ANDAI KU TAHU

Karya Rifa Fauziyah

Rumah yang begitu megah, halaman yang luas, hanya dihuni dua orang? Terasa begitu sepi. Ya, sepi. Keadaan seperti ini yang membuat Alyn begitu membenci rumah ini. Ia merasa lebih baik hidup di rumah yang sederhana dengan sejuta cinta yang mengelilinginya, bukan malah sebaliknya. Alyn hanya ditemani oleh kakaknya, Tamara, yang sibuk dengan modeling-nya. Meski Alyn ditemani kakaknya, namun ironisnya itu hanya ketika Tamara sedang tidak ada job saja.

"Kak, nanti Kakak tidur di rumah, kan?" rengek Alyn sambil membantu Tamara mengepak bajunya.

"Sorry ya Alyn, Kakak lagi sibuk. Minggu depan Kakak harus dikarantina selama satu minggu. Jadi, Kakak ga' bisa berada di rumah. Jaga rumah baik-baik ya! Ya dah, Kakak pergi dulu." Tamara terlihat buru-buru, dan bergegas mengendarai mobilnya.

Alyn kecewa. "Huh…sepi lagi. Manis, kenapa sih…Kak Tamara selalu begitu, ga' pernah peduliin aku. Aku kan butuh temen." Alyn mengelus-elus kucing kesayangannnya. "Meauuw…"

Di tengah kesepiannya, telepon bordering nyaring. "Hello, Alyn…!" teriak anak-anak satu geng-nya Alyn di telepon.

"Yuk, kita clubbing yuk, Lyn…!" ajak Adel.

"Clubbing? Males ah, Adel…" Alyn paling tidak suka dengan dunia malam.

"Ayolah, Alyn, banyak cowok cakep disini, rugi kalo kamu ga' ikut," promosi Lidya.

"Di rumah ga' ada siapa-siapa, aku disuruh jaga rumah kakakku."

"Alyn, Alyn… rumah kamu ga' akan kemana-mana deh, kamu tinggalin. Kalo toh kecolongan, Kakak kamu juga bisa beli lagi. Ayo, Lyn…, jangan kamu sia-siain masa mudamu dengan menunggu benda mati yang ga' bisa buat kamu happy! Kalo disini, kan kita bisa happy-happy. Dengerin nih lagunya! Asyik, kan Lyn?" jelas Cecil yang sudah sangat mabuk. Terdengar hingar bingar suara musik diskotik memekakkan telinga.

"Makasih Cil, tapi aku di rumah aja," tolak Alyn halus.

"Ah…payah kamu Lyn, kamu ga' gaul. Kamu ga' seperti kakak kamu yang selalu dugem disini. Ya dah, selamat merasakan kesepian… Hahaha…," sindir Adel cs sambil menutup ponselnya. "Ayo temen-temen, kita have fun…!"

Sebenarnya nasib Alyn dan mereka sama, sama-sama dari keluarga broken home. Namun cara hidup mereka tidak sama dengan Alyn. Alyn masih tegar menghadapi semua ini sendirian. Sedangkan mereka lari dari masalah dengan hidup hura-hura, mabuk-mabukan.

Alyn sendiri lagi. Ia lebih memanfaatkan waktunya dengan hal-hal yang positif, seperti membuka usaha catering yang sangat ia sukai. Dan lumayan dengan usahanya, Alyn bisa membiayai sekolahnya sendiri tanpa menyulitkan kakaknya. Meski Alyn orang kaya dan kakaknya seorang publik figur, tapi Alyn tidak mau manja. Ia ingin mandiri, tidak bergantung pada orang lain.

Besoknya, Alyn pergi ke sekolah naik angkot. Padahal sudah berulang kali Alyn dimarahi Tamara hanya karena Alyn selalu berangkat maupun pulang sekolah naik angkot. Tapi Alyn memang bandel, tetap saja ia naik angkot meski dengan sembunyi-sembunyi.

"Alyn, kok naik angkot, mana mobil BMW kamu yang oke punya itu?" tanya Adel.

"Ga' kubawa. Males ngendarain," jawab Alyn asal.

"Mending kamu kasih ke kita aja," usul Lidya dan diamini teman-temannya.

Alyn hanya tersenyum, lalu melihat Cecil. "Cil, kamu kok diem aja dari tadi? Biasanya kamu yang suka nyerocos," tegur Alyn.

"Iya nih, si Cecil kayak gini terus dari tadi. Eh Cil, kamu tadi malem abis berapa botol sampe' sekarang kok masih teler?" tanya Lidya menimpali.

"Tau tuh, aku lupa udah berapa yang aku minum. Entah dua atau tiga botol ya…?" Cecil menghitung-hitung dengan jarinya.

"Apa? Gila kamu! Kamu itu minum, apa kehausan karna abis puasa satu tahun…?" ejek Adel. Mereka tergelak sesaat kemudian berhenti ketika bel masuk berbunyi.

"Udah ah, ngejekinnya. Bel tuh. Ayo masuk!" sergah Cecil sambil berjalan menuju kelas. Alyn hanya bisa geleng-geleng kepala.

Selama pelajaran, Cecil tidur terus, membuat Pak Bonar merasa tidak diperhatikan. Lalu menunjuk sebuah bangku ketiga dari depan, barisan tengah. "Itu, itu…siapa itu yang tidur? Baru jam segini, masa' udah ngantuk?" marah Pak Bonar, guru Matematika.

Alyn cs celingukan mencari siapa yang tidur. Ternyata ia adalah Cecil. Spontan, mereka secara hampir bersamaan memukul kening masing-masing. "Ya ampun, Cecil…"

"Cil, Cecil bangun…!" panggil Alyn yang berada di depan Cecil, mencoba membangunkannya namun belum ada respon. "Cil…," Alyn kembali membangunkannya, kali ini dengan ditepuk-tepuk pipi Cecil.

"Aaah… ganggu orang tidur aja," igau Cecil dan kembali tidur. Alyn pasrah.

"Oh…., yang tidur Cecil." Pak Bonar sudah tahu siapa yang tidur. "Cecil…. Bangun!" bentak Pak Bonar.

Cecil langsung bangun gelagapan. "Iy, iya, Pak…hadir…," sahut Cecil dengan berdiri mengacungkan tangan.

"Emangnya siapa yang mau ngabsen? Kembali duduk!" perintah Pak Bonar. Semua murid tertawa dan kembali terdiam ketika melihat tatapan Pak Bonar, yang lumayan bisa membuat bulu kuduk mereka berdiri. "Cecil, kenapa kamu jam segini udah tidur?" tanya Pak Bonar dengan suara garang.

"Biasa, Pak… anak muda, dugem," jawab Cecil malas. Cecil mencoba melebarkan matanya yang masih sipit menahan kantuk.

"Apa, dugem? Sampai jam berapa kamu dugem?" interogasi Pak Bonar terheran-heran mengetahui kebiasaan buruk muridnya itu.

"Jam 12 malem, Pak, jadinya ya ngantuk. Kenapa, Bapak mau ikut?" santai Cecil menawari Pak Bonar untuk gabung. Pak Bonar mengernyitkan dahi, merasa anak ini sudah kelewat kurang ajar.

"Aduh…, Cecil ngomong apaan sih, Del? Ngomongnya kok semakin ngelantur," tanya Alyn pada Adel sebelahnya. Adel hanya mengangkat bahu.

"Sudah, sudah! Kamu sudah semakin ngawur. Keluar kamu! Cuci muka dan jangan ikut pelajaran saya!" Pak Bonar semakin tidak bisa mengendalikan emosi. Mata Pak Bonar seakan ingin keluar dari tempat bernaungnya.

"Makasih, Pak. Dengan senang hati." Cecil berjalan malas dan siap-siap untuk keluar. Belum sampai keluar dari pintu kelas, Pak Bonar menghentikan langkah Cecil sejenak.

"Tadi barusan kamu ngomong apa?" marahnya.

"Ga' kok, Pak. Maksud saya, iya Pak, saya laksanakan perintah Bapak," jawab Cecil dan langsung berlari keluar kelas menuju toilet, takut Pak Bonar menelannya mentah-mentah saking kesalnya dengan kelakuan Cecil barusan.

Pelajaran dimulai kembali, hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Alyn cs menunggu Cecil, tetapi tak kunjung kembali. Mereka pun menyusul ke kamar mandi. Mereka kaget menemukan Cecil tergeletak di lantai dengan mulut berbusa dan kejang-kejang.

"Ya Allah, Cecil, kamu kenapa? Adel, Lidya, gimana ini?" Mereka semua tampak bingung dan panik.

"Tolong-tolong….!" teriak mereka meminta pertolongan kepada setiap orang yang masih terlihat disana.

Anak-anak yang masih berada di sekolah ikut membantu membawa Cecil ke rumah sakit. Namun setibanya disana, Cecil menghembuskan nafasnya yang terakhir.

"Cecil…," jerit mereka bersamaan. "Cecil, bangun Cil…kita main bareng kayak dulu lagi. Cil…." Alyn menangis dengan menggoyang-goyangkan tubuh Cecil.

"Cil, kenapa kamu ninggalin aku? Nanti siapa yang ngasih contekan ke aku?" sahut Lidya, masih saja sempat memikirkan nasibnya karena kepergian Cecil. Namun tubuh itu hanya bisa terpaku melihat ketiga temannya menangis.

Besoknya sekolah menjadi heboh gara-gara kematian Cecil yang mati karena mengonsumsi obat-obatan terlarang. Banyak wartawan yang datang ke sekolah untuk mewawancarai pihak sekolah, terutama Alyn cs.

"Maaf, Mbak. Bisa tanya tentang kematian Cecil? Bagaimana ceritanya, kok bisa sampai OD? Dimana yang saya dengar, meninggalnya di dalam sekolah ya? Sebagai temannya, apakah Anda tidak berusaha mencegahnya?" Wartawan berpostur tinggi untuk ukuran cewek itu, memberondong pertanyaan tanpa ampun.

"Maaf ya Mbak, kami masih sedih dengan kepergian Cecil. Jadi tolong mengerti kami, permisi!" terang Adel mewakili teman-temannya. Alyn cs berusaha pergi untuk menghindari kejaran pers. Namun tampaknya, para wartawan tidak mau tahu kesusahan yang dialami Alyn dan kawan-kawan.

"Hhmm… sebentar Mbak, bukannya Anda adik dari Tamara Steva Maharani, yang kabarnya dia juga pecandu narkoba?" tanya wartawan itu kembali dengan menyodorkan tape recorder ke arah Alyn.

Mendengar hal itu, Alyn membelalakkan matanya, terkejut. "Mbak, jangan sembarangan ngomong ya! Kakak saya orang baik-baik. Ia tidak mungkin seorang pecandu," marah Alyn yang tidak terima kakaknya dituduh seperti itu oleh seorang wartawan. Alyn dan temannya berpaling dari tempat itu, pulang ke rumah Alyn.

Seharian ini, sekolah tidak ada Kegiatan Belajar Mengajar, karena kasus yang menimpa Cecil. Nama sekolah mereka pun tercoreng. Bahkan ketiga teman Cecil ikut dicurigai oleh pihak sekolah bahwa mereka juga pecandu narkoba. Namun hasilnya mereka dinyatakan negatif. Akhirnya semua warga sekolah dikenakan tes urine untuk mewaspadai dan mencegah korban jatuh lagi karena narkoba.

"Lyn, hari ini melelahkan sekali. Biasanya, aku capek lo diajar ma Pak Bonar karena ga' paham-paham. Tapi sekarang lebih capek lagi," keluh Lidya kepada Alyn yang sedang duduk di sofa. Namun Alyn diam saja tidak menanggapi. "Lyn, kamu dengerin aku ga' sih?"

"Iya, ya, ada apa?" gugup Alyn. Lalu menoleh ke arah Lidya.

"Uuuh… Alyn nyebelin deh, ga' dengerin aku." Lidya bersungut-sungut kesal.

"Bukan gitu, Lidya. Mungkin Alyn masih sedih dengan kepergian Cecil. Cecil kan, yang paling ceria diantara kita." Adel mencoba menjelaskan tentang diamnya Alyn. Alyn malah pergi meninggalkan mereka di ruang tamu dan pergi ke kamarnya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Alyn membuka album foto-foto kenangan bersama Cecil, serambi manerawang, mengingat pertemuannya dengan Cecil. Cecil dilahirkan dari seorang artis. Namun sayang, artis itu lebih mementingkan karirnya daripada anaknya. Karena syarat untuk menjadi artis ketika itu adalah harus belum menikah dan tentunya belum mempunyai anak. Sang artis lebih rela kehilangan anaknya daripada harus kehilangan pekerjaannya. Juga atas iming-iming uang miliaran rupiah, ibu Cecil meninggalkan Cecil sendirian di rumah yang lumayan besar itu. Sedangkan ayahnya, Cecil sendiri tidak tahu siapa ayahnya. Ia hanya tahu bahwa ia dilahirkan tanpa seorang ayah. Itu yang membuatnya, menjadi salah pergaulan. Namun sejak mengenal Alyn, ia sedikit berubah menjadi lebih baik. Hanya saja, itu tidak berlangsung lama. Karena gunjingan tetangganya, Cecil menjadi tidak betah di rumah dan kembali dengan barang-barang haram itu. Dan sekarang, ia harus mati dalam keadaan tragis.

Ingat Cecil, Alyn teringat kakaknya yang dituduh sebagai pecandu narkoba, tanpa pikir panjang, ia menelepon Tamara. "Halo, Kak, gimana lomba modeling-nya? Kakak betah ga' dikarantina?" basa-basi Alyn memulai pembicaraan.

"Ya… sampai saat ini masih lancar-lancar aja, sekarang lagi antri untuk sesi pemotretan majalah. Betah ga' betah, ya harus dijalanin. Ini kan memang keputusan Kakak sendiri. Jadi harus selalu enjoy. Kamu disana gimana? Baik-baik, kan?" Tamara terdengar baik-baik saja, tak terlihat ada yang aneh dari bicaranya.

"Kak, Alyn boleh nanya ga'?" Alyn bertanya dengan ragu-ragu.

"Nanya apa? Kok kayaknya serius amat. Ada apa adikku?" balas Tamara dengan rasa penuh kasih sayang.

"Tapi janji, jangan marah ya!" Alyn berhenti sejenak, menghela nafas berat. "Kakak pake obat-obatan terlarang?" tanya Alyn hati-hati, takut kakaknya tersinggung.

Ditanya seperti itu, Tamara tertawa. "Alyn, Alyn… kamu kata siapa kalo Kakak pake'? Tenang aja, Kakak ga' sebejat yang kamu kira. Pasti denger dari acara gosip ya? Udah… jangan kamu tanggepin gosip yang ga' bener itu. Kamu kan tahu, kalo Kakak lagi naik-naiknya di dunia entertainment, makanya mereka fitnah Kakak biar karir Kakak jatuh. Jangan kamu pikirin ya!"

Alyn tampak berpikir dan kurang percaya dengan ucapan Tamara. "E… Alyn, dah dulu, ya, kakak dipanggil nih!" Tamara mengalihkan perhatian.

"Ati-ati ya, kak!" pesan Alyn cemas.

"Kamu yang harus hati-hati." Pembicaraan mereka terputus.

Suasana sekolah tidak seperti dulu lagi. Apalagi di kelas Alyn. Karena tidak ada Cecil yang selalu mewarnai hidup seisi kelas ini. Karena tingkahnya pula, banyak yang menjadi jengkel, senang, dan bahkan marah besar kepadanya. Alyn rindu akan kenangan masa lalu yang indah itu. Alyn menyusuri sekolah itu dengan melamun, hingga akhirnya… BRUK…

"Aduh, sapa sih, sakit tau!" kesal Alyn dengan mengelus-elus kepalanya yang tertubruk oleh seseorang.

"Alyn…!" panggil cowok yang tertabrak Alyn.

"Dendra… aku kangen…" Alyn kaget senang dan mereka berpelukan

Setelah melepaskan rindu mereka, mereka duduk di taman sekolah yang sudah mulai sepi, tidak ada lagi terdengar canda tawa anak-anak yang biasa duduk-duduk disana. "Hei, kapan kamu balik dari Australia? Kok ga' bilang ke aku sih?" Alyn sedikit terlupakan kesedihannya karena senang melihat kedatangan pujaan hatinya..

"Sorry, Lyn, aku pengen kasih kejutan ke kamu dengan datang ke sekolahmu, dan jemput kamu pulang," urai Dendra yang melihat Alyn dengan tatapan tajam dan senyuman yang menawan.

"Dendra, apaan sih? ngelihatinnya kok sampek segitunya. Emang ada yang aneh denganku?" tanya Alyn bingung. Alyn melihat cermin, memperhatikan sekujur tubuhnya dari atas sampai bawah, mungkin ada sesuatu yang terlihat aneh di mata Dendra.

Dendra tergelak melihat tingkah Alyn. "Kamu merasa aneh? Ga', sekarang kamu tambah cantik. Dulu sebelum aku tinggal kuliah ke Australia, kamu masih yang ga' suka dandan. Sekarang, benar-benar exciting, very beautiful! Pasti banyak yang naksir sama kamu. Wah….. sainganku semakin banyak nih.....!" goda Dendra menyenggol siku Alyn.

"Ah... Kamu bisa aja..." malu Alyn, mukanya memerah, tersungging senyum indah dari bibirnya. "Udah ah, Ayo pulang!" ajak Alyn menarik tangan Dendra menuju mobil yang diparkir di depan sekolah.

Selama perjalanan mereka bercerita banyak. "Disana kamu pasti dah dapet pengganti aku, kan, di Ausi banyak bule-bule cakep." Kali ini Alyn cemburu, takut kehilangan Dendra yang memang masalah tampang, Dendra tidak kalah dengan bintang- bintang luar negeri. Yang pasti, banyak cewek yang mau menempel Dendra terus.

"Alyn…, aku tetep cowok kamu yang akan setia sampai maut memisahkan kita." Dendra menggenggam tangan Alyn hangat, sembari tangan satunya masih

"Huu... gombal." Alyn tersanjung.

Alyn menutupi malunya dengan mendorong pelan tubuh Dendra menjadikan sedikit goyah pegangan setirnya. "Eh, Alyn, aku lagi megang setir..."

"Oke, oke.... Oh ya, kamu di sana kuliahnya gimana?"

"Ya... semuanya dah clear, kemarin aku baru aja di wisuda, sorry, ga' kasih tahu kamu takut ganggu sekolah kamu. Makanya sekarang aku langsung balik ke Indonesia, aku cepet-cepet balik karena aku dah kangen ma cewekku yang cantik ini," jelas Dendra tidak lupa memencet hidung Alyn.

"Aduh... Dendra, kamu jangan gombal terus! Kalau kamu nyanjung aku terus, lama-lama aku lupa daratan, jadi kecebur di laut dech...!" canda Alyn yang membuat Dendra tertawa.

"Alyn..., Alyn, kamu masih seperti yang dulu, suka bercanda. Tapi, Lyn, aku lihat kamu lebih kurusan, kamu ada masalah?" selidik Dendra. Alyn terdiam dan kembali sedih.

Tanpa menjawab pertanyaan Dendra, Alyn memeluk Dendra dan menangis di sampingnya. "Alyn, kok nangis? Ada apa?"

Di saat seperti ini, hanya Dendra yang bisa memberikannya sedikit kekuatan, yang hampir saja kemarin ia sudah tidak punya lagi.

"Cecil…, Dra. Cecil...," ucap Alyn terbata-bata.

"Iya, ada apa dengan Cecil? Cecil temen geng kamu itu, kan?" Alyn mengangguk kecil.

Dendra menghentikan mobil sejenak di pinggir jalan, mulailah Alyn bercerita.

"Cecil meninggal dua hari yang lalu, karena narkoba. Aku sedih banget, kenapa ia harus mati dengan sia-sia. Padahal masa depannya masih panjang," isak Alyn.

"Yang sabar, ya, Lyn. Kita sekarang hanya bisa do'ain Cecil di atas sana." Dendra membelai sayang rambut Alyn. "Gimana kalau sekarang kita ke makamnya?" tawar Dendra dan Alyn hanya mengangguk.

Mereka meluncur ke tempat peristirahatan Cecil yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumah Alyn. Alyn menaburkan bunga di atas makam Cecil. Alyn dan Dendra duduk di samping pusara. "Cecil, ini aku Alyn dan Dendra datang. Dendra yang aku ceritain ke kamu kalo cowokku ini lebih ganteng dari idola kamu si Hyun Bin. Tapi waktu itu kamu ga' percaya ma aku. Aku belum sempet buktiin, kamu udah ga' ada."

Alyn kembali sedih, Dendra lalu menghiburnya. "Sudah ya, Lyn, setelah berdoa, kita pulang. Semoga ia berada di sisinya dan diampuni segala dosanya." Amin.

"Ya…. Inilah perhelatan besar yang kita nanti – nantikan! Festival Model Nasional… Merebutkan hadiah utama uang tunai 1 Milyar, yang nantinya sang juara akan dikirim ke ajang Festival Model Internasional. Dan sambutlah, para Finalis kita!" MC membuka acara, aplaus mengiringi setiap finalis yang silih berganti melintasi catwalk. Alyn cs dan Dendra menghadiri acara tersebut.

"Lyn, mana Kakak kamu sih, kok ga' keluar-keluar?" Mereka semua tidak sabar. Kisruh.

"Sabar dikit kenapa sih? Nanti juga keluar." Alyn sedikit sewot. Mereka celingukan mencari kakak Alyn. Satu persatu finalis, mereka amati dengan seksama. "Nah, itu dia!" seru Alyn menunjukkan kakaknya pada teman – temannya.

Di saat Tamara melintas tepat di dekat Alyn cs, Alyn memanggilnya dengan melambaikan tangannya. Tamara membalas dengan senyuman yang indah sekali, tidak seperti biasanya. Ia terlihat anggun dan sangat cantik. Ya…. cantik.

"Sekarang, saat-saat yang mendebarkan. Pengumuman pemenang Festival Model Nasional. Siapakah yang akan menjadi juara tahun ini?" MC kembali membuka suara, membuat semua orang penasaran dan rasanya sudah tidak sabar mengetahui siapa pemenang ajang festival yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya.

"Kak Tamara...., Kak Tamara, Hyu hu!" yel-yel Alyn cs menggema, mendukung Tamara, kakak Alyn.

Tiba-tiba Dendra berpamitan kepada Alyn. "Alyn, aku keluar sebentar, ya?" pinta Dendra gelisah. "Mau kemana? Sekarang kan, sedang pembacaan pengumuman." Alyn mencoba menahan kepergian Dendra, tetapi Dendra memaksa.

"Sebentar saja kok… Nanti aku kembali lagi kesini." Alyn mengangguk pelan. Dendra pergi dan Alyn curiga karena Dendra terlihat tergesa-gesa. Tapi kecurigaan Alyn hilang karena MC kembali dengan memberikan pengumuman.

"Ok, saatnya pembacaan hasil penilaian dewan juri. Runner up II diraih oleh …. Madania Ratna Anjani." Finalis yang dipanggil maju ke depan mendapatkan selempang, bunga, dan uang tunai 500 juta rupiah, sungguh bahagia. "Selanjutnya, Runner up I diraih oleh …. Stevanie Julie...." Mendaatkan perlakuan yang sama, beserta uang tunai sebesar 750 juta rupiah. "Dan…, Juara I Model Nasional tahun ini adalah...." Alyn cs tegang, serasa jantungnya berhenti berdetak, namun Alyn terus berdo'a agar kakaknya menang tapi… "Jennifer Andreas Hutogalung...." Gemuruh aplaus penonton menyambut para pemenang. Alyn tercekat merasa kecewa, apalagi Tamara?! Terlihat sangat kecewa. Ia pergi meninggalkan acara itu begitu saja.

Alyn berusaha mengejarnya dengan sekuat tenaga. "Kakak…, Kak!" teriak Alyn, memanggil Tamara yang sudah tidak peduli lagi dengan kelanjutan acara. "Kak… Tunggu!" Tamara berhenti. Alyn menghampirinya.

Tamara terlihat lesu, tak ada gairah dan semangat yang ia tunjukkan seperti saat acara itu baru mulai. "Alyn…, Kakak sudah gagal. Padahal ini adalah cita-cita Kakak yang sangat Kakak impikan selama ini tapi…" Tamara menangis dan terus menyesali ketidakmampuannya membawa gelar juara tahun ini.

Alyn memeluk kakaknya erat-erat. "Kak…, ini mungkin ujian buat Kakak. Kakak jangan nyerah! Pasti tahun depan Kakak bisa dapet gelar juara itu, Kak!" Alyn meyakinkan Tamara, ia goyangkan tubuhnya kakaknya agar Tamara kembali bangkit.

"Tapi, Lyn, Kakak sudah banyak berkorban untuk semua ini, tapi semuanya sia- sia." Tamara kembali berlari meninggalkan Alyn. Alyn masih terus mengejarnya, namun sekarang Alyn sudah tidak bisa lagi menghentikan langkah Tamara.

Adel dan Lidya sudah bergabung dengan Alyn, setelah mereka mencari Alyn kemana-mana. Adel mencoba menghiburnya. "Sabar ya, Lyn." Adel memeluk Alyn.

"Tapi, Lyn, Dendra mana?" celetuk Lidya. Yang diingatnya, cuma Dendra saja.

Alyn tersadar kalau Dendra sudah lama tidak bersamanya sejak pamit pergi tadi. Alyn kemudian berlari mencarinya. "Dendra..… Dendra…. kamu dimana?" teriak Alyn disusul temannya.

Mereka kembali ke tempat perhelatan tersebut, mencari ke setiap sudut tempat itu yang sekarang sudah terlihat sepi. Tetapi semuanya nihil. Alyn, Lidya, dan Adel beralih mencari di mobil Dendra. Ternyata Dendra memang berada di sana, dalam keadaan sakau. Melihat itu, Alyn benar-benar terpukul. Alyn tidak menyangka cowoknya pun terjerat narkoba.

"Lyn, ayo kita bawa Dendra ke rumah sakit! Ini bukan waktunya untuk menangis," saran Adel. Ia tidak sabar melihat Alyn hanya diam terpaku menatap Dendra tanpa ada tindakan lebih lanjut.

Selama perjalanan ke rumah sakit Alyn hanya bisa menangis dan menangis. Perasaan sakit, kecewa, sedih hinggap menerpa jiwa Alyn berbaur menjadi satu, membuat remuk hati dan sukmanya. Sesampai di rumah sakit, Dendra langsung ditangani oleh Dokter, sedangkan yang lain menunggu diluar dengan perasaan cemas dan gelisah.

"Lyn, apa selama ini kamu ga' tau, apa yang selama ini dilakukan Dendra?" tanya Lidya tiba-tiba dengan penuh emosi. Alyn hanya bisa menggelengkan kepala. Ia masih belum percaya dengan semua kenyataan ini.

"Lidya, udah! Jangan tanya Alyn macem-macem. Dia kan lagi sedih!" Adel menengahi mereka berdua, karena mencium akan adanya perseteruan diantara mereka.

"Tapi, Del, masa' sama cowoknya aja dia ga' tau apa-apa. Emangnya selama ini, apa sih yang dilakukannya? Sebagai ceweknya, harusnya dia tau semuanya!" marah Lidya memojokkan Alyn. Alyn tidak bisa berkata apa-apa. "Asal kamu tau ya, Lyn, sebenarnya aku suka sama Dendra. Tapi karena aku lihat kalian sama-sama suka, aku merelakan Dendra sama kamu. Tapi ga' kusangka akan jadi seperti ini. Kamu ga' bisa jadi cewek baik buat Dendra. Emang, Lyn, aku ini bodoh, bolot, suka ga' nyambung, tapi kalo aku jadi ceweknya Dendra, aku ga' akan membiarkan ini semua!" Lidya membuka rahasia yang selama ini ia pendam sendiri, yang ingin ia lupakan. Tetapi karena masalah ini, Lidya terpaksa membeberkannya.

"Lidya, hentikan!" perintah Adel.

"Biar, Adel. Biar dia tahu bagaimana menjadi cewek yang baik." Lidya menumpahkan semua kekesalannya pada Alyn.

Alyn berlari meninggalkan rumah sakit. Ia sudah tidak tahan dengan tuduhan Lidya. "Alyn, kamu mau kemana?" teriak Adel cemas.

"Udahlah, Del, jangan peduliin dia!" bentak Lidya. Adel bingung, kenapa menjadi serumit ini.

Alyn terus semakin jauh berlari. "Aku memang cewek yang ga' berguna. Egois, ga' pernah peduliin Dendra. Aku benci diriku sendiri." Alyn menyalahkan diri sendiri dengan menyesali ketidaktahuannya selama ini.

Butiran air mata Alyn terus membasahi pipinya, sampai akhirnya ia berhenti di sebuah toko televisi. Dalam salah satu acara televisi dikabarkan bahwa ada model dan pesinetron muda yang sedang naik daun, telah mati karena menelan obat-obatan terlarang jenis ekstasi hingga OD. Dan model itu adalah… Tamara, kakak Alyn.

"Ga', ga' mungkain…!" Alyn menjerit sekerasnya semua orang menolehnya bingung. Alyn tidak membuang-buang waktu untuk bergegas menuju rumah sakit yang ditempati oleh jenasah kakaknya. Disana banyak wartawan yang meliput berita. Mereka melihat Alyn, pandangan mereka semua langsung tertuju padanya. Wartawan-wartawan itu mengerumuninya dan berusaha mewawancarainya dengan memberondong berbagai pertanyaan. Alyn hanya terdiam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Alyn terlihat kusut, lemas, tidak berdaya. Tatapannya hampa, menerawang entah kemana. Melihatnya, Manajer Tamara langsung menarik Alyn dari kerumunan wartawan, lalu mengantarkan kepada jenasah kakaknya. Sesampainya di kamar jenasah, Alyn terkulai lemas, dia berlutut dan menangis. "Kakak…," rintih Alyn berlinang air mata.

Sekarang, dunia seisinya seakan jatuh menimpanya. Terasa berat hidupnya, dadanya begitu sesak. Tak ada lagi keluarganya yang tersisa. Hidup sebatang kara tanpa ada lagi kasih sayang yang tersisa dari keluarga yang dirindukannya. Hingga akhirnya Tamara disemayamkan di peristirahatannya yang terakhir. Semua pelayat sudah pulang, tinggallah Alyn dan manajer Tamara yang berada disana. Manajer yang bernama Soraya itu, menceritakan keadaan yang sebenarnya. Ternyata Tamara tidak sepenuhnya seorang pecandu berat, ia mulai mengenal itu semenjak keluarganya berantakan. Tamara hanya memakai ketika dia akan tampil ke depan publik untuk fashion, sebagai obat penambah rasa kepercayaan dirinya.

Rumah Alyn menjadi lebih sepi tanpa kehadiran Tamara. Meski sebelumnya, Tamara sudah jarang sekali di rumah, tapi kini kesunyian itu akan hadir untuk selamanya. Alyn begitu sedih dengan peristiwa yang ia alami ini. Ia benar-benar mengutuk satu kata yang bernama NARKOBA. Karena barang laknat itu, hidup Alyn semakin menderita. Orang-orang yang dicintainya hancur hanya karena sesuatu yang tidak berguna. "Andai ku tahu sebelumnya, mungkin semua ini ga' akan pernah terjadi," batin Alyn merenung, mengenang masa-masa indah sewaktu semuanya masih lengkap disini, di rumah ini.

Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil. "Alyn…" Alyn menoleh dan Lidya langsung memeluknya. "Maafin aku, Lyn. Aku udah ngomong yang ga' bener ke kamu. Kamu pasti sangat sedih. Bukannya aku hibur kamu, malah nambahin beban kamu. Aku udah salah nilai kamu. Oh, iya, ini Dendra juga datang." Lidya menunjuk ke arah Dendra,

Dendra menghampiri dan memeluk Alyn. "Maafin aku juga, Lyn. Aku udah ngecewain kamu. Bertahun-tahun kamu nunggu aku, malah aku seperti ini. Disana aku salah pergaulan. Karena hampir setiap tempat yang aku tinggal disana, pasti ada barang itu. Aku jadi ga' kuasa menolaknya. Kamu mau maafin aku, kan?" Alyn mengangguk.

Alyn masih menangis tanpa bersuara karena ia benar-benar merasakan sesak yang teramat dalam di dada. "Dra…" sebut Alyn dalam pelukan Dendra.

"He'em," jawab Dendra singkat.

"Kamu janji ga' akan pake' itu lagi, kan?" pinta Alyn dengan menatap mata Dendra lekat-lekat. Alyn benar-benar takut kehilangan orang yang ia cintai.

"Ya, aku janji. Say no to drugs." Ikrar itu diucapkan Dendra dengan kedua jarinya membentuk huruf v. Ikrar itu diikuti teman-teman Alyn.

"And say yes to love," bisik Dendra lembut, di telinga Alyn. Alyn merasa bahagia dalam pelukannya. Dan berharap untuk selamanya.

Semenjak saat itu Dendra masuk pusat rehabilitasi, agar benar-benar lepas dari jeratan narkoba. Alyn selalu setia menemani Dendra. Setiap hari mengunjungi Dendra disana, karena sekarang satu-satunya orang yang paling dia cintai tinggal Dendra. Tamara sudah berada jauh disana. Hanya tinggal kenangan dan senyuman terakhir yang menawan itu yang kini tersisa. "Selamat tinggal, Kakakku," batin Alyn.

PROFIL PENULIS

Nama : Rifa Fauziyah

Alamat : jl KH Baidlawi Ngemplak no 2 RT 3 RW 3 Lasem Rembang

HP :085641224908

Email : [email protected]

FB : Reva Zeeya