Belenggu Dendam

Karangan: Felicita Jelitha

Namaku Elena, usiaku sekarang 24 tahun. Seminggu lalu aku baru saja diwisuda akademi farmasi Indonesia. Aku pikir setelah aku selesai sarjana dan hidup bebas tanpa bergantung pada orang lain akan membuat hidupku terasa ringan dan bahagia. Tapi ternyata ada hal yang masih mengganjal dalam hatiku, seperti sebongkahan es yang menyesakan dada dan membekukan setiap sudut aliran darahku. Berat sekali rasanya memikul beban ini, tapi aku tak tau apa sebabnya dan bagaimana mengatasinya.

Suatu hari aku curhat dengan sahabatku, dia bilang aku harus melepaskan semua beban itu dengan memaafkan dan mengikhlaskan segalanya. Aku mengerti apa maksudnya, karena memang saat ini masih ada dendam dan kebencian di hatiku terhadap keluargaku. Namun bukan hal yang mudah untuk memaafkan mereka, setiap kali aku mencoba membuka hatiku untuk memaafkan mereka pikiranku selalu saja berkata, "mereka tidak pantas untuk kau maafkan". Mengingat apa yang mereka lakukan terhadapku, memang membuat aku sulit memaafkan mereka, semakin aku mencoba aku semakin tersakiti.

Aku terlahir dalam keluarga yang bergelimang harta. Masa kecilku begitu indah dalam beberapa tahun usia hidupku. Ibarat surganya dunia. Namun kebahagian itu tidak berlangsung lama. Ketika aku duduk di bangku sekolah menengah pertama ayah meninggalkanku, aku kehilangan satu satunya orang yang sayang padaku dengan sepenuh hati, dan saat itu aku masih kelas VIII. Kehilangan ayah membuat gairah hidupku turun drastis, aku seperti kehilangan separuh jiwaku. Aku mulai malas untuk sekolah apalagi belajar, karena biasanya ayah yang mengantarku ke sekolah dan menemaniku belajar di rumah. Tapi saat itu aku seperti anak yang hilang di padang yang luas, sendirian berteman airmata. Hal ini membuat sekolahku berantakan, aku tidak naik kelas dua kali berturut-turut. Aku duduk di kelas VIII selama 3 tahun. Dalam dua tahun setelah kepergian ayah, bukan Cuma hatiku yang tersiksa, ragaku pun tersiksa. Bagi mama, dan kedua kakakku Albert dan Elmon aku adalah aib, karena dua kali tinggal kelas. Katanya mereka malu dengan tetangga karena aku. Yaaah .. aku sadari itu, tapi tidakkah seharusnya mereka lebih peduli padaku, dan bertanya kendala apa yang kuhadapi hingga seperti ini? Mereka malah mencaciku, menghinaku, mengubah namaku menjadi "si bodoh", menyiksaku layaknya tawanan, memperlakukanku sebagai pembantu di rumah dan keluargaku sendiri.

Penderitaan yang kualami dalam dua tahun masa SMPku menimbulkan trauma yang sangat besar dalam sepanjang hidupku. Suatu hari saat pulang sekolah, mereka menyambutku di depan pintu dengan cacian bertubi-tubi, panas rasannya telingaku. Mereka menjambak rambutku, aku ditampar, ditendang, kepalaku dihempaskan ke tembok, hingga tetesan darah segar mengalir dari pelipisku, rambutku bahkan digunduli. Sakit memang sakit kawan. Tapi sakit di badanku tidak seberapa dibandingkan dengan sakit yang diderita jiwaku. Yang lebih menyakitkan lagi saat aku membayangkang dalang dari penyiksaanku adalah wanita yang kuanggap sebagai malaikat yang telah mempertaruhkan hidupnya untukku. Namun sejak saat itu pandanganku tentangnya berubah, wanita itu tidak lebih dari seorang iblis pencabut nyawa bagiku. Aku membencinya dari sudut terdalam hatiku. Dan kedua kakakku adalah malaikat maut terkejam bagiku. Sungguh aku sangat membenci mereka. Aku hanya bisa pasrah dan memohon pada Tuhan, dalam doaku aku bersujud "Tuhan hidupku milikmu, aku hanyalah hambaMu yang lemah, selamatkanlah hidupku, bentuklah sesuai rencanaMu, amin". Airmataku menetes saat doa itu terucap. Yaah memang Tuhan dan hanya Tuhan yang mampu menguatkan dan menyelamatkanku.

Kawan, kau tahu Tuhan menjawab doaku. Suatu hari Tuhan mengirim malaikat-Nya untuk menyelamatkanku. Seorang wanita cantik bernama Cita, yang adalah kekasih kak Albert, untuk pertama kalinya datang ke rumah. Melihatnya aku merasa tenang. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang bisa membuat aku merasa nyaman. Dia mendekatiku dan prihatin dengan keadaanku yang saat itu baru habis mendapat penyiksaan besar-besaran. mukaku memar-memar, bibirku berdarah, tangan dan kakiku memar, dan satu lagi kepala botakku membuatnya heran. Dan ternyata kak Cita adalah seorang Psikolog. Dia bertanya padaku mengapa semua ini terjadi. Dan tanpa sungkan dan rasa takut, aku mengajaknya ke gudang, tempat tidurku dan aku menceritakan semua kepadanya. Setelah menceritakan semua, aku merasa sedikit lega, bebanku terasa sedikit lebih ringan. Dia berkata kepadaku "Elen, kuatkan? Elen pasti bisa melewati semuanya. Elen harus berusaha bangkit. Elen pintar, hanya Elen gak mau berusaha. Ada kakak disini apapun masalah Elen sebisa mungkin akan kakak bantu, asalkan Elen jangan menyerah. Nanti kakak akan coba jelasin pelan-pelan ke Albert yaah. Tenang saja, semuanya akan baik baik saja kakak akan selalu mendukung kamu, telepon kaka,k kalau kamu butuh teman belajar. Ok …" ungkapnya sambil memngusap kepalaku. Aku terharu dan bersyukur menyambut hari-hari pembebasanku. Pertolongan Tuhan memang selalu ada dan tak pernah terlambat.

Semenjak kehadiran kak Cita dalam hidupku, aku kembali bersemangat. Jiwaku kembali ke dalam ragaku seutuhnya. Perhatian dan kasih sayang yang diberikannya kepadaku, mengingatkanku kembali pada kasih sayang ayahku. Aku berjanji dalam hatiku "untuk kasih sayang ayahku dan juga kak Cita aku tidak boleh menyerah pada masalahku, Tuhan telah menyediakan takdir yang indah untukku, aku harus meraihnya. Aku harus bisa melawan rasa sakitku". Janjiku saat itu.

Suatu hari aku melihat kak Cita berbicara serius dengan kak Albert. Aku tak tau apa yang mereka bicarakan. Tapi sejak hari itu, kak Albert ke luar dari team penyiksaku, dia mulai menjadi team pembelaku. Saat mama dan kak Elmon memukulku dia pasti langsung berteriak "hentikan, Elen kembali ke kamar, suruh bang kodir mengembalikan barangmu ke kamarmu lagi". Walaupun dengan nada jutek dan tak bersahabat, aku sedikit lega karena aku tidak perlu merintih kesakitan, aku berharap memang semuanya berakhir. Aku tak sanggup lagi menanggung sakit di ragaku apalagi sakit jiwaku. Aku pun mulai rajin belajar dan sekolah lagi. Hingga aku naik kelas dan akhirnya lulus SMP dengan nilai terbaik dan aku pun mendapat beasiswa untuk lanjut ke salah satu SMA favorit di daerahku. Aku sangat bahagia menjalani hariku saat itu, meski masih banyak persoalan yang kuhadapi di rumah. Mulai dari bersih bersih, masak, dan satu lagi mendengar pidato singkat dari wanita yang mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku sekaligus mempertaruhkan nyawaku demi ambisi dan harga dirinya. Bosan dan malas mendengarnya, tapi yaah sudahlah mungkin itu harga yang harus kubayar untuk nyawanya. Ohhh iya di SMA aku salah seorang murid terfavorit loh, nilaiku selalu diatas rata rata, ekstrakurikulerku pun bagus. Aku lulus SMA dengan nilai yang sangat memuaskan.

Selesai SMA aku ke luar dari rumah. Tepat di bulan mei hari ulang tahunku. Aku pamit dengan seisi rumah hanya melalui surat. Aku tak sudi berbicara dengan mereka. Dengan kak Cita pun aku hanya pamit dan minta restu lewat SMS, aku takut dia akan menyuruhku minta izin ke seisi rumah. Bali adalah tempat tujuanku. Aku ingin melanjutkan studi dan masa depanku di pulau dewata ini. Banyak yang bilang daerah ini begitu indah. Aku ingin menyaksikan sendiri keindahannya, dengan harapan hidupku kedepan akan seindah pulau ini. Amin.

Aku bekerja dan kuliah disini. Saat itu gajiku lumayan besar. Untuk biaya hidup aku tak khawatir bosku seorang wanita yang baik, dia mengizinkanku tinggal bersamanya. Jadi gajiku sepenuhnya untuk biaya kuliahku. Dan terkadang kak Cita mengirimkanku uang, katanya buat jajan, tapi dalam jumlah yang besar, awalnya aku menolak, karena saat itu kak Cita sudah menikah dengan kakakku. Aku sudah berjanji pada diriku tidak akan menerima uang dari mama ataupun kakakku sebelum aku bekerja untuk mereka. Seperti yang terjadi di masa SMP dan SMAku, aku harus jadi pembantu untuk mendapat makan, tempat tinggal dan uang sekolahku. Aku anggap semua itu setimpal.

Waktu berlalu, bulan berganti dan tahun tak mau ketinggalan 5 tahun sudah aku di Bali, kini aku sudah menyelesaikan kuliahku. Aku sudah mendapat gelar S.Farm., Apt. Di hari wisudaku, aku hanya meminta kak Cita yang datang. Kak Albert sebenarnya juga datang, tapi dia tak menemuiku dia sadar aku masih marah dan benci padanya. Hari itu akui menangis, bahagia, terharu dan sedih, melihat teman temanku didampingi keluarga mereka. Tetapi mengingat tentang keluarga lebih menyedihkan dan menyakitkan bagiku. Aku hanya bahagia jika mengenang ayah dan melihat dua malaikat yang ada di sampingku saat itu, kak Cita dan Candle ponakanku yang lucu dan cantik. Mereka alasanku tetap bertahan dan mencoba bahagia. Kini hari hari yang kulalui terasa begitu berwarna walaupun masih ada beban mengganjal dalam batinku, yaitu kata maaf untuk keluargaku. Tapi aku belum bisa memaafkan mereka. Mungkin suatu saat aku bisa memaafkan mereka, entah kapan… hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Hari ini aku kembali ke tanah kelahiranku, untuk berbakti disana sebagai seorang apoteker. Aku berharap disana nanti aku bisa berbagi dan lebih peka dengan keadaan orang orang di sekitarku. Semoga saja dengan berlalunya waktu aku bisa memaafkan mama dan kedua kakakku. Hidup sudah mengajarkanku begitu banyak hal. Tuhan terima kasih untuk pelajaran hidup yang berharga ini.

Tamat

Tentang Penulis

Facebook: Icha Putri Nangkurkasyur