ADABUL MAJELIS
DAN KESALAHAN-KESALAHANNYA
(BID'AH-BID'AHNYA)
Penyusun : Ibnu Burhan At-Tirnatiy
إنّ الحمد
لله نحمده
ونستعينه
ونستغفره، ونعوذ
بالله من شرور
أنفسنا ومن
سيّئات
أعمالنا، من
يهده الله فلا
مضلّ له، ومن
يضلل فلا هادي
له، وأشهد أن
لا إله إلا
الله وحده لا
شريك له،
وأشهد أنّ
محمدا عبده
ورسوله
{يا أيّها
الذين آمنوا
اتقوا اللهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ
ولا
تَمُوتُنَّ
إلاَّ
وأَنتُم مُسْلِمُونَ}
{يا أيّها
الناسُ
اتّقُوا
ربَّكمُ
الَّذي خَلَقَكُم
مِن نَفْسٍ
واحِدَةٍ
وخَلَقَ مِنْها
زَوْجَها
وبَثَّ
مِنْهُما
رِجالاً
كَثِيراً
وَنِساءً
واتَّقُوا اللهََ
الَّذِي
تَسَائَلُونَ
بِهِ والأَرْحامَ
إِنَّ اللهَ
كان
عَلَيْكُمْ
رَقِيباً }
{يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ
وقُولُوا
قَوْلاً
سَدِيداً يُصْلِحْ
لَكُمْ
أَعْمالَكمْ
ويَغْفِرْ
لَكمْ
ذُنوبَكُمْ
ومَن يُطِعِ
اللهَ
ورَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ
فَوْزاً}
أما
بعد،فإن أصدق
الحديث كلام
الله وخير الهدي
هدي محمد r وشر
الأمور
محدثاتها
وكلّ محدثة
بدعة ، وكل
بدعة ضلالة ،
وكل ضلالة في
النار .
Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah I Yang
kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan dan pengampunan dari-Nya, yang kita
memohon dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan keburukan amal-amal kami. Saya
bersaksi bahwasanya tiada Ilah yang Haq untuk disembah melainkan Ia I dan tiada sekutu bagi-Nya serta Muhammad r adalah utusan Allah I.
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan islam”.
“Wahai sekalian
manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang menciptakanmu dari satu jiwa dan
menciptakan dari satu jiwa ini pasangannya dan memperkembangbiakkan dari
keduanya kaum lelaki yang banyak dan kaum wanita. Maka bertaqwalah kepada Allah
yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasimu”.
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar niscaya Ia akan memperbaiki
untuk kalian amal-amal kalian, dan akan mengampuni dosa-dosa kalian, dan
barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka baginya kemenangan yang
besar”.
Adapun setelah itu, sesungguhnya sebenar-benar
kalam adalah Kalam Allah I dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad r. Sedangkan seburuk-buruk suatu perkara adalah
perkara yang mengada-ada (muhdats) dan tiap-tiap muhdats itu Bid’ah dan tiap
kebid’ahan itu neraka tempatnya.
Risalah Islam bukanlah merupakan risalah setempat dan terbatas,
yang khusus bagi suatu generasi atau suku bangsa tertentu seperti
risalah-risalah sebelumnya, tetapi Islam adalah risalah yang universal dan
sempurna, yang mencakup segala aspek kehidupan, baik perseorangan maupun
kolektif, mulai dari perkara ibadah, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan
lain sebagainya. Kesempurnaan Islam ini tidak luput membahas tentang adab-adab
dalam bermajelis, dimana tidak sedikit dari kaum muslimin, terutama para
aktivis muslim, bermajelis dan bermusyawarah dalam kesehariannya. Mengetahui
adab-adab dalam majelis adalah suatu keniscyaan dan keutamaan tersendiri
sebagai pengejawantahan firman Allah I : وَلَا
تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ
كُلُّ
أُولَئِكَ
كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولًا “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.”
(QS Al Israa’ 17 : 36). Dan sabda Nabi r : طلب
العلم فريضة
على كل مسلم “Menuntut
ilmu wajib bagi tiap Muslim”. Maka adalah kewajiban bagi seorang muslim
untuk mengetahui ilmunya terlebih dahulu sebelum beramal, sebagaimana Imam
Bukhari telah menjadikan bab العام
قبل القول
والعمل “Ilmu sebelum berkata dan beramal”. Berikut ini adalah
adab-adab dalam bermajelis
:
1.
Mengucapkan salam kepada ahli majelis jika ia
hendak masuk dan duduk pada majelis tersebut, hendaknya ia mengikuti majelis
tersebut hingga selesai. Jika ia hendak meninggalkan majelis tersebut, ia harus
meminta izin kepada ahli majelis lalu mengucapkan salam.
2.
Tidak menyuruh seseorang berdiri, pindah atau
bergeser agar ia menempati tempat duduknya, dan selayaknya bagi ahli majelis
yang telah duduk dalam majelis merenggangkan tempat duduknya, agar seseorang
yang mendatangi majelis tadi mendapatkan tempat duduk. Hal ini sebagaimana
dalam hadits Rasulullah : لا
يقيمن أحدكم
رجلا من مجلسه
ثم يجلس فيه,
ولكن توسّغوا
او تفسّحوا “Janganlah kalian
menyuruh temannya bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi hendaklah kamu
memperluasnya.” (Muttafaq ‘alaihi).
3.
Tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk
agar ia dapat duduk di tengah-tengahnya, kecuali dengan seizinnya, sebagaimana
dalam hadits Rasulullah r : لا يحلّ
لرجل أن يفرّق
بين إثنين إلا
بإذنها “Tidak halal bagi seorang laki-laki duduk
di antara dua orang dengan memisahkan mereka kecuali dengan izinnya.” (HR
Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
4.
Apabila seseorang bangkit dari tempat duduknya
meninggalkan majelis kemudian kembali lagi, maka ia lebih berhak duduk di
tempat yang ditinggalkannya tadi. Sebagaimana dalam sabda Nabi r : إذا
قام احدكم من
مجلس ثم رجع
إليه فهو أحقّ
به “Apabila seseorang bangkit dari duduknya
lalu ia kembali, maka ia lebih berhaq duduk di tempatnya tadi.” (HR Abu
Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
5.
Tidak duduk di tengah-tengah halaqoh/majelis,
dalilnya : أنّ
رسول الله
صلّى الله
عليه و سلّم
لعن من جلس في
وسط الحلقة “Rasulullah r melaknat orang yang duduk di tengah-tengah halaqoh.” (Abu Dawud)
6.
Seseorang di dalam majelis hendaknya
memperhatikan adab-adab sebagai berikut :
-
Duduk dengan tenang dan sopan, tidak banyak
bergerak dan duduk pada tempatnya.
-
Tidak menganyam jari, mempermainkan jenggot
atau cincinnya, banyak menguap, memasukkan tangan ke hidung, dan sikap-sikap
lainnya yang menunjukkan ketidakhormatan kepada majelis.
-
Tidak terlalu banyak berbicara, bersenda gurau
ataupun berbantah-bantahan yang sia-sia.
-
Tidak berbicara dua orang saja dengan
berbisik-bisik tanpa melibatkan ahli majelis lainnya.
-
Mendengarkan orang lain berbicara hingga
selesai dan tidak memotong pembicaraannya.
-
Bicara yang perlu dan penting saja, tanpa
perlu berputar-putar dan berbasa-basi ke sana ke mari.
-
Tidak berbicara dengan meremehkan dan tidak
menghormati ahli majelis lain, tidak merasa paling benar (ujub) dan sombong
ketika berbicara.
-
Menjawab salam ketika seseorang masuk ke
majelis atau meninggalkan majelis.
-
Tidak memandang ajnabiyah (wanita bukan
mahram), berbasa-basi dengannya, ataupun melanggar batas hubungan lelaki dengan
wanita muslimah bukan mahram, baik kholwat (berdua-duaan antara
laki-laki dan wanita bukan mahram) maupun ikhtilath (bercampur baur
antara laki-laki dan perempuan bukan mahram).
7.
Disunnahkan membuka majelis dengan khutbatul
hajah sebagaimana lafadhnya dalam muqoddimah di awal risalah ini, dimana
Rasulullah r senantiasa membacanya setiap akan khuthbah, ceramah, baik pada
pernikahan, muhadharah (ceramah) ataupun pertemuan, dan sunnah inipun
dilanjutkan oleh sahabat-sahabat lainnya dan para as-Salaf Ash-sholeh.
8.
Disunnahkan menutup majelis dengan do’a
kafaratul majelis. Lafadhnya adalah sebagai berikut :
سبحانك
اللهم وبحمدك
أشهد ان لا
إله إلا أنت أستغفرك
وآتوب إليك
(حديث صحيح
رواه ترمذي)
Artinya : “Maha Suci
Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq
disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
(HR. Turmudzi, Shahih). Diriwayatkan pula oleh Turmudzi, ketika Nabi ditanya
tentang do’a tersebut, beliau menjawab, untuk melunturkan dosa selama di
majelis.
KESALAHAN-KESALAHAN
(BID’AH) DALAM MAJELIS.
Berikut ini adalah
merupakan kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh ahli majelis baik
secara sengaja maupun tak sengaja, bahkan sebagian kesalahan dilakukan oleh
ahli majelis dan mereka menganggapnya sebagai suatu hal yang baik, padahal
syari'at Islam tidak pernah menuntunkannya. Namun, sebelum menyebutkan
kesalahan-kesalahan tersebut, ada baiknya kita fahami dulu Qo’idah Bid’iyyah
(Kaidah-kaidah yang bisa menjadikan amal tergolong bid’ah) sebagai dasar
berpijak, agar tak menimbulkan bias dan mispersepsi.
QO’IDAH BID’IYYAH
1. Ta’rif (Definisi) Bid’ah.
Bid’ah
menurut bahasa/etimologi bermakna إختراع(ikhtira’) yaitu sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya,
misalnya perkataan orang Arab : أبدع الله الخلق (artinya: Allah telah
mengadakan makhluk dari tidak ada menjadi ada tanpa ada contoh sebelumnya, atau
disingkat Allah telah menciptakan makhluk). Atau sebagaimana pula dalam
firman Allah : بديع السموات
والأرض
(البقرة : 117) artinya : Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh
sebelumnya (Al-Baqarah : 117).
Bid’ah
menurut istilah/terminologi adalah : عبارة
عن طريقة في
الدين مخترعة
تضاهي
الشرعية يقصد
بالسلوك
عليها المبالغة
في التعبد لله
سبحانه artinya : “Cara baru
dalam agama yang dibuat menyerupai syari'at dengan maksud untuk melebihkan
dalam beribadah kepada Allah”.
Hal ini mengacu kepada sabda Nabi r yang
diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin 'Aisyah Radhiallahu ‘anha, bersabda Nabi r: من
أحدث في أمرنا
هذا ما ليس
منه فهو ردّ artinya : “Barangsiapa
yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada
perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim,
bersabda Nabi r : من
عمل عملا ليس
عليه أمرنا
فهو ردّ artinya : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada
perintahnya dariku dari perkara ini (agama) maka ia tertolak. (HR Muslim)
2. Dalil haramnya bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.
·
Dalil dari Al-Qur’an :
وأن هذا
صراطي
مستقيما
فاتبعوه ولا
تتبعوا السبل
فتفرق بكم عن
سبيله ذلكم
وصاكم به
لعلكم تتقون
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
Diriwayatkan dari Abul
Hujjaj bin Jubair Al-Makky,
menafsirkan ولا
تتبعوا السبل (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau
berkata yang dimaksud dengan السبل (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.
·
Dalil dari hadits Rasulullah r
1- عن
أم المؤمنين
عائشة رضي
الله عنها,
قال رسول الله
: من أحدث في
أمرنا هذا ما
ليس منه فهو
ردّ (متفق
عليه) و في
رواية لمسلم, ,
قال رسول الله
: من عمل عملا
ليس عليه
أمرنا فهو ردّ
(رواه
مسلم)
Dari Ummul Mu’minin 'Aisyah Radhiallahu ‘anha bersabda Rasulullah r “Barangsiapa yang
mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada
perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim,
bersabda Nabi r : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada
perintahnya dariku dari perkara ini (agama) maka ia tertolak.” (HR Muslim)
2- , قال
رسول الله : أما
بعد، فإن
أصدق الحديث
كلام الله
وخير الهدي
هدي محمد rوشر
الأمور
محدثاتها
وكلّ محدثة
بدعة ، وكل
بدعة ضلالة ،
وكل ضلالة في
النار (متفق
عليه)
Bersabda Rasulullah r : "Adapun setelah itu, sesungguhnya sebenar-benar kalam adalah Kalam
Allah I dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad r. Sedangkan seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang
mengada-ada (muhdats) dan tiap-tiap muhdats itu Bid’ah dan tiap kebid’ahan itu
neraka tempatnya." (Muttafaq ‘alaihi)
3- عن
عرباض بن
سرية, , قال
رسول الله : من
يعش منكم فسيرى
إخنلافا
كثيرا, فعليكم
بستتي و ستة
الخلفاء
الزاشدين
المهدين, تمسكوا
بها و عضوا
عليها
باالنواجذ,
وإياكم ومحدثات
الأمور فإن كل
محدثة بدعة و
كل بدعة ضلالة
(رواه مسلم)
Dari
‘Irbadh bin Sariyah, bersabda Rasulullah r : “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku
nanti, akan melihat perselisihan yang banyak, maka peganglah sunnahku dan
sunnah Khalifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk, genggamlah dengan kuat dan
gigitlah dengan gerahammu, jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada),
karena tiap muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat.” (HR Muslim)
Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa كل
بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu
sesat), yakni hal ini menunjukkan secara terang dan nyata bahwa tidak ada
bid’ah hasanah, karena Rasulullah r telah menjelaskan secara gamblang bahwa كل بدعة
ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat). Para ulama’
sepakat bahwa kata كل (Kullu) yang diikuti oleh اسم ناقرة ism naaqirah (obyek indefinitif)
bukan اسم
معرفة ‘ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa
adanya استثناءistitsna’ (pengecualian), maka ia
terkena keumuman dari kata كل (Kullu) tersebut.
Sehingga bermakna, bahwa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka
batallah pernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada
yang hasanah.
Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh
Imam Syathibi dalam I’tisham,
menyatakan secara tegas bantahan terhadap orang-orang yang menyatakan
keberadaan bid’ah hasanah, beliau rahimahullah berkata :
من
ابتدع في
الإسلام بدعة
و يراها حسنة
فقد زعم أن
النبي صلّى
الله عليه و
سلّم خان
رسالة, لأنّ
الله تعالى
يقول : اليوم
أكملت لكم
دينكم وأتممت
عليكم نعمتي
ورضيت لكم
الإسلام دينا
(المائدة : 3) فما
لم يكن يومئذ
دينا فلا يكون
اليوم دينا.
“Barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah di
dalam Islam dan menganggapnya sebagai suatu hal yang hasanah, sungguh ia telah
menuduh Rasulullah r mengkhianati risalahnya,
karena Allah I telah berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu. Maka apa-apa yang bukan bagian agama pada hari itu (ayat
ini diturunkan) maka bukanlah pula termasuk agama pada hari ini.”
3. Ibadah itu tauqifiyyah dan tak perlu tambahan lagi.
Tauqifiyyah maksudnya adalah لا يثبت و لا
يعمل إلا
بدليل من
القرآن و السنة (Tidaklah ditetapkan dan diamalkan kecuali
jika berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam
Al-Ubudiyah menjelaskan
tentang dua pondasi dasar dalam ibadah, yakni :
1.
Tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada
Allah ta'ala semata (ikhlash)
2.
Tidak boleh beribadah kecuali dengan apa-apa
yang disyariatkan-Nya dan haram beribadah dengan berbagai macam bid’ah.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in
berkata : “Bahwa asal di dalam ibadah adalah batal dan haram sampai tegak
dalil yang memerintahkannya.”
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya,
mengatakan : “Bahwa di dalam masalah ibadah hanya terbatas pada nash, tidak
bisa dipalingkan dengan berbagai macam qiyas (analog) dan ra'yu (akal fikiran).
“
Dari sini para ulama’ fiqh beristinbath (menggali hukum dan
berkonklusi) kaidah ushul fiqh yang berbunyi : الأصل
في العبادة
الممنع
والمحرم أم
الأصل في
العبادة
الإتباع yang
artinya, “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah terlarang dan haram atau
hukum asal di dalam ibadah adalah ittiba’”, sehingga datang nash, dalil
atau hujjah yang memalingkannya. Maksudnya
adalah terlarang dan haram beribadah hingga telah terang dan jelas bagi
kita akan dalilnya dari Kitabullah atau hadits Rasulullah r. Sehingga dengan kaidah ini, syari'at Islam akan senantiasa murni
dan terjaga dari kontaminan-kontaminan hawa nafsu dan apa-apa yang bukan dari
Islam, akan terjaga dari penyelewengan para munharifin (kaum yang
menyimpang), dan Islam tetap menjadi agama yang terbedakan dari agama lainnya
yang dengan segala kesempurnaannya tak membutuhkan penambahan dan pengurangan.
Karena jika kita menambahkan sesuatu dalam agama ini padahal agama ini telah
sempurna, ataupun menguranginya, berarti pada hakikatnya kita menganggap
sesuatu itu kurang, sehingga perlu kita tambahkan dan kita kurangi.
4. Pembagian Ibadah dan dhowabithnya
Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
adalah : إسم جامع
لكل ما يحبه
الله ويرضه من
الأقوال والأفعال
ظاهزا وباطنا artinya : “Suatu nama yang mencakup
apa-apa yang dicintai Allah I dan diridhai-Nya dari ucapan dan perbuatan, baik yang dhohir
maupun bathin”.
Syaikh 'Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’
fi kamal Asy-Syar'i menjelaskan syarat yang harus dipenuhi dalam ibadah,
bahwa sebagaimana ketika Fudhail bin Iyadh menerangkan ayat الَّذِي
خَلَقَ
الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ
لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ
أَحْسَنُ
عَمَلًا “Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya”.
Beliau menerangkan bahwa أَحْسَنُ
عَمَلًا (yang lebih baik amalnya) adalah أخلصه
وأصوابه “yang paling ikhlash dan paling benar
(ittiba’ Rasul)”. Jadi syarat mutlak dalam ibadah adalah :
1.
Ikhlash lillahi I dan menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar
maupun syirik akbar.
2.
Mutaba’ah li
Rasulillah dan menjauhkan diri dari bid’ah dan muhdats.
Syaikh 'Utsaimin melanjutkan, “Perlu diketahui bahwa mutaba’ah
tidak akan dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan
syari'at dalam enam perkara:
1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada
Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah
dan mardud (tertolak). Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan
bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah r, adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan
sebab yang tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu
sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i,
sholatnya menjadi bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at
dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang menyembelih
kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi syari'at dalam ketentuan
jenis hewan kurban, yang disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus
sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah.
Contoh : seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat
tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.
4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang
berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak
sah wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.
5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih
binatang kurban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena
waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.
6. Tempat, seandainya seseorang
beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah
disyari'atkan di masjid, tidak pada selainnya.
Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, dalam Risalah
Bid’ahnya menukil pembagian ibadah menjadi dua macam, yakni :
1. Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang
tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu,
tempat maupun sifatnya secara khusus dan terperinci. Biasanya ibadah mutlak
berbentuk suatu perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas)
jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya. Contohnya adalah, mengucapkan salam,
Rasulullah r bersabda, افشوا
السلام بينكم “Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini adalah
umum, tidak diterangkan beliau r akan
batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.
2. Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang
terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat maupun sifatnya, yang
diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah r. Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang
menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.
5. Ta’rif Sunnah dan sunnah adalah lawan bid’ah.
Sunnah menurut bahasa adalah طريق (jalan/cara), سبيل (jalan), dan منهج(manhaj/metode). Adapun menurut istilah adalah
ما
أضيف إلى
النبي صلى
الله عليه و
سلم من فعل أو
قول أو تقرير
أو صفة خلقية
و خلوقية “Apa-apa
yang disandarkan kepada Nabi r dari perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat
akhlak dan penampilan beliau r”. Sunnah ditinjau dari pemahamannya ada dua, yakni :
1.
Sunnah menurut fuqoha’ (ahli fiqh), adalah bermakna mandub/hukum. Maksudnya adalah jika
diamalkan mendapatkan pahala namun jika ditinggalkan tidaklah mengapa dan tidak
disiksa.
2.
Sunnah menurut muhadditsin (ahli
hadits), adalah bermakna hadits, sebagaimana definisi
sunnah menurut istilah di atas, sehingga ada sunnah yang berhukum wajib dan ada
yang sunnah.
Adapun
ditinjau dari pelaksanaannya, sunnah dibagi menjadi dua, yaitu :
1.
Sunnah Fi’liyah, yakni Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi r dari perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat
akhlak dan penampilan beliau r. Hukumnya
ada yang wajib dan ada yang sunnah, melaksanakannya adalah suatu kewajiban.
2.
Sunnah Tarkiyah, yakni apa-apa yang disangka sebagai suatu sunnah dan dinisbatkan
kepada Rasulullah r, padahal beliau tidak pernah menuntunkannya, meninggalkannya
adalah wajib dan melaksanakannya adalah bid’ah.
Jadi jelas
bahwa meninggalkan sunnah adalah suatu bid’ah dan meninggalkan bid’ah adalah
sunnah, kedua-duanya tak dapat dipersatukan untuk selama-lamanya, sebab ia
bagaikan air dan minyak, ia bagaikan langit dan bumi. Sebagaimana dalam kalimat
tauhid لا إله
إلا الله terkandung nafyu (penafian/peniadaan) dan itsbat (penetapan),
yakni nafyu terhadap segala bentuk kesyirikan dan itsbat terhadap
tauhid ibadah lillah. Demikian pula bid’ah dan sunnah, mengetahui bid’ah adalah
suatu keniscayaan agar terhindar darinya dan lebih memahamkan akan hakikat sunnah itu sendiri,
sebagaimana ucapan seorang penyair :
عرفت الشرّ
لا للشرّ ولكن
لتوقيه و
من لم يعرف
الخير من
الشرّ يقع فيه
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk
mengamalkan keburukan, tetapi untuk menghindarinya
dan barang siapa yang tidak mengetahui antara kebaikan dan
keburukan, niscaya ia terjerumus ke dalamnya”
Bahkan
mengetahui sesuatu dengan cara mengetahui kebalikannya adalah selaras dengan
firman Allah :
فَمَنْ
يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ
وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ
فَقَدِ
اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى
لَا
انْفِصَامَ
لَهَا وَاللَّهُ
سَمِيعٌ
عَلِيمٌ(256)
“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”.
Sebagaimana tauhid tidaklah diketahui kecuali dengan menjauhi lawannya, yakni
syirik, dan iman takkan terealisasi kecuali dengan menjauhi lawannya, yaitu
kufur. Demikian pula, sunnah takkan jelas dan tanda-tandanya takkan terang,
kecuali dengan mengenal lawannya, yaitu bid’ah.
Sungguh
indah perkataan Ibnu Qutaibah :
و لن
تكمل الحكمة
والقدرة إلا
بخلق الشيء
وضده, ليعرف
كل منهما
بصاحبه,
فالنور يعرف
بالظلم,
والعلم يعرف
بالجهل,
والخير يعرف
بالشّرّ, والنفع
يعرف بالضرّ,
والحلو يعرف
بالمرّ.
“Hikmah dan qudrah takkan sempurna
melainkan dengan menciptakan lawannya agar masing-masing diketahui dari
pasangannya. Cahaya diketahui dengan adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan
adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan
diketahui dengan adnaya kemudharatan, dan rasa manis diketahui dengan adanya
rasa pahit.”
6. Pembagian Bid’ah dan bahaya serta kerusakannya terhadap ummat.
Telah dijelaskan bahwa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah
tidak benar menganggap bid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang
telah disebutkan. Para ulama’ membagi bid’ah menjadi dua,
yakni :
1.
Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil
syar'i dari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil
(terperinci). Contoh : Peringatan Maulid Nabi,
Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahlilan,
Demonstrasi, dan
lain-lain.
2.
Bid’ah Idhafiyah : Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia memiliki
dalil/hujjah, namun jika ditinjau dari sisi lain, tak ada tuntunan syariatnya
dari Rasulullah r. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun
sebaliknya, memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya
dari Rasulullah. Contoh : Dzikir jama’i,
membasuh kaki hingga lutut ketika berwudhu’, membaca yasin tiap malam jum’at,
dan lain-lain.
Termasuk
dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalah menafikan
hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan mentahdzirnya
(memperingatkan ummat dari bahayanya). Sebab praktek bid’ah akan menimbulkan
beberapa kerusakan sebagai berikut:
1.
Orang-orang awam akan menganggap dan
meyakininya sebagai suatu yang benar atau baik.
2.
Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong
mereka untuk mengerjakan yang salah.
3.
Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang
alim, dapat menimbulkan khayalak mendustakan Rasulullah r. Karena mereka menganggap ini sunnah dari Rasulullah r padahal beliau r tak pernah menuntunkannya.
4.
Sunnah menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya
seluruh sendi agama menjadi samar pula, sehingga kesyirikan, khurofat dan
takahayul menjadi samar.
5.
Padamnya cahaya agama Allah, karena kebid’ahan
merupakan sumber perpecahan dan penghalang turunnya pertolongan Allah,
akibatnya ummat Islam selalu terlingkupi kehinaan dan kekalahan.
7. Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah
Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Ahkamul Jana-iz wa bid’uha
menjelaskan delapan perkara yang dapat
dikategorikan sebagai bid’ah :
1.
Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik
ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasil ijtihad.
2.
Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk
bertaqarrub kepada Allah, namun Rasulullah r melarangnya atau tidak menuntunkannya.
3.
Setiap perkara yang tidak mungkin di
syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka
ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.
4.
Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari
adat-adat dan tradisi orang kafir.
5.
Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer
sebagai amalan mustahab tanpa ada dalil yang mendukungnya.
6.
Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan
melalui hadits dho’if atau maudhu’
7.
Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.
8.
Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari'at,
kemudian dibatasi oleh manusia seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan
tanpa ada dalil khususnya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal yang
diada-adakan dalam permasalahan agama adalah tercela dan jelek sekali. Karena
sebagaimana perkataan Imam Fudhail bin Iyadh, bahwa إن
البدعة أحب
إلى ألشيطان
من للمعصية “Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai
syaithan ketimbang maksiat”, dikarenakan, pelaku maksiat diharapkan sadar
akan kesalahannya, karena ia mengetahui bahwa maksiat itu adalah keharaman yang
nyata, sedangkan pelaku bid’ah yang mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya
sebagai suatu sunnah.
Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata : كل بدعة
ضلالة وإن
رآها الناس
حسنة “Setiap
bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik”.
Maka janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia
menganggapnya sebagai kebajikan, karena sesungguhnya Ibnu Mas’ud Radhiallahu
‘anhu berkata : اتبعوا
ولا تبتدعوا
فقد كفيتكم “Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena
kau telah dicukupi.”
KESALAHAN (BID’AH) DALAM MAJELIS
Menginjak
kesalahan-kesalahan (bid'ah-bid'ah) dalam majelis, di antaranya :
1.
Ra'isul majelis mengajak jama’ah (ahli
majelis) membaca atau mengucapkan basmalah secara bersama-sama, dengan suara
yang jahr (keras) dalam rangka membuka majelis.
Termasuk pula membaca Al-Fatihah pada permulaan majelis sebagai pembuka.
2.
Membuka majelis dengan senantiasa melazimkan
tilawah Al-Qur’an, yakni dengan cara menyuruh seseorang membaca ayat dari
Al-Qur’an. Mengenai
hal ini, dalam kitab Al-Bida’,
Syaikh Muhammad bin Shalih 'Utsaimin rahimahullah, ditanya sebagai berikut :
Pertanyaan : Pembukaan muhadharah
(ceramah) dan nadwah (pertemuan) dengan membaca sesuatu dari Al-Qur’an,
apakah termasuk perkara yang disyari'atkan?
Jawab : Saya tak mengetahui
sunnah yang demikian dari Rasulullah r, padahal
Nabi ‘alaihi sholatu wa salam pernah mengumpulkan para sahabatnya ketika
hendak perang atau ketika hendak membahas perkara penting kaum muslimin,
tidaklah aku ketahui, bahwa Nabi membuka pertemuan tersebut dengan sesuatu dari
Al-Qur’an. Akan tetapi jika pertemuan atau muhadharah tersebut mengambil
suatu tema/bahasan tertentu dan ada seseorang yang ingin membaca sesuatu dari Al-Qur’an yang ada hubungannya
dari bahasan tema tersebut untuk dijadikannya sebagai pembuka, maka tidaklah
mengapa. Dan adapun menjadikan pembukaan suatu pertemuan atau muhadharah
dengan ayat Al-Qur’an secara terus menerus seolah-olah sunnah yang dituntunkan,
maka yang demikian ini adalah tidak layak diamalkan.
3.
Selalu mengucapkan atau memulai dengan salam
setiap hendak berbicara dalam majelis, baik saat akan memberikan usulan di
tengah-tengah majelis ataupun setiap dimintai pendapat. Yang termasuk sunnah
adalah mengucapkan salam setiap akan masuk atau meninggalkan majelis.
4.
Mengakhiri majelis dengan mengajak jama’ah
(ahli majelis) untuk membaca sholawat, hamdalah, istighfar dan kafaratul
majelis secara bersama-sama, dengan suara yang jahr dan secara terus menerus.
5.
Mengakhiri majelis dengan selalu berdo’a, di
mana ahli majelis mengamini bacaan do’a ra'isul majelis. Lebih parah lagi jika
ra'isul majelis menyebut “Al-Fatihah!!!” pada akhir do’a dengan keras, dan
jama’ah membacanya secara bersama-sama, kemudian mengusap wajah dengan telapak
tangan.
6.
dan kesalahan-kesalahan lainnya yang
menyelisihi kaidah amaliyyah sehingga termasuk ibadah, dan kesalahan-kesalahan
lainnya yang bersifat adab, sebagaimana dalam penjelasan di depan.
Demikianlah risalah ini kami susun, semoga dapat mengambil manfaat
orang-orang yang memang bermaksud beristifadah (memetik manfaat) dengan
risalah ini. Kesalahan dan kekurangan dari risalah ini berasal dari kelemahan
kami dan syaithan yang senantiasa menghembuskan was-was dan kesamar-samaran.
Adapun yang haq maka datangnya mutlak dari Allah, الحقّ
من ربنك فلا
تكوننّ من
الممترين !!! jika ada di antara ikhwah yang tidak puas dengan materi risalah
ini, maka kami siap untuk berdiskusi dalam rangka تواصو
بالحقّ
وتواصوا
باالصبر, bukan untuk jidal/debat buta.
Sesungguhnya yang kita ikuti dalah hujjah dan dalil, bukanlah individu, sebagai
pengejawantahan firman Allah : فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ
إِلَى
اللَّهِ
وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَلِكَ
خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا artinya : “Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in menjelaskan bahwa, فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ (Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu), jika seorang muslim berselisih
pendapat dalam suatu hal, di sini شَيْء dalam bentuk naaqirah (indefinitif), yang menunjukkan bahwa
permasalahan yang diperselisihkan bukan terbatas masalah agama saja, namun
masalah umum seluruhnya, فَرُدُّوهُ
إِلَى
اللَّهِ
وَالرَّسُولِ maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), dalam bentuk Amr (perintah). Dalam
kaidah ushul dikatakan الأصل
في الامر
الواجب (Hukum asal dari perintah adalah wajib),
maka merupakan kewajiban mengembalikan segala perselisihan kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Jadi, jika hujjah pada risalah ini lebih kuat maka merupakan
kewajiban atas siapa saja untuk menerimanya, namun jika hujjah dalam risalah
ini lemah, maka tak ada alasan untuk menerimanya.
Adapun jika antum menolak tentang bahaya bid’ah dan keterangan kami
di atas, sembari mengatakan bahwa bid’ah itu adalah masalah furu’ dan khilafiyah,
di mana antum berpendapat bahwa bid’ah ada yang hasanah, berarti antum telah :
1.
Menganggap agama tidak sempurna sehingga butuh
penambahan, revisi dan metode baru dalam berislam.
2.
Menuduh Rasulullah r berkhianat tidak menyampaikan risalahnya, dan menuduh beliau
menyembunyikan sebagian risalah Islam. Padahal Islam telah sempurna ketika
Allah I mewahyukan kepada Nabi r surat
Al-Maidah ayat 3 pada saat haji wada’
3.
Menganggap diri antum lebih ‘alim dari Allah
dan Rasul-Nya. Sehingga antum menambahkan sesuatu yang tak pernah diturunkan
oleh Allah dan dituntunkan Rasul-Nya, sehingga antum menempatkan diri antum
sebagai syari’ (sang pembuat syari'at, Allah) dan bahkan menganggap
antum lebih alim dari-Nya. Sebagaimana ucapan Imam Syafi’i : من استحسن
فقد شرع “Barangsiapa yang menganggap baik perbuatan bid’ah maka sungguh
ia telah menempatkan dirinya sebagai syari’ (pembuat syari'at)”
4.
Mendustakan firman Allah I dan menuduh-Nya berdusta, karena Ia telah berfirman : اليوم
أكملت لكم
دينكم وأتممت
عليكم نعمتي ورضيت
لكم الإسلام
دينا (المائدة
: 3) “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”
(Al Maidah : 3).
5.
Mendustakan hadits Nabi r : , وإياكم
ومحدثات
الأمور فإن كل
محدثة بدعة و
كل بدعة ضلالة
(رواه مسلم ”jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada), karena tiap
muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat.” (HR Muslim) dan yang semakna
dengannya.
6.
Menuduh sahabat-sahabat Rasulullah r berdusta, karena Abu Dzar
Al-Ghifari mengatakan
: تركنا رسول
الله صلى الله
عليه و سلم وما
طائر يفلّب
جناحيه في
الهواء إلا
وهو يذكر لنا
منه علما “Rasulullah r meninggalkan kami dan tak
ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau
menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya.”
7.
Memecah belah agama ini menjadi bid'ah-bid'ah,
karena hakikat dari bid’ah adalah perpecahan dan hakikat dari sunnah adalah
persatuan.
Kami
akhiri dengan firman Allah I : وَمَنْ
يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ
مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ
لَهُ
الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا “Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.”
(Al Maidah : 115).
وصلى الله
على نبينا
محمد وعلى آله
وصحبح وسلم
Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad, kepada keluarganya dan kepada sahabat-sahabatnya.
Surabaya, 29 Agustus 2003
Akhukum fillah Ibnu Burhan At-Tirnatiy
[email protected]
مراجع :
- منهاج
المسلم كتاب
عقائد وآدب
وأخلاق وعبادات
ومعاملات, أبو
بكر الجزائري,
طبعة جديدة
مسكولة, مكتبة
العلوم
والحكم,
المدينة
المنورة.
-
علم أصول
البدع دراسة
تكملية مهمة
في علم أصول
الفقه, علي
بن حسن بن علي
بن عبد الحميد
الحلبي الاثري,
الطبعة
الثانية, دار
الراية,
الرياض, 1321 هـ
-
الوجيز في
فقه السنة
والكتاب
العزيز, عبد
العظيم بن
بدوي, الطبعة
الأولى, دار
ابن رجب,
فارسكور,
دمياطت, 1412 هـ
-
أحكام
تاجنائز و
بدعها, محمد
ناصرالدين
الألباني,
الطبعة
الرابعة,
المكتبة
الاسلامي,
بيروت, 1406 هـ
-
البدع
والمحدثات
وما لا أصل له,
حمّود بن عبدالله
المطر,
الطبعة
الثانية, دار
ابن خزيمة,
الرياض, 1419 هـ
] لَقَدْ
أَرْسَلْنَا
رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ
وَأَنْزَلْنَا
مَعَهُمُ
الْكِتَابَ
وَالْمِيزَانَ
لِيَقُومَ النَّاسُ
بِالْقِسْطِ
وَأَنْزَلْنَا
الْحَدِيدَ
فِيهِ بَأْسٌ
شَدِيدٌ
وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَلِيَعْلَمَ
اللَّهُ مَنْ
يَنْصُرُهُ
وَرُسُلَهُ
بِالْغَيْبِ
إِنَّ اللَّهَ
قَوِيٌّ
عَزِيزٌ [
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)
Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al Hadid : 25)