رضي
الله عنه قال
قال رسول الله
e : ( إن
مما أدرك
النَّاس من
كلام النبوة:
إذا لم
تستحي فاصنع
ما شئت) رواه البخاري
وغيره.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud radliallahu 'anhu, ia
menuturkan, Rasulullah e telah bersabda : “Sesungguhnya diantara
ucapan kenabian adalah :”Bila engkau tidak merasa malu, maka silahkan engkau
lakukan apa yang engkau suka”. (Hr Bukhori dll).
Dan karena teringat
akan makna hadits ini, saya mencantumkan judul tulisan ini seperti tersebut
diatas, karena saya melihat bahwa rasa malu telah hilang dan bahkan sengaja
dibuang oleh Aman Abdur Rahman. Setelah terbukti manipulasi terhadap fatwa dan
ucapan para ulama’, ia tidak malu untuk menuliskan bantahan terhadap penjelasan
yang saya buat, seakan-akan ia tidak memperdulikan akan perilakunya yang
terbukti sangat memalukan bagi orang yang berakal. Sebelumnya, saya berpraduga
bahwa dengan tersebarnya tulisan saya, Aman akan mengurung diri dirumahnya, dan
malu untuk keluar, kecuali pada malam hari atau dengan mengenakan topeng, akan
tetapi sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah e,”Bila engkau tidak merasa malu, maka
silahkan engkau lakukan apa yang engkau suka”.
Pada awalnya, saya
berbaik sangka kepada Aman, bahwa ia akan berhenti dan menyadari kesalahannya,
tatkala ia membaca tulisan saya yang pertama, akan tetapi prasangka ini menjadi
sirna ketika saya mendapatkan berita bahwa, ia menuliskan bantahan terhadap
tulisan saya. Karena itulah; saya memohon bantuan dari Allah Ta’ala untuk
menuliskan bantahan secara terperinci, terhadap tulisan gelap Aman Abdur
Rahman, dan pada tulisan ini saya berusaha untuk tidak mengulang apa yang telah
saya sebutkan dalam tulisan pertama.
Pertama :
Pada catatan kaki
no: 1 pada halaman: 1, Aman mengatakan : “Hal ini merupakan masalah yang sangat
penting pada masa sekarang, sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam
Uluhiyah. Kita harus memberikan penjelasan yang sesuai porsinya untuk setiap
masalah. Hal ini, merupakan metode yang dijalani oleh generasi salaf umat ini.
Lihatlah, masalah Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat pembahasan ini
santer atau tidak? Tentu tidak begitu santer, karena pada saat itu ummat
seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluq. Lihat
pula pada pada zaman Al Imam Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah,
pembahasan Tauhid Uluhiyah dan syirik, sangat santerm karena mayoritas umat
terjerumus di dalamnya, dan sekarang, selain syirik didalam Uluhiyah, syirik di
dalam Rububiyah pun, terutama masalah tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi
hampir merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar didalam
pembahasannya. Dan ini namanya adil di dalam membahasa setiap permasalahan. Dan
ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini muncul, yaitu saat Tatar
menguasai negri kaum muslimin, kemudian sebagian masuk islam dan mulai membabat
syari’at”.
Pada perkataan Aman ini, saya memiliki
beberapa tanggapan :
1.
Ia
menyamakan antara pembahasan masala syirik dalam uluhiyyah dengan pembahasan
masalah takfir (pengkafiran) orang-orang yang berhukum kepada selain hukum
Allah. Hal ini merupakan bukti paling besar akan kebodohan Aman tentang manhaj
salaf, bahkan agama islam secara umum, betapa tidak, permasalahan syirik dalam
uluhiyyah (peribadatan) dari zaman dahulu, zaman Nami Nuh u hingga Nabi kita Muhammad e, merupakan pokok dan misi utama pada
Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an
] ولقد
بعثنا في كل
أمة رسولا أن
اعبدوا الله واجتنبوا
الطاغوت [ سورة النحل
36
“Dan sungguh telah Kami utus pada setiap
ummat seorang utusan (Rasul), (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah thaghut”. (Surat An Nahl 36).
Syeikh Sulaiman bin Abdillah bin
Muhammad bin Abdil Wahhab berkata tentang tauhid uluhiyyah :
وهذا
التوحيد هو
أول الدين
وآخره،
وباطنه وظاهره،
وهو أول دعوة
الرسل
وآخرها، وهو
معنى قول: لا
إله إلا
الله….فهو أول
واجب وآخر
واجب، وأول ما
يدخل به
الإسلام وآخر
ما يخرج به من
الدنيا.
“Dan tauhid inilah (tauhid uluhiyyah) yang
merupakan awal dan akhir, batin dan lahirnya agama ini, dan tauhid inilah
permasalahan pertama dan yang terakhir diserukan oleh para rasul, dan tauhid
inilah makna dari persaksian LA ILAHA ILLALLAH, …. Sehingga dengan demikian,
tauhid uluhiyyah adalah kewajiban paling pertama, dan paling terakhir, dan hal
paling awal yang menjadikan seseorang masuk agama islam, dan hal yang paling
akhir yang harus ia pegangi tatkala meninggalkan dunia ini (mati). (lihat
Taisir Al Aziz Al Hamid 36-37).
Untuk
lebih membuktikan akan kebodohan Aman, mari kita bersama-sama mendengarkan
wasiat Rasulullah e kepada sahabat Mu’adz bin Jabal, tatkala
beliau mengutusnya untuk berdakwah ke daerah Yaman :
(إنك
تأتي قوما من
أهل الكتاب،
فليكن أول ما
تدعوهم إليه
شهادة أن لا
إله إلا الله)
وفي رواية :( أن
يوحدوا الله)
وفي رواية (
عبادة الله).
“Sesungguhnya
engkau kan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya hal pertama
yang engkau serukan mereka kepadanya adalah persaksian LA ILAHA ILLALLAH”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan dengan
lafadl “agar mereka mengesakan Allah”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan
dengan lafadl “Beribadah kepada Allah”. (Hr Muttafaqun ‘Alaih).
Sangat
jelas bahwa, pada wasiat ini beliau memerintahkan Muadz agar memulai dakwahnya
dengan tauhid uluhiyyah. Nah sekarang mari kita banding wasiat Rasulullah e, dengan apa yang dikatakan oleh Aman,
ia mengatakan: “Hal ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa
sekarang, sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah”.
Lisanul
hal (secara tidak langsung) Aman pada perkataannya ini, seakan-akan ingin
mengucapkan kepada kita semua, bahwa wasiat Rasulullah e kepada Mu’adz diatas, sudah tidak
berlaku untuk zaman kita, karena sekarang telah muncul syirik baru, yaitu
syirik dalam rububiyyah, terutama dalam hal tahkim qowanin.
Saya
ingin bertanya kepada Aman, dan kepada orang yang sepemikiran dengannya: orang-orang
yaman, yang Muadz bin Jabal radliallahu 'anhu, diutus untuk berdakwah disana,
apakah mereka bertahkim (berhukum) dengan hukum Allah, ataukah dengan hukum
lain? Bahkan orang-orang quraisy pada masa Rasulullah e berdakwah di kota Makkah, apakah mereka
bertahkim dengan hukum Allah, atau tidak?
Bila engkau katakan, mereka berhukum
dengan hukum Allah, maka itulah kebodohan paling bodoh, dan kalau engkau
katakan mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, maka apakah engkau hendak
mengaku sebagi nabi baru, sehingga engkau menyelisihi wasiat Nabi Muhammad e?!!
2.
Pada
ucapan Aman :” Lihatlah, masalah Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat
pembahasan ini santer atau tidak? Tentu tidak begitu santer, karena pada saat
itu ummat seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an sebagai kalamullah bukan
makhluq”. Kenapa engkau katakan bahwa pembahasan: apakah Al Qur’an
kalamulah atau makhluq, tidak begitu santer pada zaman sahabat? Padahal
yang benar, permasalahan tersebut tidak pernah ada seorangpun yang
membicarakannya pada zaman sahabat, apalagi sampai santer dibicarakan. Sebagai
buktinya, mari kita simak bersama-sama salah satu perdebatan antara Imam Ahmad
bin Hambal dengan Ibnu Abi Du’ad:
Ibnu Abi Du’ad berkata: Wahai syeikh,
apa pendapatmu tentang Al Qur’an?, maka Imam Ahmad berkata: Engkau tidak adil,
biarkan aku yang bertanya, maka Ibnu Abi Du’ad berkata: Silahkan bertanya:,
maka Imam Ahmad berkata: Apa pendapatmu tentang Al Qur’an? Maka Ibnu Abi Du’ad
menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka Imam Ahmad berkata: Apakah hal ini
telah diketahui oleh Nabi e, Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan
khulafa’ ar rasyidun, ataukah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka
Ibnu Abi Du’ad menjawab: Ini adalah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui.
Maka Imam Ahmad berkata: Subhanallah, sesuatu yang belum pernah diketahui oleh
Nabi e, juga tidak diketahui oleh Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali, dan juga Khulafa’ Ar Rasyidun, dan engkau ketahui? Maka Ibnu
Abi Du’ad merasa malu, dan kemudian berkata: Kalu demikian maafkan aku, dan
kita mulai pertanyaannya dari awal. Maka Imam Ahmad menjawab: Baiklah, apa
pendapatmu tentang Al qur’an? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah
makhluq. Maka Imam Ahmad berkata: Apakah hal ini telah diketahui oleh Nabi e, Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan
khulafa’ ar rasyidun, ataukah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka
Ibnu Abi Du’ad menjawab: Ini adalah sesuatu yang sudah mereka ketahui, akan
tetapi mereka tidak pernah menyeru manusia kepadanya. Maka Imam Ahmad menjawab
: Kenapa engkau tidak diam, sebagaimana mereka diam?. (lihat Manaqib Imam Ahmad
oleh Ibnul jauzi 432).
Inipun salah satu bukti akan jauhnya
Aman dari manhaj salaf, bahkan merupakan isyarat bahwa Aman sebenarnya dalam
tulisannya tersebut hanyalah membeo, dan taqlid, tanpa mengerti apa yang ia
ucapkan.
3.
Aman
berkata :” Lihat pula pada pada zaman Al Imam Syeikh Muhammad Ibnu Abdil
Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid Uluhiyah dan syirik, sangat santer
karena mayoritas umat terjerumus di dalamnya”. Ini bukti ketiga akan
kebodohan Aman, seandainya ia membaca sejarah kehidupan masyarakat arab,
terutama di jarirah arab pada zaman Syeikh Muhammad bin Abdil Wahhab, -sebelum
berdirinya kerajaan Saudi Arabia- niscaya ia tidak akan mngatakan demikian.
Orang
yang pernah membaca sejarah Jazirah Arab pada zaman beliau, akan tahu dan akan
mengatakan bahwa perkataan Aman ini tak ubahnya sekedar igauan disiang bolong;
karena sebelum berdirinya kerajaan saudi Arabia, Jazirah Arab dikuasai oleh
kobilah-kobilah setempat, masing-masing berhukum dengan hukum kobilah tersebut,
dan bukan dengan hukum Islam. Dinasty Utsmany –kala itu- hanya menguasai kota
Makkah, Madinah, Ahsa’, Yaman, dan Kuwait, adapun selainya dibawah kekuasaan
masing-masing kobilah.
Dan
kalau diperhatikan dengan seksama, kita akan dapatkan bahwa situasi pada zaman
beliau tidaklah jauh beda dengan apa yang sedang kita alami sekarang ini.
Bahkan Dinasty Utsmany, satu-satunya khilafah islamiyyah yang ada pada zaman
itu, memerangi dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, memerangi tauhid dan
sunnah, karena khilafah Utsmaniyyah –pada saat itu- berdiri atas aqidah
as’ariyyah, dan menganut ajaran sufi. Bukan hanya pada awal dakwah syeikh, akan
tetapi sampai setelah berdirinya kerajaan Saudi pertama. Kerajaan Saudi pertama
hancur karena diserang pasukan khilafah Utsmaniyyah yang datang dari Mesir,
begitu juga halnya kerajaan Saudi kedua, untuk lebih jelasnya silahkan baca
buku “’Unwanul Majd Fi Tarikhi An Najed”.. Nah kalau kita lihat dengan
pembagian Aman terhadap negara-negara yang ada, maka akan kita simpulkan bahwa
Khilafah Utsmaniyyah, bukan negara islam lagi, akan tetapi negara kafir, dan
kalau demikian, maka tidak ada lagi negara yang –menurut Aman- sebagai negara
islam, sehingga hal ini membuktikan bahwa Aman bertentangan dengan dirinya
sendiri. Ini juga sebagai bukti bahwa Aman tidak memahami apa yang ia tuliskan
sendiri, kenapa demikian? Jawabannya tak lain dan tak bukan, karena Aman hanya
menerjemahkan dan meringkas, kemudian menyebarkan, artinya ia hanya membeo.
Syeikh
Muhammad Bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya dengan tauhid, dan bukan dengan
usaha-usaha merebut kekuasaan, agar bisa menerapkan hukum Allah, karena beliau
benar-benar faham dan mengerti bahwa cara dakwah yang seperti itulah yang
dijalani dan diajarkan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Adapun cara yang
digariskan dan diajarkan oleh Aman, pada hakikatnya adalah caranya orang-orang
khowarij, bukan caranya Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
4.
Aman mengatakan : “Dan sekarang, selain syirik didalam Uluhiyah,
syirik di dalam Rububiyah pun, terutama masalah tahkimul qawaniin, sangat
deras, lagi hampir merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar didalam
pembahasannya”. Saya katakan: wahai Aman, ucapanmu benar, sehingga saking
meratanya perbuatan berhukum kepada selain hukum Allah, sampai-sampai (saya
kira) dirumah bapakmu-pun tidak diterapkan hukum Allah, juga dirumah paman, dan
karib kerabatmu, oleh karenanya, pada saat ini, saya ingin bertanya kepadamu
wahai Aman: Sudahkah engkau memvonis mereka semua, sebagaimana engkau
menvonis pemerintahan yang ada?
Wahai Aman, engkau harus menyadari bahwa
kewajiban berhukum kepada hukum Allah bukan hanya atas pemerintah saja, akan
tetapi kewajiban semua orang muslim, sebagaimana pemerintah diharamkan untuk
berhukum kepada hukum selain Allah, kita sebagai masyarakat, juga diharamkan
untuk mendatangi pengadilan atau meminta untuk diadili dengan hukum selain
hukum Allah.
Bahkan berhukum dengan hukum Allah
merupakan kewajiban setaip orang yang memiliki kekuasaan, baik kekuasaan umum,
atau kekuasaan khusus, untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan bersama sebab
turunnya ayat 44 Surat Al Maidah:
Yaitu ketika ada seorang laki-laki dan
seorang wanita yahudi -yang telah menikah- berzina, dihukumi oleh kaumnya
dengan dilumuri wajahnya dengan arang dan kemudian diarak keliling, padahal
dalam kitab At Taurat mereka hukuman zina adalah rajam. Dan ketika hal ini
sampai kepada Nabi e, beliau bertanya kepada mereka: Dalam
kitab At Taurat kalian, apa hukuman orang yang berzina: mereka menjawab: Kami
mempermalukan mereka dihadapan orang umum, kemudian dicambuk, maka sahabat
Abdullah bin Salam berkata kepada mereka: Kalian telah berdusta, sesungguhny
dalam At Taurat ada ayat tentang rajam, maka mereka mendatangkan At Taurat,
lalu dibuka, akan tetapi salah seorang dari mereka meletakkan tangannya diatas
ayat yang memerintahkan rajam, maka Abdullah bin Salam memerintahkannya untuk
mengangkat tangannya, dan terlihatlah ayat tentang rajam, maka Rasulullah e memerintahkan agar kedua orang yahudi
tersebut dirajam.
Dari kisah sebab turunnya ayat tersebut,
kita bisa simpulkan bahwa berhukum kepada hukum Allah bukan hanya kewajiban
pemerintah atau kholifah saja, akan tetapi merupakan kewajiban seluruh manusia,
sebab orang-orang yahudi tersebut tidaklah memiliki negara, akan tetapi hanya
sebuah kobilah, ditambah lagi kontek ayat tersebut umum, tidak ada batasan
dengan pemerintah atau yang lainnya, maka barang siapa yang mengatakan bahwa
ayat tersebut hanya berkenaan dengan pemerintah atau kholifah, maka ia harus
mendatang dalil.
Untuk lebih memperjelas kesimpulan ini
mari kita baca ayat 65 surat An Nisa’ :
(فلا
وربك لا
يؤمنون حتى
يحكموك فيما
شجر بينهم ثم
لا يجدوا في
أنفسهم حرجا
مما قضيت
ويسلموا
تسليما)
“Maka demi Tuhammu,
mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Nah, sekali lagi saya bertanya: Sudahkah
dirumah bapakmu, dan karib kerabatmu diterapkan hukum Allah?, kalau belum,
sudahkan engkau memvonis mereka?
Bahkan dirimu, apakah belum menerapkan
hukum Allah dengan baik, buktinya engkau telah berdusta dan dengan sengaja
berbohong atas nama Syeikh Ibnu Baz, sebagaimana yang telah saya buktikan pada
tulisan pertama, sudahkah engkau memvonis dirimu sendiri?
5.
Aman
mengatakan :” Dan ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini muncul,
yaitu saat Tatar menguasai negri kaum muslimin, kemudian sebagian masuk islam
dan mulai membabat syari’at”. Ucapan ini adalah bukti keempat akan
kebodohan Aman, yang benar adalah: Para ulama’ telah membahas permasalahan
tahkim, dan pelurusan pemahaman masalah pengkafiran orang yang berhukum kepada
selain hukum Allah, semenjak nenek moyang Aman muncul dalam bentuk kelompok
untuk pertama kali, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib radliallahu 'anhu,
tatkala orang-orang khowarij mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah, karena keduanya
dianggap telah berhukum kepada selain hukum Allah. Mari kita simak bersama
penggalan kisah mereka :
Ibnu Abbas mengkisahkan kisah mereka:
“Tatkala orang-orang haruriyyah (khowarij) telah bermunculan, mereka memisahkan
diri dari kaum muslimin dengan berkumpul didaerah mereka, dan jumlah mereka
adalah enam ribu orang, maka aku berkata kepada Ali bin Abi Tholib radliallahu
'anhu: Wahai Amirul mikminin, aku mohon engkau menunda pelaksanaan sholat
dluhur, karena aku hendak mendatangi mereka dan menasehati mereka.
Maka Ali berkata : Aku takut atas
dirimu.
Aku menjawab : Tidak akan terjadi
apa-apa. Lalu aku berangkat menuju kepada mereka, dan mendatangi mereka pada
saat pertengahan hari, sedangkan mereka sedang tidur siang, lalu aku
mengucapkan salam kepada mereka, dan merekapun sepontan menjawab: Selamat
datang, kami ucapkan untukmu, wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu datang
kemari? Aku berkata kepada mereka : Aku datang kepada kalian dari sisi para
sahabat Nabi e dan menantunya, atas merekalah Al
Qur’an diturunkan, sehingga mereka lebih tahu daripada kalian tentang
tafsirnya, sedangkan tidak seorangpun diantara kalian yang tergolong dari
mereka (sahabat), sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang
sebenarnya mereka katakan / yakini, dan hendaknya kalianpun menyampaikan apa
yang kalian katakan / yakini. Lalu aku berkata kepada mereka : Apakah yang
kalian benci dari sahabat Rasulillah e dan anak pamannya? Mereka menjawab :
Ada tiga hal. Aku berkata : Apakah itu? Mereka menjawab : Adapun yang pertama :
karena ia (Ali bin Abi Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim
(berhakim) dalam urusan Allah, padahal Allah telah berfirman :
] إن
الحكم إلا لله
[
Artinya: “Tiadalah hukum / keputusan,
kecuali hukum Allah”, apa urusan manusia dalam hukum Allah?……….Aku berkata
kepada mereka : Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah berhakim kepada seorang
manusia dalam urusan Allah, maka aku
akan membacakan kepada kalian ayat dari Al Qur’an, yang menyatakan bahwa Allah
telah menyerahkan hukumnya kepada manusia dalam urusan yang berharga seperempat
dirham, dan Allah memerintakan agar mereka memutuskan dalam urusan tersebut,
Allah berfirman :
] يا أيها
الذين آمنوا
لا تقتلوا
الصيد وأنتم
حرم ومن قتله
منكم متعمدا
فجزاء مثل ما
قتل من النعم
يحكم به ذوا
عدل منكم [
Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedangkan kalian dalan
keadaan berihram. Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuhnya, maka
hukumanya adalah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil diantara kalian”. (Surat
Al Maidah 95), maka atas nama Allah Ta’ala, apakah keputusan manusia dalam
seekor kelinci dan yang serupa dari binatang buruan lebih utama? Ataukah
keputusan mereka dalam urusan pertumpahan darah dan perdamaian diantara mereka,
sedangkan kalian tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan
memutuskan, dan tidak perlu menyerahkan keputusan (hukuman pembunuh binatang
buruan dalam keadaan berihram) kepada manusia? Mereka menjawab: Tentau
keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian lebih utama. -Ibnu Abbas
melanjutkan perkataannya- Dan dalam urusan seorang istri dengan suaminya, Allah
Azza wa Jalla berfirman:
] وإن
خفتم شقاق
بينهما
فابعثوا حكما
من أهله وحكما
من أهلها إن
يريدا إصلاحا
يوفق الله بينهما[
Artinya: “Dan bila kalian kawatir ada
persengketan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga
laki-laki (suami) dan seorang hakim dari keluarga wanita (istri). Jika keduanya
menghendaki perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada keduanya”. (Surat
An Nisa’ 35). Maka, atas nama Allah, apakah keputusan manusia dalam urusan
perdamaian antara mereka dan mencegah terjadinya pertumpahan darah diantara mereka
lebih utama ataukah, keputusan mereka dalam urusan seorang wanita? Apakah aku
sudah berhasil menjawab tuduhan kalian? Mereka menjawab : Ya……dst. (riwayat At
Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi dll).
Ini
adalah salah satu usaha Aman, untuk menyesatkan ummat, yaitu menutupi sejarah
awal mula munculnya pemahaman khowarij, dan ia kesankan, bahwa permasalahan ini
muncul pada zaman Tatar. Dan setelah saya pikirkan, saya berpraduga bahwa Aman
melakukan hal ini, untuk menutupi hubungannya dengan khowarij yang ada pada
zaman Ali bin Abi Tholib. Akan tetapi usahanya ini, tidaklah mendatangkan hasil
seperti yang dia impi-impikan. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas pada
pembahasan kesepuluh.
Kedua
: Aman mengatakan :”Padahal tentang tahkim, merupakan hal serius yang
perlu kejelasan ungkapan dan lontaran, bukan kalimat yang samar atau justru
mengaburkan dan menyesatkan”.
Saya tidak tahu, apakah yang dimaksud
oleh aman dengan kalimat yang samar dan justru mengaburkan dan menyesatkan,
adalah fatwa-fatwa, penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan oleh para
ulama’ kita, dari semenjak nenek moyang khowarij muncul pertama kali dalam
wujud sebuah kelompok, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib, hingga zaman kita,
yang kita dapatkan dalam karya-karya mereka, ataukah yang lainnya. Sebab
permasalahan bertahkim / berhukum kepada selain hukum Allah bukanlah
permasalahan yang baru, akan tetapi permasalahan yang telah tuntas dibahas oleh
para ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Yang
menjadi permasalahan pada zaman kita, adalah orang-orang khowarij model
milineum –Aman salah satu dari mereka-, yang berusaha menampilkan pemikiran
mereka yang telah usang dan runtuh, dalam wujud baru, dan dengan penyampaian yang berbeda. Mereka
dengan berbagai cara, berusaha mencocokkan keterangan para ulama’ dengan aqidah
khowarij mereka, kadang kala dengan memotong perkataan, lain kesempatan dengan
merubah kontek perkataan, memegangi perkataan yang mutlak (umum), dan berusaha
menyembunyikan perkataan yang terperinci, dan itulah yang dilakukan oleh
pahlawan tanpa jasa kita, Aman Abdur Rahman dalam tulisannya yang berjudulkan “vonis
ulama-ulama Ahlis Sunnah Terhadap Hukumah pembabat Syari’at, dan Fatwa-Fatwa
Ulama Ahissunnah Tentang Perbuatan Syirik Karena Jahil”, sebagaimana telah
saya buktikan hal tersebut pada tulisan saya yang pertama.
Betapa
sombongnya engkau wahai Aman, dan betapa besarnya kepalamu, sehingga seluruh
penjelasan ulama’ sebelummu engkau anggap kabur, samar, dan bahkan menyesatkan,
Na’uzubillah minal hawa.
Ia
merasa –dengan tulisan gelapnya- telah melakukan hal yang tidak pernah
dilakukan oleh ulama’ sebelumnya, dari semenjak zaman sahabat hingga zaman
sekarang. Betapa hebatnya dan betapa luasnya ilmu Aman, sehingga ia mengatakan
hal tersebut.
Ketiga
:
Aman mengatakan :”Khowarij adalah
firqoh sesat yang menyimpang karena sikap ifrath (berlebihan), sedangkan
Murji’ah adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap tafrith (meremehkan),
bahkan Murji’ah ini lebih berbahaya dari yang lainnya,Ibrahim An Nakha’i
rahimahullah berkata :
لفتنتهم
–يعني
المرجئة- أخوف
على هذه الأمة
من فتنة
الأزارقة
“Sungguh, fitnah
mereka –maksudnya Murji’ah- lebih ditakutkan atas ummat ini, daripada fitnah
Azariqah (khawarij). Ini tidak mengherankan, karena Murji’ah merupakan
pendorong pembabat syari’at”.
Para ulama’ mengatakan murji’ah lebih
bahaya dibanding khowarij, dikarenakan kesalahan murji’ah lebih tersembunyi
dibanding kesalahan khowarij, dan demikianlah selanjutnya, semakin suatu
kesalahan atau bid’ah terselubung, sehingga tidak semua orang bisa mengetahuinya,
bid’ah tersebut dikatakan lebih berbahaya.
Dan
pada kesempatan ini, saya katakan: bahwa kesesatan Aman yang ia selubungi
dengan nukilan-nukilan yang telah direkayasa dari para kibarul ulama’, lebih
berbahaya dari kesalahan khowarij yang ada pada zaman dahulu; karena Aman
mengesankan kepada pembaca, bahwa ia adalah seorang salafi, yang mengikuti
pemahaman para ulama’ salaf, akan tetapi pada hakikatnya ia tak ubahnya
bagaikan musang berbulu domba.
Keempat :
Aman
mengatakan “Kedua kelompok tersebut sudah tentu tidak akan mengaku diri
mereka termasuk kelompok bid’ah/sesat (menyimpang), bahkan mereka merasa
memerangi kelompok bid’ah dan mengaku paling berada di atas sunnah. Sehingga
orang murji’ah pada masa sekarang mengaku dirinya yang paling sesuai dengan
sunnah, dan orang yang bertentangan dengan mereka di dalam masalah tahkim ini,
mereka vonis sebagai Khawarij, padahal orang yang mereka vonis Khawarij itu
adalah Ahlus Sunnah”.
Pada ucapannya ini, benar-benar Aman
sedang mensifati dirinya sendiri, ia merasa bahwa ia sebagai pahlawan (pahlawan
tanpa jasa), yang mengaku bahwa ia dan kelompoknya sedang menjelaskan dan
menghilangkan kesamaran dan kekaburan yang ada pada penjelasan Ulama’ Ahlis
Sunnah dalam masalah tahkim.
Yang
lebih memilukan lagi, dalam penggalan perkataannya ini, ia mengaku telah
menyelamatkan orang-orang Ahlis Sunnah dari tuduhan yang tidak benar. Dan pada
kesempatan ini, saya menantang Aman: Wahai Aman sang pahlawan (pahlawan
tanpa jasa), sebutkan contoh barang satu saja,
orang yang dituduh sebagai khowarij, padahal ia adalah ahlis sunnah,
siapa yang dituduh, dan siapa yang menuduh?
Bila
engkau hanya berani beranggapan tanpa bukti, dan melemparkan perkataan tanpa
ada kenyataan, maka itulah sifat dan kebiasaan ahlil bid’ah.
Kelima :
Aman
berkata :” Bila suatu negara menegakkan hukum islam secara keseluruhan tanpa
kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim, serta kebijakan ada ditangan
mereka, maka negara tersebut adalah negara islam, meskipun mayoritas penduduknya
orang-orang kafir, dan bila pemerintah itu adalah menegakkan hukum islam dengan
benar, tanpa pandang bulu, maka itu adalah pemerintah muslim yang adil…..dst”.
Ini adalah macam pertama dari tiga macam
pemerintah menurut pembagian Aman. Dan pada bagian pertama ini saya memiliki
beberapa komentar :
1.
Pemerintahan
macam ini tidaklah ada, kecuali pada zaman khulafa’ur rasyidin, sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits berikut, dan seperti yang Aman katakan sendiri
pada tulisannya ini.
تكون
النبوة فيكم
ما شاء الله
أن تكون، ثم
يرفعها الله
إذا شاء أن
يرفعها، ثم
تكون خلافة
على منهاج
النبوة فتكون
ما شاء الله
أن تكون، ثم
يرفعها إذا
شاء أن يرفعها،
ثم تكون ملكا
عاضّاً،
فيكون ما شاء
الله أن تكون،
ثم يرفعها
الله إذا شاء
أن يرفعها، ثم
تكون ملكا
جبريّاً،
فتكون ما شاء
الله أن تكون،
ثم يرفعها إذا
شاء أن
يرفعها، ثم
تكون خلافة
على منهاج
النبوة، ثم
سكت.
“Kenabian akan berada ditengah-tengah
kalian selama yang Allah kehendaki untuk berada ditengah kalian, kemudian Allah
mengangkatnya ketika Allah kehendaki untuk mengangkatnya, kemudian akan ada
khilafah yang berjalan diatas metode (manhaj) kenabian (khilafah nubuwwah), dan
akan berlangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah
mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian akan ada kerajaan yang
melakukan kedloliman, dan akan belangsung selama kurun waktu yang Allah
kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian
akan ada kerajaan yang diktator, dan akan belangsung selama kurun waktu yang
Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia menghendakinya,
kemudian akan ada khilafah yang berjalan diatas metode (manhaj) kenabian,
kemudian beliau diam.
Khilafah
nubuwwah berakhir dengan terjadinya perdamaian antara Al Hasan bin Ali dengan
Mu’awiyyah, dan Al Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Mu’awiyyah, dan
semenjak itulah dimulai masa yang disebut oleh Nabi e sebagai kerajaan yang melakukan
kedloliman.
2.
Aman
mensifati, bila pemerintah tersebut menerapkan hukum islam dengan benar, tanpa
pandang bulu, maka itu adalah pemerintah muslim yang adil, akan tetapi kenapa aman tidak menyebutkan dalam
pemerintahan macam pertama ini, bila pemerintah tersebut ternyata dalam
menerapkan hukum islam pandang bulu, atau berbuat kedloliman?. Sehingga Aman
dalam pembagiannya ini tidak sistimastis, dan ini menunjukkan akan kebodohannya
dalam membagi permasalahan.
3.
Saya
ingin bertanya: Bila pemerintah macam pertama ini, ternyata meyakini
bolehnya berhukum dengan hukum selain hukum Allah, atau bahkan hukum selain
hukum Allah sama atau lebih baik dari pada hukum Allah, walaupun ia sendiri
tetap menerapkan seluruh hukum Allah tanpa terkecuali, dan tidak pernah ada
pelanggaran sama sekali, apakah pemerintahan yang seperti ini masih juga engkau
katakan sebagai pemerintah muslimah?? Bila engkau katakan sebagai
pemerintah muslimah, maka itu membuktikan engkau orang bodoh, tidak pantas
untuk berbicara dalam masalah besar seperti ini,; karena ulama’ telah sepakat,
bahwa barang siapa yang menghalalkan sesuatu yang haram –yang sudah jelas
keharamannya- maka ia kafir, dan kalau engkau katakan bukan pemerintah
muslimah, maka ini menunjukkan bahwa permasalahannya bukan pada penerapan
secara keseluruhan, akan tetapi pada penghalalan, dan ini membuktikan bahwa
engkau bodoh dalam membuat definisi dan membagi permasalahan.
Pembagian
macam ini, dinamakan dengan pembagian yang menyebar ( تقسيم
منتشر ) dan ini
menunjukkan akan kebathilan pembagian ini, karena pembagian akan dikatakan
benar bila mencakup seluruh permasalahan yang ada didalamnya tanpa terkecuali,
atau yang dinamakan dengan pembagian yang membatasi ( تقسيم
حاصر ), hal ini sebagaimana
diketahui dengan baik oleh setiap orang yang tahu tentang ilmu ushul fiqh.
4.
Ia
berpegangan dengan keterangan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy, padahal telah saya
buktikan dalam tulisan saya yang pertama, bahwa fatwa beliau berhubungan dengan
negara Bahrain dan Iraq yang kala itu masih dibawah kekuasaan penjajah Inggris,
-ini salah satu dari praktek manipulasi Amman Abdur Rahman-; sehingga Aman dalam
pembagiannya ini tidak berdasarkan pada keterangan ulama’ atau dalil, akan tetapi ia datangkan dari koceknya sendiri.
Dan hal ini tidak mengherankan dari Aman, karena ia telah menganggap dirinya
sebagai pahlawan yang mampu melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh
ulama’ sebelumnya.
Keenam :
Aman mengatakan :”Bila syariat islam
masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim)
menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam kasus tertentu, sedangkan hukum
syariat masih menjadi landasan dan hukum negri itu, dan dia juga mengetahui
bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini, serta dia masih
meyakini hukum islam itu adalah yang paling sempurna, maka dia itu adalah
muslim yang dlalim atau muslim fasiq atu kufrun duna kufrin menurut Ahlus
sunnah, sedangkan menurut firqah khawarij, hakim/ pemerintah itu adalah kafir”
Pada penggalan perkataan ini saya
memiliki beberapa tanggapan :
1.
Perkataan
ini menunjukkan aman bodo dalam ilmu ushul fiqih, betapa tidak, dia tidak tahu
bahwa pembagiannya ini tidak jelas, karena ia tidak menyebutkan batasan kasus
tertentu tersebut, apakah itu hanya satu kali pelanggaran, atau dua atau
sepuluh atau seratus.
2.
Pembagian
ini menunjukkan akan kebodohannya tentang manhaj Ahlis Sunnah dalam
pengkafiran, karena perbuatan kekafiran tidak ada bedanya, dilakukan sekali
atau berkali-kali, misalnya sujud kepada berhala, tidak ada bedanya antara ia
sujud sekali atau berkali-kali.
3.
Pembagian
ini tidak bermakna sama sekali, karena akhirnya ia mengakui bahwa yang
menghalalkan perbuatan berhukum kepada hukum selain hukum Allah, walau hanya
sekali saja, ia dianggap telah kafir. Sehingga kalau permasalahannya tergantung
dengan penghalalan, maka tidak ada bedanya antara satu kasus dengan dua kasus,
atau lebih.
4.
Pembagian
ini, menjadikan kita bertanya kepada Aman: Negara manakah yang engkau anggap
sebagai negara yang muslimah, dan bukan negara kufrun duna kufrin?
5.
Aman
dalam pembagiannya ini tidak menyebutkan ulama’ siapa yang pernah melakukan
pembagian serupa, bahkan saya berani memastikan bahwa tidak ada seorang ulama’
pun yang melakukan hal ini. Sehingga dengan demikian Aman memiliki manhaj
tersendiri yang tidak pernah ditempuh oleh ulama’ sebelumnya, dan Aman telah
menobatkan dirinya sebagai seorang mujtahid muthlaq abad ke-21.
Ketujuh :
Aman berkata: “Bila suatu negara
membabat hukum islam dan menyingkirkannya, kemudian mereka menerapkan (qawaniin
wadl’iyyah/ undang-undang buatan manusia), baik dari Belanda, Amerika,
Portugal, Inggris, atau yang lainnya, maka pemerintah itu adalah pemerintah
kafir dan negaranya adalah negara kafir, meskipun mayoritas penduduknya adalah
kaum muslimin. Sholat, shaum, zakat dan ibadah dhahir lainnya yang masih
dilakukan oleh para penguasa tersebut, ataupun nama islam yang mereka sandang
itu tidak ada manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu,
sebab mereka telah kafir lagi murtad, dan negaranya adalah negara kafir.”
Pada penggalan perkataan Aman ini saya
memiliki beberapa tanggapan:
1st.
Aman
mengesankan bahwa pembagian yang demikian ini ia dapatkan dari Syeikh Abdur
Rahman As Sa’diy, dan Abdul Aziz ibni Baz, dan Muhammad Hamid Al Faqy, padahal,
perkataan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy telah saya buktikan berhubungan dengan
Bahrain dan Iraq pada masa penjajahan Inggris, sehingga tidak ada hubungannya
dengan permasalahan kita.
Adapun
perkataan Syeikh Ibni Baz, maka perkataan beliau disampaikan dalam rangka
membantah seruan sebagian pemimpin negri-negri arab untuk bersatu atas dasar
ras arab, bukan atas dasar islam, dalam menghadapi musuh-musuh islam (israel
cs). Ditambah lagi, didalam ungkapan beliau yang ia nukilkan, ada satu kata
yang tidak dicermati oleh Aman, yang pada hakikatnya menghancurkan keyakinan
Aman sendiri, yaitu kata ( ولا
ترضاه “Dan tidak rela / ridlo), mari kita amati
bersama ungkapan beliau :
وكل
دولة لا تحكم
بشرع الله ولا
تنصاع لحكم الله
ولا ترضاه
فهي دولة
جاهلية كافرة
ظالمة فاسقة
بنص هذه الآيات
المحكمات …
“Dan setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah,
dan tidak tunduk kepada hukum Allah, serta tidak ridlo dengannya, maka
itu adalah negara jahiliyyah, kafirah, dholimah, fasiqah dengan penegasan
ayat-ayat muhkamat ini….
Tidak
ridlo, artinya membenci, dan orang yang membenci penerapan hukum islam, tidak
diragukan lagi akan kekufurannya; sehingga Aman dalam pembagian ini benar-benar
tidak mengikuti ulama’, akan tetapi mengikuti wangsit atau ilham yang ia terima
dari qorinnya dari kalangan orang-orang khowarij yang sedang gentayangan di
rimba.
2nd.
Saya
tidak tahu apa yang dimaksud oleh Aman, dengan kata-kata (membabat hukum islam,
dan menyingkirkannya), apakah yang ia maksud, negara tersebut tidak menerapkan
sama sekali, walau hanya dalam satu permasalahan, ataukah yang ia maksud negara
tersebut dalam kebanyakan hukumnya tidak menerapkan hukum islam.
Bila
yang ia maksud adalah yang pertama, maka saya tidak tahu, apakah ada sebuah
negara yang pemimpinnya mengaku muslim, melakukan hal itu, sebab yang saya tahu
dan yang ada, tidaklah ada sebuah negara yang pemimpinnya seorang muslim,
kecuali menerapkan hukum islam dalam beberapa permasalahan, misalnya dalam hal
warisan, pernikahan, membangun masjid, membentuk departemen agama yang mengatur
pelaksanaan haji dll.
Dan
kalau yang ia maksud adalah yang kedua, maka Aman tidak menyebutkan berapa
batasannya, sehingga bisa dibedakan negara yang tergolong dalam macam ketiga
ini, dan negara yang tergolong dalam macam kedua. Dan saya bisa memastikan Aman
tidak bisa memberikan batasan, sebab ia membuat pembagian ini dengan seenak
perutnya, bukan mengikuti penjelasan ulama’ Ahlis Sunnah.
3rd.
Kemudian
Aman –seperti yang pernah saya ungkapkan- berusaha menjadikan perkataan Syeikh
Ibni Baz yang muthlak ini sebagai hujjahnya, dan enggan menyebutkan perkataan
beliau yang terperinci, sebagaimana yang telah saya sebutkan pada tulisan saya
yang pertama. Inilah sifat Ahlil Bid’ah, selalu berusaha mengikuti dan berpegangan
dengan hal-hal yang mutasyabih (samar) atau umum, atau muthlak, dan
meninggalkan yang terperinci.
Kedelapan :
Aman mengatakan :”Bahkan vonis kafir
murtad berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan mayoritas hukum islam,
namun didalam masalah tertentu (umpamanya di dalam masalah zina) dibaut
undang-undang buatan yang bertentangan dengan islam, sehingga setiap yang
berzina tidak dikenakan hukum islam, tetapi terkena undang-undang itu, maka sesuai aqidah Ahlus sunnah,
sihakim itu adalah kafir murtad juga, bahkan meskipun si hakim (pemerintah) tersebut mengatakan bahwa hukum
islam yang paling adil dan kami salah”
Pada penggalan perkataan ini saya
memiliki beberapa tanggapan:
One.
Saya
ingin bertanya: Apakah Kerajaan Saudi yang pernah berbuat baik padamu,
dengan menerimamu disalah satu sekolahannya, memberikanmu berbagai fasilitas,
juga negara kafir?? Sebab Kerajaan Saudi masih memiliki undang-undang yang
membolehkan adanya bank-bank yang menjalankan riba. Dan kalau engkau katakan
mereka telah kafir, lalu kenapa engkau menukilkan fatwa Ibnu Baz, Ibnu
Utsaimin, Muhammad bin Ibrahim Alus Syeikh, Al Fauzan dll, padahal mereka itu
semua adalah anggota kibarul ulama’ yang digaji, dan bahkan sebagai pemberi
fatwa kerajaan tersebut (pegawai kerajaan)?
Dan bila engkau tidak mengkafirkan mereka, maka ini membuktikan engkau
bertentangan dengan dirimu sendiri?
Wahai
Aman! Orang-orang yang tulisannya engkau jadikan referensi, (penulis kitab
tahkimul qawanin, sholah as shawiy, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, Abdullah Al
Qarni dll) memang sedang ingin mencapai pada permasalahan ini (pengkafiran
pemerintah Saudi Arabia), sehingga ada alasan untuk memberontak dan merebut
kekuasaan, akan tetapi yang aneh, dan mengherankan, apa yang ingin engkai
capai dan engkau angan-angankan dari tulisan ini? Apakah engkau juga
berangan-angan untuk memberontak dan merebut kekuasaan???!! Oleh karena itu
sadarlah wahai Aman dari kelalaianmu, dan waspadalah dari berbagai perangkap
ahlil bid’ah, jadilah seorang muslim, yang sebenarnya, cerdas, jeli, dan
waspada, kata orang:
المؤمن
كيس فطن حذر
“Orang yang beriman adalah orang yang cerdik, jeli, dan
waspada”.
Two.
Dalam
perkataannya ini Aman tidak menyebutkan dari mana ia menyimpulkan demikian,
sebab ia hanya menukilkan perkataan Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alus Syeikh,
yang tidak sama dan tidak semakna dengan apa yang ia simpulkan. Marilah kita
sama-sama menyimak perkataan belaiu yang dinukilkan oleh Aman :
أما
الذي جعل
قوانين
بترتيب
وتخضيع فهو
كفر وإن قالوا
أخطأنا وحكم
الشرع أعدل
“Adapun hukum yang dijadikan undang-undang dengan begitu tertib
dan rapi, maka itu adalah kekufuran, meskipun mereka mengatakan “Kami mengaku
salah dan hukum syariat itu lebih adil”.
Dalam perkataan beliau ini, beliau
sedang menghukumi perbuatan (Al hukmul muthlak), dan bukan sedang menghukumi
pelakunya (Alhukmu ‘Alal Mu’ayyan).
Three.
Syeikh
Muhammad bin Ibrahim memiliki perkataan yang lebih terperinci, sehingga
perkataan beliau yang meuthlak harus ditafsiri dengan perkataan yang
terperinci, beliau berkata :
وكذلك
تحقيق معنى
محمد رسول
الله؛ من
تحكيم شريعته
والتقيد بها
ونبذ ما
خالفها من
القوانين
والأوضاع
وسائر
الأشياء التي
ما أنزل الله
بها من سلطان،
والتي من حكم
بها
(يعني القوانين
الوضعية) أو
حاكم
إليها معتقدا
صحة ذلك
وجوازه فهو
كافر الكفر
الناقل عن الملة،
وإن فعل ذلك
بدون اعتقاد
ذلك وجوازه
فهو كافر الكفر
العملي الذي
لا ينقل عن
الملة.
“Dan demikianlah halnya dengan realisasi makna persaksian
“Muhammad Rasulullah”; dalam wujud menerapkan syari’atnya, dan konsisten
dengannya, meninggalkan setiap yang bertentangan dengannya, yang berupa
peraturan, undang-undang, dan segala sesuatu yang tidak ada dalilnya, yang
barang siapa berhakim dengannya (maksudnya undang-undang buatan) atau berhukum
kepadanya, dengan keyakinan hal itu dibenarkan, atau dibolehkan, maka ia kafir
dengan kekufuran yang menjadikannya keluar dari agama. Adapun bila ia
melakukannya tanpa disertai oleh keyakinan dibenarkannya perbuatan tersebut
atau dibolehkannya, maka ia telah kafir dengan kufur amali, yang tidak sampai
menjadikannya keluar dari agama”. (Lihat Majmu’ Fatawa beliau 1/80).
Four.
Pembagian
Aman ini bertentangan dengan hadits berikut :
عن
حابر بن عبد
الله رضي الله
عنهما قال:
قال رسول اللهe حين
مات
النَّجاشي:
(مات اليوم
رجل صالح، فقوموا
فصلوا علي
أخيكم أصحمة)
متفق عليه
Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin
Abdillah radliallahu 'anhu, ia menuturkan: tatkala An Najasyi meninggal,
Rasulullah e bersabda : “Sesungguhnya pada hari ini
seorang laki-laki yang sholeh meninggal dunia, maka berdirilah kalian dan
sholatkanlah saudaramu Ashhamah”. (Bukhori & Muslim).
Nah
sekarang saya bertanya kepada Aman dan dedengkot gerombolan khowarij yang
sedang berusaha menyusup: Apakah An Najasyi juga telah kalian vonis sebagai
orang yang kafir, karena ia tidak menerapkan hukum islam dinegrinya, ataukah
hadits ini telah kalian hapus dari kitab-kitab hadits, sehingga kalian tak sudi
untuk melihat dan merenungkannya?
Mungkin dari orang-orang yang kerdil
akalnya akan berkata : An Najasyi tidak divonis kafir karena ia tidak mampu
untuk menerapkan hukum islam, beda halnya dengan pemerintahan yang ada pada
zaman sekarang, terlebih-lebih pemerintahan yang mayoritas penduduknya kaum
muslimin, bahkan mereka menuntut agar diterapkan hukum islam.
Maka saya katakan kepada mereka -yang dengan
perkataannya ini menunjukkan kepada kita semua, akan jati diri mereka, mereka
bagaikan katak dalam tempurung-: Bukankah para pemerintahan yang ada sekarang
juga merasa takut untuk menerapkan syari’at, takut dibunuh, digulingkan,
diserang negara lain, dan banyak alasan lagi. An Najasyi takut untuk
digulingkan, begitu juga pemerintah yang ada sekarang, takut untuk digulingkan,
dan bahkan diserang oleg negara lain. Bukankah anda pernah dengar seorang yang
bernama Zhiyaul Haq, dan kisah kenapa ia dibunuh?
Kesembilan :
Aman mengatakan pada hal. 8 :”Beliau jelaskan bahwa seseorang yang berpaling dari hukum
Allah Y
dan justru membuat hukum (undang-undang) sendiri, atau mengambil hukum
dari yang lain, hal ini berarti dengan sepontan orang itu berkeyakinan bahwa
undang-undang buatan itu lebih baik, meskipun dia mengingkari dengan lisannya,
namun lisanul haal (perbuatan) menunjukkan sebaliknya”
Ini adalah salah satu dari sekian banyak
pencurian yang dilakukan oleh Aman, dia memenggal perkataan Syeikh Muhammad bin
Sholeh Al Utsaimin, sehingga terkesan mendukung apa yang sedang ia perjuangkan,
akan tetapi -Alhamdulillah- pencurian ini telah saya beberkan dalam tulisan
saya yang pertama, dan akan saya ulang disini untuk mengingatkan pembaca yang
budiman :
Syeikh
Al Utsimin berkata :
ومن لم
يحكم بما أنزل
الله وهو لم
يستخف ولم
يحتقره ولم
يعتقد أن
غيره
أصلح منه
وأنفع للخلق،
وإنما حكم
بغيره تسلطا
على المحكوم
عليه أو انتقاما
منه لنفسه أو
نحو ذلك، فهذا
ظالم وليس بكافر،
ويختلف مراتب
ظلمه حسب
المحكوم به
ووسائل الحكم.
ومن لم
يحكم بما أنزل
الله لا
استخفافا ولا
احتقارا ولا
اعتقادا أن
غيره أصلح
وأنفع للخق
وإنما حكم
بغريه محابة
للمحكوم له
أومراعاة
للرشوة أو
غيرها من عرض
الدنيا، فهذا
فاسق وليس
بكافر،
وتختلف مراتب
فسقه بحسب
المحكوم به
ووسائل الحكم.
قال شيخ
الإسلام ابن
تيمية رحمه
الله فيمن اتخذوا
أحبارهم
ورهبانهم
أربابا من دون
الله أنهم على
وجهين:
أحدهما :
أن يعلموا
أنهم بدلوا
دين الله
فيتبعونهم
على التبديل
ويعتقدون
تحليل ما حرم
وتحريم ما أحل
الله اتباعا
لرؤسائهم مع
علمهم أنهم
خالفوا دين الرسل،
فهذا كفر، وقد
جعله الله
ورسوله شركا
الثاني:
أن يكون
اعتقادهم
وإيمانهم
–بتحليل
الحرام
وتحريم
الحلال-
ثابتا، لكنهم
أطاعوهم في
معصية الله
كما يفعل
المسلم ما يفعله
من المعاصي
التي يعتقد
أنها معاصي،
فهؤلاء لهم
حكم أمثالهم
من أهل
الذنوب.
“Dan barang siapa
yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sedangkan ia tidak meremehkanya (hukum
Allah), tidak menghinakannya, dan tidak meyakini bahwa hukum selainnya lebih
maslahat dan lebih bermanfaat, hanya saja ia berhukum dengan selain hukum
Allah, karena ingin menyakiti orang yang ia hukumi, atau dalam rangka balas
dendam pribadinya dari orang tersebut, atau alasan yang serupa, maka orang ini
adalah orang dlalim, dan bukan orang kafir. Dan tingkatan kedlalimannya
berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan hukum yang ia gunakan dan cara-cara yang
ia gunakan untuk mwnghukumi.
Dan barang siapa yang tidak berhukum
dengan hukum Allah, sedangkan ia tidak meremehkanya (hukum Allah), tidak
menghinakannya, dan tidak meyakini bahwa hukum selainnya lebih maslahat dan
lebih bermanfaat, hanya saja ia berhukum dengan selain hukum Allah, hanya saja
ia berhukum dengan selain hukum Allah karena untuk mencari muka dihadapan orang
yang ia menangkan dalam perhukumannya, atau karena risywah (suap), atau
kepentingan duniawi lainnya, maka orang ini adalah fasiq dan bukan orang kafir.
Dan tingkatan kefasiqannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan hukum yang ia
gunakan dan cara-cara yang ia gunakan untuk mwnghukumi.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah mengomentari tentang orang yang menjadikan ulama’ dan
pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, bahwasannya mereka
terbagi menjadi dua golongan :
Pertama : Mereka mengetahui bahwa ulama’
dan pendeta tersebut merubah agama Allah, kemudian mereka mengikutinya dalam
perubahan tersebut, dan meyakini akan kehalalan sesuatu yang diharamkan dan
keharaman sesuatu yang dihalalkan Allah, dikarenakan mengikuti
pemimpin-pemimpin mereka, padahal mereka menyadari bahwa mereka bertentangan
dengan agama para Rasul, maka perbuatan ini adalah perbuatan kafir, dan telah
dianggap sebagai kesyirikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua : Keyakinan dan iman mereka dalam
hal –penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal- tetap kokoh (tidak
berubah), akan tetapi mereka menuruti para ulama’ dan pendeta dalam perbuatan
maksiat kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan perbuatan
maksiat, yang ia yakini bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat, maka golongan
ini, hukumnya seperti hukumnya orang
yang serupa dengan mereka dari para pelaku maksiat.”
Bahkan
perkataan Aman ini merupakan inti dari aqidah khowarij, yaitu setiap yang
melakukan perbuatan dosa besar, ia telah kafir, dan bukan sebagai manhaj Ahlis
Sunnah, karena menurut ahlis sunnah, pelaku dosa besar tidaklah dikafirkan,
kecuali bila dia meyakini halalnya perbuatan tersebut. Beda halnya dengan
khowarij, mereka mengatakan, bahwa pelaku dosa besar secara otomatis menjadi
kafir, karena perbuatan lahir –menurut mereka- menunjukkan akan keyakinan
menghalalkan.
Kesepuluh :
Setelah
menyebutkan perkataan diatas, Aman mengatakan “Inilah yang dinamakan di
dalam manhaj Ahlus Sunnah dengan istilah At Talaazum bainadhdhahir wal Bathin
(kaitan antara dhahir dan bathin, dan hal ini berbeda dengan Murji’ah”. Kemudian
pada catatan kaki ia nisbatkan hal ini kepada Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
dalam Majmu’ Fatawa 7/187, padahal pada
perkataan beliau tidak ada sedikitpun hubungannya dengan permasalahan tahkim,
akan tetapi beliau sedang membicarakan akan hakikat iman, bahwa asal dan dasar
iman adalah hati, bila hati baik dan kuat, pasti akan nampak pengaruhnya pada
perbuatan anggota badan, beliau berkata :
ثم
القلب هو
الأصل، فإذا
كان فيه معرفة
وإرادة، سرى
ذلك إلى البدن
بالضرورة، لا
يمكن أن يتخلَّف
البدن عما
يريده القلب،
ولهذا قال النبي
e في
الحديث
الصحيح: (ألا
وإن في
الجسد مضغة
إذا صلحت صلح
لها سائر
الجسد، وإذا
فسدت فسد لها
سائر الجسد،
ألا وهي
القلب).
“Kemudian, hati
adalah pokok / dasar, maka apabila didalam hati terdapat pengertian dan
keinginan, niscaya hal itu akan menjalar kepada seluruh anggota badan –dengan
pasti-, tidak mungkin anggota badan tidak melaksanakan apa yang diinginkan oleh
hati, oleh karena itu Nabi e dalam hadits shohih bersabda:
“Ketahuailah, bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal darah, bila
ia baik, niscaya seluruh jasad akan baik, dan bila rusak, niscaya seluruh jasad
akan rusak, ketahuilah bahwasannya (segumpal darah) itu adalah hati (jantung).”
Pembaca yang budiman, silahkan lihat,
apakah dalam perkataan Syeikhul Islam diatas ada hubungannya dengan masalah
tahkim? Apalagi pengkafiran orang yang tidak bertahkim dengan syari’at.
Wahai Aman, mari saya tunjukkan kepadamu
perkataan beliau yang enggan engkau nukil, bahkan engkau dan yang semisal
denganmu berangan-anggan agar perkataan beliau berikut dihapuskan dari kitab
beliau:
قال
شيخ الإسلام
ابن تيمية : إن
شعب الإيمان
قد تتلازم عند
القوة ولا
تتلازم عند
الضعف، فإذا
قوي ما في
القلب من
التصديق
والمعرفة والمحبة
لله ورسوله،
أوجب بغض
أعداء الله،
كما قال تعالى
] ولو
كانوا
يؤمونون
بالله والنبي
وما أنزل إليه
ما اتخذوهم
أولياء [ وقال ] لا
تجد قوما
يؤمنون بالله
واليوم الآخر
يوادون من حاد
الله ورسوله،
ولو كانوا
آباءهم أو أبناءهم
أو إخوانهم أو
عشيرتهم
أولئك كتب في
قلوبهم
الإيمان
وأيدهم بروح
منه[، وقد
تحصل للرجل
موادتهم لرحم
أو حاجة، فتكون
ذنبا ينقص به
إيمانه ولا
يكون به كافرا،
كما حصل من
حاطب بن أبي
بلتعة، لما
كاتب
المشركين
ببعض أخبار
النبي e
وأنزل الله
فيه ] يا أيها
الذين آمنوا
لا تتخذوا
عدوي وعدوكم أولياء
تلقون إليهم
بالمودة[.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Sesungguhnya cabang-cabang keimanan, kadangkadang saling berkaitan disaat iman
kuat, dan kadang kala tidak saling berkaitan, disaat iman lemah. Dan bila
pembenaran, pengertian, dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya telah menjadi
kuat dalam hati (seseorang), maka iman yang demikian ini mendatangkan rasa
kebencian kepada musuh-mush Allah, sebagaimana Allah firmankan,:” Dan
seandainya mereka beriman kepada Allah dan kepada Nabi, serta kepada wahyu yang
diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak menjadikan orang-orang musyrikin
sebagai penolong (wali-wali). (Al Maidah 81) Dan Allah berfirman: “Engkau tidak
akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling bekasih sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang tersbeut adalah bapak-bapak,
atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya”. (Surat Al Mujadilah 22). Dan
kadang kala bisa terjadi seseorang berkasih sayang dengan mereka, disebabkan
adanya tali persaudaraan, atau keperluan, sehingga perbuatan ini merupakan
dosa yang menjadikan imannya berkurang, dan tidak menjadikannya kafir,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Hathib ibni Abi Balta’ah, tatkala ia
menuliskan surat kepada orang musyrikin, membocorkan sebagian rahasia (berita)
Nabi e, dan Allah turunkan tentangnya
firman-Nya :” Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan musuh-Ku
dan musuhmu sebagai (teman setia) penolong, yang kalian sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang”. (lihat Majmu’ Fatawa
7/522-523).
Sudahkah
engkau melihat dan memahami perkataan beliau ini, wahai Aman??
Bila
engkau sudah memahaminya, mari akan saya tunjukkan kepadamu perkataan beliau
juga, yang akan membuktikan bahwa talazum yang engkau sebut-sebut adalah
talazum ahlil bid’ah, dan bukan talazum yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah,
sebagaimana yang engkau sangkakan:
ثم
قال الخوارج
والمعتزلة:
الطاعات كلها
من الإيمان،
فإذا ذهب
بعضها ذهب بعض
الإيمان، فذهب
سائره،
فحكموا بأن
صاحب الكبيرة
ليس معه شيئ
من الإيمان،
وقالت
المرجئة
والجهمية: ليس
الإيمان إلا
شيئا واحدا لا
يتبعض، إما
مجرد تصديق
القلب كقول
الجهمية أو
تصديق القلب
واللسان كقول
المرجئة،
قالوا لأنا
إذا أدخلنا فيها
الأعمال صارت
جزءً منه،
فإذا ذهبت ذهب
بعضه، فيلزم
إخراج ذي
الكبيرة من
الإيمان، وهو قول
المعتزلة
والخوارج،
لكن قد يكون
له لوازم
ودلائل
فيستدل بعدمه
على عدمه.
“Kemudian orang-orang khowarij dan mu’tazilah berkata:
amalan-amalan ketaatan seluruhnya bagian dari iman, dan bila sebagiannya
hilang, maka akan hilang sebagian keimanan, dan akibatnya akan hilanglah
seluruh keimanan, sehingga mereka memvonis pelaku dosa besar, bahwa ia tidak
memiliki keimanan sedikitpun, dan orang-orang murji’ah dan Jahmiyyah
mengatakan: Tidaklah keimanan kecuali satu kesatuan yang tidak bisa
terbagi-bagi, baik itu berupa pembenaran hati semata, sebagaimana yang diyakini
oleh orang-orang jahmiyyah, atau berupa pembenaran hati dan ucapan lisan,
sebagaimana diyakini oleh orang-orang murji’ah, mereka berdalih: karena bila
kita memasukkan amalan kedalam hakikat iman, maka amalan akan menjadi bagian
dari iman, dan bila amalan hilang, akan hilanglah sebagian iman, dan ini
mengharuskan kita untuk mengeluarkan pelaku dosa besar dari keimanan, dan
inilah perkataan mu’tazilah dan khowarij, akan tetapi iman memiliki beberapa
konsekwensi dan pertanda, yang dengan tidak didapatkannya konsekwensi dan
pertanda tersebut , kita mengetahui akan telah hilangnya keimanan. (Majmu’
fatawa 7/510)
Inilah
talazum yang engkau dengung-dengungkan, talazumnya orang mu’tazilah dan
khowarij, ini bukti jelas bahwa usahamu untuk menutupi hubungan pemikiranmu
dengan pemikiran khowarij zaman dahulu gagal total, bahkan tidak mendatangkan
hasil sedikitpun.
Sudahkah
engkau menyadari siapa jati dirimu, wahai Aman??
Kesebelas :
Aman mengatakan :” Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahilahullah menjelaskan bahwa bila satu kaum, satu kelompok,
satu negara (pemerintahan) yang orang-orangnya mengaku muslim, dan mereka itu
melaksanakan sebagian syaria’at islam, dan bahkan mengakui seluruh syari’at
islam, namun mereka menolak melaksanakan salah satu kewajiban yang jelas atau
menolak meninggaklan salah satu yang diharamkan dengan jelas, maka kelompok
yang menolak tersebut wajib diperagi oleh imam kaum muslimin, sampai tunduk
kepada aturan secara keseluruhan. Di dalam masalah ini tidak ada perbedaan
pendapat di antara Ahlus Sunnah, dengan dalil, bahwa para sahabat semua ijma’
untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat dan para sahabat y tidak pernah bertanya apakah mereka itu
mengingkari kewajibannya atau tidak. Dan justru mereka menggolongkan kaum yang
menolak membayar zakat itu sebagai kaum murtaddun. Hal ini dikarenakan mereka (
yaitu orang-orang yang menolak membayar zakat) tidak melakukan hal itu, kecuali
setelah ada kesepakatan sebelumnya diantara mereka, sehingga para ulama
muhaqqiqin menyatakan bahwa mereka bukan orang-orang islam. Masalahnya menjadi
berbeda, bila sifatnya individu, maka ini tidak dianggap murtad selama dia
meyakini wajibnya zakat. Maka apa gerangan dengan pemerintah yang menolak
syari’at islam dan membuat undang-undang di luar islam, seperti negeri-negeri
yang banyak dihuni mayoritas kaum muslimin ini?”
Pada
penggalan perkataan ini, saya memiliki beberapa tanggapan :
1.
Aman
mengatakan bahwa para sahabat tidak pernah bertanya apakah mereka itu
mengingkari kewajibannya atau tidak, dan ia nisbatkan ini kepada Ibnu
Taimiyyah, akan tetapi ini adalah salah satu kecerobohan Aman dalam berbicara,
mari kita lihat pernyataan beliau dalam Majmu’ Fatawa 28/519, berikut:
وقد
اتفق الصحابة
والأئمة
بعدهم على
قتال مانعي
الزكاة وإن
كانوا يصلون
الخمس
ويصومون شهر
رمضان، وهؤلاء
لم يكن لهم
شبهة سائغة،
فلهذا كانوا
مرتدين، وهم
يقاتلون على منعها
وإن أقروا
بالوجوب كما
أمر الله، وقد
حكي عنهم أنهم
قالوا: إن
الله أمر نبيه
بأخذ الزكاة
بقوله (خذ من
أموالهم صدقة)
وقد سقطت
بموته.
“Dan sungguh para sahabat dan imam-imam setelah mereka telah
sepakat untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, walaupun mereka
menunaikan sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, dan mereka itu tidak
memiliki subhat yang bisa dibenarkan, oleh karena itu mereka adalah
orang-orang yang murtad, dan mereka wajib diperangi karena enggan membayarnya,
walaupun mereka mengakui akan kewajibannya, sebagaimana yang diperintahkan
Allah, dan dikisahkan dari mereka, bahwa mereka beralasan: sesungguhnya Allah
memerintahkan Nabi-Nya untuk memungut zakat dengan firman-Nya :”Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka” (At Taubah 103), dan kewajiban zakat telah gugur
dengan kematian beliau”.
Kita
dapat melihat perbedaan yang sangat jauh antara apa yang diutarakan oleh Aman
dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah.
Silahkan
lihat pula keterangan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah 6/315, beliau
juga menyebutkan bahwa orang yang enggan membayar zakat mengatakan bahwa
kewajiban zakat telah gugur dengan kematian Rasulullah e.
Ibnu
Hajar dalam fathul Bari mendudukkan permasalahan ini dengan jelas, beliau
menyebutkan seperti yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwa orang-orang yang
enggan membayar zakat benar-benar mengingkari kewajiban zakat, sehingga mereka
dikatakan telah kafir, dan pada kesempatan ini Abu Bakar tidak memaafkan
orang-orang bodoh dari mereka, karena mereka telah bergabung dan bersiap-siap
untuk mengadakan perlawanan terhadap Khalifah, untuk lebih jelasnya silahkan
baca Fathul Bari 12/277 dst.
2.
Aman mengatakan : “Masalahnya menjadi berbeda, bila sifatnya
individu, maka ini tidak dianggap murtad selama dia meyakini wajibnya zakat.”
Saya
ingin bertanya kepada Aman, : Dari mana engkau dapatkan pembedaan Syeikhul
Islam antara individu dan kelompok, dalam pengkafiran?
Mari kita lihat bersama penyataan beliau
dalam majmu’ fatawa 28/308 :
فإن
كان التاركون
طائفة ممتنعة
قوتلوا على
تركها بإجماع
المسلمين،
وكذلك
يقاتلون على
ترك الزكاة
والصيام
وغيرها وعلى
استحلال
المحرمات
الظاهرة المجمع
عليها … وإن
كان التارك
للصلاة واحدا
فقد قيل: إنه
يعاقب بالضرب
والحبس حتى
يصلِّي، وجمهور
العلماء على
أنه يجب قتله
إذا امتنع من
الصلاة بعد أن
يستتاب، فإن
تاب وصلى وإلا
قتل، وهل يقتل
كافرا أو
مسلما فاسقا؟
فيه قولان: وأكثر
السلف على أنه
يقتل كافرا،
وهذا كله مع
الإقرار
بوجوبها، أما
إذا جحد
وجوبها فهو
كافر بإجماع
المسلمين،
وكذلك من جحد
سائر المذكورات
والمحرمات
التي يجب
القتال عليها.
“Apabila orang yang meninggalkan sholat adalah sebuah kelompok
yang berkekuatan, maka wajib diperangi karena mereka meninggalkan sholat, dan
demikian pula, mereka juga diperangi karena meninggalkan zakat, puasa dan
lainnya, dan karena menghalaknan yhal yang diharamkan yang telah diketahui
bersama dan disepakati oleh para ulama’ …akan tetapi bila yang meninggalkan
sholat adalah satu orang, maka sebagia berpendapat ia dihukumi dengan dipukul,
dipenjara hingga ia mau menunaikan sholat, dan kebanyakan ulama’ berpendapat
bahwa ia harus dibunuh, bila enggan menunaikan sholat, tentunya setelah disuruh
untuk bertaubat, dan bila ia bertaubat (maka dilepaskan), dan kalau tidak ia
dibunuh. Dan apakah ia dibunuh dalam keadaan kafir atau muslim yang fasik? Ada
dua pendapat, dan kebanyakan ulama’ salaf berpendapat bahwa ia dibunuh dalam
keadaan kafir, ini semua bila ia masih meyakini akan kewajiban sholat. Adapun
bila ia mengingkari akan kewajibannya, maka ulama’ sepakat bahwa ia telah
kafir, dan demikin pula halnya orang yang menentang hal-hal yang disebut
diatas, dan hal-hal yang diharamkan yang mengharuskan kita berperang
karenanya.”
Jadi
yang dibedakan oleh Syeikhul Islam adalah masalah perang, bukan masalah
pengkafiran.
3.
Aman
berkata : “Maka apa gerangan dengan pemerintah yang menolak syari’at islam
dan membuat undang-undang di luar islam, seperti negeri-negeri yang banyak
dihuni mayoritas kaum muslimin ini?”
Apakah yang engkau maksud dengan
negeri-negeri yang banyak dihuni mayoritas kaum muslimin ini, adalah pemerintah
Indonesia? Kalau memang itu yang engkau maksud, kenapa engkau tidak berani
mengatakannya dengan terus terang? Takut ditangkap yaa….?
Keduabelas
:
Aman berkata :”hal ini dikarenakan
para pengekor itu telah terkena penyakit orang awam, yaitu mengangkat sosok
seseorang sebagai acuan di dalam segala
hal, selain Rasulullah e, mereka menganggap bahwa si Fulan itu
mana mungkin sesat?
Saya
ingin bertanya kepada Aman: Siapakah
orang yang engkau maksud, kenapa engkau takut untuk menyebut namanya,? Kalau
memang apa yang engkau katakan benar, kenapa mesti takut untuk menyebut
namanya?
Aman, ana mohon engkau jujur dengan
dirimu sendiri, bukankah apa yang engkau katakan ini mengenai dirimu sendiri,
engkau taqlid dengan tulisan orang lain, lalu kamu terjemahkan, dan kemudian
engkau memperjuangkannya mati-matian, walau sudah terbukti bahwa pada tulisanmu
ini terdapat kesesatan, kebohongan dll, yang menjadikan saya menuliskan judul
tulisanku ini dengan perkataanku :
“Bila Aman Enggan Menutupkan Topeng Diwajahnya”?
Ketigabelas :
Aman mengatakan: “Jadi
perkataan Kufrun duna kufrin kalau tidak dikembalikan kepada sebab wurudnya,
tentu hasilnya seperti ini, padahal perkataan ini diucapkan oleh Ibnu Abbas t dikala datang orang khowarij yang
mengkafirkan penguasa daulah Bani Ummayyah. Ibnu Abbas t mengetahui permasalahan dan situasi
yang ada, dimana bani umayyah tetap menerapkan syariat islam dan mereka tetap
berjihad untuk menegakkan kalimat Allah Y, namun sebagian mereka bertindak
dlalim/ menyimpang di dalam kasus tertentu dari hukum semestinya, sedangkan
didalam …”.
Pada penggalan perkataan Aman ini saya
memiliki beberapa komentar :
1.
Ulama’
siapa yang mengatakan demikian ini, sebutkan barang seorang saja? yang ada pada kitab-kitab tafsir,
kitab-kitab hadits, dan buku-buku aqidah ahlis sunnah, mereka membagi orang
yang tidak berhukum dengan hukum Allah menjadi dua bagian, yang melakukannya
dengan anggapan hukum selain Allah lebih baik, atau sama atau menghalalkan
perbuatan tersebut, maka ia kafir, dan yang melakukannya, sedangkan ia meyakini
bahwa hukum Allah lebih utama dan ia menyadari telah melakukan kesalahan, maka
ia tidak kafir, akan tetapi kufrun duna kufrin, dengan berdasarkan fatwa Ibnu
Abbas ini. Sehingga dengan demikian engkau berkesimpulan bahwa: semenjak
zaman ibnu Abbas mengatakan perkataan ini hingga zaman sekarang, tidak ada yang
paham akan maksud beliau, dan hanya engkau seorang yang memahaminya dengan
benar??, Sungguh engkau adalah seorang Pahlawan Tanpa Jasa.
2.
Daulah
Bani Umayyah seperti yang engkau katakan, mereka menerapkan hukum Allah, akan
tetapi sebagian mereka bertindak dlalim/ menyimpang didalam kasus tertentu,
apakah dengan perbuatan dlolim tersebut dikatakan telah berhukum dengan hukum
selain hukum Allah? Kalo memang demikian, berarti setiap orang yang menyimpang,
berbuat dosa, kedloliman dll, baik itu pemerintah atau bukan dikatakan telah
berhukum dengan hukum selain Allah?! Ini tentu merupakan kebatilan yang sangat
bathil, dan inilah pemahaman orang-orang khowarij, yang sedang engkau tuduhkan
kepada orang lain.
3.
Kalo
engkau baca dengan benar perkataan Ibnu Abbas, maka engkau akan dapatkan bahwa
perkataan beliau muthlak, beliau tidak membedakan antara kasus tertentu atau
dalam banyak kasus, nah darimanakah engkau mengkhususkan perkataan beliau
ini? Apakah dari wangsit yang engkau dapatkan dikuburan, atau dari tong sampah,
atau darimana? Karena dalam memahami dalil, dan perkataan para ulama’ kita
mengenal kaidah yang berbunyi :
العبرة
بعموم
اللَّفظ لا
بخصوص السبب
“Yang jadi pedoman adalah keumuman lafadl (kontek), bukan
kekhususan sebab datangnya lafadl tersebut.”
Begitu
juga halnya dengan ayat 44 dalam surat Al Maidah, lafadlnya umum, sehingga
tidak boleh dibatasi dengan satu kasus atau batasan lainnya tanpa adanya dalil,
nah Aman membatasi ayat dan perkataan Ibnu Abbas, tanpa menyebutkan dalil, -dan
tidak akan mendapatkan dalil- ini membuktikan bahwa Aman dalam tulisannya ini
hanya berpegangan dengan wangsit dari mbah….? Atau ilham dari roh …..?
Keempat
belas :
Aman mengatakan :”Sungguh orang
murjiah dahulu lebih pandai di dalam definisi dan komitmen dengannya, lain
halnya dengan murji’ah sekarang yang tidak karuan, tetapi hal ini tidak heran,
karena kalau menyalahi Ahlus Sunnah secara frontal didalam definisi, tentu
terlalu ketahuan dan tidak bisa mengaku bahwa dirinya pengikut sunnah, karena
itu mereka lakukan secara talbis”
Sungguh Aman sedang mensifati dirinya
sendiri, dialah orangnya yang tidak komitmen dengan definisinya sendiri, dan
tidak bisa meletakkan difinisi dengan baik, sebagaimana telah saya buktikan
dalam pembagiannya terhadap negara-negara menjadi tiga bagian.
Kelima belas :
Sebagai penutup saya akan menyebutkan
sebuah hadits, yang semoga menjadi bahan renungan Aman, dan kemudian
menjadikanya sadar dan kembali kepada kebenaran:
قال
رسول الله e:
(لتنقضنَّ عرى
الإسلام عروة
عروة، فكلما
انتقضت عروة
تشبث الناس
بالتي تليها
وأولهن نقضا
الحكم وآخرهن
الصلاة) رواه
أحمد وابن
حبان والطبراني
والحاكم
والبيهقي.
Rasulullah e bersabda: “Sungguh akan dilepaskan
buhulan-buhulan agama islam satu buhul demi satu buhul, setiap satu buhul
dilepaskan, para manusia akan berpegangan dengan buhul selanjutnya. Buhul
paling pertama dilepas adalah hukum, dan yang paling akhir adalah sholat”
(Hr Ahmad, Ibnu Hibban, At Thobrani, Al
Hakim, dan AL Baihaqy).
Hadits
ini sangat jelas bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidak
secara otomatis menjadi kafir, dengan bukti, Nabi e masih menyebut dengan Islam, walaupun
hukum islam telah ditinggalkan.
Oleh
karena itu, hendaknya kita semua mengecamkan hadits ini baik-baik, agar tidak
mudah dikibuli oleh musang-musang berbulu domba yang sedang meraja lela dimasa
kita ini. Dan hendaknya kita tidak menjadi seperti pencari kayu bakar ditengah
malam, yang tidak bisa membedakan antara ular berbisa dengan kayu bakar. Betapa
banyak orang yang mengaku sebagai seorang salafi, akan tetapi bila diperiksa
dan dikoreksi, tak lebih dari sulapi (tukang sulap), oleh karenanya saya
mengingatkan kita semua dengan perkataan Al Hasan Al Bashry :
ليس
الإيمان
بالتمني ولا
بالتحلي،
ولكن ما وقر
في القلب
وصدقته
الأعمال.
“Bukanlah keimanan hanya sekedar angan-angan dan perhiasan, akan
tetapi iman adalah sesuatu yang tertanam kokoh dalam hati, dan dibuktikan oleh
amalan”.
Begitu juga halnya dengan hakikat manhaj
salaf, bukan sekedar slogan yang diucapkan, dan gelar yang disandang, akan
tetapi merupakan keyakinan yang dianut, metode yang dijalani, dan dibuktikan
dengan amalan.
Akhirul
kalam, semoga Allah memberkan taufiq-Nya kepada kita semua, melindungi kita
dari hawa dan kesesatan, dan menunjuki orang yang sesat dari kaum muslimin.
Semoga sholawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad,
keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya hingga hari qiyamah.
Madinah
11 Syawwal 1423 H.
Muhammad
Arifin Baderi.
بسم
الله الرحمن
الرحيم
Alhamdulillah,
sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad e, keluarga, sahabat, dan seluruh orang
yang mengikuti ajarannya hingga hari qiyamat.
Amma
ba’du :
Setelah
saya selesai menuliskan penjelasan kedua ini, sampai kepada saya tulisan Aman
yang ditujukan kepada saya, yang dikirimkan oleh salah seorang ikhwan dari
Indonesia, dan setelah saya baca dari awal samapi akhir, saya semakin yakin,
bahwa Aman hanyalah membeo dan tidak paham akan Aqidah Ahlis Sunnah, dan
berikut ini akan saya sebutkan point-point yang ia sebutkan dalam tulisannya :
1.
Aman mengatakan : “Akhi, setelah ana membaca komentar antum
tentang tulisan ana, ana merasa heran, karena bantahan antum itu sama sekali
tidak nyambung, ana tidak tahu, apakah sebelum membantah, antum itu sudah
memahami tulisan ana atau belum:
Saya katakan: Benar tidak nyambung,
karena anda tidak paham apa maksud perkataan para ulama’ yang saya nukilkan, sebab
dalam tulisan saya yang pertama saya hanya ingin membuktikan manipulasi, dan
penyelewengan yang anda lakukan, bukan untuk membantah dengan terperinci,
dengan harapan setelah anda mengetahui kekeliruan anda, anda akan berhenti dan
menyesal. Akan tetapi, karena terbukti harapan saya tidak terpenuhi, maka
dengan izin Allah, saya tulis bantahan secara terperinci, agar anda tahu bahwa
saya paham, dan tahu apa maksud, dan siapa anda sebenarnya.
2.
Aman mengatakan: “Hendaklah antum ketahui, tulisan ana itu berhubungan
dengan masalah pembabatan syari’at, yaitu pemerintah yang membabat syari’at
yang meninggalkan syari’at islam, dan kemudian mereka justru malah membuat
undang-undang sendiri, atau mengambil undang-undang dari negara lain, atau
dengan kata lain, mereka itu membuat tasyri’ ‘aam, sehingga nukilan yang ana
ketengahkan dari perkataan ulama’ dalam tulisan ana, semuanya tentang hal itu”
Saya
sudah tahu, dan paham maksud anda, dan inilah yang sedang saya permasalahkan,
karena tidak ada seorang ulama’ pun yang melakukan pembedaan antara tasyri’
‘aam dan qadiyyah mu’ayyanah, oleh karena itu, pada tulisan saya kedua, saya
memberi julukan anda dengan pahlawan tanpa jasa, sebab anda telah mendatangkan
sesuatu yang baru, tapi bukan sesuatu yang patut diucapkan terimakasih, akan
tetapi sesuatu yang menyedihkan.
Adapun nukilan yang
engkau sangkakan mendukung pembedaanmu itu, telah saya buktikan pada tulisan
saya yang pertama, bahwa anda melakukan kebohongan, atau memenggalnya
ditengah-tengah (baik engkau lakukan langsung atau engkau meniru dan mengikuti
perbuatan orang lain), sehingga mengakibatkan kesalahpahaman. Yang saya tuntut
dari anda, datangkanlah satu nukilan dari ulama’ yang benar-benar bisa
dipegangi perkataannya (Bin Bazz, Ibnu Utsaimin, Al Fauzan dll) yang melakukan
hal itu.
3.Aman mengatakan :” Dalam pembabatan
syari’at atau tasyri’ ‘aam tidak usah diperhatikan masalah keyakinan hati, ini
adalah muthlaq kafir mukhrij minal millah, ini yang dimaksud dalam penukilan
ana akan perkataan Syeikh Al Utsaimin itu dan yang lainnya”
Benar itu yang engkau maksud dari
penukilan, tapi bukan itu yang dimaksud oleh Syeikh Al Utsaimin, bahkan beliau
pada perkataan tersebut, tidak sedikitpun menyinggung atau menyebutkan
pembedaan antara tasyri’ ‘aam dan qadliyah mu’ayyanah.
Perumpamaanmu
disini seperti orang yang membaca surat Al Ma’un dan berhenti pada firman Allah
: فويل
للمصلين (Dan kecelakaanlah
bagi orang-orang yang sholat)
4.
Aman
mengatakan : “Membedakan antara tasyri’ ‘aam atau pembabatan syari’at dengan
qadliyyah mu’ayyanah adalah Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah”.
Wahai
Aman, saya mohon anda tidak semakin menambah banyak dosa, dengan membikin
kebohongan baru, Ahlis Sunnah tidak pernah melakukan hal ini, yang ada dalam
Manhaj Ahlis Sunnah adalah pembedaan antara al kufrul muthlak dan muthlaqul
kufur atau At Takfirul Muthlaq dan At Takfir ‘Alal Mu’ayyan. Ahlis Sunnah
mengatakan setiap orang yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, maka dia
secara otomatis terkena vonis mauthlaqul kufur (At takfirul muthlak), maksudnya
adalah dia telah melakukan perbuatan kufur, tapi apakah dia telah kafir keluar
dari agama? Tidak, harus dilihat dan diteliti lebih lanjut, apakah dia telah
terpenuhi padanya syarat-syarat pengkafiran, atau belum, bila sudah terpenuhi,
maka dia dikatakan kafir, keluar dari agama, bila belum dia dikatakan telah
berbuat kekufuran atau orang ada padanya sifat muthlaqul kufur, dan inilah yang
saya yakini dan saya perjuangkan dan dakwahkan. Adapun pembedaan yang engkau
lakukan, tidak pernah ada dalam manhaj Ahlis Sunnah.
Ini
saya tunjukkan kepadamu manhaj Ahlis sunnah, melalui perkataan Imam Ahlis
Sunnah Ibnu Taimiyyah :
والتَّحقيق
في هذا، أن
القول قد يكون
كفرا، كمقالات
الجهمية
الذين قالوا:
إن الله لا
يتكلم ولا يرى
في الآخرة،
ولكن قد يخفى
على بعض الناس
أنه كفر،
فيطلق القول
بتكفير
القائل، كما
قال السلف: من
قال: القرآن
مخلوق، فهو
كافر، ومن قال:
إن الله لا
يرى في الآخرة
فهر كافر، ولا
يكفر الشخص
المعين حتى
تقوم عليه
الحجة
“Dan yang tepat /benar dalam masalah ini, bahwa kadang kala
perkataan tersebut adalah kekufuran, sebagaimana halnya dengan
perkataan-perkataan orang-orang jahmiyyah, yang mengatakan: Sesungguhnya Allah
tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak diakhirat, akan tetapi kadangkala
hal itu tidak diketahui oleh sebagian orang, sehingga diithlakkan ucapan
pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh
ulama salaf: Barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq, maka
ia kafir, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat
diakhirat, maka ia kafir, dan tidaklah dikafirkan orang tertentu, sampai tegak
atasnya Al hujjah” (Majmu’ fatawa 7/619).
5.
Aman
menukilkan perkataan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang dikafirkannya
Bani Ubaid oleh para ulama’ walaupun mereka mengaku islam dan menunaikan sholat
jama’ah dan jum’at, kemudian ia komentari :”yang dilakukan oleh Bani Ubaid
ini, masih mendingan dari pada yang dilakukan oleh para penguasa pembabat
syari’at, dimana sudahmembabat syari’at, mereka juga beraliran skuler demokrasi
(syirik model baru).
Saya ingin bertanya kepada anda, tahukah
siapa yang dimaksud oleh beliau dengan Bani Ubaid? Kalau tidak tahu, mari saya
kenalkan melalui penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang mereka,
sehingga engkau tidak salah pemahaman:
بني عبيد
الله القداح
الذين أقاموا
المغرب مدة
وبمصر نحو مائتي
سنة فهؤلاء
باتفاق أهل
العلم والدين
كانوا ملاحدة
ونسبهم باطل،
فلم يكن
بالرسول اتصال
نسب في الباطن
ولا دين،
وإنما أظهروا
النسب الكاذب
وأظهرو
التشيع
ليتوسلوا
بذلك إلى
متابعة
الشيعة، إذ
كانت أقل
الطوائف عقلا
ودينا،
وأكثرها
جهلا، وإلا
فأمر هؤلاء
العبيدية
المنتسبين
إلى إسماعيل
بن جعفر أظهر
من أن يخفى
على مسلم.
ولهذا جميع
المسلمين
الذين هم مؤمنون
في طوائف
الشيعة
يتبرؤون
منهم، فالزيدية
والإمامية
تكفرهم
وتتبرأ منهم،
وإنما ينتسب
إليهم
الإسماعلية
الملاحدة،
الذين فيهم من
الكفر ما ليس
لليهود
والنصارى).
“Bani Ubaidillah Al Qaddah, yang menguasai Maroko beberapa saat,
dan menguasai Mesir selama sekitar 200 tahun, mereka –dengan kesepakatan ulama’
dan agama- adalah orang-orang atheis, dan nasab mereka adalah nasab yang bathil.
Mereka tidaklah memiliki hubungan nasab dengan Rasulullah dalam batin mereka,
dan juga dalam agama. Mereka hanyalah menampakkan nasab dusta, dan menampakkan
aqidah syi’ah, agar mereka bisa menarik simpati orang-orang syi’ah, karena
mereka (orang-orang syi’ah) adalah kelompok yang paling tidak berakal dan
paling tidak beragama, dan kelompok paling dungu. Kalau bukan demikian,
sebenarnya mereka (Al Ubaidiyyah) yang menisbatkan diri kepada Ismail bin
Ja’far, sangat jelas, sehingga tidak tersamarkan bagi seorang muslim. Oleh
karena itu seluruh kaum muslimin yang mereka masih dianggap muslim dari
kelompok-kelompok syi’ah berlepas diri dari mereka. Kelompok Zaidiyyah dan
Imamiyyah telah mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari mereka, hanyalah
kelompok ateis isma’iliyyah sajalah yang rela menisbatkan diri kepada mereka,
yang pada mereka (kelompok) isma’iliyyah terdapat kekufuran, yang tidak
didapatkan pada orang-orang yahudi dan nashrani”. (Minhajus Sunnah 6/342-343).
Bahkan
beliau juga menjelaskan bahwa Ubaidillah bin Maimun Al Qaddah pendiri Dinasti
Fatimiyyah adalah anak seorang Yahudi, yang dididik oleh seorang Majusi,
sehingga ia bernasabkan Yahudi + Majusi. (Silahkan lihat Minhajus Sunnah
4/99-101).
Apakah
mereka ini yang engkau katakan mendingan wahai Aman?! Alangkah bodohnya dirimu…
6.
Aman
mengatakan : “Adapun apa yang antum sebutkan bahwa ana dusta merubah
perkataan Syeikh Ibnu Baz, ini menunjukkan antum tidak tabayyun terlebih
dahulu. Ketahuilah bahwa Syeikh biasa menggunakan kata-kata yang beragam, yang
maknanya sama, karena Syeikh berbicara tentang pembabatan syari’at dan
menerapkan undang-undang buatan”.
Betapa bodohnya dirimu wahai Aman, apa
anda tidak tahu perbedaan antara kata :
تركها
وأحل محلَّها
dengan kata : (أو
أجاز أن يحل
محله ), kalao memang tidak tahu, yaa apa gunanya
engkau belajar bahasa arab bertahun-tahun, hingga menyandang gelar Lc, atau
memang gelar ini singkatan dari kata “lucu”??
Lalu
dari mana engkau katakan bahwa beliau biasa menggunakan kata-kata yang beragam,
yang maknanya sama? Apakah engkau pernah mulazamah,? Atau sudah berapa kitab
beliau yang engkau baca, dan sudah berapa kaset beliau yang engkau dengarkan??
Ataukah anda dapatkan anggapan ini dari wangsit atau ilham….??!!!
Saya
sudah pernah katakan, bahwa sebenarnya engkau tak lebih dari apa yang pernah
dikatakan dalam pepatah dalam bahasa arab : (
حَاطب
الليل ) “Pencari kayu
bakar dimalam hari”, sehingga dengan tidak anda sadari telah terkena sengatan
ular kobra, syubhat & kebohongan takfiriyyin yang ada dinegri arab,
sebagaimana yang anda sebutkan sendiri, bahwa anda menukilkan perkatan beliau
ini melalui kitab beliau yang dicetak gabung dengan kitab Tahkimul Qawanin, dan
melalui nukilan Abdullah Al Qarni. Mereka adalah ular-ular qobra (takfiriyyin
dari negri arab), yang telah menyengatmu, maka segera diobati agar bisanya
tidak menjalar, yaitu dengan cara belajar lagi, membaca buku-buku ulama’ yang
jelas-jelas bisa dipercaya perkataan dan nukilannya. Selamat belajar
kembali….
7.
Aman
menukilkan perkataan Ibnu Katsir yang dia anggap semakna dengan perkataan Ibnu
Baz yang ia nukilkan, Ibnu Katsir mengatakan :
فمن ترك
الشرع المحكم
المنزل على
محمد بن عبد الله
خاتم
الأنبياء
وتحاكم إلى
غيره من الشرائع
المنسوخة
كفر، فكيف بمن
تحاكم إلى
إلياسا
وقدمها عليه،
فمن فعل ذلك
كفر بإجماع
المسلمين.
“Barang siapa yang meninggalkan syariat yang muhkam yang
diturunkan kepada Muhammad bin Abdillah penutup para nabai, dan berhukum kepada
syariat-syariat lainnya yang sudah dihapus, maka ia kafir, maka bagaimana
halnya dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa, dan lebih mengutamakannya
diatas syariat, maka barang siapa yang melakukan hal tersebut, ia telah kafir,
dengan kesepekatan kaum muslimin”.
Wahai
Aman, ini salah satu bukti bahwa engkau suka mengikuti perkataan yang mujmal
(global) dan meninggalkan perkataan yang mufasshal (terperinci), kenapa engkau
tidak nukilkan perkataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya,?? Karena beliau dalam
tafsirnya tidak membedakan antara tasyri ‘aam dan qadliyyah mua’yyanah??
Ataukah karena beliau merinci seperti yang dilakukan oleh Syeikh Ibnu Utsaimin
dalam fatwanya??!! Jawablah Aman!!!
Ditambah
lagi perkataan beliau ini menurut ahlis sunnah adalah at takfirul
muthlak(pengkafiran secara umum), dan bukan at takfir ‘alal
mu’ayyan(pengkafiran secara individu), sebagaimana yang telah saya nukilkan
dari perkataan Ibnu Taimiyyah.
8.
Aman
mengatakan :”Terus masalah takfir, tidaklah muthlak hak ulama; karena tidak
ada dalilnya, kecuali apa yang antum sebutkan, dan itu bukan dalil,
perhatikanlah takfir berikut ini …(kemudian Aman menyebutkan beberapa perkataan
ulama’ tentang pengkafiran “.
Aman, perkataan Syeikh Sholeh Al Fauzan
yang telah saya nukilkan, adalah perkataan yang benar-benar didasari oleh
penghayatan akan ruh dari syariat agama islam, beliau menyebutkan bahwa bila takfir
dilakukan oleh sembarang orang akan menimbulkan mafsadah, dan inilah yang
disebut dengan qaidah : سد
الذريعة
“menutup
pintu mafsadah(kerusakan)”
Apakah anda tidak pernah membaca
sejarahnya orang khowarij, dan berapa banyak musibah dan peperangan yang timbul
gara-gara mereka, mereka mengkafirkan para hukumah / khulafa’, dan pertumpahan
darah ditengah-tengah kaum muslimin, diakibatkan tindakan pengkafiran yang
dilakukan oleh orang-orang yang ilmunya tidak mendalam, dan yang dilakukan oleh
orang-orang yang besar kepala semacam Aman Abdurrahman. Pertumpahan darah,
diawali dengan terbunuhnya kholifah sekaligus menantu Rasulullah e Utsman bin Affan, dan dilanjutkan
dengan peperangan antara menantu Rasulullah yang lain, yaitu Ali bin Abi
Tholib, hingga terbunuhnya beliau, dan seterusnya. Ini semua akibat
tindakan-tindakan orang-orang yang besar kepala, merasa mampu, dan berhak untuk
membuat vonis terhadap orang lain. Oleh karena itu hendaknya engkau berpikir
sejenak, dan merenungkan akibat yang akan timbul dari tulisan gelapmu itu,
wahai Aman.
Ditambah
lagi, dalam pengkafiran seseorang, harus dipenuhi syarat-syarat pengkafiran,
dan telah dibuktikan dengan benar, bahwa pada orang tersebut tidak ada hal-hal
yang menyebabkan ia tidak bisa dihukumi kafir (mawani’/penghalang), dan ini
tidak semua orang mampu menerapkannya, (dan saya yakin bahwa anda tidak paham, akan
syarat-syarat dan mawani’ ini) dan inilah gunanya membedakan antara At takfirul
muthlaq dan At Takfir ‘alal mu’ayyan. Karena tidak memahami perbedaan inilah
anda jadi ngawur, dan merasa besar kepala, sehingga menganggap berhak untuk
memvonis siapa saja dengan kekafiran.
Saya
ingin bertanya kepadamu, wahai Aman: Apa pendapatmu, bila engkau melihat orang
yang sujud kepada manusia lain, kafirkah dia?! dan apakah setiap orang yang
melakukan hal ini engkau kafirkan?
Untuk
menjawab seribu pertanyaan yang ada dibenakmu, silahkan renungkan kisah
berikut:
عن عبد الله
بن أوفى قال:
لما قدم معاذ
من الشام سجد
للنبي e فقال:
ما هذا يا
معاذ ؟ قال:
أتيت الشام
فوافيتهم
يسجدون
لأساقفتهم
وبطارقتهم،
فوودت في نفسي
أن نفعل ذلك
بك، فقال:
رسول الله e: فلا
تفعلوا، فإني
لو كنت آمرا
أحدا أن يسجد
لغير الله،
لأمرت المرأة
أن تسجد
لزوجها) رواه
أحمد وابن
ماجة وصححه
الألباني في
الصحيحة 3/200،
رقم: 1203.
“Dari Abdullah bin Aufa
menuturkan: ketika Mu’adz datang dari negeri Syam dia sujud kepada Nabi, maka
Rasulullah bertanya: apa yang engkau lakukan ini wahai Mu’adz? Mu’adz menjawab
: ketika saya berkunjung ke negeri Syam, maka saya dapati mereka bersujud
kepada para uskup dan pembesar mereka, maka terbetik dalam hatiku agar kita
melakukannya untukmu. Maka Rasulullah bersabda : Janganlah kalian lakukan hal
itu! sesungguhnya jika aku berhak memberi perintah seseorang untuk bersujud
kepada selain Allah niscaya akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud
kepada suaminya.”(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan di shahihkan oleh Al-Albani di dalam
Shahihahnya III/200 no : 1203)
Adapun nukilan-nukilanmu, semuanya adalah pengkafiran secara muthlak,
bukan secara muayyan, sehingga tidak masalah, sayapun berani mengatakan barang
siapa yang tidak mengkafirkan pelaku kesyirikan maka dia kafir, barang siapa
yang menginjak-injak Al Qur’an maka dia kafir, akan tetapi yang jadi masalah,
kalau pelakunya sudah jelas orangnya, contohnya bapakmu yang menginjak Al
Qur’an, atau tidak berhukum dengan hukum Allah di keluarganya, dll.
Sebagai
bahan renungan juga, simak baik-baik kisah berikut :
عن جابر بن
عبد الله: قال:
قال رسول الله
e: من
لِكَعب بن
الأشرف؟ فإنه
قد آذى الله
ورسوله، فقام
محمد بن
مسلمة، فقال:
يا رسول الله
أتحب أن
أقتله؟ قال:
نعم، قال:
فأذن لي أن
أقول شيئاً
قال: قل،
فأتاه محمد بن
مسلمة فقال:
إن هذا الرجل
قد سألنا
صدقة، وإنه قد
عنَّانا …إلى
آخر القصة.
رواها
البخاري
وغيره.
Dari Jabir bin Abdillah menceritakan :
Rasulullah bertanya : siapa yang bisa membunuh Ka’ab bin Al-Asyrof ? karena dia
telah mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka berdirilah Muhammad bin Maslamah
seraya bertanya : wahai Rasulullah apakah anda suka jika saya membunuhnya?
Beliau menjawab: ya, berkata (Muhammad bin Maslamah) : maka izinkanlah saya
untuk mengatakan sesuatu (tipudaya), Beliau menjawab : katakanlah. Maka
Muhammad bin Maslamah mendatanginya (Ka’ab bin Al-Asyrof) , seraya berkata:
sesungguhnya laki-laki ini meminta kita shodaqoh kepada kami dan memberatkan
kami………(HR.Bukhori no:3031 dan 4037,Abu
Daud no. 2768 dll).
Bukankah
Muhammad bin Maslamah telah
mencela Nabi e? Tapi kenapa ia tidak dikafirkan?? ……….
Jawablah sendiri!!
Semoga
ini jelas bagi Aman, dan cukup untuk bahan renungan, dan semoga Allah memberi
petunjuk kepada Aman, dan seluruh kaum muslimin kepada jalan yang benar, dan
mengingatkan Aman, agar tidak meneruskan profesinya sebagai pencari kayu bakar
ditengah kegelapan malam, sehingga ia berhati-hati, tidak semua buku yang ia
lihat, atau sampai kepadanya ia baca dan ia percayai, Amiin, dan semoga
sholawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad e, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Al Madinah 21 Syawwal 1423
Muhammad Arifin bin Baderi.